A;A75-Misi Berakhir
Harusnya kemarin, tapi seperti biasa aku lagi di jalan wkwwkwk, jadi up sekarang aja, selisih sehari ini
Ayo harus ramein kayak kmren ya kalo upnya mau cepet
•
INI hari pertama Avisha kembali ke sekolah setelah dua hari meliburkan diri. Alasan Avisha yang jatuh sakit—karena hujan-hujanan membuat pakaiannya basah—menguntungkan dia untuk menyusun kepingan hatinya yang remuk berserakan. Dua hari yang penuh dengan tangisan dan kesunyiaan. Kamarnya sangat cocok untuk itu.
Sepanjang itu juga, dia mengabaikan siapapun, yang tentu saja kecuali kedua sahabatnya, Yania dan Ilona. Dua cewek itu berhasil memaksa masuk ke dalam kamar kemarin, memakai ancaman akan menghancurkan pintunya. Mau tak mau, Avisha terpaksa membuka pintu kamarnya.
Dan langsung dibombardir pertanyaan oleh kedua orang itu.
Sayangnya, berusaha keras dengan cara apapun, Yania dan Ilona menyerah. Kedua orang itu tidak mendapatkan jawabannya. Mereka terpaksa pulang, yang sebelumnya Avisha harus mendengar rentetan panjang omelan Yania.
Ternyata kata menyerah tidak berlaku bagi Yania, dia datang lagi malamnya. Seorang diri. Tekanan hebat dan segala pancingan yang sengaja Yania lakukan, berhasil membuat Avisha terpaksa menceritakan. Itu juga cuma sekadar kalimat.
"Visha putus sama kak Arven."
Tampaknya cewek itu belum menyiapkan apapun untuk kejutan itu. Dia syok berat.
Avisha sangat tahu kalau Yania menyimpan banyak pertanyaan di kepalanya. Tapi, Avisha sangat beruntung karena Yania mengerti untuk tidak mengatakan apapun dan cuma memeluknya erat. Pelukan sahabat yang Avisha bisa menumpahkan air matanya di sana.
"Yaya janji ya, jangan kasih tau siapapun." Karena memang Avisha tidak ingin berita ini menyebar di sekolahnya. "Termasuk Lona."
Itu semalam dan kini waktu pelajaran Avisha habiskan dengan banyak melamun dibanding mendengarkan. Beberapa kali Avisha sampai ditegur guru dan menyuruhnya ke UKS saja kalau memang masih tidak enak badan.
Tapi, Avisha menolak dan cuma membaringkan kepala di meja sampai jam istirahat.
Sejak tadi, dia tidak tuli dan buta bagaimana seluruh temannya, terutama anak cowok yang menggodanya cuma agar dirinya tertawa dan bermain seperti dirinya yang biasa. Kekosongan hatinya bukan saja melemahkan jiwanya, tapi juga raganya yang jadi tak bersemangat untuk melakukan apapun.
"Sha, boneka mampang di tubuh lo udah gak ada ya?" Rafi masih bersikeras membuatnya tertawa. "Diem aja lo kayak tiang bendera."
"Kurang suntikkan vitamin dia, Fi," Ini Beni malah ikutan. "Entar deh ya, Sha, gue ambil obat hama kali aja lo sehat sentosa lagi."
"Sha, ganti rugi nih celana abu-abu gue kan robek ama lo." Aldo juga. "Kena omel emak gue! Kalo mulut doang sih gak pa-pa, ini ama sapu, Sha!"
Avisha berusaha tak peduli. Membenarkan posisi kepalanya menghadap tembok. Semua temannya jadi menyerah dan memilih keluar kelas menuju kantin. Yania yang masih bertahan di sebelahnya.
"Lo gak laper, Sha?"
Cewek itu menggeleng. "Yaya ke kantin aja, Visha mau di kelas."
Bisa didengar, Yania yang menarik napas panjang sebelum mengembuskannya. "Gimana mau sembuh lo kalo gini mulu."
"Gak kok," jawabnya dengan suara kecil.
Yania sejenak menatap kepala kecil Avisha yang bahkan tak ingin menatapnya. Cewek itu masih saja bersikap begini, dan Yania tidak suka akan hal itu. Persahabatan yang terlalu lama mereka rangkai, tentu membuatnya merasa ikut terjun dalam kesedihan Avisha.
"Sebenernya ..." Yania tidak mau menanyakan ini. Tapi, sikap Avisha memaksanya. "Kalian kenapa putus sih?"
Dan begitu saja, Avisha menegakkan tubuh dan menoleh. "Yang cukup Yaya tau, kalo Visha yang mutusin."
Yania jadi diam. Entah apa yang cewek itu pikirkan hingga akhirnya mengembuskan napasnya. "Ya udah, kalo emang lo gak mau ke kantin," Seperti itulah Yania yang tidak ingin memaksanya. "Lo gak mau nitip makanan?"
Avisha menggeleng. "Yaya sendiri?"
"Lona nyusul nanti," jawabnya sambil bangkit berdiri.
"Emang Lona kemana?"
"Biasa. Anak cheers disuruh kumpul."
Avisha ber-oh saja dengan Yania yang lalu meninggalkannya sendiri di kelas. Sejenak, dia menikmati kesunyian yang memeluknya erat-erat sekaligus pikirannya yang mulai ribut mengingat cowok yang tak ingin dia pikirkan sama sekali.
Dia menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan. Dia berdiri dari kursi, sepertinya dia butuh membasuh wajah, kali saja cara itu bisa membantunya menyingkirkan bayang-bayang dari Arven.
Keramaian lorong langsung menyambutnya. Tanpa sempat ingin disapa atau menyapa, Avisha menggerakkan kakinya cepat-cepat.
Bukan cuma ingin mencuci muka, Avisha sejak tadi sudah menahan buang air kecil. Saat merasa lega dan keluar bilik toilet, dia melangkah ke arah wastafel dan membasuh tangan. Lalu kala membasahi wajahnya, dia terkejut karena lampu yang tiba-tiba padam.
Dia gelagapan untuk sesaat, melangkah mundur dengan mentap kanan-kiri, bahkan ketika kakinya membentur sesuatu Avisha refleks menoleh waspada.
Tanpa ingin berlama-lama dan terjebak dengan pikirannya sendiri, Avisha sontak keluar toilet, dan karena kepanikkannya hingga dia menabrak dada seseorang.
"Eh, Sha," Avisha jadi menoleh karena sentuhan di bahunya. "Kenapa lo?"
Sejenak Avisha mencoba mengontrol dirinya dan kala dia merasa lebih tenang dia menyadari jika orang di depannya adalah Ilona, sahabatnya sendiri.
"Lo kenapa?"
"Gak," Avisha menoleh ke dalam toilet. "Lampunya mati tiba-tiba, makanya Visha langsung keluar takut."
"Kok bisa mati?" Dahi Ilona mengerut, melongok ke dalam.
"Gak tau," jawabnya sebelum bertanya, "Lona kenapa di sini?"
"Kebelet pipis," ucapnya menyengir.
"Kenapa jauh banget?" Avisha jadi mengerutkan dahi. "Kenapa gak toilet deket ruang ekskul?"
"Mati aernya," jawabnya kesal. "Dan ini," Dia mendengkus makin kesal. "Malah mati lampunya. Pada kenapa sih nih toilet."
"Gak tau, Visha juga bingung."
"Lo mau ke kantin?"
Avisha langsung menggeleng. "Gak, Visha gak laper mau ke kelas aja."
"Oh ya udah." Ilona tersenyum mengusap bahunya.
"Kalo gitu, Visha duluan ya Lona." Dia melambaikan tangan yang lalu pergi. Sejenak, dia menoleh ke belakang dan melihat Ilona yang sudah menghilang di balik pintu toilet, ada yang membuatnya bingung, tapi langsung dia gelengkan kepala tak mau memusingkan.
Sesampainya di kelas, Avisha dibuat mengernyitkan dahi kala menemukan kotak makan besar di mejanya. Dia menatap seisi kelasnya yang kosong tanpa ada seorang pun di sana.
Avisha duduk di kursi lalu menemukan kertas yang terselip di bawah kotak makannya.
Itu dimakan biar gak sakit
Cuma dari membaca tulisan saja, Avisha sudah bisa menebak siapa yang melakukan ini. Dua hari Avisha yang penuh kekosongan kemarin, dia cukup tahu jika Arven selalu datang ke rumahnya cuma untuk menanyakan kondisinya.
Awalnya tentu Avisha tidak tahu sampai dia penasaran dengan suara mobil dan melongok ke jendela. Ternyata itu Arven. Bahkan cowok itu juga melakukan hal yang sama kemarin, memesankan es krim kesukaannya.
Sayangnya, es krim yang biasanya menjadi makanan favorit dan selalu diinginkan. Kini terasa hambar cuma dari melihatnya saja.
Avisha membuka kotaknya dan isinya ternyata dorayaki. Dia tertawa dengan yang perlahan air matanya menetes tanpa alasan. Kenapa cowok itu harus melakukan ini disaat mereka tak lagi mempunyai hubungan apa-apa.
Dan kejadian itu tak terjadi sekali ...
Saat Avisha pergi bersama Ilona dan Yania ke gerai buku kecil di salah satu pasar untuk mencari bahan tugas dari gurunya. Hujan turun tiba-tiba dan sangat deras. Melihat jam di pergelangan tangannya, Avisha jadi menarik napas karena ini sudah terlalu sore dan orang tuanya bisa saja khawatir.
"Kita nerobos aja?" tanya Yania lelah juga berdiri. Mereka tengah berteduh di salah kedai buah dan atapnya tentu tidak cukup besar untuk menampung ketiganya.
"Emang taksi online-nya belom dapet?" Avisha bertanya, karena sepertinya jika mereka menerobos sekarang bukankah mereka akan basah kuyup dan bisa saja jadi sakit nanti.
"Gak dapet-dapet dari tadi," Ilona menghela napas. "Terpaksa kita ke pengkolan depan buat cari taksi."
Dan disaat kegelisahan dan kebingungan itu, ada seorang wanita tua dengan payung dan tas besar. Tampaknya dia penjual buah di sebelah gerai yang tempat mereka berteduh.
Yang tak disangka saat, wanita itu menyerahkan payung kepada ketiganya.
"Kalian bisa pakai ini." Bukan saja Yania dan Ilona yang bingung, Avisha lebih bingung dan terkejut.
"Emang gak apa-apa, Bu?" Ilona menanyakan isi kepala mereka yang merasa tak enak hati untuk memakainya.
"Gak apa-apa dipakai aja." Wanita itu menyorongkan tiga payung sekaligus kepada mereka.
"Makasih banyak ya, Bu." Ilona menunduk sangat berterima kasih yang diikuti Avisha dan Ilona.
"Gak perlu makasih, tadi ada anak muda ganteng yang ngasih ini ke saya."
Sekadar penjelasan itu, pikiran Avisha langsung melayang ke satu nama. Yania jadi menoleh padanya, cuma Ilona yang berbasa-basi bertanya pada wanita itu.
Walau mereka sudah memakai payung, tapi hujannya terlalu besar untuk dihalau, baju mereka basah setengahnya, terutama bagian kaki dan juga belakang. Dan karena itulah besoknya, Avisha jadi demam dan flu. Lagi.
Yania tak henti-hentinya meledek karena kelemahan dirinya yang tak berubah. Meski begitu, Avisha tetap memaksa bersekolah, yang sebenarnya sia-sia karena dia berakhir di UKS sampai waktu pulang sekolah.
Tanpa ingin merepotkan Yania, Avisha memutuskan untuk mengambil tasnya sendiri, karena jam istirahat saja Yania sudah bolak-balik mengantarkan makanan, yang padahal ujungnya cuma jadi hiasan di atas nakas.
Sampai di kelas, ada jaket abu-abu yang diletakkan di atas tasnya. Avisha mendengkus malas tak perlu lagi memikirkan siapa yang meletakkannya. Tanpa ingin membuang waktu, Avisha cuma mengambil tasnya dan membiarkan jaket itu teronggok jatuh di lantai.
•••
Di hari sabtu, sejujurnya Avisha tak mau datang karena sepertinya dia sudah cukup mengikuti kelompok musik itu. Apalagi mengingat jika Askar yang pernah mencatat namanya dan karena cowok itu juga semua yang terjadi antaranya dan Arven berakhir.
Tidak. Seharusnya Avisha tidak boleh menyalahkan Askar. Dia baik, karena sudah memberitahu rahasia Arven, kalau tidak karena Askar Avisha akan selalu dibodohi karena tidak tahu apa-apa.
Saat tiba di ruang musik, Avisha sama sekali tidak berharap jika dia akan menemukan Askar di sana. Bukankah seharusnya cowok itu tak lagi mengurusi kelompok musik mereka, mengingat jika dia sudah libur dan tinggal menunggu berkas kelulusan.
Avisha rasanya ingin putar badan dan pulang saja. Tapi, kalau benar dia melakukannya, jadi kelihatan bodoh dia di depan Askar. Avisha terpaksa duduk di salah satu kursi, sebelah salah satu temannya di kelompok itu.
Sepanjang latihan, Avisha berusaha keras menghindari Askar. Namun, Askar tak bodoh untuk tidak menyadarinya. Avisha tak punya lagi alasan untuk menghindar, kala Askar bertanya soal perlombaannya yang akan datang seminggu lagi.
"Lo udah nemuin Arven?" Dan tampaknya Askar bukan cuma ingin tahu soal perlombaannya, tapi juga ada hal lain.
"Kenapa emang?" Avisha mencoba biasa dengan memilih fokus dengan biolanya.
"Gue jarang liat lo sama Arven sekarang," lelaki itu lalu mengambil biola dari tangannya. "Kalian putus?"
Avisha jadi terpaksa berdiri dari posisi nyamannya. "Bukan urusan kak Askar."
"Gue udah tau, Sha," ucap cowok itu tertawa di wajahnya yang banyak lebam itu. "Lo gak liat muka gue, ini karena Arven."
"Kak Arven?"
Askar mengangguk. "Lo harusnya liat gimana banteng ngamuk lima hari lalu." Avisha kehilangan seluruh kata-katanya, cukup melihat bekas luka dan lebam di wajah Askar, dia bisa menebak seberapa murkanya Arven. "Gue seneng kalian putus karena itu mau gue. Tapi ya," Askar senyum. "Gue mau ngasih tau ..."
Avisha menggeleng. "Kalo ini soal kak Arven, Visha udah gak peduli." Bukan, dia masih peduli, cuma sekarang Avisha berusaha keras untuk tak memikirkan apapun tentang cowok itu dan ingin melupakan semuanya. "Kak Askar gak perlu ngurusin Visha sama kak Arven. Karena kita udah gak ada apa-apa."
Kemudian, dia pergi begitu saja. Meninggalkan Askar yang jadi terdiam di sana.
•••
Pulang sekolah hari ini, Avisha dijemput Darlan. Dan yang menyebalkannya adalah karena kakak lelakinya itu menyuruhnya menunggu di halte, karena alasan tak masuk akalnya itu.
Darlan bilang kalau menjemput Avisha di depan lobi, banyak teman Avisha yang mencuri-curi lihat ke arahnya. Lelaki itu jadi risih karena di antara tatapan itu jelas-jelas menatapnya terang-terangan.
"Gue gak mau fans gue makin banyak, Sha."
Nada percaya diri itu cuma Avisha hadiahi sumpalan roti ke mulut Darlan.
Lalu makin menyebalkan karena sudah setengah jam lewat, Avisha menunggu dan batang hidung tinggi milik kakaknya itu tak juga tampak. Avisha menarik napas panjang dan mengembuskannya. Mencoba sabar.
Ingatkan Avisha jika dia harus meletakkan cicak mati di ranjang Darlan nanti.
Avisha menyandar pada tiang besi di sebelah tempatnya duduk. Jelas sudah merasa jenuh.
Tak lama, ada dua sosok orang yang menghampirnya. Cuma dari penampilan dengan pakaian sobek, bertindik dan bertato, Avisha jadi teringat dengan preman yang mencegatnya waktu bersama Nata.
Apalagi saat salah satu preman mencekal lengannya, Avisha refleks berdiri dan menepis tangan itu kasar. Memegang tasnya begitu erat seolah itu nyawanya yang bisa kapan saja dirampas.
"Anak orang kaya lo ya." Jujur ya, mulut Avisha gatal untuk berkomentar, apalagi melihat salah satu preman yang bertindik itu menggerakan tindikan di lidahnya. Terlihat begitu menjijikan. Tapi, Avisha masih berpikir jernih untuk tidak mengancam nyawanya lebih jauh.
"Tas lo siniin!"
"Jangan dong! Di sini banyak buku Visha, tempat pensil, tempat makan ..."
"Bacot! Siniin!"
Avisha semakin erat memegang tasnya. Tanpa sadar jadi menggigit bibir bawahnya karena gelisah.
"LAMA LO!" Saat preman bertato itu mendekat, dan Avisha terjebak, tak bisa lari, bersamaan dengan itu sebuah mobil berhenti di depannya. Avisha hampir sujud syukur karena mengira itu Darlan, tapi melihat tendangan dari sosok yang keluar dari dalam mobil, mengenai kepala preman.
Avisha kehilangan seluruh kalimatnya.
Wajah lelaki itu jelas amat Avisha rindukan.
Perkelahian tak terhindarkan, Avisha refleks menjauh dengan tangan yang masih mendekap tas gemetaran. Dadanya mencelos dengan mata yang jadi memanas.
Tidak!
Avisha tidak mau menangis di sini!
Melihat Arven yang begitu tenang, tanpa ekspresi saat menonjok para preman itu, menjawab rasa penasaran Avisha bagaimana seorang Arvendino Gazkel menangani sesuatu dengan ketangkasan berkelahinya bukan kecerdikan otaknya.
Meski, Arven sendirian, kedua preman itu tampak kewalahan. Apalagi saat Arven berhasil menonjok hidung si preman bertato dan membuatnya berdarah, serta terjatuh. Yang temannya jadi ketakutan buat melawan karena mengingat wajahnya yang juga sudah babak belur.
Tanpa ingin buang waktu, Arven langsung menarik tangan Avisha masuk ke dalam mobil. Setelah cowok itu sudah duduk manis di belakang kemudi, mobil langsung meluncur meninggalkan tempat dan tak peduli bagaimana si preman bertindik memaki-maki mereka.
Dalam perjalanan, Avisha cuma memandang luar jendela dan tak sedikit pun tertarik buat menoleh pada cowok sebelahnya.
"Udah makan?"
Avisha tak menjawabnya.
"Kita perlu berhenti dulu?"
Tampaknya kebisuan Avisha tak cukup peka untuk Arven sadari atau memang cowok itu sengaja terus bertanya untuk memancingnya.
"Berhenti," ucap Avisha tiba-tiba. Dan, Arven cuma menoleh sejenak, tak mengacuhkan. "Turunin Visha di sini!" kemudian berteriak. "VISHA BILANG BERHENTI!"
Yang kali ini, mau tak mau Arven terpaksa menghentikan mobilnya di bahu jalan.
Tanpa berniat menoleh, Avisha langsung bergerak membuka mobilnya yang ternyata dikunci. "Buka pintunya!" Mata bulatnya menatap tajam Arven yang cuma diam memandangnya. "BUKA PINTUNYA!"
"Sha," Saat cowok itu hendak menjangkaunya, Avisha refleks menepisnya.
"Buat apa?" tanya Avisha yang sudah merasa dadanya dicabik dan sesak. "Buat apa kak Arven ngelakuin ini? Kita gak ada hubungan apa-apa lagi!"
"Kata siapa?"
"Hah?" Avisha bahkan tak bisa menahan muka bodohnya karena pertanyaan aneh itu.
"Putus itu, kalo udah disetujui dua belah pihak. Sedangkan gue gak iyain kemaren, Sha," jelas Arven, yang ingin sekali Avisha hadiahi dengan tawa kencang. Apa-apaan itu! "Lo bilang, itu jadi urusan gue kalo gue gak mau putus sama lo. Jadi biarin gue, biarin gue ngelindungin lo. Biarin gue sayang sama lo!"
"Visha gak butuh!" Oleh keadaan dan apapun yang cowok itu lakukan, Avisha merasa sangat muak. "Jadi tolong berhenti ngelakuin ini semua! Visha gak butuh kepedulian atau perhatian kak Arven!"
"Lo harus dengerin gue dulu!"
"Dengerin apa?" tanyanya balik dengan air mata yang perlahan runtuh juga. Bodoh! Nyatanya Avisha tak mampu menahannya lebih lama. "Dengerin kalo kak Arven bener pernah jatuh cinta sama adik kandung kak Arven sendiri! Dan karena wajah Visha mirip dia, kak Arven deketin Visha! Gitu kan?!"
Di depannya, wajah Arven terlalu jelas untuk dibaca. Tatapan bingung dan kosong itu menjelaskan Arven tak tahu lagi harus melakukan apa. "Harus dengan cara apa supaya lo ngerti, kalo gue beneran sayang sama lo?"
"Jauhin Visha."
Arven tak lebih terkejut mendengar itu.
"Jauhin Visha dan berhenti ngelakuin apapun buat Visha!"
"Gimana bisa lo nyuruh gue ngelakuin itu," suara Arven sarat putus asa. "Plis, Sha. Dengerin gue!"
"Visha mau kak Arven berhenti!" teriak Avisha kencang. "Berhenti peduli! Tolong! Kak Arven harus berhenti!" Tangisan hebat Avisha adalah sesuatu yang paling Arven benci. Apalagi kalau air mata itu dialah yang menjadi penyebabnya. "Tolong berhenti!"
Arven tak tahan untuk tidak mengepalkan tangannya mendengar tangis cewek itu yang menyayatnya pelan-pelan. Kepalan itu terlalu kencang dan tentu menjadi penyebab luka di tangannya kembali meneteskan darah.
Avisha melihatnya dan sekejap itu menghentikan tangisan. Walau itu cuma sedetik karena Arven langsung memeluknya. Tak sedikit pun memberikan Avisha kesempatan untuk melihatnya lebih jauh.
Cewek dalam pelukannya memberontak, minta dilepaskan. Walau sia-sia akhirnya karena kalah oleh kekuatan Arven yang besar.
"Bentar, aja kayak gini."
•••
Mereka ketemu, Arven masih peduli, tapi Visha udah gak mau, jadi gmana dooong :((((
Gapapa ya, Ven, disini nelangsa, Zion-Regha udh ngalamin kayak gini, jadi harus gantian huhu
Mau up kapan lagi nih (?) :))))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro