Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A79-Kesalahan Besar

Woilah baru bisa up wkwkwk, gapapalah ya terbayarkan karena part ini panjaaaang bnget

Jangan lupa ramein sama vote dan komen ya, seperti biasa harus rame seramenya😋❤️

BEBERAPA peserta tampak sibuk dengan diri masing-masing. Termasuk Avisha yang sejak tadi berusaha menenangkan diri. Tak ada hentinya memainkan kuku dan menggigiti cuma untuk meredakan rasa takut sekaligus gugupnya. Apalagi Bu Feni terpaksa meninggalkan untuk menemui kedua orang tuanya yang sudah duduk di deretan kursi.

Pada tirai belakang panggung yang sedikit terbuka, Avisha bisa mengintip ke arah luar. Melihat banyak kursi yang sudah sangat penuh. Di antara itu, matanya bergerak mencari. Menelusuri satu persatu wajah orang-orang yang asing di matanya.

Dari banyaknya orang, Avisha bisa menemukan Yania dan Nata. Kedua orang tua dan kakaknya. Beberapa teman kelasnya. Bahkan Regha, Zion, Retta, dan Linzy. Mereka semua ada.

Kecuali ...

Avisha melepaskan napas lelahnya tanpa sadar. Melirik pada ponsel genggamannya yang tak berdering sejak tadi. Sepertinya Avisha terlalu mengharapkan kedatangan Arven. Seharusnya dia cukup tahu kalau cowok itu tidak akan datang—bagaimana pesannya yang dibaca dan tak mendapatkan balasan.

Dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya di meja rias.

Terdengar kata sambutan di depan panggung. Saat peserta ini turun, itu giliran Avisha yang maju. Dia sekali lagi menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Entah ini yang sudah berapa kali.

Kemudian, tiba-tiba Avisha merasa de javu saat lampu mendadak padam. Secara naluri, dia memegang kuat ujung meja rias. Apalagi saat mendengar kepanikkan para peserta dan langkah kaki yang terburu-buru. Telinganya seakan tuli. Keringat dingin mulai bermunculan di dahi.

Dan tentu memori mengerikan itu sudah otomatis tersetel di kepalanya.

Dengan sigap dia mengambil tas dan membongkar isinya untuk menemukan ponsel. Setidaknya, senter akan membantunya. Tapi, saking terburu-buru ponselnya terjatuh ke bawah meja.

Membungkuk, Avisha terlalu panik mencari ponselnya. Namun, detik berikutnya, tubuhnya membeku dan tangannya mendadak gemetaran.

Tidak!

Tidak!

Bagaimana sebuah tangan dengan kain itu membengkap mulut dan hidungnya, Avisha merasa otaknya mati total.

Dia memberontak walau sia-sia. Karena pada akhirnya kejadian ini terulang lagi.

"Papa." Itu gumaman terakhirnya sebelum kegelapan mengambil seluruh kesadaran.

•••

"Kamu memang tidak bisa hormat ke Om-mu sendiri ya Arven?"

Senyum itu tampak menjijikan di mata Arven. Dia berdecih muak melihatnya.

"Tante Diana pasti nyesel banget karena ketemu sama orang brengsek kayak lo!"

Injakkan di perutnya makin ditekan kuat.

"Hati-hati dengan mulutmu, nak!"

"Lo pasti tau Avisha dimana!" teriak Arven sekuat mungkin menahan ringisan yang hampir meluncur dari mulutnya. "Lo yang bawa dia kan? Lo dalangnya selama ini!"

"Anak perempuan kecil itu?" Dafa tertawa dengan kemudian merendahkan tubuh hampir berjongkok dan berbisik di telinganya. "Kebetulan dia sudah cukup aman di tangan saya!"

"BAJINGAN! Ternyata gue gak salah benci sama lo!" Arven mendesis. Berusaha menjauhkan kaki Dafa, yang dengan senang hati pria paruh baya itu mengangkat kakinya menjauh. Menyuruh para penjaga menariknya berdiri lalu menahan tangan dan tubuh Arven.

"Lepasin gue brengsek!" Arven meronta walau akhirnya mendapat tonjokkan di perut. "Seujung kuku pun lo nyentuh Avisha, gue pastiin lo bakal menderita seumur hidup!"

"Bodoh! Kamu masih muda Arven untuk membuang waktu seperti ini," Dafa menggelengkan kepala seakan mengasihaninya. "Ah! Jadi begini ya kalo Tuhan sudah mengikat takdir? Walau sudah berpisah lama, kalian akan bertemu lagi di penderitaan yang sama."

"Gue bodoh atau lo yang bodoh?" Arven tertawa walau kemudian tulang kaki belakangnya ditendang kencang hingga dia jadi bersimpuh dengan tangan yang mulai diikat tali. "Lo cuma pengecut yang butuh penjaga!"

"Bawa dia!" ucap Dafa menyuruh para penjaganya membuka mobil dan mendorong paksa Arven untuk masuk. Tanpa memedulikan segala umpatan yang keluar dari mulutnya. "Kamu pasti ingin bertemu Avisha bukan? Saya akan membawamu ke sana. Bertemu perempuanmu!"

Mobil itu perlahan melaju dan Arven merasa sangat bodoh karena terperdaya oleh kelemahannya sendiri.

Di bangku belakang dengan dua penjaga yang menahan tubuhnya walau sudah diikat, Arven menatap nanar Dafa yang sedikit menolehkan kepalanya merasa kasian. "Kenapa harus Avisha?!"

"Tentu saja karena dia anak Devin ..."

"Isi otak busuk lo udah kebaca!"

Dafa memegang dagunya. Dipegang sangat kuat hingga Arven bisa merasakan kuku menancap di sana. "Kamu lupa kalo Devin musuh kakekmu?"

"Justru lo musuh kakek gue!"

Ringisan itu cuma Arven telan. Merasakan kulit dagunya yang mungkin sudah berdarah sekarang.

"Kamu pasti sudah tahu bukan dari Kakek?" Arven mengernyit. "Kalo kemungkinan Avisha dan Ashilla bersaudara?" Tangannya lantas mengepal karena mendengar kalimat itu sekali lagi.

"Mereka gak bersaudara! Lo ngarang!"

Jalan raya semakin jauh dari pandangan Arven. Lebih banyak semak-semak dan pepohonan lebat yang menjulang tinggi mengapit jalan mereka.

"Saya akan menceritakan ceritanya versi saya."

Tak lama mobilnya berhenti, Arven dipaksa keluar—hampir seperti diseret memasuki sebuah rumah yang berdiri di antara pepohonan. Banyak tumbuhan merambat yang memenuhi dinding. Belum lagi, lantai kotor dengan jaring laba-laba yang menghiasi atap.

Rumah ini jelas tak terawat.

Dalam ruangan berdebu dan banyak alat tak terpakai itu, tubuh Arven dilempar. Kemudian kakinya sekaligus tubuhnya sengaja diikat pada pilar yang menopang bangunan.

"Sebenernya apa mau lo?!"

"Saya tidak akan senekat ini kalo saja kakekmu adil dengan pembagian itu!" Kemudian dia menghela napas dramatis. "Saya sangat menyesal membiarkanmu hidup! Harusnya saat kecelakaan itu kamu ikut mati di sana!"

Tentu saja bagaimana teka-teki yang mulai menyusun di kepalanya membuat otaknya mati. "Apa?"

"Benar Arven, otak pintarmu pasti sudah menyimpulkan," Dafa tersenyum. Senyum liciknya sungguh ingin Arven hancurkan dalam sekali tonjokkan. "Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuamu. Saya yang menjadi dalangnya. Saya yang sengaja membunuh mereka."

Tubuhnya seperti dijatuhkan dari bukit tertinggi.

"LO!" Dia kalap dalam tali yang mengelilitnya. Tak memedulikan lagi bagaimana sakitnya luka di bahunya yang tergesek tambang. Yang dipikirkannya cuma satu; membunuh orang itu. "PEMBUNUH! BRENGSEK! BAJINGAAAN!"

Setelahnya, Arven meringis tertahan saat tubuhnya ditendang berkali-kali oleh para penjaga.

"Lepasin gue! Dan gue bunuh lo sekarang juga!"

"Anak muda sepertimu ingin melawan saya?" Nada Dafa jelas merendahkan. "Justru saya kasihan padamu nanti karena tidak bisa bales dendam. Malah menyusul kedua orang tuamu dan adikmu!" Arven hanya bisa mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Tapi memang itu tujuan saya membawamu ke sini."

"Otak lo mati ya?" Arven menatapnya penuh kasihan. "Segila itu lo sama harta. Sampe cara penuh dosa pun lo lewatin. Asal lo tau sekarang! Lo keliatan menyedihkan!"

"Kamu terlalu muda untuk mengerti Arven." Dafa berjalan mendekat dan berjongkok di depannya yang jelas menahan diri untuk tidak menyerang orang itu. "Saat kamu dewasa nanti mungkin kamu akan tahu yang saya lakukan ini benar."

Ingin sekali dia meludahi wajah itu.

"Saya pikir setelah orang tuamu meninggal, semua kekuasaan ada di tangan saya. Tapi, lagi-lagi kamu menggagalkannya, nak." Dafa menyentuh rambutnya yang membuat Arven langsung menjauh. "Meski kelihatan Papa membencimu, jelas kamu tetap menjadi cucu kesayangannya."

Dafa berdiri dengan sepatu pantofelnya menendang kakinya kasar. "Kamu ingat kecelakaan Ashilla?" Arven menunggu dengan mata yang tak lepas memandang Dafa tajam. "Harusnya kamu yang mati, nak!"

Arven kehabisan kata untuk mendeskripsikan kebusukan pamannya sendiri. Semuanya terlihat begitu menjijikan, hingga bukan lagi rasa benci yang mendeskripsikan keadaannya sekarang. Anggapannya selama ini tidak salah bukan kalau mengatakan Dafa hanyalah 'musuh dalam selimut'.

"LO!"

"Tapi, naasnya truk suruhan saya justru menabrak Ashilla," Dafa menggelengkan kepala seakan prihatin. "Tidak ada untungnya bukan membunuh Ashilla, yang jelas-jelas bukan keturunan asli keluarga Gazkel."

Tangannya mungkin sudah terluka karena kuatnya dia mengepalkan tangan.

"Kakek bercanda! Gak mungkin! Avisha gak mungkin adik Arven."

"Memang bukan," Kakeknya menggeleng saat itu. "Ini yang mau kakek ceritakan. Ashilla bukan adik kandung kamu Arven. Orang tuamu mengadopsinya dari panti asuhan."

"Gak," Arven tak percaya itu. "Foto mama di villa yang lagi hamil Ashilla ..."

"Mama kamu keguguran, Arven, dan karena itu dia tidak bisa memiliki anak lagi." Arven merasa informasi dadakan ini tak masuk akal di kepalanya. "Wajah mereka mirip, Arven."

"Bawa perempuan kecil itu ke sini!"

Atas perintah itu Arven kembali ke dunia nyata. Menatap nyalang ke arah perempuan yang kini ditarik kasar dan didudukkan di atas kursi lalu diikat seluruh tubuhnya. Arven tak mampu berkata-kata, melihat bagaimana kaki dan tangan perempuan itu penuh lecet. Apalagi mulutnya yang tertutup kain.

Saat mata mereka bertemu, Arven cuma berpikir bagaimana caranya menarik cewek itu ke dalam pelukannya.

•••

Saat terbangun Avisha berharap kejadian itu adalah mimpi. Namun, ketika membuka mata dia menyadari jika mimpi buruknya telah menjadi kenyataan. Dia gemetaran di bawah lantai semen yang dingin.

Menoleh kanan-kiri dan merasa de javu untuk kesekian kali. Kaki dan tangannya diikat pada pilar. Mulutnya terbekap kain. Sementara di setiap sudut ada para pria berpakaian hitam yang berdiri siaga.

Yang berbeda tidak ada topeng di wajah mereka.

Avisha tak pernah berharap akan jatuh di memori ini lagi. Kenangan yang sudah sangat berdebu itu saja masih meninggalkan bekasnya secara menyakitkan.

Lalu pintu cokelatnya depan terbuka. Avisha membelalak dengan mata ketakutan luar biasa. Begitu wajah dan pakaian jasnya tampak jelas mendekat ke arahnya. Avisha gemeteran dengan mata yang mulai memanas mengeluarkan cairan.

Pria itu berjongkok di depannya dengan senyum yang tak pernah Avisha lupakan.

"Hai, nak kita bertemu lagi."

Avisha memberontak. Kalau tidak kain yang menutup mulut, dia ingin berteriak apa yang diinginkan pria ini. Haruskah dia mengulang kejadian ini padanya.

"Maaf, karena harus membawamu lagi," sepertinya pria itu bisa membaca pikirannya. "Saya hanya ingin memancing seseorang." Avisha tak mengerti maksudnya. "Arvendino ..." cuma itu dan mata Avisha terbuka lebar karenanya. "Kebetulan dia keponakan saya."

Jantungnya seperti ditarik paksa. Avisha tak mampu menjelaskan lagi rasa terkejutnya.

"Kalo tau kamu ada di tangan saya, dia pasti akan ke sini bukan?" Senyum mengerikan itu lalu tampak lagi di sana. "Setidaknya ... kamu akan lihat, nak, bagaimana seorang Arven kalah dan menyerah."

Avisha bergerak berusaha melepaskan diri bersama cairan panas yang mulai berjatuhan di pipi. Perkataan lelaki itu jelas memancing ketakutan besar pada dirinya. Pada kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepala, Avisha tak mau itu menjadi kenyataan!

Pria itu berdiri dan tanpa peduli bagaimana Avisha yang bergerak ingin dilepaskan lalu berusaha keras berteriak meski sia-sia. Sosok itu pergi ke arah pintu dan hilang di baliknya.

Tubuh Avisha melemas dan cuma bisa berharap pada Tuhan jika tidak akan terjadi apa-apa pada Arven.

Iya ... cuma pada Tuhan Avisha bisa berharap.

Sepertinya sudah sangat lama Avisha terikat seperti ini saat dua orang penjaga melepaskan tali yang menyelubungi tubuhnya. Karena sudah lemas, kehilangan tenaga, Avisha tak mampu untuk melawan. Membiarkan dua penjaga menarik—bukan lebih seperti menyeretnya kasar keluar pintu.

Avisha bahkan tak peduli bagaimana dirinya didudukan di kursi dengan tali tambang yang kembali diikatkan.

Tapi, ketika mendongak dan matanya jatuh pada mata biru kehijauan itu kekuatan Avisha seperti tersuntik kembali. Dia bergerak hingga kursinya cukup terguncang. Para penjaga langsung sigap menahannya.

"Jauhin tangan kotor lo dari dia!" Teriakan dingin Arven membuat gerakan Avisha berhenti. Termasuk dua penjaga yang jadi diam. Namun, pria yang mengaku sebagai paman Arven itu tersenyum padanya lalu bergantian menatap Arven.

Pria itu mendekat pada Avisha dan berdiri di samping kursi.

"Lepasin dia, Om! Dia gak punya urusan sama lo!"

Avisha ingin kembali menangis melihat bagaimana wajah Arven yang tergores. Pakaiannya yang kotor. Lalu pada pada jaketnya yang sobek dan menunjukkan bahunya yang terluka cukup parah.

"Tentu saja anak ini urusan saya. Saya yang menculik dia dulu," Arven tampak ingin membunuh orang itu dengan tatapan tajamnya. Sementara Avisha berusaha keras agar tak menangis. "Kamu pasti sudah menebaknya bukan?"

"Saya melakukan ini supaya keluarga Devin hancur," Dafa mengusap rambut Avisha yang memancing air mata itu jatuh perlahan. "Itu untuk memberikan keuntungan pada perusahaan Kakekmu. Dan tentu saja usaha itu akan kurang kalo kedua orang tuamu dan juga dirimu masih ada di dunia ini. Kakek tidak akan pernah menganggap perjuangan saya kalo mereka masih ada."

Avisha memang cukup bodoh untuk mengerti.

"Tapi, ternyata takdir berkehendak lain. Kamu masih hidup, juga anak ini!" Dan tentu pada kalimat itu, Avisha merasa takut dengan kesimpulannya sendiri. Dia menatap Arven dan menemukan emosi yang begitu melekat di mata biru kehijauannya.

Tidak mungkin kan! Kesimpulannya pasti salah. Tidak mungkin orang ini membunuh kedua orang tua Arven. Pamannya sendiri! Bayangan itu sungguh mengerikan buatnya hingga dia tak tahu lagi bagaimana hancurnya perasaan Arven.

Bagaimana bisa ada orang sejahat itu?!

"Takdir mempertemukan kalian di kantor polisi benar bukan?" Dafa menyentuh bahunya yang membuat Avisha bergerak menjauh. "Dan kalian dipertemukan lagi. Tapi, saya tidak pernah menebak jika kalian bertiga itu terikat sampai sekarang."

Bertiga?

Avisha ingin sekali memukul otaknya sendiri yang sulit mengerti. Sungguh perkataan orang ini tak mampu dicerna otaknya.

"Saya pikir cukup Ashilla dan Arven ... tapi ternyata kamu ikut di dalamnya, nak."

"Lo gak usah ngomong sesuatu yang gak masuk akal!" Arven mendesis. Menahan emosi.

Mendengar pun tidak, Dafa justru tersenyum pada Avisha. Tersenyum sangat manis. "Kamu pasti belom tau ya nak," Avisha mengernyit. "Kalo ... Darlan itu punya saudara kembar?"

Kejutan apa lagi itu!

Sepertinya sudah cukup! Otaknya sudah cukup penuh oleh banyak hal. Mulai dari dia tahu jika orang ini adalah paman Arven. Lalu dia yang menjadi otak kecelakaan orang tua Arven yang juga hampir merenggut nyawa cowok itu.

Lalu ... ini ...

Tidak!

"Papamu belom mengatakan apapun?"

Devin tak pernah mengatakan apapun! Orang ini pasti berbohong kan!

"Ngarang lo brengsek!" Arven berteriak dengan mata yang semakin menyorotnya tajam.

"Kamu diam, Arven." Pria itu memberikan senyum pada keponakannya sebelum kembali padanya. "Mungkin lebih baik saya saja yang mengatakannya. Kamu mau tau siapa kakak kandungmu?"

Avisha tidak mau mendengar apapun lagi!

"Ashilla ... dia kakakmu!"

•••

Avisha berharap telinganya salah. Dia berharap itu cuma kebohongan untuk menjatuhkannya sekali lagi. Tapi, ketika melihat senyum percaya diri itu, Avisha hampir tak mampu merasakan detak jantungnya sendiri. Semuanya terlalu tiba-tiba. Dan dia mulai takut pada kebenaran itu.

"Bohong!" gumam Avisha dengan pandangan kosong. Air matanya menetes tak terkendali. "Om bohong! Gak mungkin ... Papa gak mungkin bohong sama Visha! Papa gak mungkin bohong sama bang Darlan! PAPA GAK SEJAHAT ITU!"

"Sebanyak apa dosa yang lo lakuin hah?!" Arven bahkan tak mampu menyerap semuanya. "Segila itu lo ngehancurin orang!"

"Bisnis kakek dihancurkan ayah anak ini," Dafa berdiri di belakang Avisha dan memegang kedua bahunya yang jadi menegang. "Harusnya kamu membela om-mu sendiri kan Arven?"

"Lo tau semuanya, jangan bilang lo ...

"Ya tentu saja," Dafa bahkan sangat bangga mengakui itu. "Saya yang menculik Ashilla atau adik kembar Darlan itu lalu membuangnya ke panti asuhan." Arven benar-benar tak tahu lagi sebejat apa orang ini! "Tenang Arven, kakek tidak pernah tahu soal ini. Bahkan juga semua orang kecuali orang suruhan saya."

Kemudian dia tertawa tanpa peduli bagaimana kedua anak muda itu terpukul pada fakta menyakitkan.

"Tapi bodohnya, Mama-mu malah mengangkat dia dari panti asuhan. Sungguh takdir yang kejam bukan?"

Tak sedikit pun, Avisha ingin percaya. Tapi, bagaimana kalau kebeneran itu memang nyata. Wajah Ashilla begitu mirip dengannya. Cerminan dari sosok sang mama yang bertubuh mungil dan manis.

"Bahkan begitu indahnya hubungan kalian dengan memiliki kesukaan yang sama. Seperti kakakmu, kamu menyukai biola!" Avisha menatap semuanya hampa. Semua fakta itu terlalu menyakitkan untuk didengar lagi. "Dan yang menyedihkan ... kamu dan kakakmu jatuh cinta dengan orang yang sama."

Dafa berjalan ke arah Arven meremas kuat bahu cowok itu yang terluka. Bagaimana Arven yang meringis kesakitan, Avisha bahkan terlalu kosong untuk ikut merasakannya. "Jatuh cinta dengan keturunan Gazkel satu-satunya."

"LO!"

"Keturunan Gazkel cuma kamu, Arven. Maka karena itu saya ingin sekali melenyapkanmu."

Karena sakit luar biasa, air mata itu menetes mengalir di pipinya. Arven merasa sangat tolol karena kelemahannya ini.

"Tapi," Dafa melepaskannya lalu mendekat ke arah Avisha lagi. "Sepertinya sebelum saya melenyapkanmu, ada baiknya kita bermain-main dulu. Kebetulan ..." Dafa merangkulkan tangannya di bahu Avisha lalu mendesis, "Saya ingin melihatmu yang selalu berani pada apapun memohon-mohon ke saya."

"Gue bakal bunuh lo!"

Saat sebuah benda yang Dafa keluarkan dan menempelkannya di ujung pelipis Avisha. Arven tahu kalau pamannnya memang pintar membunuhnya dengan cara itu.

"Gak ..." Arven menggeleng frustasi. "Lo gak bisa lakuin itu!"

"Kenapa gak bisa Arven?" Dafa tampak senang dengan penderitaannya. "Saya tinggal menarik pelatuknya!"

"BAJINGAN! JAUHIN PISTOL LO!"

"Semakin kasar kamu, semakin saya tarik pelatuknya."

"Jauhin!" teriak Arven yang merasa ingin membakar tali yang mengikatnya. "Lepasin Avisha! Urusan lo sama gue!" Bahkan dia tak lebih frustasi karena melihat air mata Avisha yang tak kunjung berhenti.

"Lepasin brengsek! Jauhin pistol lo!"

Dari senyumnya yang puas, Arven tahu Dafa menantangnya untuk bersikap lemah dan santun.

"Lepasin Avisha!" Untuk kali ini, Arven benar-benar mengaku kalah. "Lepasin, Om ... tolong, Arven mohon!" Dan tentu saja Dafa sangat senang saat melihat Arven yang menangis di sana. "Cukup Mama! Cukup Papa! Cukup Ashilla! Jangan ambil orang yang Arven sayang lagi, Om. Jangan Avisha. Arven mohon!"

"Kak Arven ..." batin Avisha menangis perih.

"Cukup buat semuanya," Tangisan cowok itu jelas menyayat Avisha begitu sadis. "Arven udah hancur selama ini, Om. Udah hancur! Jangan hancurin lagi!"

Dafa berdecak penuh kasihan. "Kamu tampak menyedihkan, Arven!"

"Arven gak punya siapa-siapa! Arven gak punya apa-apa selama ini!" teriak cowok itu begitu frustasi. "Om mau Arven mati kan? Silahkan, Om, Lakuin aja! Tapi, jangan Avisha yang bayar semuanya!"

Avisha tak kuat lagi melihat tangisan menyakitkan cowok itu.

"Arven, Arven kenapa kamu segininya, nak?" Arven tidak peduli lagi pada Dafa yang kasihan padanya. "Tapi ... sayangnya permohonan kamu gak cukup." Pamannya itu tersenyum manis sebelum tampak menggerakan pelatuknya.

DORR!!

Suara itu lebih cukup untuk mengambil seluruh nyawa Arven.

•••

Aciaaaaa kebongkar sudah, Avisha-ashilla saudara. Arven itu gk punya adik sbenernya wkwkw

Gimana nih perasannya wkwk, tolong deskripsiin di sini🙃

Okelah ya ... Maafkan kalo akhirnya nanti tak sesuai harapan. Aku hanya manusia biasa huhu ;(((

Entah kenapa aku lgi suka buat foto ala2 astetik gini wkwk msih jelek sih ya, tpi di sini ada yg suka gak?

Klo iya kasih tau aku dong biar aku upload di sini sekalian aku tag nama wpnya :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro