Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A80-Harapan yang tertahan

Asiklaaah wkwk trmasuk up cepet ini

Vote dan komennya harus banyak tapi ya kalo mau up lebih cepet. Huhu tengkyu❣️

TALI yang mengikatnya tak lebih kuat dibanding tali kasat mata yang menahan Avisha beku di kursinya. Dalam kejapan mata, semua fakta itu menggulingkannya hingga terluka parah. Arven menangis memohon-mohon di depannya. Begitu memilukan dan menyakitkan. Avisha merasa ingin memeluknya.

Tapi, fakta itu menahannya.

Ashilla ... kakaknya.

Dan yang menyedihkan karena kakaknya pernah jatuh cinta dengan lelaki di depannya. Lelaki yang sama yang mengambil seluruh hatinya.

Kenapa takdir begitu kejam pada mereka?

Ditambah pistol di ujung pelipis, Avisha rasa nyawanya sudah tak ada lagi di raganya.

Lelaki tua ini akhirnya bisa menunjukkan Avisha bagaimana sosok Arven yang ditakuti menjadi lemah seperti sekarang.

Dan semua itu ... cuma karenanya.

Cuma karena Avisha yang tak bisa melakukan apapun selain menangis diam di kursi.

Dia refleks memejam mata kala merasakan ujung pistolnya makin menekan pelipis. Dia siap menunggu cahaya yang datang untuk mengantarkannya ke langit.

DORR!!

Tapi, Avisha justru menemukan cahayanya di dunia nyata.

Matanya sontak terbuka, yang kemudian melebar melihat polisi yang berseragam khusus menderobos masuk. Menyebar ke berbagai sisi. Mengepung gudang kosong ini hingga semua penjaga berbaju hitam kalang kabut, tak bisa melarikan diri karena langsung diringkus oleh polisi dengan sigap.

Avisha kehilangan seluruh kata, tapi masih belum tenang saat justru moncong di pelipisnya makin kuat menekan. "Kalian menjauh, atau saya tembak anak ini!"

"Jauhkan pistol kotormu dari anak saya!" Avisha begitu takjub melihat Devin lalu juga Regha Zion yang berjalan ke arah Arven. Melepaskan cowok itu dari tali yang mengikatnya. Tatapan Arven bertemu dengan Devin sejenak, sebelum dia melangkah lebih jauh mendekatinya. "Permainan kotormu sudah ketahuan, Daf!"

"Oh iya?"

"Iya!" Itu bukan papanya yang menjawab melainkan sosok lain yang datang dengan para bodyguard di sisinya. "Saya tidak menyangka jika kamu sekotor itu!"

"Kakek?" Arven begitu speechlees.

"Saya sudah tahu kamu yang menculik anak saya lalu membuangnya." Devin begitu tenang, tapi Avisha sangat tahu papanya tengah mengatur emosi. "Lepaskan putri saya, dan saya tidak akan membunuhmu!"

"Bagaimana kamu tau?!"

Lalu saat papanya sedikit minggir dan memberikan ruang, Avisha diberi kejutan bertubi-tubi. Melihat ada Ilona di sana.

"PENGKHIANAT!" Dafa berteriak tak terima. "Anak tak tahu diri! Saya yang membantumu selama ini!"

Avisha mengernyit tak mengerti. Apa yang paman ini maksud? Kenapa Ilona ikut ke sini?

"Maaf, Om. Saya gak bisa ngikut lebih jauh lagi," Bahkan Avisha tak percaya jika kedua tangan Ilona terbogrol. "Maaf, Sha. Gue jahat sama lo." Cuma sekadar itu, tapi Avisha tak mengerti saat akhirnya Ilona dibawa pergi oleh salah satu polisi.

"Kamu sudah merusak nama keluarga, Dafa!" Raihan mendesis marah. "Sungguh memalukan!"

"Bukankah Papa harusnya ada di sisi saya, bukan malah di sisi musuh Papa sendiri?"

"Bisnis saya memang hancur dulu, tapi itu semua tidak bisa diselesaikan dengan cara kotor!"

Ketiga orang tua itu berselisih, tanpa tahu bagaimana Avisha yang mengernyit melihat Arven meletakkan telunjuk di bibir seakan menyuruhnya diam. Lalu bergerak ke arah kanan. Ke arah polisi yang mengantisipasi Dafa berbuat sesuatu yang nekat padanya.

Yang terjadi selanjutnya tak Avisha perkirakan saat Arven menendang Dafa hingga orang tua itu terjatuh tengkurap selang sedetik para polisi langsung meringkusnya dan mengamankan pistolnya.

Avisha terlalu terkejut bahkan tak sadar jika talinya telah dilepaskan cowok itu. Kemudian berakhir di pelukan hangat yang menenangkannya begitu saja.

"Lo aman sekarang!" Mencium aroma ini, Avisha merasa ingin mengeratkan pelukan lebih kencang. Tanpa sadar membuat air matanya menetes perlahan membasahi jaket kotor Arven. Cowok itu mengurai sedikit pelukan dengan Avisha yang mendongak. Menemukan binar lega di mata biru kehijauan itu.

Tanpa tahu Avisha yang membelalak melihat Dafa yang mengamuk di tangan polisi. Benaknya langsung meledak oleh ketakutan saat lelaki paruh baya itu berhasil merebut pistol dan mengacungkannya ke arah Arven.

Kepanikkannya itu yang membuat Avisha mendorong Arven yang berakhir mereka terjatuh di lantai bersamaan dengan suara tembakkan yang memekakan. Dafa mengumpat dengan polisi yang langsung membawanya pergi.

Ruangan dipenuhi ribut. Avisha bisa mendengar suara berisik Regha dan Zion. Lalu samar suara Devin sekaligus Raihan. Kepala Avisha pening saat mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Arven yang menatapnya panik.

"Lo gak apa-apa kan?"

Avisha cuma tersenyum, tapi saat Arven menaikkan tangan dari pinggang ke bahu belakangnya. Perih itu terasa tak tertahankan. Arven terbelalak melihat darah yang mengotori penuh jemarinya.

"Sha, bahu lo! Bahu lo!" Arven berteriak histeris dengan membawanya duduk di atas pangkuan.

Sementara Avisha cuma mengusap wajah Arven sambil bergumam dengan senyum, "Akhirnya ..." Napasnya putus-putus. "Akhirnya ... Visha bisa lindungin kak Arven ..." Kemudian kepalanya terasa lunglai.

"SHA!" Teriakkan Arven terdengar sayup. Termasuk semua orang dalam ruangan.

Dan setelahnya, semua gelap.

•••

Apa Tuhan membencinya?

Sepertinya setiap hal yang Arven lakukan cuma berakhir kehilangan orang yang dia sayang.

Semuanya ... semua tindakannya seolah disalahkan hingga dia harus menerima hukuman.

Tapi haruskah? Haruskah dia merasa kehilangan lagi setelah semua sosok yang meninggalkannya selama ini?

Sepanjang kehidupannya yang penuh penderitaan, tak sekalipun dia meminta lebih pada Tuhan. Tak sedikit pun dia berharap jika dia memiliki orang-orang di sisinya. Sejak kecil dia menerima kedua orang tuanya yang meninggal, dia menerima cacian orang-orang, dia menerima dicap pembawa sial, dia menerima diasingkan keluarga sendiri.

Dia menerima semuanya.

Lalu kenapa? Kenapa dia harus dijatuhkan hukuman seperti ini lagi?

Dimana letak kebahagiannya? Apa seegois itu dia cuma menginginkan Avisha di sisinya? Apa dia jadi pelaku kriminal dengan harapan itu?

"Gue mohon bertahan demi gue!"

"Gue mohon, Sha, jangan tinggalin gue!"

Brangkar ranjang itu telah masuk ke dalam ruang operasi sejak sejam lalu. Tapi, bayangan Avisha yang memejam bersama darah yang mengucur deras di bahunya masih mengisi kepalanya dengan jelas.

Apalagi perkataan dokter yang menghancurkan pertahanan terakhirnya. Kondisi Avisha belum sepenuhnya pulih karena alergi kemarin, lalu tekanan darahnya yang rendah karena kurang makan, yang parahnya perempuan kecil itu juga banyak kehilangan darah sepanjang jalan menuju rumah sakit.

"Saya takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruknya, Pak," Perkataan dokter sungguh tak menyelamatkan apapun. Velin menangis di pelukan suaminya. Sementara dirinya cuma bisa menyandar tembok dan berharap tubuhnya tak rubuh saat itu juga. "Tapi, kita akan mengusahakan semaksimal mungkin."

"Ini fotonya lucu, ya kan?" Ingatan saat cewek itu menunjukkan fotonya di galeri ponsel Arven, kembali muncul dalam bayangan.

"Lo foto di hp gue? Balikkin sini!"

"Bentar deh," Avisha tampak mengotak-atik ponselnya. "Udah Visha jadiin wallpaper. Biar kak Arven selalu inget Visha."

"Gue gak bakal inget-inget lo!"

"Emang gak sekarang, tunggu aja."

Arven merebut paksa ponselnya.

"Jangan diapus! Awas aja!"

Pada wallpaper yang terpasang di ponselnya, Arven sangat ingin tersenyum. "Udah gue hapus."

Dan Arven berbohong untuk itu, karena sampai sekarang Avisha pun tahu, fotonya masih menjadi wallpaper yang menghias di layar ponselnya. Selalu. Tak pernah berubah.

Arven menangkup kepalanya yang berat. Tangisnya tentu sudah reda, tapi tidak batinnya yang terus menangis menyesal.

"Harusnya gue yang di sana," gumamnya sekali lagi menyalahkan. Memandang kosong pintu putih yang sialannya tak kunjung terbuka. Bahkan ini sudah mau dua jam lamanya.

"Dia kuat, Ven!" Regha menyentuh bahunya. Menyemangati. "Gue yakin Avisha bisa lewatin itu."

Arven menggeleng. Ada batu besar yang terasa mengganjal di dada. "Gue gak bakal bisa maafin diri gue kalo terjadi sesuatu sama Avisha. Gue gak bisa lindungin dia! Tolol! Gue tolol karena ngerusak janji gue sendiri!"

"Iya lo tolol, sadar juga lo akhirnya!" sahut Zion yang mengusap pipinya yang basah.

"Kenapa lo ikutan nangis?" Regha menaikkan alis heran.

Zion yang berdiri menyandar tembok cuma berdecih sambil mengelap kembali wajahnya. "Jarang-jarang gue ngeliat es batu nangis, jadi ngerasa takjub gue!" ucapnya membuang muka gengsi.

"Yon," Arven mendongak dengan matanya yang sembab dan kosong. "Lo hebat, lo bisa lindungin Linzy saat itu."

"Heh nying!" Zion mendekat setengah berjongkok hingga sejajar dengan Arven yang duduk menatapnya. "Kenapa lo lemah banget dah? Tonjok apapun! Apapun yang bikin lo bisa bergairah lagi! Atau lo mau nonjok gue?" tawar Zion menunjuk pipinya. "Nih, tonjok gue sampe mampus!"

"Noh lo dikasih izin, jarang-jarang kan?" Regha ikutan. "Seenggaknya kekesalan lo selama ini sama dia bakal berkurang!"

"Lo jangan kompor, Gha!"

"Lah!" Regha mengernyit. "Lo kan yang nawarin tadi, bego!"

"Yaiya, tapi jangan jadi beneran kampret!" Zion menegakkan tubuh lalu bergerak duduk di samping Regha. Seakan menghindar. "Lo tau, Arven lebih serem kalo diem gitu. Tiba-tiba gue dimampusin beneran gimana?"

"Gak masalah, gue tontonin sambil makan popcorn."

"Sialan lo, Gha!"

Arven tiba-tiba berdiri, yang sontak keduanya menoleh kaget. "Lo berdua di sini aja, kalo ada apa-apa sama Avisha kabarin gue." Tanpa ingin menungu jawaban, Arven melangkah diam di lorong menuju tempat yang dapat menjernihkan pikiran.

Ya, setidaknya udara segar taman belakang rumah sakit dapat memberikan itu.

Di kursi panjang itu, Arven duduk termenung. Membiarkan semilir angin mengibas rambut, kalau pun bisa dia sangat berharap angin juga bisa memusnahkan pikiran-pikiran buruk di kepalanya.

"Arven orang hebat, Arven selalu kuat, aku bangga punya, Arven."

Suara Ashilla menggema di telinga, terasa jelas tapi hampa. Tak pernah ada bayangan sedikit pun kalau perempuan kecil yang sangat disayanginya itu sebagai adik bukanlah adik kandungnya. Bahkan parahnya Avisha, perempuan menyebalkan yang sekarang—menjadi alasan ketakutannya yang lebih besar karena kehilangan—ternyata punya hubungan keluarga dengan Ashilla.

Jadi inikah alasannya dia bertemu Avisha di kantor polisi? Lalu kembali dipertemukan setelah sekian lama terpisahkan?

Arven merasa ingin menertawakan hidupnya. Dia benci drama, tapi hidupnya justru terjebak dalam itu.

Kemudian dia terkejut, refleks mengambil kaleng yang dilemparkan ke arahnya. Saat mendongak, dia menemukan Devin yang juga memegang kaleng soda di tangan lalu duduk di sebelahnya.

"Sedang apa kamu di sini?"

"Dan Om sendiri?" Arven sengaja balik bertanya. Devin tertawa, meneguk kaleng sodanya sejenak.

"Saya sekarang mengerti kenapa kamu sangat bersifat dingin melebihi kakekmu. Hidup dalam sendirian memang tidak menyenangkan bukan?"

Arven tak ingin meladeni itu dan cuma membuka kaleng sodanya.

"Saya habis mengatasi Darlan yang mengamuk di rumah," Arven jadi terpaksa menoleh. "Sekarang dia sudah tau kalo dia punya saudara kembar. Padahal saya sangat berharap rahasia ini cuma akan tersimpan di masa lalu." Devin menghela napas. Walau rautnya memang dominan datar dan angkuh, bisa ditebak ada kelelahan di wajahnya yang tak lagi muda. "Bagaimana Ashilla? Namanya itu bukan?"

"Iya, Ashilla. Dia selalu baik, Om. Persis seperti Avisha yang selalu ketawa ceria."

Devin mengangguk. Tampak tegar. "Saya setidaknya harus bersyukur karena dia dibesarkan di keluarga kaya raya. Andai di masa lalu, saya dan kakekmu tidak berselisih soal bisnis, mungkin dulu saya bisa melihat Ashilla. Anak perempuan saya."

"Om, cukup liat Avisha. Wajahnya hampir mirip."

Ayah dari Avisha itu menoleh menatapnya. Ada senyum kecil di sana. "Avisha ... anak itu, seperti cahaya di kegelapan," Dia mendongak melihat langit. "Saat baru beberapa jam setelah Velin melahirkan anak kembar, saya mendapat kabar kalau anak perempuan saya hilang. Tentu, pamanmu sangat cerdik karena saya tidak mendapatkan bukti apapun saat melihat rekaman CCTV. Kondisi Velin menurun, berulang kali bolak-balik rumah sakit. Bahkan Darlan jadi terlantarkan."

Arven tak bisa mengatakan apapun selain mendengarkan.

"Kita berdua selalu bertengkar, masalah kecil aja diributkan. Saya muak di rumah, dan lebih banyak menghabiskan waktu di luar, sementara Velin dia sibuk mengurus Darlan. Sampai, Velin hamil lagi, dan membuat saya sadar kalau pelarian itu cuma buang waktu. Akhirnya, semuanya seperti pulih saat Avisha lahir. Anak itu, yang membuat suasana rumah yang suram berubah seperti dulu."

Devin menunduk. Jelas menahan emosinya agar tetap di tempat.

"Om, kalo mau marah ke saya ..."

"Tidak," Devin menggeleng. "Avisha selama ini terbiasa dimanja, dilindungi, tak sedikit pun saya biarkan dia melakukan apapun sendiri. Karena itu mungkin, Avisha jadi keras kepala, lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya." Devin kembali menatapnya. "Saya justru ingin berterima kasih, nak, Avisha mulai malas oleh semua yang lakukan untuk melindunginya. Dan, dia tentu sangat senang karena adanya kamu."

Arven cuma bisa diam menatap lelaki paruh baya ini yang menepuk pundaknya. "Terima kasih selalu ada di samping anak saya. Terima kasih karena kamu selalu melindunginya. Yang Avisha lakukan benar. Dia cuma ingin melindungimu seperti kamu melindunginya."

Mendengar itu, malah membuat rasa bersalah itu kembali menyerangnya. Arven menunduk, pada dadanya ada nyeri yang kembali berjalan tak mengenakan.

"Kamu gak salah, nak." Suara Devin terdengar sumbang. "Saya percaya anak saya, Avisha tentu cuma wujudnya saja yang kecil, tapi dia anak yang sangat kuat."

"Ya," Arven meremas tangannya. 'Kak Arven tenang aja Visha kan strong kayak wonder women' perkataan Avisha terngiang di kepala. "Avisha kuat." Dia mencoba meyakinkan itu pada dirinya.

"Soal Ilona," Arven jadi mendongak cepat. "Saya dan kakekmu sangat berterima kasih dengan anak itu. Kalau tidak karena dia, mungkin saya tidak akan pernah tau kebusukkan pamanmu, dan kakekmu juga akan selalu diperdaya oleh pamanmu. Ya, walaupun ..." Devin tampak menggeleng prihatin. "Dia yang meneror Avisha selama ini, dia yang juga menceritakan soal itu dan meminta maaf."

"Dia memang gak dibenarkan karena melakukan itu, saya memutuskan untuk membebaskannya setelah hukuman sebulannya. Apa itu gak menganggu, Om?"

"Saya tidak mau merusak masa depannya. Jadi, lebih baik kamu memang membebaskan anak itu. Lagipula, Ilona cuma terhasut pamanmu. Pasti Avisha juga akan memaafkannya, kalo dia tau kebenarannya nanti."

Arven mengangguk. "Besok saya akan menemuinya di kantor polisi."

•••

Jalanan siang ini cukup padat. Kemacetan tak dapat terhindarkan. Mobil dengan Regha yang menyetir terjebak di antaranya. Hening ini selalu menjadi hal yang Arven suka. Tapi, tidak buat sekarang.

Setelah mendapat kabar, Avisha yang berhasil menjalankan operasi dengan sukses kemarin, Arven begitu senang hingga rasanya dia ingin sujud syukur berterima kasih. Tapi, ternyata dibalik berita baik, ada juga berita buruknya.

Avisha sempat kritis kemarin. Yang beruntungnya bisa ditangani. Kondisinya menurun dratis dan terpaksa dibawa ke ruang ICU untuk dipasang banyak alat di tubuh.

Entah Arven ingin bersyukur atau justru menyalahkan takdir. Yang sangat kejam mempermainkan dirinya.

"Lo gak apa-apa?"

Senyum setengah hati itu terangkat di wajah Arven. Lucu rasanya mendengar itu, disaat dirinya memang tak baik-baik saja kalau mengingat Avisha. Seharian penuh yang Arven gunakan untuk menemaninya, tak kunjung membuat mata itu membuka.

Bahkan genggaman tangannya cuma membuat Arven merasa menderita.

Avisha sangat nyenyak dalam lelapnya. Padahal orang-orang yang menunggunya begitu takut untuk memejamkan mata. Takut-takut cewek kecil itu berpamitan untuk terakhir kali.

"Gue gak baik."

Arven bisa merasakkan sahabatnya itu yang meliriknya sejenak.

"Kita balik aja gimana?" tawar Regha menghentikan laju mobilnya sebab lampu merah. "Kita cari sesuatu yang bisa bikin lo seneng?"

"Yang buat gue seneng cuma putri tidur itu," Arven tertawa. Kosong. "Entah kapan bangunnya."

"Ven ..."

"Kita gak bisa balik, Gha. Gue harus ngurusin kasusnya Ilona."

"Gue aneh liat lo, Ven," gumam Regha kemudian setelah hening. "Biasanya yang gue liat lo selalu berani dan gak takut apapun. Tapi, sekarang lo keliatan lemah."

"Lo tau, Gha," Arven menoleh. Pada sorotnya cuma ada kehampaan yang teramat jelas terbaca. "Gue gak bisa bayangin hidup gue kalo harus kehilangan Avisha. Entah sekacau apa gue nanti, karena ngerasain kehilangan lagi dan lagi."

•••

Gimana gimana prasannya lega atau lebih parah (?) :((

Karena kemaren banyak banget yg komenin smngat suruh aku up cepet2, jadinya smngat bnget ini up-nya wkwk

Btw ya aku udh buat cerita baru tapi belom dipublish wkwk, ditunggu aja yaw. Stay tune🌹❤️

Gimana gak betah liat fotonya Avisha ya, Ven :((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro