Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A8-Pantang Menyerah

Kecepetan gak nih up-nya? Wkwk

❝Perlahan tapi pasti, tanda takdir akan berjalan tanpa bisa dimengerti.❞

•°•°•

BISA dibilang Avisha adalah orang yang pantang menyerah. Setelah mengucapkan kalimat yang sulit dimengerti, Arven berjalan pergi. Tentunya yang langsung Avisha susul tertatih-tatih. Bahkan dia harus merelakan mie gorengnya di meja, padahal perutnya minta diisi.

Langkah Arven itu serupa dua kali lipat dari langkah Avisha. Jadi bayangkan, bagaimana dia yang susah payah mensejajarkan langkah.

"Kak Arven ih, jangan ninggalin Visha sih. Tunggu!"

Avisha mengejar Arven keluar kantin, di lorong yang cukup ramai, Arven tiba-tiba berhenti, untungnya dia cepat mengerem langkah, kalau tidak mukanya sudah menabrak punggung cowok itu.

Manusia es itu berbalik, menjulang begitu tinggi di depan Avisha. "Kasih tau gue, apa niat lo?"

Yang cewek mengerjap mata kaget. Diam sejenak.

Tidak mungkin Avisha memberitahu rencananya kan? Memberitahu Arven kalau dia ingin dekat dengan Arven hanya untuk mencari tahu siapa cowok itu.

"Avisha cuma mau deket sama kak Arven. Emang salah?"

"Salah, karena gue gak suka!"

"Jadi biar boleh deketin kak Arven, Visha harus buat kak Arven suka sama Visha?"

Baru mau buka mulut, Avisha sudah mendahuluinya.

"Oke kalo gitu," dia senyum lebar. "Visha bakal buat kak Arven suka sama Visha!" Begitu percaya diri dan bersemangat, Arven berdecih melihatnya.

"Seyakin itu lo?" Arven melangkah maju, mendadak Avisha beku di pijakan, apalagi saat Arven menunduk, menunjukkan mata setajam elangnya yang membuat Avisha menahan napas. "Lo gak takut, bakal gue tolak?"

"Gak ..." Avisha sebenarnya tengah meyakinkan diri sendiri. "Visha gak takut."

"Oke," Arven mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Kita liat ... siapa yang bakal sakit nantinya."

Avisha baru hendak menahan Arven yang ingin pergi. Tapi ternyata, gerakannya kalah cepat oleh seorang perempuan tinggi yang kini sudah merangkul lengan Arven erat.

"Kamu kemana aja sih, Ven? Aku cariin juga." Cewek bule berambut brunette itu menyandarkan kepala di bahu Arven. Bulu matanya lentik. Yang menganggumkan adalah bentuk lekukan tubuhnya yang begitu kentara.

Avisha menatapnya tidak suka. Jangan berpikiran jauh, dia cuma kesal karena cewek itu menganggu waktunya untuk dekat dengan Arven. Cewek itu jelas hambatan bagi Avisha untuk melancarkan misi sesuai rencana.

Tapi Avisha sepertinya tidak perlu melelahkan mulutnya untuk mengusir kakak kelasnya itu. Arven yang justru terang-terangan menolak. Dia menepis kasar tangannya.

"Kamu kebiasaan deh, aku tuh kangen sama kamu," kakak kelasnya tak terpengaruh oleh tatapan tajam Arven. "Kita jalan-jalan yuk. Kebetulan aku punya dua tiket nonton hari ini. Mau ya?"

"Gue masih bersikap baik ya Jess!" Peringatan Arven jelas penuh ancaman. "Jadi sebelum gue jahat sama lo, mending pergi!"

Cewek bernama Jess itu cemberut. "Cuma sekarang aja. Ayo dong temenin aku jalan-jalan."

"Kakak ngeyel deh, udah ditolak juga masih aja maksa." Ya Tuhan Avisha jaga mulutnya tolong.

Kakak kelasnya tampak tak senang. Melangkah mendekatinya. "Lo emang siapa hah? Ngelarang-ngelarang gue?" sorotnya begitu angkuh. "Lo gak tau gue siapa?"

"Enggak," Avisha menggeleng polos. "Nah pas banget kan, saya gak tau kakak, terus kakak gak tau saya. Jadi kita kenalan aja." Dia mengulurkan tangan. "Kenalin, Avisha Pratista, anak baru di kelas sepuluh IPA tiga."

Dia justru menepis jauh uluran tangan Avisha. "Gue gak butuh tau nama dan kelas lo!" ucapnya tajam. "Inget satu hal aja, gue Jessy, apapun yang gue klaim jadi milik gue, selamanya jadi milik gue. Jadi lo gak usah nyari gara-gara!"

"Milik?" Avisha bingung.

"Jess ..." Arven menarik tangannya untuk menjauh, tapi bukan Jessy namanya yang akan menurut.

"Iya, Arven itu milik gue ..." ucapnya percaya diri. "Jadi lo gak usah deket-deket sama dia. Ngerti lo?!"

"Kak Arven itu bukan barang, kak Jessy jadi gak boleh asal ngomong gitu."

Seperti macan yang kelaparan, Jessy memelotot marah. "Kalo gitu, lo ngajak perang!"

"Visha gak ngajak perang, Visha malah tadi ngajak kenalan." Avisha malah tersenyum. Tidak takut sama sekali. "Kata Mama, kenal itu tanda sayang."

Amarah Jessy meluap, dia menodongkan telunjuknya murka. "LO!" Cukup cepat Arven mendorong Jessy menjauh, kalau tidak cewek itu sudah akan membenturkan Avisha ke dinding.

"Kakak Jangan emosi gitu, entar muncul keriput lho." Avisha lagi-lagi senyum.

Arven menghela napas, kemudian menarik tangan Jessy sebagai salah satu pilihan. Menjauhkannya dari Avisha agar cewek itu tidak melakukan hal di luar kendali dan membuat drama di jam istirahat.

Avisha yang ditinggalkan, memelotot. "Kak Arven! Kok Visha ditinggalin?!"

•••

"Yaelah tuh muka, kalah kanebo kering!"

Avisha memelotot pada Yania. Bisa-bisanya dia menyamakan wajah cemberut Avisha dengan kanebo kering. Wajar saja sebenarnya, sudah sejak jam istirahat pertama Avisha menekuk bibirnya sebal dan bel pulang sudah berkumandang begitu terasa membahagiakan.

Jadi bayangkan sudah berapa lama Avisha bertahan dengan wajah kusutnya itu.

"Udah sih, Sha cemberut-nya. Dibanding Kak Jessy, emang lo kalah jauuuuh!" Yania jahat sekali dengan sahabatnya sendiri. "Lo liat dari muka, ya lo menang sih kalo soal imut, tapi kan cowok pasti suka cewek tampang-tampang liar-nakal gitu. Apalagi soal badan," Dengan kurang ajarnya, Yania memandang Avisha naik-turun. "Yah ... Sha lo udah kalah sebelum berperang."

Avisha menghentakkan kaki kesal. Tak peduli oleh tatapan bingung orang-orang di lobi sekolah. Di jam pulang tentunya lobi selalu dipadati murid-murid yang berniat meminta jemputan. Seperti yang mereka lakukan sekarang.

"Apa hubungannya sama fisik, Visha tau kak Jessy emang cantik. Oke cantik banget. Tapi kan ... Visha bukan mau narik perhatiannya kak Arven, Visha cuma mau deketin kak Arven!"

Yania sebal pada Avisha, kenapa bodoh banget sih! "Tapi, Sha biar lo gampang deket sama kak Arven, salah satu caranya lo harus bisa ngambil perhatian kak Arven, lo harus buat dia suka sama lo. Kalo sekedar deketin sih, semua orang juga bisa. Deketin doang, ya paling ditolak ujungnya."

Cewek berponi itu akhirnya menghela napas. Ucapan Yania ada benarnya.

"Gini aja deh, Sha, lo bayangin," Tangan Yania terangkat, memperagakan. "Kak Jessy yang cantiknya minta ampun aja, selalu ditolak sama kak Arven, nah gimana lo! Lo banyakan kekurangan dibanding kelebihannya, jadi udah ya dibanding patah hati, mending berhenti aja."

"Maksud Yaya Visha harus nyerah gitu?"Avisha memelotot marah. "Nggak," dia menggeleng. "Visha gak bakal nyerah segampang itu, Visha harus tau siapa itu kak Arven. Visha gak mau mati penasaran."

"Ya terserah," Yania mengedikkan bahu. "Minimal lo seenggaknya harus cantik kayak Ilona." Avisha mengikuti arah pandang Yania, melihat sahabat tingginya itu tengah berjalan ke arah mereka dengan senyum.

"Ngomongin apa lo berdua?" Ilona berhenti di depan mereka. "Ngomongin gue ya?" Tanpa sadar, Avisha memandang Ilona naik turun, membuat yang ditatap mengernyit bingung. "Lo kenapa, Sha?"

"Lona," Avisha memandangnya serius. "Kenapa Lona bisa tinggi?"

Jika Ilona kaget luar biasa oleh pertanyaan tak terduga Avisha, justru Yania cuma bisa menepuk dahi.

"Lona minum susu ya?" Avisha tampak diam berpikir. "Tapi Visha juga minum susu setiap pagi sama malem. Terus kenapa Visha gak tinggi kayak Lona."

Ilona jelas heran, Avisha biasanya masa bodoh dengan tubuh kecilnya. "Tinggi bukan pengaruh dari susu aja, Sha. Kadang dari keturunan."

"Tapi bang Darlan tinggi."

"Itu karena genetiknya bang Darlan ngikutin Papa Devin, kalo lo kan ngambil genetiknya dari mama Velin," Ilona menjelaskan, lalu merangkul Avisha. "Emang lo kenapa tiba-tiba nanya itu? Lo mau tinggi? Biarin aja sih lo pendek, gue malah lebih suka, kalo tinggi entar gak ada sahabat kayak lo yang enak dipeluk."

Avisha bisa tersenyum lebar kali ini. "Lona pinter deh gombalnya, diajarin siapa? Nata ya?"

"Stttt!" Ilona menyuruhnya diam sambil melirik ke Yania. "Nanti ada yang marah."

"EH ENAK AJA!" Yania memelotot marah. Sementara Ilona dan Avisha tertawa melihatnya.

"Ngomongin Nata, Visha jadi inget gak ngeliat Nata dari pagi. Dia kemana?"

"Bukannya hari ini dia ada pertemuan anggota baru ekskul futsal." Tanpa disangka, yang menjawab ini Yania.

"Kok lo tau, Ya?" Ilona tersenyum penuh arti. Lalu bersamaan dengan Avisha meledek temannya itu.

"CIEEEEE!"

"Dia sendiri yang ngomong kemaren, kan ada lo berdua juga!" Wajah Yania memerah, entah marah atau salah tingkah.

"Iya deh, iya," Ilona pura-pura percaya. "Oh ya, Sha lo mau ikut ekskul fotografi? Kebetulan hari ini ngumpulnya." Lalu dia beralih pada Yania. "Lo jadi kan, Ya?"

Yania mengangguk dan senyam-senyum sendiri. "Jadi dong kan mau ketemu kak Regha."

"Gak deh," Avisha menggeleng. "Hari ini Visha mau ke tempat les."

"Gitu ya?" Ilona mengangguk mengerti. "Lo latihan doang, kapan lombanya? Ayo dong gue kan juga pengin liat lo main biola di panggung."

Sejenak wajah Avisha berubah. Yania yang peka, langsung mengalihkan pembicaraan. "Oh ... ya Na kapan kumpulnya? Mending sekarang aja ke ruangan ekskulnya!"

"Eh tapi Visha ..." Ilona menolak saat Yania menariknya. "Masa ditinggal sendirian."

"Udah gede dia," timpal Yania. "Dikit lagi juga bang Darlan jemput." Lalu memandang Avisha yang diam di tempatnya. "Sha, kita duluan ya."

Lomba?

Padahal pertanyaan itu sederhana, tapi tidak untuk Avisha yang merasakan imbas dari kata itu hingga menimbulkan trauma.

•••

Bayangan mengerikan. Kejadian tak terlupakan, memang tak mudah untuk dihilangkan. Tapi setidaknya, setiap orang punya pelarian masing-masing. Contohnya seperti yang Avisha selalu lakukan.

Memainkan biola, menciptakan nada, agar sejenak dia lupa pada ingatan yang mengganggunya.

Sejak usia empat tahun, biola menjadi teman bagi Avisha. Tanpa ada satu hari pun, dia pakai untuk tidak menghabiskan waktunya bermain alat musik gesek itu. Membawanya kemana-mana. Seolah dengan begitu, Avisha merasa tidak sendirian.

Saat orang tuanya tahu Avisha suka bermain biola, mereka memasukkannya ke les musik. Dibanding dulu kemampuannya memang masih dibawa rata-rata, seiring berjalannya waktu, bakat Avisha bisa dibilang luar biasa.

Dan ... biola adalah segala-segalanya bagi Avisha. Walau dia sempat terluka karenanya.

Seperti sore senin yang biasa, Avisha menghabiskan waktu di tempat les musiknya. Membiarkan tangannya bermain dengan busur, melambungkan melodi dari gesekkan yang dia cipta.

Merdu di telinga dan menentramkan hati saat didengar.

"Bakat biola kamu semakin baik setiap harinya, Avisha."

Mendengar pujian dari Bu Feni, guru musiknya, menghentikan Avisha menggesek biola di lehernya. Dia tersenyum senang. "Makasih, Bu."

Ruangan yang dibilang cukup luas dengan alat musik di setiap dinding dan bagian pojok itu sepi. Cuma sekitar lima orang yang kini tengah sibuk dengan alat musiknya masing-masing.

Murid yang bergabung di sini bisa dibilang banyak sebenarnya. Cuma jadwalnya dibagi-bagi untuk mudah diatur. Ada tujuh kelas berbeda dengan berisi maksimal enam orang. Setiap hari orang berganti, selalu tak sama dan diacak. Jadi wajar kalau Avisha tidak pernah kenal dengan teman lesnya.

Bu Feni melipat kedua tangannya di bawah perut. Memerhatikan Avisha. "Kamu masih gak mau ikut lomba?" tanyanya sedikit ragu. "Bakat kamu harus ditunjukkan pada dunia luar Avisha."

Avisha menurunkan biola dari sisi lehernya. Menundukkan kepala. "Visha main biola cuma buat seneng-seneng, hiburan Visha kalo lagi bosen. Kan Bu Feni tau itu."

"Avisha," Bu Feni sudah sangat tahu isi kepalanya. Setiap penolakan yang Avisha berikan saat ditawarkan perlombaan, beliau sudah bisa menebak alasannya itu karena apa. "Kejadian itu udah lama. Kamu masih takut?"

Sudah sepuluh tahun lebih Avisha mengikuti kelasnya Bu Feni, wanita yang umurnya lebih muda dari mamanya itu adalah orang yang membangkitkan semangatnya yang pernah rapuh. Mendorongnya untuk berdiri lagi dan membuatnya melupakan kejadian dulu.

Tapi kejadian itu menimbulkan trauma. Avisha tak akan semudahnya lupa.

"Tapi, Bu Feni tau ... Visha takut," gumamnya lirih. Nyatanya walau Avisha adalah cewek ceria di depan banyak orang, dia punya sisi kelam yang menyedihkan. "Visha gak bisa, Bu. Maaf."

Terdengar helaan napas panjang Bu Feni. "Coba dipikirin dulu sayang, Ibu tunggu jawaban kamu dua minggu lagi."

"Tapi, Bu ..." Avisha tak dapat menolak apapun saat Bu Feni menggeleng dan menangkup wajahnya.

"Bu Feni yakin, Avisha bisa ikut lomba seperti sepuluh tahun lalu."

Avisha tak bisa berjanji, karena dia sadar diri ada halangan yang membuatnya sulit menjalankan permintaan Bu Feni. Permintaan yang sederhana, tapi tentunya tidak bagi Avisha.

Tiba jarum jam menunjuk angka lima, Avisha keluar kelas musiknya. Berjalan di lorong yang sudah dia hafal betul jalannya.

Dia mengembuskan napas kesal, membenarkan tali tas biolanya dan memilih melupakan saja ucapan Bu Feni. Saat dua minggu lagi, Avisha akan memberikan jawaban yang sama. Menolak untuk ikut lomba.

Seharusnya Avisha berhenti di area parkir, menunggu Darlan atau sopirnya menjemput. Bukan malah berhenti tiba-tiba begini. Sepertinya ucapan Bu Feni, berdampak besar hingga dia jadi berhalusinasi. 

•••

Kebiasaan ah gantung-gantung hoho

Harusnya sih ketebak ya yang Avisha liat tuh siapa hmm😌

Kayaknya enak ya lanjut update malem minggu :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro