Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A81-Yang harus dipilih

Sesuai janjiku yaaaa❣️❣️

Aku up lewat hp sih, nongol gak sih notifnya?

Jangan lupa vote Ama komen, hrus rame ya🤸

SEPERTI tamparan menyakitkan, Ilona tak dapat berkutik setelah semua perkataan Arven, yang sialnya harus diakui sangat menganggunya.

"Lo gak mikir gimana perasaan-perasaan sahabat lo kalo tau soal ini?" Ilona merenung di kursi, matanya mengarah pada ponselnya yang hancur di atas rumput. "Apalagi Avisha?"

Itu bukan urusannya. Dia tak peduli apapun yang orang katakan.

Benarkah?

"Lona emang sahabat terbaik Visha."

"Visha sayang Lona."

"Lona gak perlu minta maaf, Lona gak salah."

"Visha gak pernah marah sama Lona. Lona kan sahabat Visha."

Ilona menggigit kukunya. Mengingat semua perkataan Avisha selama ini bersama senyumnya yang tak pernah lepas. Begitu polos dan baiknya perempuan itu hingga terlalu kejam bagi siapapun yang menyakitinya.

Tapi, orang kejam itu dirinya.

"Gak," Ilona menggeleng. "Gue gak salah, cewek sok polos itu yang jahat ngambil Arven dari gue."

"Lo yang ngelakuin ini?" Tiba-tiba bayangan wajah kecewa sahabat-sahabatnya menelusup di kepala. Itu Yania. "Kenapa lo ngelakuin ini ke SAHABAT LO SENDIRI?! KENAPA?!"

"Gue kecewa sama lo, Na!" Nata menggeleng tak percaya. "Ternyata orang cantik emang lebih kejam bukan?"

"Visha salah apa sama Lona?" Ilona menutup telinga memejamkan mata erat seakan bisa menghilangkan bayangan dan suara-suara itu. "Lona kenapa lakuin ini ke Visha? Visha udah jahat ya sama Lona? Maafin Visha kalo gitu."

Ilona menggeleng. Pipinya sudah basah oleh air mata.

"Ternyata Ilona pelakunya! Jahat banget!"

"Cantik doang, tapi busuk!"

"Makanya, jangan ketipu sama tampang."

"Jahat banget kayak gitu ke sahabat sendiri. Gak punya hati kali ya."

"Gak!" Ilona seperti terjebak di lingkaran orang-orang yang merendahkannya dengan tatapan jijik. "Berhenti! Lo semua berhenti!"

"Jadi ini bisa kamu? Mempermalukan keluarga sendiri?" Bayangan sang mama yang menatapnya rendah ikut bergabung oleh bayangan-bayangan lain yang menyakitinya tanpa ampun. "Kamu memang tidak pernah bisa membanggakan Ilona, tidak seperti kakakmu!"

"AAAAA!!" Ilona berteriak kesakitan. Menangis sejadi-jadinya di keheningan yang membuatnya sadar. Memang dia akan selalu sendiri tanpa siapapun yang peduli.

Dia meremas kursi besi yang dia duduki. Terlalu kuat hingga darah itu menetes di sela-sela jarinya. "Ilona emang gak bisa jadi kayak kak Andien. Ilona gak akan bisa ngalahin kak Andien. Ilona terlalu bodoh buat dibandingin sama kak Andien!"

Ilona memang tak ada apa-apanya dibanding sang kakak. Tapi salahkah dia menginginkan bahagia?

"Kamu mau membantu saya? Dan saya akan membantumu mendapatkan Arven?"

Ilona saat itu tak percaya ada orang yang mengetahuinya menyukai Arven. Selain dirinya dan Tuhan, tak ada siapapun yang tahu.

"Om siapa?"

"Saya? Omnya Arven kebetulan."

"Kenapa saya harus bantuin Om?"

"Kamu temannya anak itu bukan?" Harusnya Ilona tidak perlu bertemu orang itu di pagar depan sekolahnya selagi menunggu Avisha. Ilona masih mengingat bagaimana Avisha yang melangkah riang ke arah gerbang. Menyapa siapapun dengan senyuman.

"Dia teman saya."

"Saya perkirakan pada waktu gak yang ditentukan, anak itu bisa mengambil hati Arven."

Ilona tak mengerti apa maksudnya. Karena untuk bersekolah saja, mereka masih dalam masa mos. "Om peramal?"

"Saya akan menceritakan semuanya ke kamu. Tapi, setelah itu kamu harus membantu saya."

Perkataan itu membangkitkan harapan. Ilona begitu mudahnya mengiyakan. Tanpa tahu jika dia akan terjebak dalam permainan menyakitkan. Egonya tak mau dikalahkan. Dan dia tak memikirkan siapapun. Satu-satunya hal yang dia pikirkan adalah mendapatkan apapun yang dia inginkan. Yaitu; Arven.

"Mungkin kita bakal ketemu lagi ... di kantor polisi."

Ternyata perkataan Arven menjadi kenyataan. Segala ingatannya kemarin jadi kembali membayang di kepala, kala Ilona menemukan kakak kelasnya itu yang duduk di depannya terhalang kaca.

Yang tak pernah terpikirkan oleh Ilona jika dia bisa mengalahkan egonya kemarin. Dengan cepat meninggalkan sekolah menju kontes biola Avisha. Dia memang terlambat karena Avisha sudah dibawa pergi.

Tapi, setidaknya Ilona bisa menceritakan semua yang dia ketahui dari Dafa . Mulai dari Avisha yang ternyata punya kakak kandung dan Darlan yang punya kembaran. Anak itu ternyata diadopsi oleh keluarga Arven. Lalu berlanjut Avisha yang pernah diculik saat kecil dan kedua orang tua Arven yang dibunuh.

Dia mau mundur sejujurnya saat mengetahui ada orang selicik dan sejahat itu. Tapi, setelah segala iming-iming yang dia dapatkan nanti. Bodohnya Ilona tak bisa menolak.

Dan sekarang Ilona tak dapat lari, selain mengakui jika dia yang meneror Avisha selama ini karena perintah Dafa.

Setelah mendengarkannya Devin dan Raihan membuat strategi untuk menangkap Dafa lalu menjebloskan ke penjara.

"Jadi lo berubah bijak setelah denger perkataan gue?"

Ilona memainkan kukunya dengan anggukan. "Maaf ya kak. Maaf," gumamnya ketakutan. Matanya bergerak kebingungan. "Gue tau gue jahat banget. Gue jahat sama sahabat gue sendiri."

"Salah lo ama Avisha. Jadi, lo harus minta maaf sama dia."

Mendongak, Ilona menatap kakak kelasnya itu yang berwajah datar. Tapi, siapapun tahu wajah itu cuma tipuan, karena hatinya terlalu baik untuk dianggap jahat.

Ilona cuma orang lain saat cowok itu menolongnya dulu.

"Gue bakal ngakuin semuanya ke Avisha. Kalo dia gak maafin gue, emang itu udah konsekuensinya." Ilona sudah memikirkan itu matang-matang. Walau itu membawa kerusakkan, setidaknya, dia bisa lebih tenang setelah mengakuinya.

"Gue udah cabut berkas laporan tentang lo. Jadi, mungkin lo ditahan cuma selama sebulan, setelah itu lo bisa lanjutin hidup lo seperti biasa."

"Makasih ya, kak udah bebasin gue," Ilona bahkan bisa saja bersujud karena rasa syukurnya. "Gue bakal pergi jauh dari Avisha dan gak bakal ganggu dia lagi."

"Emang itu yang harus lo lakuin. Tapi, thanks juga. Karena lo, seenggaknya gue sama Avisha gak berakhir sia-sia kemarin," ucap Arven terdengar tulus. Setelahnya terdengar waktu habis untuk kunjungan. Arven mau tak mau berdiri, dan belum sempat melangkah pergi.

Ilona bersuara. Lirih. "Avisha kabarnya gimana, kak?"

Arven beku dalam pijakan. Ada jeda lama, sebelum dia mengatakan ini, "Dia ... gue selalu berharap dia baik-baik aja."

•••

Di luar kantor polisi, dia melihat Regha menyandar kap mobil menunggunya. Saat melangkah mendekat, mendadak langkah Arven berhenti kala sudut matanya menangkap bayangan orang yang menghentikan langkah.

Arven memutar kakinya.

Ternyata Andien.

Dengan mata sembabnya.

"Mau ngobrol?" tanya cewek itu serak. Arven melirik Regha, yang menganggukkan kepala. Mengiyakan.

"Oke."

Ada kafe di seberang kantor polisi.

Setelah masuk dan menemukan meja di pojok sekaligus memesan minuman pada pelayan, keheningan itu tak terelakkan. Seolah memang itu yang dibutuhkan untuk beberapa jenak.

Arven dapat melihat jalanan yang cukup ramai sampai akhirnya dia menoleh menatap Andien. Menemukan cewek itu mengusap sudut matanya yang berair.

Saat sapu tangan terulur ke arahnya, Andien jadi mendongak menatap Arven.

"Lo bisa nangis semau lo. Tapi, jangan sampe orang lain liat."

Dia menerima sapu tangan yang Arven berikan. "Lo pasti benci gue kan sekarang?" tanyanya sambil mengusap matanya yang basah. "Adik gue ... adik gue udah jahat sama lo dan Avisha."

Ada jeda saat pelayan mengantarkan pesanan. Arven mengucapkan terima kasih, dengan pelayan itu yang pergi setelahnya.

"Tapi, Ven ..." Andien berkaca-kaca. "Jangan benci adek gue ya. Jangan benci Ilona."

"Buat apa lo ngomong itu?"

Andien menarik napas panjang. Membenarkan cardigan yang dipakainya menutupi bahu. "Dia cukup ngerasa dibenci selama ini. Gue cuma gak mau dia makin menderita karena itu."

"Gue gak tau ya penderitaan orang lain kayak gimana, karena gue sendiri menderita," ucap Arven santai menggulung kemejanya sebelum meneguk gelas americannonya. "Tapi, gue gak ada hak buat benci adek lo. Atau pun lo."

Andien tertawa. Terdengar perih. "Gue ngerasa jahat banget sama dia selama ini. Walaupun yang orang lihat dia yang jahat sama gue. Tapi, seenggaknya gue gak dijadiin bahan perbandingan setiap hari. Mama banyak nuntut Ilona biar bisa jadi model kayak gue. Sedangkan Ilona gak suka itu."

"Lo tenang aja. Gue udah cabut berkas penahanannya. Jadi, dia udah bebas dari masalah itu."

"Hm ... lo gak apa-apa kan?" Andien tahu pasti berat untuk itu. "Maaf ya, atas nama Ilona gue bener-bener minta maaf. Gue tau itu gak bakal bikin keadaan balik lagi kayak awal. Seenggaknya, gue cuma mau lo tau, Ilona nyesel banget. Dia bener-bener nyesel buat semua yang dia lakuin. Gue gak akan maksain lo buat maafin kok."

"Kalo Avisha tau. Dia juga bakal ngelakuin ini." Itu yang menjadi pedoman Arven saat mengambil keputusan.

"Makasih ya," Andien mengucapkan tulus. Bulir bening itu menetes lagi. "Lo emang selalu baik kan, mulutnya doang tajem, tapi hati lo gak sekejam itu." Kemudian dia tertawa, mengusapkan air matanya sambil mengibas-ngibas. "Itu alasan kenapa gue jatuh cinta sama lo."

Arven menaikkan alis malas melihat Andien yang kini tersenyum begitu lebar yang padahal sejak tadi tampak menyedihkan. "Gue gak pernah ngerti sama emosi lo yang gampang berubah."

"Lo emang selalu tau gue." Andien meneguk minumannya. "Ah ... nyebelin banget gak sih karena lo makin ganteng sekarang."

Arven cuma mendengkus sambil meneguk kembali americanonya. Sementara Andien tertawa sambil menopang dagu. Memandang cowok depannya yang begitu sempurna diciptakan dengan wajah, dagu, mata, dan hidung yang begitu sesuai di tempatnya.

"Gue gak pernah bosen liatin lo."

"Bisa-bisa lo jatuh cinta ama gue lagi."

"Emang." Dan santainya Andien mengatakan itu. "Setiap hari, setiap saat, gue selalu jatuh cinta sama lo."

"Lo terlalu jujur, Din." Andien tertawa kecil, yang kemudian sengaja mendekatkan wajah. Memangkas jarak. Dan dengan alis terangkat, Arven cuma diam seakan menantang. Andien yang akhirnya mengembuskan napas seakan kalah. Menjauhkan kepala dengan mendengkus sebal.

"Entar khilaf lagi gue, kebetulan gue gak mau jahat sama Avisha." Andien menatap kukunya yang cukup cantik dengan kuteks birunya. "Tapi ya, gue takjub loh ada orang kayak lo. Avisha cuma mantan lo sekarang, dan begitu setianya lo sama dia. Bahkan gak kepancing sama gue."

"Gue gak pernah main-main selama ini," ucap Arven yang membuat Andien meletakkan tangannya di atas paha. Terdiam begitu saja. "Seharusnya udah ketebak kan? Gue juga gak pernah main-main ama perasaan."

•••

Kapan terakhir kali Arven tampak kalah oleh emosinya?

Sepertinya saat detik-detik dia kehilangan kedua orang tua lalu adiknya. Itu sudah berlalu bertahun-tahun. Dan ... kini, Arven merasakannya lagi. Setiap hal yang berhubungan dengan Avisha, Arven merasa terpedaya oleh emosinya sendiri.

Detik-detik Dafa yang menempelkan pistol pada Avisha saja, Arven nyaris kehilangan napas. Lalu bagaimana dengan sekarang. Melihat Avisha cuma terbaring dengan alat menopang di tubuhnya, nyaris membuat Arven merasa mati.

Dia mengepalkan tangan. Tak berniat duduk dan cuma berdiri menunggu. Hal bodoh yang seharusnya tak dia lakukan. Tapi, sekian persen dia berharap ada keajaiban yang datang dengan membuat mata bulat itu membuka.

Ini sudah tiga hari cewek itu memejamkan mata. Apa dia tak bosan dalam posisi itu setiap saat. Tapi, yang jadi pertanyaan. Arven sendiri pun tak bosan memandangnya berjam-jam lamanya.

Tangan itu terlalu ringkih saat Arven angkat. Bahkan tulang kurusnya terasa saat Arven menciumnya. "Nanti saat lo bangun," ucap Arven lalu mencium keningnya sebelum berbisik, "Tolong tetep di sisi gue. Jangan mundur, jangan mundur cuma karena kakak lo ... kakak lo pergi karena gue. Kakak lo pergi karena jatuh cinta sama gue."

Setelahnya, seperti memberikan jawaban. Arven tersentak bagaimana suara biip itu mendengung mengerikan di telinganya. Jantungnya seakan berhenti berdetak melihat monitor itu menunjukkan garis lurus. Dia refleks memencet tombol bantuan berkali-kali.

Kala tak mendapatkan jawaban, Arven berlari keluar melihat Devin yang langsung berdiri panik.

"Kenapa?! Kenapa Avisha?!"

Devin langsung berlari ke dalam. Dengan Arven yang berteriak-teriak memanggil bantuan.

Waktu seperti berjalan lama dengan menyesakkan. Semuanya seolah bersatu untuk menyakiti Arven sekaligus. Saat tak lama dokter datang dan menangani Avisha di dalam. Arven tak dapat merasakan denyut jantungnya sendiri selama menunggu gemeteran di kursi depan.

Bagaimana Devin yang berjalan mondar-mandir gelisah. Velin yang tak berhenti menangis di pelukan Darlan yang ikut menangis takut. Arven tak bisa memikirkan siapapun selain Avisha.

Bahkan saat dokter keluar dengan waktu yang menurutnya menguras jiwa. Arven belum bisa tenang, sampai akhirnya dokter menyampaikan berita yang cukup membuat semuanya menghela napas lega.

Arven yang paling terakhir mengecek keadaan perempuan itu. Menatap kondisi Avisha yang masih sama. Setidaknya, garis itu tidak lurus lagi. "Sebenci itu ya lo sama gue, Sha," gumamnya pelan. Hampa. "Lo sengaja main-main gitu supaya gue menjauh? Ya kan?"

Perempuan itu cuma diam dengan mata memejam. Begitu tenang dilelapnya.

"Oke, gak masalah lo benci gue," ucapnya dengan emosi yang tak terbentuk lagi. "Tapi gue mohon ... gue mohon, jangan tinggalin siapapun. Semua orang butuh lo."

•••

Mungkin cuma luarnya saja Arven terlihat tenang dan santai, tapi berkebalikan dari itu, jiwanya seperti tak lagi punya angan memikirkan masa depan. Setiap kali kakinya melangkah, kehampaan itu terasa makin menusuknya tajam. Bahkan saat dia cuma diam, itu lebih berkali-kali lipat rasanya.

Aura menyeramkan itu bahkan terlalu tercium bagi yang mengenalnya. Salah satu pelayan cuma mengantarkan makanan di meja. Lalu memilih langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Istana keluarga Gazkel terlalu kosong untuk disebut istana. Tapi, terlalu besar untuk disebut rumah. Apalagi sekarang semuanya tampak menyendiri dengan pikiran masing-masing. Raihan yang sejak kemarin, menghindar dari Arven. Tampaknya orang tua itu sangat menyesal atas semua kejadian yang menimpa Arven. Dan mungkin ... kakeknya juga merasa sangat tertipu oleh menantunya sendiri yang begitu dia percaya selama ini.

Sementara, Diana banyak menghabiskan waktu di kamar.

Arven ingat saat dia kembali ke rumah dua hari lalu. Dafa sudah ditangkap. Dan di rumah kakeknya, Arven disambut Diana yang langsung bersujud memohon ampun. Meminta maaf berkali-kali.

Selain diam, Arven tak bisa melakukan apapun. Karena untuk itu, semua fakta terlalu tiba-tiba untuk membuat hatinya baik-baik saja. Dafa sangat pintar mempermainkan itu semua. Bukan saja merusak nama keluarga, tapi juga merusak keutuhan rumah tangganya.

Arven berhenti memotong daging steak di piringnya kala merasakan sileut seseorang. Tanpa mendongak pun dia sudah menebak. Sosok itu tak dia temui sejak dua hari lalu dan kemunculannya Askar yang tiba-tiba di depannya sama sekali tak mengejutkan.

"Ada yang mau lo omongin?"

"Hari ini persidangan papa," ucapnya datar tapi jelas ada emosi yang tertahan di sana. "Mama gak pernah berhenti nangis dari dua hari lalu."

Arven mau tak mau mendongak kali ini.

"Kalo lo minta gue buat bebasin bokap lo ..."

"Gak," Askar menggeleng. "Dia pantes dapet itu. Dosa dia terlalu banyak sama lo. Bahkan kalo pun lo gak mau maafin itu hak lo, kalo gue ada di posisi lo gue bakal mampusin tuh orang. Tapi, lo masih baik hati dengan nyerahin semua sama polisi."

Kemudian, cowok itu berdiri, yang detik berikutnya, Arven tersentak dan sontak bangun dari kursi kala Askar bersimpuh di kakinya.

"Apaan sih lo!"

"Gue keliatan buruk banget sekarang," ucapnya tak menahan air mata lagi. "Lo bisa lampiasin semuanya. Lo bisa caci maki atau pun nonjok gue sampe mampus. Lo bisa lakuin sesuka lo. Mungkin itu emang percuma." Cowok itu mencengkeram celananya kuat-kuat. "Tapi, sebagai anak, gue mohon maaf ... gue minta maaf atas nama Papa. Dan maaf buat ... kesalah-salahan gue ke lo, gue minta maaf. Maaf buat semuanya. Maaf."

"Bangun lo!" Arven menarik Askar sedikit kasar untuk berdiri. "Gue lagi makan, dan lo tau gue gak suka diganggu. Lo mau duduk atau pergi?"

Arven kembali duduk, dan menaikkan alis saat dilihatnya Askar duduk di depannya.

"Sejak awal kita sama-sama tau bukan, segila apa Bokap gue sama harta," gumamnya pelan. "Dan harusnya kita semudah itu nemuin pelaku pembunuh orang tua lo."

Seharusnya memang Arven lebih baik tidak datang ke rumah ini. Di suasana hatinya yang buruk dia tak dapat menjamin kalau dia tak menonjok Askar untuk melampiaskan amarahnya.

"Tapi, bodohnya semua orang terlalu fokus ke lo yang dicap pembawa sial. Lo yang bawa keburukkan. Gak ada yang berusaha nyari tau penyebab kematian orang tua dan adek lo."

"Bukan," Arven menggeleng. Merasa kembali dihancurkan dengan fakta. "Kakak kandungnya Avisha."

"Gue gak tau lagi sebanyak apa dosa papa gue ..."

"Sekarang gue gak peduliin itu," Karena ada hal yang lebih penting Arven pikirkan. "Avisha ... cuma cewek itu yang gue pikirin sekarang."

"Agak aneh gue bilang ini," ucap Askar canggung. "Tapi, gue yakin dia bakal baik-baik aja. Lo gak bakal kehilangan dia kayak lo kehilangan Ashilla."

"Justru gue takut itu," Pada kemungkinan yang mungkin terjadi nanti, Arven sangat berharap jika penderitaannya tak berakhir seperti yang dipikirkan. "Gue takut bakal kehilangan Avisha karena Ashilla."

Tak ada sahutan. Askar sepenuhnya terdiam. Dan Arven pun tak membutuhkan respon apapun.

Tak lama dari itu, ponselnya berbunyi.

Darlan menelponnya.

Sejenak, ada perasaan tak karuan yang menyergapnya. Dia menggeleng, mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya.

"Avisha udah bangun."

Dan sepertinya penantian panjang Arven berakhir hari ini.

•••

Akhirnya ya kaaaaan wkwkwk. Tapi gak tau ya Avishanya mau Ama Arven atau udh gk mau :((

Ayo-ayo sampaikan isi hati masing2?🤸

Gak nyangka, cerita trilogi ini udh mau selesai🙃

Untuk cerita baru, kalian tetep bakal ketemu tokoh2 aku yg lama2 wkwk, krna jujur aja aku emng suka nyelipin mereka suka kangen gitu, walaupun critanya gk berhubungan ya :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro