Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A72-Penderitaan yang tak berakhir

Hayooo ngacung yg setia nungguin? 🙋

Sebelum dibaca tolong tinggalin vote ya, klo udh selesai ayo dikomen😘

Oh iya krna ini baru kelar diketik, bnyak typo, tolong kasih tau ya :))

SEJAK hari itu, perlahan-lahan persahabatan mereka mulai berubah. Semuanya tak lagi terasa sama. Walau begitu, masing-masing berperan dengan sangat pintar untuk menutupinya. Berakting seolah memang semuanya masih baik-baik saja.

Namun, haruskah memaksakan sesuatu yang sudah pecah? Apa akan tetap sama rasanya?

"Lo gak capek berantem ya?" Arven melemparkan kotak P3K pada Askar yang tampak babak belur karena berkelahi.

Cowok itu cuma tertawa, menangkapnya. Arven bergabung duduk di sofa. Menatapnya malas.

"Gue perlu manggil Ashilla?"

Askar menggeleng. Menerima saat Arven mendorong cermin kecil padanya.

"Andien mungkin?"

Mau tak mau, Askar menoleh kali ini. "Jangan deh, gue malah diomel-omelin nanti."

Arven menghela napas lelah, menyodorkan kapas yang telah dia beri alkohol, yang Askar terima lalu menatap cermin untuk membersihkan.

"Bokap lo kenapa lagi emang?"

"Banding-bandingin gue sama lo lagi. Nilai IPA gue jelek." Melihat Arven yang jadi diam, Askar mendorong bahunya. "Gak apa-apa elah, santai aja, asal lo gak rebut Andien dari gue aja, gue gak bakal benci ama lo."

"Gue gak suka sama Andien."

Menerima betadine yang Arven sodorkan, Askar mengangguk. "Tau gue. Tapi, Andien suka sama lo."

Arven mendengkus, tak memperdebatkan apapun lagi. Mengambil plester di dalam kotak. Askar jadi menyadari jari cowok itu yang tertutup plester.

"Sori," ucapannya membuat Arven berhenti mengganti plester di tangannya. Alis cowok itu terangkat bertanya. "Lo perlu nanggung kemarahan kakek karena lindungin gue kemaren. Berapa banyak buku yang harus lo catet sampe jari lo luka lagi?"

"Gue udah biasa kayak gini," balasnya tak mempermasalahkan.

"Gue kadang mikir deh, kapan ya kita bisa nikmatin waktu kita jadi anak remaja?" Askar tampak menerawang setelah menempelkan plester di hidungnya yang terluka. "Bener-bener anak remaja yang santai-santai, yang gak terlalu mikirin belajar ..."

"Bukannya lo udah nyantai-nyantai selama ini?" sindir Arven menunjuk lukanya lewat mata tajamnnya. Askar jadi tertawa.

"Oh iya, ya lo yang gak pernah nyantai ya, buku terus yang lo apelin," ledeknya yang Arven tak acuhkan sama sekali. "Tapi, ya gue denger-denger Ashilla lagi deket ama anak futsal."

Arven jadi mengurungkan niatnya untuk meletakkan kotak P3Knya di tempatnya semula. Dia menoleh pada Askar yang menyikapi santai. "Anak futsal?"

Anggukan Askar entah kenapa mengundang emosinya. "Namanya Erga kalo gak salah. Ya, biarin ajalah, adek lo yang beda setahun itu kan emang lagi gencar-gencarnya naksir cowok."

•••

"Gue denger Ashilla lagi deket ama anak futsal."

Perkataan Askar kembali terngiang. Padahal sudah seharian penuh Arven berusaha mencari cara agar melupakan. Salah satunya memojok di perpustakan sambil mendengar lagu instrumental dari ponselnya.

Lembaran buku yang entah ke berapa kalinya, dia balik, berusaha untuk fokus. Saat dia mulai tenggelam dalam bacaan dan pada buku catatannya, bukunya tahu-tahu ditarik.

Siapa yang berani menganggunya ...

Arven siap melemparkan segala kata-kata menyakitkan, jadi terurung saat mendongak. "Regha?"

Lelaki dengan rompi birunya yang diletakan di sikunya itu tersenyum. Melempar buku yang diambilnya. "Kapan lo senengnya, kalo buku terus yang jadi temen lo?"

"Lo tau gue di sini dari mana?"

Regha duduk di sebelahnya. "Nebak aja sih."

Arven diam tak mengatakan apapun lagi. Kembali fokus pada buku.

"Lo laper gak?"

"Gue udah makan roti tadi."

"Roti mana ngenyangin," Regha menyenggol bahunya becanda. Lalu berdiri. "Ayo, makan. Gue laper banget kebetulan." Arven jadi mendongak, tatapan tajamnya malah disambut senyum lelaki berlesung pipi itu. "Gue maksa."

Arven menarik napas dan mengembuskan kasar. Hal yang tentu tak Regha pedulikan, malah menarik lengannya buat berdiri dan keluar perpus.

Koridor sudah sangat ramai di istirahat pertama. Sebagian memenuhi kantin dan sebagian siswa lainnya bergerumul di luar kelas. Kebanyakan perempuan. Dan saat melihat kedua lelaki yang paling menjadi sorotan sekolah. Terutama kaum hawa.

Melewati lorong dengan langkah gagahnya, tidak satu detik pun, mereka tidak menatap keduanya.

"Lo udah biasa ya sekarang," ujar Regha pelan. "Karena keseringan bareng gue."

Membalas pun tidak, Arven cuma diam melangkah dengan tatapan lurus ke depan.

"Tapi ya, Ven pernah gak sih lo suka sama orang?"

Arven menoleh kali ini. "Dan lo sendiri? Lo paling populer, tapi kenapa gak pacarin salah satu fans lo? Clarissa mungkin?"

Regha ingin sekali tertawa mendengarnya. "Belum ada yang menarik perhatian gue."

"Sama," balas Arven seolah ingin percakapan ini dihentikan.

"Kata orang ya, lo bakal nemuin cinta pertama lo di masa sekolah. Entah pas SMP atau SMA."

"Tapi gimana kalo gak dua-duanya?"

Regha jadi menghentikan langkah. Agak kaget. "Jadi lo udah nemuin cinta pertama lo?"

Pembahasan ini entah kenapa semakin terasa aneh buatnya. "Gue gak pengen bahas hal yang gak penting."

"Kan sekali-kali gak apa-apa bahas giniaan." Bahu Regha terangkat tak acuh. Membenarkan rompi di sikunya.

"Dimana Davel?" Arven memilih ganti topik

"Udah di kantin duluan."

Saat berbelok menuju lapangan sekolah, yang membawanya menuju kantin, langkah Arven berhenti. Pun Regha yang jadi ikutan.

"Kenapa lo?"

Pertanyaan Regha tak dijawab. Arven malah fokus pada pemandangan yang ada di lapangan.

Di sana, ada Ashilla bersama seorang cowok. Tertawa begitu gembira saat bola yang ditendangnya tergelincir jauh dari gawang. Tampaknya cowok itu tengah mengajari Ashilla bermain bola.

"Lo suka main panas-panasan yang sekarang?"

Sindiran halus itu sontak saja mengubah suasananya. Termasuk tawa Ashilla yang jadi berhenti. Cewek itu menoleh terkejut melihat Arven. Sementara Regha menyusul di belakang.

"Arven, kok di sini?" Ashilla mendekat dengan senyum, sama sekali tak mencium aura Arven yang sedikit berbeda.

"Bukannya lo bilang lo ada ulangan susulan?"

"Arven jangan bahas gituan dulu," Ashilla menarik lelaki sebelahnya mendekat. "Ini namanya Erga. Temen aku."

"Namanya Erga kalo gak salah."

Decihan meluncur dari mulutnya begitu saja saat teringat perkataan Askar. Cowok bernama Erga dengan senyuman mengulurkan tangan. "Erga, kak."

"Sejak kapan lo tertarik sama bola?" Tangan itu diabaikan Arven begitu saja. Ashilla menatap tak enak Erga yang jadi menarik tangannya kembali. "Oh, atau sejak kapan lo tertarik sama cowok yang suka bola?"

Ashilla menatap tak suka Arven yang justru membalasnya lebih tajam. "Arven apa-apaan sih! Kenapa Arven kayak gini? Emang aku salah belajar main bola?"

"Gak salah," balas Arven menatap Ashilla lurus-lurus. Ada sesuatu yang terasa salah di sini. Dan sungguh, dia benci mengakuinya. "Kalo gitu lanjutin aja. Lanjutin apapun yang lo suka, Shill."

Setelahnya, Arven berbalik pergi. Memilih untuk tak peduli. Meninggalkan Ashilla bersama cowok itu.

•••

"Ke kantin, enggak, ke kantin, enggak," Ashilla menimang hal itu dari langkah kakinya menuju depan pintu kelas. Jika jawabannya tidak, dia akan duduk kembali di kursi. Tapi, kalau jawabannya ke kantin, berarti dia memang harus menyusul Arven ke sana. Untuk makan bersama.

Dia sejenak berhenti depan meja guru. Berpikir untuk ke sekian kali. "Harus banget ya aku ke sana? Arven kan lagi marah, pasti kalo aku dateng, makin marah dia."

"Ngomong sendirian. Setres lo, Shill?"

Ashilla langsung mendelik pada salah satu temannya yang baru masuk kelas. Mendapat delikannya, lelaki itu langsung pergi ke kursinya. Ashilla menarik napas panjang, kembali menghitung langkahnya untuk mendapatkan keputusan.

"Ke kantin." Tepat di sebelah pintu, itu jawabannya. Ashilla menggembungkan pipi. Memang harusnya dia tak perlu melakukan ini. Kalau jawabannya adalah hal yang tak diharapkan.

"Ya udah deh, aku emang harus ke kantin. Lagian laper juga." Lalu dengan riang, dia melangkah dia koridor, beberapa kali menyapa teman-temannya yang lewat. Sampai, akhirnya dia tiba di pintu kantin, dan berhenti melangkah.

Kantin penuh. Ramai dan berdesakkan. Dan, bukan itu yang mempengaruhi dirinya untuk balik saja. Namun, meja pinggir kiri itu langsung mencuri perhatiannya.

Arven ada di sana.

Bersama Andien.

Arven tampak serius mengajari cewek itu. Sementara yang diajari, tampak tak serius sambil sengaja menjahili. Mendapat tatapan tajam, Andien cuma tersenyum mengelus pipi Arven. Layaknya dua sejoli yang tengah berpacaran, pemandangan itu tak luput mendapat perhatian siswa lain.

Ashilla memegang rok birunya kencang. Untuk beberapa alasan, dadanya terasa panas. Seperti ada yang tertusuk, tapi entah itu apa. Andien lagi-lagi tertawa di sana. Membaringkan kepala, menatap Arven yang serius menjelaskan.

Dari bibir Andien, dia bisa membaca. "Lo lebih ganteng kalo lagi serius gitu."

Sebagai respon, yang cowok cuma menggetok pelan kepala Andien dengan pulpen.

"Lo ngapan diri di sini?"

Luar biasa, Ashilla terkejut mendengarnya. Dia langsung menoleh dan menemukan Askar yang berdiri di belakangnya.

"Kenapa lo?" Alis tebal Askar terangkat. "Kaget banget kayak liat setan."

Untuk merangkai kata-kata, Ashilla tampak kebingungan. "Eugh—Enggak, kok."

"Ayo, masuk ke kantin." Saat lelaki itu menarik lengannya, Ashilla ingin menolak dengan segala cara. Tapi, diurungkan karena Askar yang mendadak terdiam. Mata lelaki itu, Ashilla tahu jatuh ke arah mana.

Ashilla jadi makin kebingungan di sini. Bingung dengan dirinya sendiri. Sekaligus Askar yang jadi mengepalkan tangan menahan emosi.

"Askar," panggilnya pelan. "Askar tau, kenapa mereka belajar bareng?"

"Nilai matematika Andien jelek terus, ya ama guru matematika Arven disuruh jadi tutor," jelas cowok itu sambil menarik napas panjang. Lalu mengembuskan begitu perlahan. "Gue udah tau padahal, kenapa gue masih aja cemburu?"

"Cemburu?" Askar menoleh kali ini, Ashilla membalas tatapannya dengan penuh pertanyaan di kepala.

"Sepupu gue polos banget sih," Askar menekan pipinya, yang membuat Ashilla memukul tangannya untuk melepaskan. "Lo dulu pas kecil marah kan, kalo mama gue, lebih perhatian ke gue. Sama aja kayak gitu."

Penjelasan itu bukannya membuatnya mengerti malah makin membuatnya bingung.

"Lo gak suka perhatian orang yang lo sayang itu dikasih ke orang lain," jelas Askar lebih rinci. "Bedanya, pas lo udah gede, rasa cemburu itu berarti lo suka sama orang itu."

Entah harus yang mana yang lebih dulu yang mengejutkan buatnya. Perkataan Askar itu mengartikan kalau Askar menyukai Andien. Dan buat dirinya ...

Ashilla menggeleng. Menolak segala kesimpulan yang menyerang. Sepertinya dia membutuhkan tempat untuk menjernihkan kepalanya agar tidak menyimpulkan hal yang tidak-tidak. Tanpa kata lagi, dia langsung meninggalkan Askar yang berteriak memanggil-manggil namanya.

Kejadian ini terulang tidak sekali-dua kali. Setiap waktu, setiap hari, setiap detik yang terlewat, semua peristiwa berjalan tidak sesuai harapan. Saat hati mulai ikut berperan, persahabatan itu berubah menjadi permainan yang tidak tertebak akhirnya.

Keempatnya masih berusaha bertahan di kerusakkan yang jelas-jelas bisa saja menghancurkan.

Arven dengan persoalan kakeknya dan ... Ashilla.

Andien yang masih berharap cintanya terbalaskan.

Ashilla yang bimbang untuk mengerti apa yang hatinya maksud.

Dan Askar, yang semakin hari dimakan kecemburuan melihat Arven yang mendapatkan segalanya, termasuk cinta Andien. Belum lagi, tekanan sang papa.

"Din!" Saat seorang cowok kelas sebelah tahu-tahu datang ke kelasnya, Andien jadi menghentikan obrolan soal fashion show yang akan diadakan tak lama lagi bersama teman ceweknya.

Andien mau tak mau menghampiri cowok itu yang tampak kelelahan berlari. "Kenapa?"

"Askar ..." Dia mengatur napasnya. "Askar berantem lagi."

"Lagi?"

Cowok itu langsung membawanya ke taman belakang. Andien tidak dapat menghalau keterkejutannya melihat cowok itu yang tampak ingin membunuh orang. Askar tak berhenti menonjok orang dicekalannya. Begitu membabi buta.

"Mana Valdi?" Bahkan tubuhnya jadi gemetaran. "Panggilin Valdi. Semua teman-temannya! Panggilin!"

Cowok yang membawanya tadi langsung pergi, mengikuti omongannya. Andien mendekat dengan langkah takut. "Kar," panggilnya. "Berhenti, Kar!"

Sedikit mendengar saja tidak, Askar makin gila memberi pukulan.

"Kar, berhenti," Andien menahan tangan cowok itu, yang langsung ditepisnya kasar. "Kar, gue mohon!" Lagi-lagi, sentuhan Andien ditepisnya. "Kar, lo apa-apaan sih! Berhenti!"

"Berhenti, brengsek!" Saat satu teriakkan dan tarikkannya, Askar berhasil melepaskan cowok di cekalannya. Lawannya terjatuh di tanah dan terbatuk-batuk.

"Gila lo ya? LO GILA!" Karena emosi yang berkecamuk di dada, mata Andien jadi mulai berkaca-kaca.

"Arven harus tau ini," ucapnya. Sebelum meninggalkan, Andien menyuruh lawan Askar lebih dulu pergi. Belum satu langkah, lengannya ditahan. Andien jadi menoleh kembali.

"Berhenti ngelibatin dia." Askar menarik Andien duduk di sebuah kursi.

"Kalo emang lo gak mau ada Arven, lo harus ke UKS sekarang." Saat menarik lengan cowok itu, Askar menahannya.

"Nanti."

"Kar ..."

"Gue kena marah bokap lagi. Dan lagi-lagi karena Arven." Askar memainkan kukunya di kedua tangan yang jelas sudah kotor oleh tanah. "Tolong, sekali aja, lo peduli sama gue."

"Gue selalu peduli sama lo." Askar selalu sibuk memikirkan mencari pelampiasan, sampai tidak menyadari yang Andien lakukan selama ini. "Gue selalu bilang ke lo, buat berhenti. Berhenti berantem. Berhenti nonjokkin orang. Mereka bukan pelampiasan, Kar!"

"Gue gak punya cara lain."

"Ada cara lain," Andien mengambil tangan Askar yang kotor, menaruh sapu tangannya di telapak cowok itu. "Lo bisa buktiin ke bokap lo, kalo lo bisa dibanggain."

Banyak emosi yang ditumpahkan di sini. Askar berusaha menahan sejak tadi. Tapi, genggaman Andien pada tangannya justru meluluhlantahkan pertahanannya. Air mata luruh begitu saja.

"Gue capek selalu dibanding-bandingin. Gue capek!"

Jelas bukan cuma Askar yang merasakan penderitaan. Ada juga orang lain yang menahan air mata dengan mencari pelarian.

Lima tetes. Enam tetes. Jari yang diberi plester itu sekali lagi menjatuhkan darah di buku.

Regha yang melihatnya jadi meremas roti di genggamannya. Untuk ketiga kalinya, dia melihat Arven yang seperti ini. Aura dingin cowok itu berkali-kali lipat terasa lebih menyeramkan.

"Lo ada masalah?" Regha bertanya pelan.

Arven menggeleng. Darah itu sekali menetes mengotori bukunya.

"Lo mau ngapain, Gha?"

"Ngajak lo makan."

"Gue belom laper."

"Tangan lo udah berdarah."

Di pojok perpus di tempat biasa, Regha menemukan Arven. Awalnya ingin mengajak ke kantin dan membicarakan soal basket. Tapi, melihat keadaan cowok itu bersama tumpukkan buku sekaligus buku catatannya. Regha terbungkam untuk beberapa detik.

"Gue udah biasa kayak gini." Arven membalas santai. Seolah hal seperti itu memang hal yang tak perlu dipedulikan. Tapi, bukankah ini sudah keterlaluan?

"Ven, tapi ..."

Saat melihat darah mengalir dari hidung Arven, jatuh mengenai buku bergabung bersama tetes darah lainnya. Regha kehilangan seluruh kosa katanya. "Hidung lo ..."

Buru-buru, Arven mengambil tisu di sebelahnya. Membersihkannya dengan tenang. "Lo makan bareng Davel aja, Gha." Dengan tisu yang disumpal di hidung, Arven berbicara lirih.

"Tolol!" Regha menarik bukunya kasar. "Mau sampe kapan lo buat diri lo menderita kayak gini?! Sampe lo mati?!"

"Buku gue." Arven mengulurkan tangan meminta, yang Regha tepis kasar.

"Lo punya otak kan, Ven?!" Regha menahan emosinya yang ingin meledak sejak tadi. "Tolong gunain yang bener!"

"Otak gue bukan punya gue, itu tergantung kakek gue. Tergantung kakek gue mau gunain gimana." Arven mengambil tisu di hidungnya, menggantinya dengan yang lain.

"Lo harus lawan, Ven. Lo gak bisa kayak gini terus!"

"Nilai gue kurang nol koma dua dari seratus, Gha," ucap Arven dengan tatapan menerawang. Kosong dan tak berarti. "Gue gak mau dikurung di gudang, gue harus minta remedial!"

"Itu nilai udah sempurna, Ven!" Regha memegang bahu cowok itu. Bermaksud menenangkan.

"Tapi, gak buat kakek gue," Arven menatapnya kali ini. Penderitaan sudah dialaminya sejak kecil. Bahkan sejak usianya tujuh tahun. Dia sudah kebal menerima segala tuntutan dan kemarahan. "Gue gak mau dikurung di gudang, gue gak mau dilarang ngeliat adek gue, gue gak mau, Gha!"

Arven pintar mengatur emosi. Pintar untuk mengatur segalanya. Tapi, dia tidak bisa mengatur takdirnya. Termasuk hidupnya yang berada di tangan kakeknya.

"Lo harus keluar dari rumah itu," Regha memegang bahunya makin kuat. "Gue bakal bantuin. Gue bakal bantuin lo lari dari kakek lo! Lo gak bisa menderita kayak gini!"

•••

"Kamu memang bodoh!"

Sepertinya ini sudah tamparan ketiga dengan kalimat menyakitkan itu.

Hidup Arven seperti tidak punya pilihan selain diam.

Dia menunduk, membiarkan kakeknya mengambil alih seluruh takdirnya.

Mati atau hidup.

"Kamu tau, kamu yang akan memimpin perusahaan nanti. Kenapa nilai yang kakek harapkan saja kamu tidak bisa!" Tamparan itu yang ke empat. "Bagaimana kakek bisa mengharapkan kamu menangani perusahaan!"

Di belakang punggung, Arven menekan keras kedua tangannya yang berpegangan. "Arven udah minta remedial, Kek. Dan ... Arven bakal perbaiki nilainya."

"Itu saja gak cukup!" Raihan menekan keras bahunya. "Cuma kamu yang kakek harapkan. Jadi tolong! Jangan kecewakan kakek terus-terusan!"

"Maaf, Kek. Arven minta maaf!" Ringisan itu Arven tahan saat kakeknya mendorong bahunya kasar.

"Kamu tidur di gudang malam ini!"

"Tapi, Kek, Arven ..."

"Kamu mau membantah?"

Arven kehilangan seluruh kata-katanya. Harusnya dia melawan seperti yang Regha katakan. Setidaknya, dia harus mendapatkan keadilan untuk hidupnya. Dia bukan binatang yang bisa diperlakukan semena-mena. Bahkan binatang masih disayangi keluarganya.

"Ada apa ini?"

Suara itu setidaknya menolong Arven. Kakeknya menoleh. Juga dirinya. Dan saat tahu itu Ashilla bersama seorang lelaki yang sangat dia ingat wajahnya. Entah sekarang dia harus berterima kasih atau menghujat habis-habisan.

Sesak di dadanya terasa berlipat ganda.

"Ashilla," Bahkan Arven ingin sekali berdecih melihat senyum di wajah kakeknya. Perubahan yang begitu tampak nyata dibanding sikapnya tadi. "Dia siapa, nak. Temen kamu?"

Ashilla tersenyum pada kakeknya walau matanya kembali menatap ke arah Arven.

"Arven kenapa?" Emosi yang mana dulu yang harus Arven tahan. Keduanya menyerangnya dengan cara menyakitkan. Apalagi saat lelaki bernama Erga itu menyalimi tangan kakeknya. "Pipi ... Arven? Biru?"

Begitu saja kakeknya jadi menoleh.

Tatapannya dan Raihan bertemu. Sebentar. Karena, Arven memilih langsung pergi ke kamarnya. Mengambil buku-bukunya untuk bermalam di gudang.

Saat di kamar dan mengambil bukunya di meja, ponselnya yang tergeletak di sana bergetar.

Terpampang di layar, Andien is calling.

Arven mengangkatnya.

"Ven, lo tau gak?" Andien sudah antusias duluan untuk sekadar menyapa.

"Gak tau," balasnya dingin. "Ngapain nelpon gue?"

"Ih galak banget sih," Terdengar tawa cewek itu. "Nilai matematika gue ada peningkatan. Ah! Gue seneng banget!"

"Bagus, gue matiin ya ..."

"Ih entar dulu! Bu Erna bilang lo masih harus jadi tutor gue!"

"Oke, terus apa lagi?"

Dari, suaranya Arven tahu Andien tersenyum di sana. "Besok kita jalan yuk habis pulang sekolah. Kita makan." Saat tahu, Arven akan memberi penolakan. Andien mengeluarkan jurusnya. "Gue traktir. Plis jangan ditolak!"

Arven menimang lama. "Din ..."

"Plis, jangan nolak! Kalo lo nolak sedih banget gue!" Arven masih diam, dan Andien sangat berusaha membujuknya. "Ya, ya, ya, ayolah, sekali-kali kita jalan bareng. Berdua."

Satu tarikan napas, Arven akhirnya mengiyakan. "Oke." Yang setelahnya, terdengar pekikkan senang Andien yang langsung membuatnya menjauhkan ponsel.

"Ih, pengen banget gue nyubit. Mikir gituan doang lama banget!" Andien tertawa senang. "Oke, thanks, Ven!"

Saat sambungan terputus, Arven cuma geleng-geleng kepala. Lalu saat keluar kamar membawa tumpukkan buku, Arven bahkan tak menyadarinya.

Ashilla ada di sana.

Sejak Arven ke kamarnya. Dia menyusul. Membawa mangkuk air hangat bersama handuknya. Niatnya ingin mengobati lebam di pipi cowok itu, tapi diurungkan. Sepertinya Arven sudah cukup gembira diajak Andien pergi.

Mereka akan pergi bersama besok.

Dan, Ashilla tidak suka pada fakta itu.

•••

Avisha belom nongol di sini :(((

Sampe sini percaya kalo Arven jatuh cinta ama adik kandungnya? Atau punya pendapat laen :)))

Oh iya buat extra chapter Regha-Retta, Zion-Linzy bakal diinfoin di ceritanya masing2 ya sayaaang, ditunggu aja:*



Nih yg kangen Visha, fotonya aja yg nongol :((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro