Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A82-Pupus Harapan

Ciee yang udah bertahan sampe semi final wkwkwk

Part selanjutnya udah dadah kita :((

Aku berharap part ini komennya makin rame terus juga votenya ya, buat sisa-sisa perpisahan huhu

KEGELAPAN itu seperti tak berakhir sepanjang Avisha melangkah. Tak ada sedikit pun cahaya yang menerangi ruangan. Dia bertanya-tanya sebenarnya dimana dia saat ini. Gelapnya keadaan membuat matanya tak terbiasa. Takut-takut dia salah menginjak dan bisa saja terjatuh.

Matanya memutar segala arah mencari lampu yang mungkin bisa dia pakai untuk menuntun langkahnya pulang.

Sampai dia menyipitkan mata karena cahaya yang tiba-tiba datang. Terlalu silau untuk dihalau. Bahkan terpaksa memayungi matanya dengan tangan. Meski samar, sileut bayangan itu sangat jelas di irisny.

Semakin dia mendekat, semakin jelas wajahnya.

Avisha terkejut melihat sosok kecil itu yang tersenyum. Bagai cermin, Avisha tak percaya bagaimana wajah yang hampir mirip itu benar-benar nyata berdiri di depannya.

"Kak Ashilla ..."

Perempuan yang lebih tua setahun itu tak mengatakan apapun selain mengulurkan tangan. Avisha jadi mengerutkan dahi bingung. Apa yang sebenarnya ingin dia lakukan?

"Kita mau kemana?"

Lagi-lagi Ashilla cuma tersenyum. Tak memberikan jawaban yang Avisha butuhkan.

"Kita mau pulang kan?"

Selain mereka, tidak ada siapapun disini. Haruskah Avisha menerima ulurannya?

"Sha!"

Avisha agak terkejut mendengar suara itu. Seperti delusi yang tercipta, suaranya tak berasal dari gelapnya ruang melainkan dari otaknya sendiri. Bagaimana bisa? Dia sontak melangkah mundur, menjauhi Ashilla yang masih berposisi sama di tempatnya.

"Gue nunggu lo. Tolong ... jangan pergi."

Kemudian, bagai terseret di cahaya terang. Avisha menutupi matanya karena silau yang seakan membutakan. Pemandangan depan tampak samar untuknya yang harus kembali memejam berusaha menyesuaikan.

Dia mengerjapkan mata beberapa kali. Kala semuanya tampak jelas dia mengernyit melihat ruangan serba putih. Apalagi aroma antiseptik begitu menyengat menusuk hidungnya.

Ah ... lagi-lagi di rumah sakit.

Fakta itu menamparnya.

Dia masih memikirkan kejadian apa yang menimpanya sampai dia harus berakhir di sini, saat bersamaan dia menemukan Velin dengan pakaian rumah sakit berdiri takjub menatapnya. Tanpa menunggu lagi langsung berlari memeluk. Menangis sejadi-jadinya.

Wanita paruh baya itu tak hentinya mengucapkan syukur sambil memeluknya makin erat. Tak lama, Devin pun datang yang tersentak lalu diam di pijakan. Yang berbeda dia langsung berlari keluar berteriak-teriak memanggil dokter.

Dokter datang bersama Devin, dan juga ada Darlan yang tampak menahan tangis. Saat sang dokter memeriksa. Avisha baru menyadari perban yang bersarang di bahunya. Bagaimana saat dokter sedikit memiringkan tubuhnya dan mengecek luka di sana, sekelabatan ingatan itu datang bagai bayangan.

Bahunya terkena peluru saat ingin melindungi Arven. Saat semua rahasia, dia dapatkan dalam sekali kejapan.

Walau terlalu tiba-tiba, Avisha dipaksa buat percaya kalau memang dia punya seorang kakak.

Dokter meninggalkan Avisha dengan perasaan campur aduk menyesakkan. Usai berbicara mengenai kondisinya dengan Devin maupun Velin, dokter pria itu pergi bersama perawat-perawatnya.

"Jadi Visha beneran punya kakak?"

Gerakkan Devin berhenti saat hendak memeluknya.

"Bang Darlan punya adik kembar. Berarti Visha punya kakak?"

"Dengerin Mama, Sha ..."

"Mama yang harus dengerin Visha!" selanya cepat. Memandang kecewa kedua orang tuanya. "Kak Ashilla ... Kak Ashilla adiknya kak Arven. Dan di bagian akhir Visha harus tau kalo dia kakak Visha! KAKAK KANDUNG VISHA!"

Menyakitkan karena fakta itu harus terkubur sejak lama.

"Kondisi kamu belum baik, Visha," bujuk papanya terdengar putus asa. "Papa mohon, nak. Tunggu kamu pulih dan Papa akan menceritakan semuanya."

"Visha gak bisa nunggu lagi karena Visha udah tau semuanya!" teriaknya tanpa memedulikan luka di bahunya yang ikut tertarik saat dia menaikkan nada tinggi. "Papa gak pernah cerita apapun ke Visha dan ke bang Darlan. Papa dan Mama jahat tau gak sih? Kalian nutupin semuanya!"

Darlan tampak tak bisa berlama-lama di ruangan hingga memilih berjalan ke pintu keluar. Menyisakan Avisha dengan kedua orang tuanya.

"Papa juga baru tau kalo adiknya Arven anak kandung Papa yang diculik dulu." Jika Velin tak bisa lagi menahan emosinya dengan meneteskan air mata. Membuang muka. Sementara Devin, walau begitu bingung, dia berusaha tak menampakkan itu. "Papa cuma gak mau nyakitin kalian."

"Bukannya akan nyakitin kalo Visha dan bang Darlan baru tau sekarang?" Luka di bahunya sudah mulai bereaksi. Dia meringis sesaat setelah berbicara. "Dan yang Visha gak bisa percaya kenapa kak Ashilla ... kenapa harus adiknya kak Arven kakak kandung Visha!"

"Visha jangan banyak gerak sayang," Mamanya menangis. "Mama gak mau Visha kesakitan lagi nanti."

"Kak Ashilla suka sama kak Arven," gumamnya sangat pelan. Napasnya mulai tersendat-sendat karena sakit di bahunya makin menjadi. "Dan ... gimana Visha ketemu kak Arven nanti. Kak Ashilla pasti gak bakal suka Visha deket-deket sama orang dia sayang. Iya kan, Ma? Iya kan Pa?"

Entah Avisha harus kesakitan dengan luka yang mana. Terlalu banyak luka yang membuatnya bingung bagaimana menyembuhkannya. "Bilang ke kak Arven ..." Dia makin susah buat bernapas. Meringis sakit. "Gak usah ketemu Visha lagi."

Sayangnya, ucapan itu tak bisa Avisha sampaikan karena kesadarannya yang hilang.

•••

Mobil Arven hampir menabrak pejalan kaki yang menyebrang. Beruntung dia cepat menginjak rem hingga tak ada kejadian mengerikan yang menimpanya. Dia yang salah tentu saja karena terlalu cepat mengemudikan mobilnya di atas rata-rata.

Apalagi debaran pada jantungnya yang tak sabaran ini tak bisa membuatnya berpikir rasional. Selain Avisha, tak ada lagi yang bisa dia pikirkan. Bagai orang kerasukkan dia mengemudikan mobil, yang tentu tak perlu membuang waktu banyak untuk sampai.

Dia berlari keluar setelah mendapatkan sela parkir. Darlan sudah mengirimkannya pesan nomor kamar rawat Avisha sekarang setelah cewek itu dipindahkan dari ruang ICU.

Kaki panjangnya berhenti kala sudah mendapatkan kamar yang dia cari. Tanpa menunggu, dia langsung berjalan masuk dan ... bagaimana kakinya yang mendadak beku melihat Avisha yang tengah disuapi makan sang mama.

Ada kekosongan di mata bulatnya, tapi senyum yang tampak di sana jelas nyata. Arven begitu speechlees dan kehilangan kemampuannya mengendalikan diri melihat cewek yang amat dirindukannya kini sudah membuka mata.

"Arven ..."

Velin menyadari keberadaannya. Tapi, yang bisa Arven tangkap raut Avisha yang mendadak kaku saat menatapnya.

"Jalanan lancar Arven?"

"Lumayan lancar Tante." Arven melangkah mendekat dengan Avisha yang membuang muka.

"Bagus deh kalo gitu," Velin mengusap rambut anaknya. "Kalian ngobrol aja, Tante tinggal ya." Belum sempat melangkah, Avisha menahan tangan mamanya.

"Visha gak mau!" Cuma itu, tapi Arven merasa dijatuhkan begitu saja.

"Apanya gak mau sayang?" Velin kebingungan. "Gak enak loh Arven udah jauh-jauh ke sini."

"Visha gak mau ketemu kak Arven! Suruh pergi aja!"

"Sha, kamu apa-apaan!" Mamanya menatap tak suka, dan di posisi lain di tak enak melihat Arven. "Udah ah, gak enak sama Arven," Velin jadi mengomel. "Mama tinggal. Arven jagain Visha sebentar ya."

"Iya, Tante."

Velin mengusap bahunya dengan senyum lalu berlalu.

Ketika pintu belakang kembali menutup. Keheningan tak terhindarkan. Begitu tak mengenakan dan mengganjal. Arven diam menatap Avisha yang tak sedikit pun menoleh menatapnya.

"Sha ..." Panggilan Arven tak diacuhkan. "Liat gue, Sha."

"Kak Arven sebenernya mau apa?"

"Bahu lo udah gak apa-apa?" Justru bukan pertanyaan itu yang dijawab, Arven bergerak ke arah bahu Avisha. Yang langsung membuat cewek itu menjauh.

"Kita udah gak ada urusan!"

Bagaimana ketusnya ucapan itu, tak juga mendorong Arven menjauh. "Kenapa lo lakuin itu?" Avisha menghadapkan kepala ke arah lain. Menghindari kontak mata. Yang sejenak dia dapat merasakan usapan lembut pada rambutnya. "Harusnya lo biarin gue aja yang terluka, Sha. Gue aja yang ketembak. Seenggaknya gue bisa tenang karena ngelindungin lo."

Cairan bening menetes dari mata ke bantalnya. Avisha benci melihat kelemahannya itu. "Visha gak mau punya hutang budi sama kak Arven." Sekuat mungkin dia mengendalikan diri untuk menoleh menatap iris kehijauan itu. "Kita impas sekarang. Kak Arven selama ini lindungin Visha. Dan Visha udah bales dengan lindungin kak Arven kemarin."

Perkataan itu lebih dari memukul otaknya. Arven kehabisan kata-kata untuk itu.

"Kak Arven ama Visha udah selesai. Harusnya kak Arven bisa pergi!"

"Semua masalah di masa lalu yang selesai, bukan kita, Sha."

Jujur, Avisha tak mau bersikap seperti ini. Bukan saja menyakiti Arven, ini juga menyakitinya.

"Kak Arven pikir segampang itu masa lalu selesai?" tanyanya balik. "Mungkin maksud kak Arven itu dilupain bukan selesai." Butuh kekuatan lebih untuk menjaga pertahanannya agar tak menangis. "Tapi, gimana Visha bisa lupa kalo kak Arven bagian masa lalu Visha?"

Ekspresi Arven itu yang membuat Avisha merasa kalah.

"Kak Ashilla ... dia Kakak Visha. Kakak kandung Visha yang jatuh cinta sama kak Arven." Dia tak lagi menahan air matanya. Bukan saja menyesakkan, keduanya sama-sama terjebak di takdir yang salah. "Dan Visha sendiri ... Visha sayang kak Arven. Gimana bisa ... dua adik-kakak suka sama satu orang yang sama? Gimana bisa?!"

Arven mengambil telapak tangannya untuk digenggam. "Sha, jangan kayak gini."

"Gak," Avisha menarik tangannya paksa, tanpa memedulikan Arven yang memandang hampa telapak tangannya yang kosong. "Visha gak mau. Visha udah gak mau sama kak Arven. Kak Arven bisa pergi dari Visha!"

"Sha ... gimana bisa gue ngelakuin itu?"

"Jauh-jauh dari Visha kak Arven! Jauh-jauh!"

"Sha."

Untuk kesekian kalinya Avisha menyia-nyiakan air matanya seperti ini. "Kak Shilla gak bakal suka kak Arven sama Visha." Bukan akhir seperti ini yang dia inginkan, tapi Avisha terjebak oleh pilihan.

Bagaimana bisa dia jatuh cinta dengan orang yang disayangi kakaknya?

Mungkin sejak awal kedekatan antara mereka memang salah. Takdir sengaja menempatkan mereka pada hal yang tak seharusnya. Avisha ingin marah. Tapi pada siapa?

"Visha takut ... Visha takut kak Shilla ..."

"Liat gue," Arven menangkup wajahnya untuk menghadap cowok itu. Membiarkan dia melihat seberapa hancur Arven dari matanya. "Tolong ... jangan kayak gini. Gue nunggu lo. Gue nunggu lo bangun, dan gue gak mau akhirnya jadi kayak gini."

Avisha juga tidak mau. Tapi bagaimana kalau bertahan cuma ada rasa bersalah. Bagaimana Avisha bertahan dengan itu.

"Visha gak mau nyakitin kak Shilla."

"Shilla udah gak ada, Sha!"

"Tapi bisa aja dia liat kan? Dia mungkin gak suka liat aku sama kak Arven dari awal." Makanya berakhir seperti ini. "Kak Arven harus pergi. Kak Arven gak bisa sama Visha!"

Arven tak tahu harus bagaimana lagi. Karena hal yang dia takutkan menjadi kenyataan. "Gue sayang lo, Sha. Lo tau itu." Avisha menunduk, pertahanan terakhirnya sudah tak tersisa. Dapat dia rasakan kedua tangannya yang digenggam Arven kuat. "Cuma lo yang gue punya, Sha. Cuma lo. Lo gak bisa kayak gini."

"Visha gak mau akhirnya jadi gini," gumamnya makin sesegukan. "Visha gak mau. Tapi ... Kak Shilla. Visha gak pernah liat dia. Visha gak pernah meluk dia. Visha gak pernah bercanda bareng dia. Visha cuma bisa lakuin ini. Visha gak mau ngerebut orang yang harusnya jadi punya dia. Maaf kak Arven. Maafin Visha."

Cairan bening itu menetes tepat di genggaman mereka. Tentu bukan air mata Avisha. Dia mendongak dan lebih dari pukulan, melihat Arven menangis mematikan seluruh fungsi otaknya.

"Kak Arven ..."

"Jadi ini jawaban lo," Arven tertawa. Perih. "Gue pikir gue bakal buang beasiswa gue demi lo," Pada lantai pijakannya, Arven cuma berharap masih bisa menopang tubuhnya sekarang. "Tapi, akhirnya gue harus tanda tangan juga."

Avisha makin sesegukkan karena itu. Ditambah usapan lembut pada pipinya menghapus air mata di sana. Dia terpaksa menatap iris Arven yang tampak sama. Rapuh dan kosong. "Seminggu tenggat waktunya, Sha. Kalo gue gak liat buat terakhir kali. Gue artiin akhir kita emang di sini."

Dan setelahnya, Avisha memejamkan mata. Merasakan bibir Arven menempel di atas bibirnya. Keduanya sama-sama mencecap asinnya air mata, karena jelas ciuman itu bisa saja menjadi sinyal perpisahan mereka.

•••

Dalam keadaan sekarang, Arven sama sekali tak mengharapkan siapapun datang ke apartemennya. Dia butuh waktu sendirian. Banyak permasalahan yang tentu perlu diselesaikan. Dan melihat sang kakek yang ternyata datang, Arven tak bisa menolak atau mendorong orang tua itu untuk pergi.

"Kakek udah selesai ngehindarin Arven?"

Mungkin Arven memang berusaha memperbaiki keadaan dengan Raihan, tapi itu masih dalam tahapan, dan tidak berbicara dingin dengan kakeknya, Arven akui itu cukup sulit karena selama ini pertengkaran dingin antara mereka menyebabkan dinding tinggi.

Arven sangat tahu Raihan menghindarinya karena penyesalan yang sangat besar. Orang tua itu tak mempercayai ucapannya selama ini dan cuma menganggap ceritanya cuma bualan semata.

Menyedihkan karena Arven harus menerima ketidakpercayaan dari keluarganya sendiri.

"Kamu yakin mendatangani formulir itu?" Raihan memang tak pernah basa-basi. Arven cuma berdiri melihat Raihan yang kini duduk di sofa.

"Iya. Ada yang salah emang?"

"Kakek pikir kamu tidak akan meninggalkan Avisha."

Arven tersenyum miris. Itu maunya. Tapi bagaimana kalau Avisha yang justru tidak menginginkan itu.

"Beasiswa itu terlalu penting buat disia-siin kan?" Arven memilih menutupi faktanya. "Kakek sering ingetin Arven soal itu."

"Kamu punya masalah dengan anak itu? Haruskah Kakek berbicara dengan Devin ..."

"Gak!" potongnya cepat. Menggeleng. "Arven gak punya masalah apa-apa sama Avisha. Arven cuma ... ya meneruskan pendidikan Arven keluar negeri sesuai impian Mama."

"Tapi itu berarti kamu harus meninggalkan anaknya Devin." Tanpa perlu dijabarkan jelas, Arven sudah sangat tahu konsekuensi itu. "Untuk mengerti anak muda sepertimu, Kakek tau apa yang membuatmu ragu, nak."

Meksi berat, Arven harus menjalankannya. "Arven masih bisa ngehubungin Avisha selama Arven di sana," Andai seperti itu. "Kita masih bisa saling komunikasi."

"Baik kalau seperti itu," Raihan mengangguk. Sejenak tatapannya menunduk, menghindari mata Arven. Sikap yang terlalu aneh buat Arven, karena Raihan tak pernah sedikit pun menurunkan dagu angkuhnya.

"Kakek mau minta maaf karena tidak mempercayaimu selama ini. Kakek bersikap semena-mena padamu tanpa memikirkan perasaanmu." Arven tak terbiasa mendengar penuturan maaf dari kakeknya. Begitu asing di telinga. "Kakek tidak bisa menerima anak dan menantu Kakek pergi dengan cara seperti itu hingga melampiaskannya padamu, nak."

Rautnya mungkin tenang, tapi gejolak di dadanya sudah membakar seluruhnya. Apalagi ingatan-ingatan semasanya kecil yang diinjak-injak, diasingkan, diperintah sesuka hati. Terlalu banyak penderitaan yang dia terima selama ini.

"Kakek marah dan karena kamu cucuku satu-satunya. Cuma ke kamu kakek bisa melampiaskan semuanya. Maaf, nak. Maafkan kakekmu ini. Maaf karena kakek gengsi untuk meminta itu selama ini." Arven terpaksa membuang muka. Terlalu banyak tangisan bodoh semingguan ini. "Dulu, aku masa bodoh pada anak yang memeluk kakiku dengan menangis-menangis meminta keadilan kedua orang tuanya.Tapi sekarang lihatlah, anak itu sudah besar. Kamu tampak kuat menghadapi apapun, Arven."

"Karena Papa," gumamnya mengingat kalimat yang selalu Haydan katakan. "Cowok harus kuat. Dino gak boleh lemah."

Raihan tampak berdiri dan mendekat. Dan bagaimana orang tua itu melingkupi seluruh tubuhnya canggung, Arven merasa sedikit tersentak, meski tak nyaman tak dapat dipungkiri Arven membutuhkan pelukan selama ini.

"Kakek selalu malu untuk melakukan ini." Raihan menepuk-nepuk punggungnya pelan. Saat pelukan terurai, Arven merasa harus menyaksikan lagi hal-hal yang membuatnya tak terbiasa. Bagaimana kakeknya mengusap sudut matanya yang basah.

"Ada yang juga harus kakek sampaikan," Raihan membenarkan kemeja yang dipakainya. Kembali memasang wajah wibawanya yang dingin dan datar. "Kalo memang kamu sudah memikirkan beasiswa itu matang-matang. Kakek akan mempersiapkan semua keperluanmu di sana. Dan ..."

"Dan?"

"Ada kemungkinan jadwalnya dipercepat, tidak seminggu tapi tiga hari dari sekarang."

Cuma itu, tapi Arven merasa tak lagi punya harapan.

•••

Udahlah ya ikhlasin aja klo mereka akhirnya gak bersama :((

Sampai part ini ada yg mau diceritain dari awal baca cerita ini tuh gimana? 

Dan kalo ada saran aku terima dengan baik kok

Thanks ya untuk semua temen-temen yang stay sama ceritaku dari awal sampai akhir. Dari ini cerita ke pending dan akhirnya bisa diselesaikan :))

Gk tau kenapa suka bnget ama foto ini :((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro