A;A71-Masalah dari sini
Sebelum baca part selanjutnya, aku mau nanya nih, menurut kalian, kalo cerita ini udah selesai mending buat cerita baru atau side story gitu? Nah klo side story kalian kepengen ceritanya siapa?
Dan ada yg baca falsity di sini? Yg nanyain buat part 2nya maaf banget ya, aku gk mau ganggu hubungan mereka huhu, jdi buat mengobati kangen aku udah buat ekstra chapter lgi :)))
Liat info di cerita falsitynya ya :)))
°
RUMAH mewah dengan ballroom berada di tengah sudah disulap menjadi pesta. Juntaian kain emas tampak menghias di langit-langit bersama lampu berbentuk kristal yang menjadi pusatnya. Dinding utama terpasang balon-balon bewarna gold and white. Dibentuk dan disusun menjadi satu nama.
Ashilla Gazkel.
Membaca nama di sana, lelaki dengan jas abu-abu yang berdiri di lantai dua itu tersenyum. Perayaan yang begitu mewah untuk adiknya perlu sangat dia syukuri. Setidaknya, adiknya selalu bisa merasakan kebahagian di tiap ulang tahunnya seperti ini.
Dirayakan. Menjadi pusat perhatian. Dibanggakan. Yang penting adiknya. Kalau pun, itu berarti Arven merasa sengsara sendirian, dengan dibenci, dijauhkan, diabaikan, itu tidak masalah. Selama itu bukan Ashilla.
Kapan terakhir kali, ulang tahun Arven dirayakan. Sepertinya sudah sangat lama. Sejak kedua orang tuanya meninggal, kakeknya cuma mengadakan makan malam untuk merayakan. Itu juga Arven tidak mau keluar kamar. Hingga akhirnya makanan itu basi dan dibuang.
"Tuan muda," Evan, sekretaris kakeknya, tahu-tahu menghampiri. "Nona Ashilla dipanggil turun oleh tuan."
Arven mengangguk. "Gue panggilin."
Evan sekedar mengangguk sambil sedikit membungkuk sebelum berjalan meninggalkannya. Arven berjalan ke arah lorong, dimana letak kamar adiknya berada. Pintu kamar putih dengan tulisan 'dilarang masuk, kucingnya galak' diketuk Arven pelan.
"Shill lo masih lama?"
"Arven masuk aja!" Terdengar sahutan dari dalam. Tak pikir lama, Arven membuka pintunya. Ashilla ada di sana berdiri di depan cermin. Tampak kesulitan memakai kalung di lehernya. "Arven bisa bantu aku gak?"
Arven mendekatinya. Berdiri di belakang. Mengambil alih kalung yang cewek itu susah kenakan. Sementara Ashilla cuma memandangnya lewat cermin, saat Arven memasangkannya begitu pelan.
Selesai. Arven ikut menatap Ashilla lewat cermin. Cewek itu tersenyum. "Kenapa ya, Arven bisa tinggi banget, sementara aku enggak."
"Selama ada gue, lo gak perlu jadi tinggi kan?"
Nada datar itu membuat senyumnya makin lebar.
"Aku adik yang paling beruntung punya kakak kayak Arven."
Lelaki itu cuma diam. Tak membalas apapun.
"Makasih ya buat dress-nya."
Arven menatap dress navy yang adiknya kenakan. Itu dia yang membelinya. Belum lagi, rambutnya yang dibuat ponytail dengan beberapa helai tersisa di dekat telinga. Arven merasa bangga melihat kecantikkan adiknya.
"Tapi ya, aku padahal pengen dress yang sedikit terbuka bahunya."
"Masuk angin entar!"
Mendengar itu, Ashilla jadi tertawa. "Oh iya, nanti Arven harus main piano, nyanyiin lagu buat aku."
Kali ini wajah Arven mengerut tidak suka. "Gue gak bisa main piano."
"Bohong," Ashilla membalikkan tubuhnya. "Aku tau banget, Arven bisa main itu, Arven yang ngajarin Askar main piano."
"Gue cuma mau liatin lo main biola nanti."
"Ayolah, Arven plis!" Dia mmenatapnya memohon, yang membuat Arven membuang muka malas.
"Udah ayo cepetan, lo disuruh turun!" Saat Arven melangkah hendak meninggalkan, tangannya tahu-tahu ditahan pelan. Lelaki itu menoleh dan menemukan Ashilla yang tersenyum begitu lebar.
"Aku sayang Arven," ucapnya sudah terlalu sering. Biasanya Arven langsung merespon dan bukan malah terdiam seperti sekarang.
"Gue juga," jawabnya, senyum kecil.
•••
Saat turun ke bawah, Ashilla langsung disambut ramai oleh teman-temannya. Termasuk juga rekan-rekan bisnis kakek dan pamannya. Dia menoleh ke belakang. Arven tidak mengikutinya. Dia menghela napas, lagi dan lagi lelaki itu menghindari hal-hal seperti ini.
"Happy birthday my bestie!" Andien berlari lalu memeluknya. "Makin gede deh ya, temen gue."
Ashilla tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Andien yang terlihat. Pelukan itu terurai dengan Andien yang menyerahkan kado di tangannya. "Sehat terus ya, supaya kita bisa tua bareng nanti. Gue kan mau liat suami lo siapa. Anak lo kayak gimana terus berapa banyak."
Membayangkan itu, Ashilla lagi-lagi tertawa.
"Makasih ya, Andien udah jadi temen terbaik aku. Udah empat tahun kita bareng-bareng." Padahal Andien selalu mendoakannya seperti itu, tapi Ashilla masih saja dibuat terharu mendengarnya.
Andien mengangguk dan tersenyum. "Oh iya, gimana penampilan gue?" Cewek itu berputar dengan dress bewarna abu-abu. Rambutnya dibuat kepang daun menyamping.
"Cantik!" Ashilla mengangkat jempolnya. "Andien selalu cantik."
"Lo juga!" Mereka jadi tertawa bersama.
"Eh, udah dateng lo maleficent?"
Sungguh kalimat itu merusak suasana. Andien dan Ashilla jadi menoleh dan menemukan Askar yang entah datang dari mana, di belakangnya Arven juga mendekat dengan langkah yang bisa dibilang begitu sempurna dengan tangan di saku celana.
"Gimana kalo gue, Shill?" Lelaki itu memakai jas merah gelap dengan rambut yang ditata begitu rapi. Sok mengibaskan jasnya. Andien yang melihatnya berdecih.
"Jelek lo mah! Selalu jelek!" ledeknya.
"Gue gak minta komentar lo ya nenek!"
"Askar tampan banget hari ini. Kayak penyanyi siapa itu, Din?" tanyanya pada Andien yang dibalas kernyitan dahi.
"Apa? Penyanyi dangdut?"
"Tau deh aku lupa, tapi kan Askar emang selalu ganteng."
"Iyalah!" Askar begitu percaya diri, yang membuat Andien ingin muntah. Lalu dia baru menyadari sesuatu.
"Eh bentar, baju kita sama, Ven!" ucapnya senang. Mendekat dan berdiri di sebelahnya. "Ya kan? Gimana-gimana cocok gak kita berdua?"
Askar maupun Ashilla kompak diam. Ashilla menatap jas yang Arven pakai lalu pada dress Andien. Warnanya serupa, seolah memang mereka pasangan yang datang bersama untuk ke pesta. Andien yang cantik dan Arven yang tampan.
Bukankah mereka akan jadi pasangan yang sangat sempurna jika bersama.
"Dih, pada diem sih!" Andien kesal.
"Apaan sih lo, Din!" Arven menoleh tak suka.
"Itu muka biasa aja dong." Andien tertawa sambil menusuk pipi Arven.
"Kalian cocok." Perkataan itu membuat Ashilla jadi perhatian mereka. Apalagi dengan senyumnya.
"Bener cocok kan?" Andien lagi-lagi tertawa. Begitu bangga. "Gak salah gue milih baju ini tadi."
"Cocok apaan dah! Muka lo jadi keliatan aneh diri di samping Arven!" Setelahnya, Askar berjalan pergi begitu saja. Rasanya Andien ingin melemparkan banyak umpatan pada cowok itu.
"Acaranya udah mau dimulai, mending lo siap-siap!" Perkataan Arven jelas buat Ashilla.
"Iya-iya, siap buat tiup lilin ama motong kue." Andien begitu bahagia hari ini. Bahkan, tak sadar saat merangkul di lengan Arven. Ashilla melihatnya. Pun Arven.
"Tangan lo, Din!" ucap Arven memperingati.
"Biarin dulu sebentar kayak gini sih!" balasnya dengan senyum.
Ashilla cuma menonton, tak mengatakan apapun. Memutar balik badan. Karena sekali lagi, setelah kejadian kemarin di festival, rasa-rasanya ada sesuatu yang makin tak enak menghantam dadanya cuma karena melihat kebersamaan mereka.
•••
Bersama Diana dan Raihan yang berdiri di kanan-kiri, Ashilla berada di tengah-tengah dengan kue tart yang cukup besar menjulang di meja kecil depannya. Begitu menawan dengan hiasan Kristal di atas kuenya.
Andien memegang kamera di tangan. Memotretnya. Tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya. Jika Ashilla tampak bahagia, dia lebih bahagia lagi melihatnya.
Dia menoleh kesana-kemari, mencari keberadaan Arven. Setelah menitipkan kamera di tangannya cowok itu menghilang entah kemana. Acara tiup lilin dan potong kue cuma tinggal beberapa menit lagi.
Dan cowok itu seharusnya ada di sini kan? Menemani Ashilla? Menjadi fotografernya?
"Gak bosen nyari Arven mulu?"
Yang dicari Arven, yang datang malah orang yang tak diharapkan. Andien langsung mendelik pada Askar yang tahu-tahu berdiri di sebelahnya, menatapnya dengan muka yang sangat menyebalkan.
"Apaan sih lo!" Andien kembali memusatkan pandangannya pada Ashilla di depannya. Cewek itu berdadah, yang dibalas dengan senyuman lebarnya.
"Lo beneran gak mau muji gue?" tanya Askar mengangkat alis.
Dia jadi menoleh lagi. "Muji? Seganteng apa lo perlu pujian gue?"
Harusnya Askar tersinggung dan bukan malah tergelak mendengarnya. "Gue juga termasuk jajaran cowok tertampan di sekolah."
"Oh iya?" Andien berlagak tak tahu, muka yang menurut orang songong, tapi justru menjadi daya tarik buat Askar. "Tapi gue gak tertarik tuh."
Terdengar suara MC di depan. Mengiringi semuanya untuk menyanyikan lagu ulang tahun. Andien bernyanyi dengan tepuk tangan. Dan Askar sungguh menganggunya dengan sengaja menyenggol bahunya.
"Lo mau apa sih?!" tanyanya mendesis sambil tetap mempertahankan senyum di bibirnya.
"Gue mau lo," ucapnya begitu santai.
"Tiup lilinnya ..." Sorak orang ramai. "Tiup lilinnya ..."
Andien berhenti mengikuti ritme nyanyian dan tak lagi bertepuk tangan. "Gila lo ya!"
"Berhentilah marah-marah ama gue." Wajah Askar sangat serius sekarang.
"Kalo aja lo dengerin gue buat berhenti nonjokkin orang yang gak salah, gue gak bakal kesel ama lo, Kar," balasnya sama serius. "Sayangnya, lo gak pernah dengerin gue, lo selalu lampiasin kekesalan karena papa lo ke orang lain."
Askar tertawa, yang membuat Andien jadi menatapnya tajam. "Sayang banget lo ya sama gue?"
Andien memutar mata malas mendengarnya. "Kita sahabat kan? Wajar aja kayak gitu. Gue peduli sama lo." Lalu tanpa acuh lagi dengan Askar yang jadi diam, dia kembali bernyanyi bersama dengan yang lain. "Potong kuenya, potong kuenya ..."
"Din," Askar menyentuh lengannya pelan. "Gimana kalo kita lupain ..."
"Lupain apa?" Yang cewek menoleh dengan wajah bingung.
"Gini, kita sering berantem, kita lupain aja dan mulai ..."
"Kue pertamanya buat siapa nih?" MC berbicara di depan mic, perhatian Andien jadi teralihkan lagi pada Ashilla yang sudah memegang potongan kue pertama di tangannya.
Kalimat Askar jadi tak terselesaikan.
Tatapan Ashilla berkeliling mencari. Andien jadi ikutan. Bisa ditebak siapa yang orang yang Ashilla cari. Pasti kakaknya. Ashilla menghela napas, hampir tiga menit kue di tangannya menggantung, tampaknya Arven memang sengaja menghilangkan diri. Atau bersembunyi?
"Kue pertamanya buat Kakek." Ashilla menyodorkan pada Raihan di sebelah kiri. Kakeknya menerimanya dengan senyuman, apalagi saat Ashilla menyuapinya.
Sepertinya baru sedetik, sedetik setelah suapan Ashilla, terdengar suara dentingan piano yang dimainkan. Seluruh perhatian sontak saja teralihkan. Menoleh bersamaan ke arah sudut.
Ada Arven di sana.
Duduk di kursi. Dengan jari-jari yang bermain di atas tuts. Menciptakan nada. Melodinya begitu menghipnotis semua hingga tak ada kata yang bisa dikatakan lagi selain terpesona.
Andien speechless luar biasa. Kakinya seolah tertanam begitu sempurna di pijakan. Hal serupa terjadi pada Ashilla, bedanya cewek itu cepat tersadar, menyerahkan kuenya pada Diana. Lalu berjalan mendekat ke arah Arven.
Ashilla berhenti di sebelah Arven. Saat cowok itu menekan tutsnya dengan menatap Ashilla. Andien merasa ada sesuatu yang menghantamnya keras, belum lagi senyuman yang jarang-jarang cowok itu perlihatkan. Cuma diberikan pada Ashilla yang tampak terharu di sana.
Dia terlalu kuat menggenggam dress-nya. Apa yang sebenarnya dia rasakan ini? Iri? Cemburu? Harusnya dia tergelak dengan keras. Menertawakan dirinya yang jadi menggelikan.
Apa yang harus dicemburukan? Mereka adik-kakak. Sudah sepantasnya bukan mereka saling menyayangi. Bahkan pantas menunjukkan pada dunia kalau cuma mereka yang berbagi cinta.
Dan lucu, dia merasakan ini buat apa? Dia benar-benar menyukai Arven?
Arven berhenti memainkannya. Nada yang membawa hanyut suasana itu terpaksa berhenti. Cowok itu berdiri di sebelah Ashilla, yang mau tak mau Ashilla jadi membalik badan ke kiri. Berdiri saling berhadapan.
"Happy birthday," Nada itu selalu datar, tapi Ashilla selalu saja tersenyum mendengarnya. "Lo seneng? Cuma hadiah ini yang bisa gue kasih."
Ashilla mengangguk cepat. Dari mata saja, bisa ditebak jika hal yang Arven lakukan lebih dari hadiah. Cowok itu benci tampil di depan keramaian. Benci menjadi pusat perhatian. Tapi, dia tetap melakukannya. Dia tetap memainkannya cuma karena Ashilla.
Bagaimana mungkin dia tidak senang menerimanya.
"Arven gak harus ngelakuin ini," Ashilla meneteskan air matanya dengan senyuman. "Aku gak maksa kalo Arven emang beneran gak mau. Pasti susah buat Arven diliatin orang-orang."
Lelaki dingin itu cuma tersenyum, menghapus air matanya. "Gue seneng kok kalo liat lo seneng."
Ashilla makin menangis di sana. Menangis bahagia. "Aku selalu beruntung punya Arven. Makasih Arven udah selalu buat aku seneng. Selalu peduli. Selalu khawatir." Ashilla memegang tangan Arven di pipinya. "Makasih."
Melihat semua di sana, Andien tahu ingatannya meninggalkan bekas di kepala. "Kayaknya bener deh," Askar yang ada di sebelahnya jadi menoleh. "Gue pikir ini perasaan main-main, tapi kayaknya enggak." Dia lalu menoleh pada Askar. "Kar, kayaknya gue suka Arven."
Perlahan pasti, kalimat itu menghancurkan semuanya. Raut Askar berubah seiring Andien kembali melihat ke arah depan. Dan, tanpa ingin tahu perkataan Askar yang belum diselesaikan, yang cewek sudah melangkah meninggalkan.
Taman belakang menjadi tempat pelariannya. Andien melangkah diam di jalan setapak. Angin malam yang terasa menusuk kulit punggungnya yang terbuka bahkan menjadi hal yang tak menganggunya sama sekali.
Harusnya dia tahu sejak awal bertemu, sejak awal berkenalan, sejak awal suka menggoda Arven dan senang saat bersamanya, itu adalah tanda-tanda kalau hatinya sudah jatuh pada Arven.
Menyedihkan ...
Semua lelaki mengejarnya, tapi justru dia jatuh cinta pada lelaki dingin yang sulit diraih.
Langkahnya berakhir di kolam renang belakang. Berdiri di pinggir sambil menatap langit malam yang makin kelam. Tampaknya langit mengikuti suasana hatinya yang mendadak mendung.
Suasananya sudah sangat cukup untuk membawa rekaman memori di kepalanya. Kenang-kenangan manis itu harusnya jadi ingatan menyenangkan, bukan malah jadi menyedihkan seperti ini.
Saat pertama kali berkenalan dengan Arven. Saat cowok itu membantunya mengerjakan tugas. Saat cowok itu mengatakannya bodoh setiap kali dirinya mendapat hukuman. Menghinanya dengan cara menyakitkan cuma karena cara berpakaiannya.
Omongan menyakitkan Arven adalah cara cowok itu melindungi orang-orang terdekatnya.
"Lo di sini ternyata."
Suara itu langsung menyadarkan Andien sepenuhnya. Dia memutar tubuh dan melihat Arven yang berdiri tidak jauh dengan wajah datarnya yang biasa.
"Lo mau lompat indah malem-malem?" Cowok itu melangkah mendekat dengan tangan di saku celana. "Buat tren baru dengan pake gaun?"
Cuma karena kedatangan cowok itu entah kenapa Andien merasa senang. "Lo kangen sama gue?" Moodnya berubah begitu saja. "Makanya nyari-nyari gue kan?"
"Ashilla yang nyariin lo."
Dan begitu mudah juga moodnya berubah kembali.
"Alasan aja lo," Andien melipat kedua tangannya di dada. "Bilang aja emang lo yang nyari gue."
Arven diam tak memperdebatkan apapun lagi. "Lo ngapain di sini? Acaranya di dalem."
"Merenung mungkin?"
Alis Arven terangkat tak percaya.
"Gue banyak pikiran akhir-akhir ini." Andien melangkah mendekati kolamnya.
"Mikirin poin lo yang makin nambah tiap hari?"
Dia tertawa mendengar itu. "Andai, gue lebih peduliin itu dibanding hal yang gue pikirin sekarang."
"Kalo lo emang gak mau ngambil kuenya. Gue tinggal." Baru juga berbalik ingin pergi, balasan Andien menahan langkahnya di pijakan.
"Lo gak mau nanya apa yang gue pikirin?"
Arven berbalik mengangkat alis makin tinggi.
"Gue mikirin orang di depan gue."
Wajah datar dan mata setajam elang itu memang tak bisa Andien tebak isi kepalanya. "Kalo gitu berhenti, berhenti mikirin orang yang gak peduli sama lo."
Andien tertawa. Terdengar sangat pahit. "Gue bahkan belom bilang gue suka sama lo. Omongan lo terlalu jahat tau gak sih."
Langkah cowok itu makin memangkas jarak. Hingga ujung sepatu pantofelnya dengah flatshoes yang Andien pakai beradu. Dia mendongak pada Arven yang menatapnya lurus.
"Askar suka sama lo."
"Apa?" Andien mendengarnya. Sangat jelas mendengarnya.
"Jadi, tolong pikirin perasaan dia."
Refleksnya dia menahan lengan Arven sesaat gerak cowok itu ingin pergi. "Lo gak mikirin gue?"
"Andien!" Panggilan itu membuat keduanya menoleh bersama.
Ada Ashilla di sana yang membawa kue di tangannya.
Saat cewek itu ingin mendekat, langkahnya berhenti sesaat setelah tatapannya jatuh pada genggaman Andien pada lengan Arven. Lalu mendongak menatap bingung keduanya.
"Kenapa lo ke sini?" Arven bertanya dingin. "Kakek bisa marah lo ninggalin pestanya."
"Kalian ..." Ashilla bingung untuk merangkai katanya. "Kalian gak mau diganggu?"
"Ngomong apaan sih lo?" Arven menyorot tak suka.
"Oke," Ashilla mengangguk. "Aku biarin kalian ngobrol dulu."
"Gak kok, kita lagi gak ngomongin apa-apa." Andien melepaskan tangannya pada Arven. "Lo bisa bawa Arven pergi. Kebetulan gue mau sendirian di sini."
Yang cowok sejenak menoleh padanya. Sebelum melangkah untuk pergi. Andien membuang muka, melangkah mundur untuk menjauh. Naasnya, air yang tersisa di pinggir kolam membuat flatshoes-nya jadi basah dan licin. Kakinya hilang keseimbangan.
Saat terdengar suara riak air yang besar, Arven langsung berbalik. Pun Ashilla.
"Andien!" Refleks Arven lebih cepat bekerja. Dia melepaskan jasnya sebelum melompat ke dalam kolam. Bersamaan dengan Askar yang tahu-tahu datang dan terkejut melihatnya.
Tak butuh waktu lama, Arven membawa Andien ke pinggir kolam. Baju keduanya basah. Air kolam yang dingin belum cukup, malah diperparah angin malam yang terasa menusuk.
Andien memeluk tubuhnya menggigil. Sebelum detik berikutnya merasa hangat. Itu berkat Arven yang menutupi bahunya yang basah dengan jasnya.
"Lo gak apa-apa?"
Sorot dingin cowok itu jatuh mengenai irisnya. Andien terdiam. Merasa emosi berkali-kali lipat bersarang di dadanya, sontak saja dia memeluk Arven dan meluapkan air matanya di dada cowok itu.
Arven terkejut dan tak tahu harus apa selain membiarkan.
Dua orang yang berdiri tidak jauh cuma bisa menyaksikan diam. Keduanya sama-sama merasakan hal yang salah menelusup dadanya. Kemarahan yang cuma bisa dipendam dan biarkan.
Jika Askar mengepalkan tangan untuk menahan. Berbeda dengan Ashilla yang memilih lari dan menjauh dari sana.
•••
Flashback dulu kita hohoho
Ayo, ayo komennya gimana-gimana?
❣️❤️
Jangan bosen2 sayangku
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro