Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A74-Kehancuran tersisa

Siyaap kan buat part ini (?) :)))))

Komen kmren luar biasa bnget sih huhu, seneng bnget aku, bolehlah ya, part ini juga diramein😘

Hari Minggu up gak? Eh jangan deh🙈

KOMPETISI terakhir ini menjadi babak penentuan. Sekolahnya diwakilkan Arven yang justru tampak tenang di atas panggung. Menjawab setiap soal dengan wajah datar. Andien yang menonton ikut berdebar setiap detiknya.

Menunggu dan menunggu. Andien menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Yang menjadi perhatian penuh Ashilla yang duduk di sebelahnya.

Berusaha buat tak peduli bagaimana Andien yang begitu gelisah, Ashilla menatap pada skor Arven yang melampau sangat tinggi dibanding dua peserta lain. Lalu, saat alarm berbunyi tanda jika kompetisi selesai, seluruh tepuk tangan langsung terdengar di setiap penjuru gedung.

Ashilla bahkan terkejut saat Andien berdiri dan paling heboh di antara penonton lainnya.

Arven berhasil keluar sebagai juara kompetisi fisika nasional.

Andien dan Ashilla langsung menuju belakang panggung saat penutupan acara. Arven ada di sana dengan piala besar yang di pelukannya, tampak tengah berbincang dengan gurunya sejenak. Saat menyadari dua cewek di dekatnya, Arven menoleh dan langsung disambut pelukan erat Andien.

Arven maupun Ashilla terkejut karenanya.

"Makin ganteng aja sih lo di atas panggung," Andien tertawa menepuk-nepuk punggung Arven. Sebelum mengurai pelukan. "Congrats-ya," Dia menyodorkan paperbag di tangannya. "Gue udah nebak sih kalo lo bakal juara hari ini, jadi gue bawain ini sebagai hadiah. Stttss ..." Dia menempelkan telunjuk di bibir Arven. "Bukanya nanti aja oke."

Arven menerimanya. Bahkan tak susah-susah buat senyum. "Thanks, Din. Tapi harusnya lo gak perlu repot-repot."

"Gak pernah repot kok," Andien merangkulkan tangannya di lengan Arven. Tersenyum lebar. "Tapi, asalkan lo sadar diri aja ya buat traktir gue makan. Lo harusnya liat gimana seriusnya gue liatin lo tadi. Terus, karena lo juga gue jadi nolak tawaran model iklan."

Terdenger deheman kemudian. Yang membuat keduanya sadar jika mereka melupakan keberadaan Ashilla. "Arven selamat ya," Dia mengulurkan tangan, yang Arven sambut dengan alis terangkat. "Arven emang selalu hebat. Aku bangga."

Andien mengangguk. "Bener, gue juga bangga. Kalo gue punya kakak cowok kayak lo, wah kayaknya gue bakal pamer sana-sini." Dia kemudian tertawa, semakin mengeratkan rangkulannya. "Eh Tapi, ya gue gak bakal mau sih, kakak kayak lo. Ini jadi sia-sia banget. Gue cuma bisa anggep lo kakak dan gak boleh jatuh cinta sama lo. Itu lebih sakit dibanding apapun."

Jelas Andien tidak bermaksud apa-apa. Tapi, Ashilla dibuat membeku cuma karena kalimat candaan itu.

•••

Selama seminggu ini, Ashilla menghindari Arven. Dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Erga. Sebenarnya dia bingung dengan pola pikirnya sendiri, apa yang sebenarnya dia lakukan ini. Secara terang-terangan dia selalu menolak Arven yang ingin mengajaknya keluar atau menghabiskan waktu bersama.

Padahal selama kehidupan mereka, menghabiskan waktu bersama bukanlah sesuatu yang salah. Apalagi setiap ada hal yang menganggunya, Ashilla akan langsung bercerita dengan berbantal paha Arven.

Ini bahkan sudah hampir satu tahun berlalu, hari ulang tahunnya akan kembali datang dua bulan lagi. Dan tentu, makin ke sini, sesuatu yang mengganjal di dadanya makin terasa jelas. Termasuk apa arti di baliknya. Arti yang selalu Ashilla tepis jauh-jauh.

Apalagi melihat kedekatan Arven bersama Andien yang makin hari malah makin menimbulkan tatapan iri dari cewek-cewek yang mengaku fans Arven. Bahkan, sekarang Arven tak canggung-canggung menerima setiap hal yang Andien berikan. Contohnya kemarin; saat Arven diberi hadiah dan juga rangkulan Andien.

Arven sama sekali tidak menolaknya.

Kalimat yang sempat dikatakannya pada Andien saat itu untuk tidak boleh suka dengan cowok itu malah dianggap gurauan. Andien tertawa sambil mengusap kepalanya, mengatakan jika rasa sukanya sudah terlanjur tumbuh. Padahal Ashilla serius soal itu!

"Shill!" Ketukan pelan pada telapak tangannya, mengembalikan seluruh raganya. Ashilla mendongak, dengan Erga yang mengangkat alis tinggi. Heran. "Lo bengong mulu dari tadi. Kurang suka ya tempatnya?"

Ah! Bodoh!

Bagaimana bisa Ashilla malah melamun disaat bersama dengan Erga. Cowok itu tampak heran tapi tidak kaget seolah terbiasa dengannya yang seperti ini.

Hari ini Erga mengajaknya pergi ke restoran sederhana. Duduk lesehan dalam saung. Yang di tengah-tengah setiap saung ada danau cukup besar yang di dalamnya banyak ikan-ikan yang berenang atau pun berebutan makanan.

"Lo suka kan tempatnya?"

Ashilla tersenyum dan mengangguk.

"Seneng deh gue kalo gitu," Pesanan mereka datang di saat bersamaan, saat pelayan pergi Erga meneruskan kalimatnya. "Kita deket hampir setengah tahun, kayaknya ini waktu yang pas buat gue jujur sama lo."

Ashilla menyedot minumannya. "Jujur soal apa?"

Erga tampak bingung menjelaskan, duduknya bahkan terlihat tak nyaman. "Lo ... hm, lo gimana? Maksudnya ... selama ini lo ngerasa kita tuh gimana?"

Dahi Ashilla berkerut dalam. Tak mengerti. "Erga mau ngomong apa sih?"

Cowok itu menarik napas panjang dan mengembuskan napas perlahan. "Shill, lo pasti sadar kan kalo gue gak anggep lo sekadar temen?"

Cuma itu, dan perlahan otak Ashilla mulai mencerna maksudnya. Tubuhnya jadi menegang karena tak berharap jika hari ini akan terjadi. Dia cukup sadar jika Erga memiliki perasaan kepadanya. Tapi, permasalahan hati miliknya saja belum selesai, Ashilla belum siap mengurusi hati orang lain juga.

"Shill."

"Eh, iya."

"Mm ... lo mau kan, jadi ..."

"Erga," Ashilla memotong. "Jangan lama-lama di sini ya, nanti kakek marah-marah kalo aku kebanyakan main di luar. Erga pasti tau kan?"

Ashilla sangat menyesali perbuatannya ini. Bagaimana dia melihat wajah Erga yang mendadak jadi lesu dan cuma mengangguk, setengah hati tersenyum.

"Maaf, Erga."

Dia tak dapat menyuarakan kalimat itu. Cuma memendam dengan perasaan sedih yang teramat menyakitkan.

•••

Meski, Ashilla sudah menyakiti perasaan Erga. Tetapi, cowok itu tetap mengantarkannya pulang dengan selamat. Cowok itu bahkan tetap mengingatkannya untuk makan dan tidak tidur malam-malam. Perkataan yang selalu cowok itu katakan.

Saat masuk ke dalam rumah, Ashilla jadi terdiam. Itu berkat Andien dan Arven yang tengah bercanda dia ruang tamu. Bukan, lebih tepatnya Andien yang selalu menggoda Arven dan cowok itu selalu membalas tatapan tajam yang justru membuat Andien makin tertawa.

"Shill!"

Ashilla menahan napasnya tanpa sadar. Niatnya dia tidak ingin menyapa siapapun dan langsung pergi ke kamar. Dia terpaksa menoleh dan Andien yang menghampirinya senang.

"Lo habis kemana?"

"Pergi sama Erga." Saat mengatakan itu, Ashilla melirik Arven, berharap Arven sedikit peduli. Namun, tampaknya harapannya cuma khayalan, melihat bagaimana kakaknya cuma fokus pada lembaran kertas di tangannya.

"Oh, ciee makin deket aja, jadian ya?"

Dari sudut mata Ashilla, Arven kali ini mendongak, menatapnya. Ashilla cuma diam berbeda pada Andien yang tertawa dan menoleh pada Arven. "Nih, Ven, kalah lo sama adek lo, gue kan udah bilang kita jadian aja."

Perkataan Andien malah membuat tenggorokan Ashilla kering. Dia berdeham untuk menetralkannya. "Aku mau ke kamar ya."

"Lo gak mau gabung ama kita?"

Ashilla menggeleng. "Takut ganggu." Itu jelas menyindir, Andien terbungkam begitu saja, tak dapat menahan Ashilla yang langsung pergi meninggalkan ruang tamu.

Dan kamar bukan menjadi tempat pelariannya, Ashilla memilih taman belakang. Duduk di atas ayunan sambil merenung. Sepertinya tak lama, saat ayunan di sebelahnya juga diduduki. Mau tak mau, Ashilla menoleh dan menemukan Andien di sana.

"Lo marah ya sama gue?"

Ashilla tak menjawab dan kembali menatap lurus ke depan.

"Gue ngelakuin hal yang salah?"

"Andien ngapain sih, mending di sana aja sama Arven."

"Shill ..."

"Aku lagi mau sendiri dan gak mau diganggu."

Tangan Andien menyentuh pahanya. "Lo kenapa sih? Lo aneh tau gak sih akhir-akhir ini."

Ashilla tak butuh siapapun untuk mengerti dirinya. Dia menjauhkan tangan Andien. "Aku udah bilang aku mau sendiri."

"Ini karena ucapan lo?" Melihat ekspresi Ashilla, tentu Andien menebak tepat sasaran. "Serius karena itu, astaga Shill itu bahkan udah tiga bulan yang lalu. Dan lo masih mikirin itu?"

"Aku udah bilang ke Andien buat gak suka sama Arven." Ashilla berdiri. Dan wajah imut dengan pipi chubby berponi itu jadi tampak aneh di mata Andien. Ashilla termasuk orang yang paling sabar dan baik menurutnya.

Tentu melihat raut marah dan emosi di matanya, membuat Andien bertanya-tanya apa benar ini Ashilla, sahabatnya yang sudah dia kenal selama empat tahun terakhir?

"Kenapa gue gak boleh suka sama kakak lo?" tanya Andien ikut berdiri. "Gue butuh alasan kan?"

"Karena aku gak suka Andien deket-deket Arven," Cuma itu, dan tak ada yang lebih menyakiti Andien dibanding apapun. "Aku gak suka Andien ngambil semua perhatian Arven! Aku gak suka itu!" mata Ashilla makin digelapi amarah, Andien tidak percaya melihatnya. Sekaligus tak percaya jika perempuan kecil itu bisa mengatakan kalimat seperti itu.

"Aku mau Andien jauh-jauh dari Arven. Jauhin kakak aku!"

Setelahnya, Ashilla pergi begitu saja, tanpa peduli bagaimana terpukulnya Andien oleh semua perkataannya.

Arven ada di sana.

Mendengar semuanya.

Dia berharap jika saat ini pendengaran dan juga penglihatannya salah. Bagaimana bisa dia percaya melihat jelas emosinya cewek itu. Tanpa berpikir lagi, dia langsung bergegas menyusul Ashilla ke kamarnya. Pintunya dikunci. Arven mengetuknya tergesa.

"Shill, buka pintunya! Shill! Buka pintunya!" Arven sangat tahu jika perempuan kecil itu mendengar. "Shill! Gue tau lo denger! Buka pintunya!" Dia sangat siap mendobrak jika cewek itu tak juga membukanya. "Ashilla!"

Terdengar bunyi besi beradu. Tak lama pintunya sedikit terbuka, jika bukan karena Arven yang sengaja mendorongnya lebih lebar. Ashilla terkejut, apalagi saat Arven menutup pintunya begitu saja.

"Lo apa-apaan?!"

"Hah?" Dahi cewek itu mengerut. Yang padahal Arven sangat tahu jauh dalam otaknya dia sangat mengerti maksudnya.

"Gue denger yang lo omongin ke Andien," Dan wajah Ashilla sejenak terkejut sebelum mengatur wajahnya datar dan malas.

"Terus?" tanya cewek itu. "Arven ke sini buat apa? Belain Andien?"

"Shill ..."

"Aku capek, mau tidur."

Arven sontak menahan lengannya, saat dilihatnya Ashilla mau ke ranjang, membenamkan diri dalam selimut.

"Lo kenapa gini sih?" tanya Arven mulai kesal. "Gue gak ngerti lo, Shill. Makin hari, lo makin temperamental."

Pada telinganya, Ashilla berharap dia salah mendengar. "Arven ngatain aku gila?"

"Itu kenyataannya kan?" Ashilla justru tertawa pahit karenanya. "Ini karena Erga? Erga nyakitin lo?"

"Erga gak pernah nyakitin aku," ucap Ashilla yang lalu meninggikan suaranya. "Tapi, Arven, Arven yang nyakitin aku!"

Makin ke sini pembicaraan ini membuat Arven bingung. "Gue nyakitin lo?"

"Arven selalu larang aku deket Erga, dan aku gak salah dong kalo larang Andien deket Arven?"

Arven bahkan tak percaya jika Ashilla bisa berbicara seperti itu. "Gue ngelarang lo karena gue gak mau lo sakit hati atau apapun itu!"

"Oh iya?" Ekspresi Ashilla sekarang, tak dapat Arven mengerti. Dari mana cewek itu mempelajari ekspresi merendahkan begitu. "Bukan Arven yang nyakitin aku?"

"Shill ..."

"Arven suka kan sama aku?"

"GILA LO!" Arven tak bisa lagi menahan emosinya. Memegang bahu cewek itu erat. "Sadar Shill, gue gak mungkin suka sama adik gue sendiri!"

"Jadi cuma aku?" Cewek itu mendongak dengan mata yang mulai berair. Air matanya sudah bersiap untuk jatuh. "Cuma aku?"

"Lo ngomong apa sih?"

"JADI CUMA AKU YANG SUKA ARVEN HAH?!" Itu bagai berita kematian dia telinga Arven, dia kehilangan seluruh kalimatnya, otot seluruh tubuhnya melemas dan begitu saja melepaskan bahu cewek itu. "Aku suka Arven, dan aku benci fakta itu!"

•••

Untuk hari ini saja, Arven membiarkan dirinya kehilangan kendali. Seluruh amarah dia tumpahkan dengan menghancurkan segala barang di kamar kosong itu. Foto-foto Ashilla berserakan, termasuk bingkai-bingkai yang kacanya pecah berantakkan.

Arven berdiri dengan tangan berdarah, yang cairan merah itu menetes satu-satu ke lantai.

Dia tertawa pahit. Berpikir jika segala permasalahan hidupnya telah selesai setelah pergi dari rumah kakeknya. Memilih lari dan mengurusi dirinya sendiri. Tapi, kenyataannya Tuhan berkehendak lain. Dia membiarkan masa lalu mengiringinya setiap hari, setiap jam, setiap detik kehidupannya.

Tanpa ada jeda di sana.

Itu sungguh menyakitkan.

Disaat dia berharap hidupnya baik-baik saja bersama Avisha. Namun, selamanya tidak akan ada kata 'baik-baik saja' dalam kamus hidupnya.

Semuanya hancur cuma karena satu cerita, yang bahkan ingin Arven jelaskan. Avisha sudah lebih dulu menyimpulkan hal buruk tentangnya dan tentu cuma dari penjelasan itu tidak mungkin bisa memperbaiki kepercayaan cewek itu yang telah dirusak.

Dan mengingat siapa yang menghancurkan semuanya ini. Arven tak tahan untuk tidak menonjok tembok. Amarahnya sudah berada di batas akhir. Dadanya panas terbakar. Dan dia benci saat merasa tak punya kendali apapun dari tubuhnya sendiri.

Ada satu cara untuk membuang semua emosinya.

Setelah mengambil kunci mobil dan bergegas turun ke basement. Arven mengendarakan mobilnya keluar area gedung, mengegasnya di atas batas normal. Membiarkan suara klakson dan segala umpatan yang tertuju karena jelas dia mengendarainya secara ugal-ugalan.

Sampai di depan gerbang, dia menanjak melewatinya dan memarkirkan sembarangan. Tanpa menyapa penjaga yang berjaga di luar pintu, dia masuk ke dalam rumah.

Sepertinya Arven tak perlu susah-susah mencari. Saat melihat orang yang dicarinya ada di depan mata. Menatapnya dengan alis terangkat menyebalkan.

Tanpa ingin menyapa, Arven mendekat dengan melayangkan kaki. Menendang Askar tepat di dada. Karena tak ada persiapan, punggung Askar sontak menabrak ujung sofa. Meringis dan juga kaget.

"Apaan sih, bangsat!"

"Lo jelas tolol karena mancing kemarahan gue!" Lalu tanpa sempat Askar berdiri, Arven sudah lebih dulu melayangkan tonjokkan membabi buta. Tanpa jeda. Dan, mungkin tanpa sempat Askar bernapas.

Seharusnya siapapun ingat jika orang yang pendiam lebih mengerikan saat dia marah. Oh tentu, singa selalu menakutkan untuk dilawan.

Arven menarik kerah baju Askar, melemparkan cowok itu ke tengah ruangan. Dia terbatuk-batuk parah, dengan wajah yang tentu tak bisa dibilang baik-baik saja. Dan, Arven belum cukup melihatnya sampai wajah itu hancur.

"Ven ... bentar ..."

"Gue pernah bilang kan cuma orang emosian yang gak punya otak?" Arven terlalu kencang memegang kerah Askar, cowok itu sudah memucat kehabisan napas. "Kebetulan gue capek gunain otak, sekarang gue harus gunain tangan gue kan?" Askar kembali terbatuk-batuk. "Buat lo mati di sini!"

Setelahnya, Arven melempar Askar ke tembok. Menonjok cowok itu makin gila. Saat terdengar teriakan untuknya berhenti saja, Arven tak menghiraukan sedikit pun. Dia melampiasakan segala kemarahannya pada cowok itu.

Askar yang menjadi penyebabnya.

Lelaki itu yang menghancurkannya!

Sampai tubuhnya ditarik kuat untuk menjauh dari Askar yang bahkan kini tampak kesakitan luar biasa.

"Lepasin gue!" Dia berusaha melepaskan diri dari para penjaga kakeknya. Jika Diana langsung berlari pada anaknya dan juga Dafa. Sementara Raihan, berdiri di depannya dengan kemarahan yang jelas tampak di matanya.

"Apa-apaan kamu Arven?!" Meski, Raihan pintar menjaga emosinya. Lelaki tua itu kini tampak tak dapat menahan rasa kecewanya. "Kamu ..."

"Apa?" tanya Arven menantang. "Bajingan itu yang mulai duluan!"

"Anak kurang ajar, kamu memang gak punya adab!" Dafa bahkan tak perlu menurunkan nada jijiknya. "BAWA DIA KELUAR! Sangat menjijikan melihat dia di sini!"

Arven tertawa. Begitu pahit. "Keluar? Bukan harusnya lo yang keluar?"

"Arven!" Kakeknya memperingati yang Arven abaikan tentu saja.

"Lo siapa gue tanya? Lo bukan siapa-siapa!" Arven tampak lebih keras di sini. "Lo cuma orang asing yang berusaha ngambil semua harta keluarga gue!"

Tamparan itu langsung mendarat di pipinya, Arven terlalu terkejut sebelum menatap sang kakek dengan wajah datar. "Ada apa dengan kamu?!"

Arven mendengkus malas sambil bedecih. Tak menjawab dan mengalihkan pada Askar yang berada dalam pelukan Diana.

"Gue tanya sama lo, Kar, apa yang buat lo iri sama gue?" Walau tampak kesakitan, Askar berusaha menatapnya. "Lo iri karena gue gak punya orang tua? Lo iri gue yang dianggap pembawa sial? Lo iri gue yang diasingin dari keluarga?" Ada jeda di sana, Arven berusaha menahan emosi di dadanya. Emosi yang bisa saja meruntuhkan pertahanannya.

"Atau ... lo iri karena gue gak pernah bisa ngatur hidup gue mau kemana?!" Dikata terakhir, Arven berteriak keras kali ini. "Gue gak punya siapa-siapa, apa lo yang bikin lo iri?!" Cowok itu bahkan tak menahan air matanya lagi.

Mengejutkan siapapun di sana.

"Lo punya orang tua. Lo punya banyak temen di sekolah dari kecil sampai sekarang!" Lalu Arven menunjuk dirinya sendiri. "Sementara gue, gue ... selalu sendiri! Dan kenapa lo ... kenapa lo pengen banget ngehancurin hidup gue?!" Arven tertawa dengan air mata tolol yang tak kunjung berhenti. "Tanpa lo hancurin, hidup gue udah hancur selama ini!"

Jika diingat kapan terakhir kali Arven menangis menyesakan begitu? Sepertinya bisa dihitung, saat kedua orang tuanya meninggalkannya dan juga adiknya. Lewat mata, Raihan menyuruh penjaga melepaskan pegangannya.

"Arven sayang ... kenapa kamu?" Diana menangis di sana

"Gue cuma punya Avisha," ucap cowok itu yang tampak menyedihkan sekarang. "Gue cuma punya dia. Dan lo ngehancurin semuanya dengan kalimat tolol lo!"

Askar meringis. "Tapi itu kenyataan kan?"

"Lo pikir gue tolol banget?" tanya Arven balik. "Keluarga gue satu-satunya cuma Ashilla. Dulu, gue cuma punya dia. Iya, gue akuin awalnya gue pikir iya. Tapi, kenyataannya bukan, setelah gue liat Avisha." Arven menghapus air mata sialan yang tak berhenti di pipinya. "Lo masih beruntung hari ini!"

"Arven ..." Raihan menahan tangannya. Yang dia tepis langsung, sejenak dia menatap kakeknya sebelum menatap Dafa di sana, yang memandangnya penuh kebencian. "Dan buat Om Dafa, Om juga beruntung. Kalo bukan karena Arven yang masih punya rasa hormat, mungkin Om bakal berakhir sama kayak anak Om itu!"

Kemudian, tanpa peduli pada siapapun yang di sana dan juga suasana mengerikan yang dia ciptakan. Arven pergi bersama rasa sesak yang kini perlahan hilang dan tenang.

•••

Panjang banget part ini :((

Ditonjok dong Askarnya, gimana-gimana buat part ini?

Aku harap kalian gak pernah bosen, dan ditunggu sampe tamat.

Oh iya, bagi yg takut cerita ini gk bakal tamat wkwkwk, tenang aja, aku gak pernah gantungin anak orang :(( cerita2ku selalu aku selesaikan dengan baik, moga juga cerita ini dan cerita selanjutnya nanti :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro