Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A7-Awal Misi

❝Jangan penasaran, jika kamu tidak mau jatuh cinta pelan-pelan.❞

•°•°•

TEKAD Avisha sudah bulat. Dia akan menjalankan misinya sesuai rencana awal.

Dimulai hari ini ...

Setelah melihat nama kelasnya di mading—Karena peraturan sekolah saat mos selesai, kelas kembali diacak—dan sebuah keajaiban yang luar biasa Avisha bisa sekelas bersama Yania, dan Ilona. Walau harus berpisah dengan Nata.

Seperti yang ucapan kemarin, dia akan melakukan sesuatu agar rasa penasaran yang menjebaknya ini terjawab.

Dia sudah berdiri di loker siswa kelas sepuluh, usai melihat namanya tercantum di kelas X-Ipa3. Memasukkan beberapa barang di loker barunya. Ya Tuhan ... Avisha luar biasa senang karena punya loker sekarang!

"Ini kita mau ngapain sih?" Ilona bingung. Memandang Avisha yang melirik pintu ujung koridor, lebih tepatnya pada pintu masuk lobi. Tingkahnya bisa dibilang tidak lazim, oke Avisha memang aneh, tapi hari ini benar-benar bisa dibilang aneh luar biasa. "Sha ... kita gak lagi jadi patung selamat dateng kan, berdiri di depan loker kayak gini?"

"Ssstt!" Avisha menempelkan telunjuk di bibir menyuruh Ilona diam.

"Ya, sebenarnya kita ngapain di sini?"

"Lo jangan tanya gue deh, Na." Yania tampak lebih frustasi sambil menyender di lokernya. "Kepala gue udah pusing ini bilangin nih anak batu! Susah banget emang! Ya allah sebenarnya tante Velin tuh ngidam apaan sih pas hamil, anaknya gini amat!"

Ilona mendengkus kesal. "Tapi pliss lah jangan buat gue jadi yang paling bego di sini karena gak tau apa-apa. Minimal kasih tau satu hal biar gue paham. Gue lagi gak mau main tebak-tebakkan gak berhadiah kayak gini."

Yania menatap Ilona serius dan menjatuhkan bom. "Avisha mau deketin kak Arven."

"HAH?!" Ilona dan Avisha kompak terkejut.

"Lo kenapa ikutan kaget sih, Sha?!" Yania kesal jadinya.

Avisha cemberut dan berbisik pelan. "Visha kesel karena toa Yaya yang gede. Ini kan rahasia kalo ada yang denger gimana!"

"Bentar ... bentar," Ilona jadi makin pusing. "Kenapa tiba-tiba gini? Maksudnya kenapa tiba-tiba lo jadi pengin deketin kak Arven, padahal awalnya lo bilang gak mau berurusan lagi sama dia."

"Ini bukan masalah Avisha yang gak mau berurusan sama kak Arven tau-tau malah mau deketin kak Arven," ucap Yania begitu sulit dicerna. "Yang jadi inti masalahnya, kak Arven tuh gak gampang buat dideketin. Pangeran yang hatinya udah beku karena kelamaan tinggal sama beruang kutub!"

Yania melirik Avisha, yang dilirik melayangkan tatapan laser. "Yang begonya tuh, temen lo susah banget dibilangin, Na! Nih ya dengerin gue, seminggu sekolah di sini, gue banyak dapat informasi, termasuk tentang kak Arven. Cewek tuh paling takut sama dia ... jelas bukan karena wajahnya, tapi karena kata-kata tajemnya itu yang selalu nusuk di hati. Dia gak pernah mikir dua kali buat nolak cewek, sekali ada yang ganggu, ya kelar hidupnya."

Lalu Yania menoleh pada Avisha. "Jadi ya Sha mending berhenti di garis start, dibanding lo patah hati entar."

"Avisha itu mau deketin kak Arven, bukan mau buat kak Arven suka sama Visha!"

Yania memutar mata malas. "Ya tetep sama aja, Sha. Lagian udahlah, lo lagi halu mungkin atau emang lo pernah ketemu mata yang mirip sama kak Arven di majalah cowok-cowok keren. Banyak, Sha yang punya mata biru kehijauan! Percaya deh!"

"Lo berdua makin buat gue pusing! Gue masih gak ngerti ini. Alasan lo mau deketin kak Arven tuh apa?" Ilona tidak bisa dikasih clue setengah-setengah, kepalanya ingin pecah.

"Avisha tuh mau ..." Mendadak mulutnya terkatup saat melihat orang incarannya tengah berjalan di koridor menuju tangga lantai dua.

"Ya Tuhan seganteng itu dia!" Itu pujian Yania.

"Kayaknya tadi lo baru jelek-jelekkin kak Arven deh Ya!" sindir Ilona.

Ternyata Arven tidak sendiri, di belakang ada dua lelaki yang mengikuti. Cowok yang Avisha tahu bernama Regha itu tertawa mendengar ledekkan yang lelaki satunya lontarkan. Lelucon yang jelas-jelas untuk Arven.

Terdengar decakkan kagum sana-sini. Tatapan memuja yang dilempar berlebihan oleh kaum hawa, sementara kaum adam cuma bisa memendam iri. Bahkan kalau mau digambarkan, mata Yania sudah penuh bunga-bunga kekaguman.

"Selamat morning, Kak Arven!" Avisha senyum begitu lebar saat Arven terpaksa berhenti di depannya.

Ilona menepuk jidat. "Good morning, Sha!"

"Wow," lelaki yang sejak tadi meledek Arven ikut berhenti, senyum penuh arti. "Ketinggalan berita apaan nih gue?"

Regha ikut tersenyum seperti temannya. "Tragedi speaker."

Cowok berambut acak-acakkan itu ber-oh panjang. Mengerti maksud Regha. "Jadi tuan putri yang Arven tolongin itu seukuran biji kuaci?"

"Hah?" Avisha bengong. "Biji kuaci?"

"Iya, biji kuaci itu lo. Kecil!"

"Gimana bentuknya biji kuaci?" Avisha mengerut dahi bingung. Regha mengulum tawa, yang menyebabkan Yania hampir mimisan.

"Kuaci kan kecil tuh, nah lo bayangin aja bijinya sekecil apa?"

Yania dan Ilona sudah tertawa di belakangnya. Avisha mendengkus sebal. "Makasih loh kak Visha jadi menambah wawasan soal biji kuaci, karena setahu Visha kuaci itu udah biji!"

"Aih pintarnya," entah lelaki itu memuji atau meledek. "Nama lo Avisha ya, anaknya siapa sih?!"

Avisha memelotot pada temannya Arven itu. Dia malah tertawa. Jujur ... dibanding Arven yang dominan tertutup dan jarang tersenyum, temannya itu friendly dan ceria. Avisha heran, Regha juga sering tersenyum. Lalu kenapa Arven tidak ikut terbius seperti kedua temannya. Minimal sedikit senyum saja pasti wajah seramnya akan berkurang.

"Gak ada yang lucu, Yon." Arven angkat suara karena temannya tak kunjung berhenti tertawa. Hendak melangkah pergi jika Avisha tidak langsung mencegatnya.

"Visha mau ngasih sesuatu buat kak Arven," Avisha membongkar isi tasnya dan memberikan kotak makan. "Itu pancake, sebagai bentuk makasih karena kak Arven udah nolong Visha kemarin. Kalo gak ada kak Arven, mungkin kepala Visha udah jadi tahu gejrot."

"Gue terima ucapan makasih lo. Tapi gak buat makanannya." Arven mau pergi lagi, tapi langsung Avisha tahan.

"Kata Mama Visha gak boleh kak nolak makanan, itu berarti kak Arven nolak rezeki," Avisha tampak bersemangat. "Ayo kak ambil, tenang aja gak Avisha kasih racun kok."

"Justru lo ngomong gitu, gue jadi takut itu udah lo racunin."

"Gak dong, kan Visha bukan orang jahat. Avisha ini peri imut yang baik hati." Dia mengedipkan mata beberapa kali sambil senyum lebar.

"Mata lo kelilipan?"

Avisha mendengkus. "Kak Arven nih, serius Visha! Ambil dong pancake-nya. Tau gak sih ngebuat ini, pengorbanan Visha tuh besar banget. Visha sampe harus berhadapan sama api. Visha takut api."

Untuk kali ini Arven terdiam. Sebelum menekan bibirnya kesal. "Kenapa lo takut api? Lo siram aja, apinya juga mati."

"Candaan kak Arven gak lucu ah," Siapa yang lagi bercanda. Arven makin kesal. "Nih ya, api tuh bisa ngebakar semuanya, entar kalo Visha kebakar jadi gosong dong. Entar jadi gak imut lagi."

Cowok yang dipanggil 'Yon' tadi tergelak lagi. "Gue suka kepedean lo. Tos?" Dia menyodorkan tangan untuk berhigh five, yang dibalas Avisha dengan lengosan.

"Ambil ya kak Arven? Ya ... ya ... ya ... ya?" Avisha menyengir lebar.

Arven mengambil kotak makan dari tangan Avisha, membuat cewek mungil itu senang luar biasa. "Kalo gue ambil, lo bakal berhenti ganggu gue?"

Avisha senyum. "Bisa! Gak janji tapi ya!" Setelahnya dia berlari meninggalkan Arven, disusul kedua temannya. Dia melambaikan tangan sambil berteriak, "Jangan sampe ilang ya kak Arven tempat makannya, entar Visha kenal omel. Tupperware itu!"

•••

Kalau dijadikan perbandingan, kantin atas memang lebih lengang daripada kantin bawah. Salah satu faktornya karena banyak murid yang malas menaiki tangga. Terutama disaat perut sudah meronta-ronta.

Tapi ... bukan itu saja, alasan lainnya karena kantin atas kebanyakan diduduki anak kelas dua belas.

Contohnya sekarang.

Jam istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu dan kantin adalah tempat pelampiasan mereka setelah kepala terasa mendidih diajak belajar mengikuti materi.

Di antara banyaknya meja kantin, ada satu meja yang menarik perhatian semua. Berada di tengah-tengah dengan dua cowok yang tampak tak peduli oleh tatapan cewek sana-sini.

"Regha tumben gak ke kantin?" Bersamaan Zion buka suara, pesanannya datang. Dua piring nasi goreng dengan segelas es teh manis dan segelas es jeruk.

"Lagi latihan di ruang boxing." Arven menjawab sambil mengambil piring nasi gorengnya dan segelas es jeruk.

"Pertandingan lagi?"

"Mm," Dia mendongak menatap Zion yang sudah menyantap makanannya. "Tumben gak sama cewek lo?"

"Lo mau gue tinggal?"

"Silahkan."

Zion menyengir lebar. "Tenang aja, gue masih setia sama pacar homo gue."

"Mata lo yang mau gue colok kiri atau kanan, Yon?" Arven berkata datar, yang langsung membuat Zion terbahak.

"Oh ya ... cewek biji kuaci—"

"Avisha namanya," potongnya langsung.

"Oke-oke," Zion tergelak lagi. "Avisha itu, dia suka sama lo?"

"Kalo soal perasaan, bukan seharusnya lo nanya orangnya langsung?"

"Gak, gue cuma mikir dia kayak lagi berusaha deketin lo?"

Arven mendengkus. "Itu yang gue bingungin, padahal dia sendiri yang gak mau berurusan lagi sama gue." Lalu mengedikan bahu tak acuh. "Tapi, siapa peduli."

"Lagi ngomongin siapa nih?"

Panjang umur. Cewek yang sejak tadi jadi perbincangan mereka kini tengah berdiri di samping kursi dan membawa nampan makanan.

Arven mengernyit. "Lo kenapa di sini?"

"Ini kantin kan?" Arven mendengkus mendengar kata-katanya di balik. "Visha mau makan. Boleh gabung?"

"Gak."

Cewek mungil itu cemberut. "Jahat ih, gak ada tempat duduk."

"Itu meja kosong," Arven menunjuk pojok kantin. "Dan, gue liat masih ada satu kursi kosong di meja temen-temen lo."

Avisha menengok ke belakang, lebih tepatnya pada meja teman-temannya yang berjarak cukup jauh dari meja Arven.

"Avisha mau duduk sama kak Arven."

Kali ini Arven tak dapat menahan keterkejutannya. Berbeda dengan Zion yang sudah tertawa.

"Lo mau duduk sama Arven?" Arven sudah bisa menebak jalan pikiran Zion, dia memelototi temannya itu. Tapi bukan Zion namanya yang langsung menuruti. Sementara Avisha mengangguk mendengarnya.

Meja itu berbentuk bundar. Depan meja Arven kosong, tepat sebelah Zion, dia berdiri dan menarik kursinya. "Duduk sini."

Avisha tersenyum lebar. Duduk di sana. "Makasih kak."

Dia meletakkan nampan makanan di meja. Sedang Arven cuma bisa menghela napas pasrah.

"Sebenarnya lo mau ngapain?"

"Kan Avisha tadi udah bilang, mau makan. Kak Arven ganteng-ganteng budek ih."

Sepertinya Zion senang sekali. Tak bisa berhenti tertawa sampai akhirnya Arven menginjak kakinya, membuat cowok itu mengaduh.

"Gue tau lo mau makan, tapi kenapa harus duduk sama gue?!" Buat ini Arven tak bisa tidak bertanya kesal.

"Udah sih, Ven. Biarin dia duduk di sini."

Avisha mengangguk setuju. Begitu polos. "Tuh kak Arven dengerin. Oh ya ... kakak namanya siapa?" Ini jelas pertanyaan buat Zion.

"Lo gak tau gue siapa?"

Avisha mengerutkan dahi. "Emang kakak orang penting sampe Visha harus tau?"

"Spesies langka," gumam Zion sambil tersenyum lebar.

"Visha bukan flora-fauna!"

"Ya bukan, nanti lo disamaain sama bunga bangkai," Zion tertawa. "Kalo mau tau, kenalin gue Zion."

"Kak Zion?" Avisha tampak berpikir.

"Lo kenal?"

"Gak." Avisha menggeleng polos.

"Gak pa-pa kalo lo gak kenal gue," Zion tersenyum sangat lebar. Menelisik tingkah Avisha yang jelas-jelas memerhatikan Arven. Peka keadaan, Zion berdiri, membuat Arven menaikkan alis bertanya.

"Kayaknya gue mending ke cewek gue aja," dia menepuk pundak Arven. "Lancar, bro!"

Melihat kepergian Zion, Arven cuma bisa menghela napas panjang. Karena dia sudah sangat jelas mengerti jalan pikiran teman gilanya itu.

"Pancake-nya udah kak Arven makan?" Avisha memulai obrolan sambil menikmati makanan. "Gimana rasanya?"

"Itu lo yang masak?"

"Gak, Avisha cuma bantu aja, kan Avisha udah bilang, Visha takut api."

"Bantu?"

"Bantu ngeliatin." Avisha menyengir.

Arven mendengkus. "Bukannya lo bilang, butuh perjuangan buat bikin itu?"

"Iya, perjuangan ngeliatin apinya biar gak takut."

"Jadi sebenernya lo gak bisa masak?"

"Cieeeee," Avisha malah meledek. "Kak Arven mau Visha masakkin ya?"

Tanpa bisa ditahan, Arven berdecak kesal. Berbanding terbalik dengan Avisha yang makin ceria. "Avisha bisa masak kok cuma pake kompor listrik. Kak Arven mau Visha buatin pancake lagi?"

"Gak."

"'Gak' mulu jawabannya. 'iya' dong sekali-sekali."

Arven meletakkan sendok di piringnya. Cukup menahan sabar. "Sebenarnya lo mau apa?" tanyanya dingin. "Bukannya lo sendiri yang bilang kalo lo gak mau deket-deket sama gue?"

"Itu karena kak Arven nyebelin, tapi pas kemarin kak Arven nolongin Visha. Visha jadi mau temenan sama kak Arven. Jadi kita kenalan ulang yuk," ajaknya sambil mengulurkan tangan. "Kenalin, nama Avisha Pratista, melihara lima kelinci di rumah, suka makan es krim, suka tidur. Dan ... alergi buah stroberi." Senyumnya terbentuk diakhir.

"Giliran kak Arven. Ayo dong sebutin, yang kak Arven suka dan gak suka."

Arven memandang tangan Avisha lama sebelum menerimanya, membuat cewek itu senang, tapi setelahnya Avisha merasa dihempas jatuh.

"Gue Arven, suka ngebuat orang benci sama gue dan ... gue gak suka diganggu!" Dia melepas tangannya kasar. Saat Arven berdiri, Avisha refleks menahan tangannya.

"Visha gak benci kak Arven, cuma kesel aja awalnya."

Arven menatap tangan Avisha di lengannya, yang cewek mau tak mau meringis dan menjauhkan. "Gue gak tau niat lo sebenarnya apa, tapi gue minta lo berhenti sampai sini. Ngerti?"

Kemudian, Arven meninggalkan Avisha begitu saja.

•••

Woohooo baru misi hari pertama, Sha. Udah ditolak aja wkwk

Eh tapi kalo nanti gak tau deh ya, ditolak lebih kejem gitu maksudnya😂

Dilanjut tydak ya hmmm

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro