A;A69-Dua babak sebelum berakhir
Padahal harusnya malem minggu kemaren ya, sedih dah :((
Gapapalah ya, mau liat antusiasnya lagi dooong
Sebanyak apa komen ama vote-nya ya. Laff you
•
RAHASIA?
Apa yang Askar maksud?
Avisha tahu jika masih ada banyak hal yang dia tidak ketahui tentang Arven. Namun, haruskah Askar sengaja mengucapkannya. Rasa penasarannya tentu membludak dan butuh banyak penjelasan karena hal itu.
"Avisha dimakan makanannya."
Dia tersentak mendengarnya. Sementara seluruh orang yang ada di meja menoleh menatapnya. Ditatap demikian membuat Avisha kebingungan bagaimana menjawabnya.
"Eh, iya .. tante." Avisha senyum kaku. Menunduk menatap menu di piring, yang harusnya memancing seleranya.
"Kamu kenapa, Sha?"
Bagaimana cara menjelaskannya, disaat bingung seperti ini, Avisha bisa merasakan jemari Arven bergerak di sela jarinya. Menggenggamnya.
"Visha gak kenapa-napa kok, tante."
"Ya sudah." Diana mengangguk saja dan tersenyum. Wanita paruh baya itu duduk di sebelah Askar. tepat di depan Arven. Sementara di ujung meja ada orang yang menjadi penyebab Avisha gugup setengah mati, bahkan sebelum dia sempat bertemu dengannya.
Lelaki tua itu, kakek Arven, duduk tenang dengan wajah dinginnya yang entah kenapa terasa membekukkan apapun.
"Bagaimana kabar Papamu Avisha?"
Ya Tuhan cuma ditanya saja bulu kuduk Avisha langsung merinding. Dia terpaksa mendongak, menatap Raihan tepat di mata.
"Baik, Kek." Beruntung Avisha bisa mengatasi mentalnya yang ciut mendadak. "Kakek juga dapet salam dari Mama."
"Dari mamamu Velin?"
Avisha mengangguk. Kali ini dia mencoba santai. "Kakek kenal mereka kan?"
"Tentu saja," Raihan menangkup jemarinya, menumpu dagu. "Kita teman bisnis. Saya dan Papamu."
"Iya." Avisha sedikit tahu tentang itu.
"Kamu juga tau, kalo Papamu yang menghancurkan bisnis saya?"
"Pa!" "Kek!"
Diana dan Arven kompak menoleh tak percaya. Lebih Arven yang kini menatap tajam sang kakek. Sementara Avisha terdiam saking terkejutnya. Benarkah begitu? Tapi, tidak mungkin Papanya melakukan itu tanpa alasan kan?
"Kamu tidak tahu?"
"Vi-Visha gak tau."
"Gak usah dengerin kakek gue." Arven meyakinkan Avisha lewat mata dinginnya.
"Kamu kenapa Arven?" Arven menoleh lagi pada kakeknya. Mata yang satu tajam, yang dibalas begitu santai.
"Kalo kakek cuma mau ngundang Arven cuma buat Avisha gak nyaman di sini. Gak ada alasan Arven harus lebih lama buang waktu di sini kan?"
"Kenapa kamu harus bawa perasaan," Raihan sedikit terkekeh, tapi itu tidak sama sekali meredakan tatapan Arven yang menusuk. "Kakek hanya mencoba berbasa-basi dengan pacarmu?"
"Tapi itu bisa aja nyakitin Avisha kek." Askar kali ini bersuara. Tapi, Raihan tak mengindahkan sama sekali.
"Maaf jika itu menyinggungmu." Raihan sedikit tersenyum pada Avisha.
"Gak," Avisha menggeleng, memilih tak mau memperpanjang. "Visha gak apa-apa."
"Tapi, saya senang melihatmu."
Avisha tidak salah dengar kan?
"Kamu mengingatkan saya pada cucu perempuan saya."
Entah kenapa nada dingin itu sedikit hilang saat Raihan membicarakan cucunya itu. Avisha bisa merasakan, apalagi matanya yang melembut.
"Kamu begitu mirip."
Tanpa sadar, Avisha mengangkat senyum kecilnya.
"Kakek punya foto kak Ashilla?" Bahkan dia tidak bisa menahan mulutnya yang suka semena-mena. AH! AVISHA! Bagaimana kalo pertanyaannya itu merusak suasana hati kakeknya Arven.
"Tidak ada," Avisha harus bersyukur karena Raihan tidak tersinggung mendengar pertanyaannya. "Saya menyuruh Arven membuang fotonya. Saya tidak bisa melihat foto keluarga yang sudah tidak ada di sisi saya. Itu berat."
"Kalo gitu kakek bisa anggep Visha cucu kan?"
Astaga!
Apa-apaan dengan mulutnya!
Raihan tertawa. "Tentu saja. Kamu akan menjadi bagian keluarga Gazkel benar bukan?"
Kali ini Avisha tak menahan senyumnya lagi lebih lebar. Tanpa tahu, Arven di sebelahnya ikut tersenyum kecil melihatnya.
"Oh iya Diana, kapan suamimu pulang?"
"Hm, gak tau, Pa saat ditelpon tadi, katanya sedikit lagi akan selesai," Diana menjawab. "Tapi kayaknya banyak tugas yang harus dikerjakan di kantor."
Raihan menghela napas. "Papa kan sudah bilang untuk menunda saja pekerjaan kantor. Masih ada hari besok."
"Apa harus Diana telpon lagi, Pa?"
"Gak perlu." Askar yang justru melarang. "Mending gak ada Papa."
"Askar apa-apaan ..."
"Arven pasti juga mikir gitu."
"Telpon aja, Tante," Perkataan Arven tentu berbanding terbalik dengan Askar. Kedua lelaki itu sejenak saling tatap. Yang satu tajam, yang dibalas dingin. "Lagian, Arven sama Avisha gak lama-lama."
•••
"Emang wajah papanya kak Askar tuh gimana?"
Tanpa sadar, Avisha mengeluarkan isi kepalanya saat di sebelahnya Arven tampak fokus menyetir. Hendak mengantarkannya balik ke rumah.
"Lo gak tau?"
Bodoh sekali pertanyaan itu! Avisha mendelik pada Arven. Jelas saja dia tidak tahu, dia tidak pernah bertemu dengan pria paruh baya itu.
"Visha gak pernah ketemu sama Om ..." Avisha harusnya tahu selain tidak pernah bertemu. Dia juga tidak pernah tahu namanya. "Om siapa? Namanya?"
"Gue gak suka ngomongin dia," Arven sedikit menoleh. "Jadi berhenti ya, sebelum mood gue jadi rusak."
"Kenapa?"
Haruskah dia menanyakan kata 'kenapa'?
Karena 'kenapa' itu identik dengan alasan dibaliknya. Avisha tahu Arven membenci kakeknya, tapi tidak pada pamannya. Justru Askar yang membenci papa kandungnya sendiri.
"Kenapa?" cowok itu bergumam lalu tersenyum pahit. "Dia yang pertama kali bilang kalo gue pembawa sial. Dia yang ngeprovokasi kakek buat benci gue. Dia yang gila harta, pengen ngambil semua kekayaan yang papa gue punya. Musuh dibalik selimut."
Avisha diam. Tapi, entah kenapa dia teringat perkataan Askar tiba-tiba.
"Apa itu yang dimaksud kak Askar? Rahasia kak Arven?"
Cuma itu, tapi respon Arven berlebihan menginjak rem mobil mendadak. Decitan ban terdengar yang disusul suara banyak klakson dari belakang.
"Gak usah dengerin Askar."
Avisha mengaduh sebab tubuhnya terdorong. "Hati-hati dong, kak Arven. Kenapa sih?"
"Lo gak perlu tau kenapanya."
"Ya, emang kenapa Visha gak boleh tau?"
"Lo terlalu banyak gunain kata 'kenapa'!"
Avisha kehabisan kata buat melawan. Dia terdiam dengan Arven yang menatapnya dingin dan tak terbaca. Dia yang memutuskan untuk membuang muka. Menatap luar jendela. Malam seolah menjadi makin gelap gulita di matanya.
"Gue cuma belom siap buat cerita."
Gumaman Arven terdengar jelas di telinganya. Kemudian cowok itu kembali mengemudikan mobilnya di antara keheningan yang ada. Terasa menyesakan.
Avisha mencoba tak mengacuhkan Arven sepanjang jalan. Tapi, saat mobil justru lurus yang harusnya berbelok ke arah rumahnya, dia sontak menoleh bingung.
"Kita harusnya belok."
"Siapa bilang gue mau nganter lo pulang."
"Hah?" Avisha tidak mengerti. "Visha mau pulang."
"Iya, lo bakal gue anter pulang, tapi nanti."
"Visha mau sekarang!"
"Kenapa lo jadi keras kepala sih!"
"Gak usah gunain kata 'kenapa'!" Avisha melipat kedua tangan di dada. Kembali membuang muka. Cowok itu diam, tak mengatakan apapun lagi.
Sampai mobil Arven akhirnya berhenti. Berhenti di depan sebuah gerbang berkarat dengan gapura yang bertuliskan 'tempat pemakaman'.
Sebentar ...
TEMPAT PEMAKAMAN?
Avisha sontak memelotot baru sadar.
"Ayo, turun!"
"Kamu bukan kak Arven ya?" Avisha menudingkan telunjuk di depan wajah Arven yang malah menaikkan sebelah alis. "Ngapain kita ke sini?! Kak Arven kesurupan ya?! Atau kehipnotis ama emak kunti? IYA KAN? AYO JAWAB?!"
"Lo stress ya?"
"Kak Arven yang stess, ngapain malem-malem ke kuburan!"
"Gue mau nunjukkin lo sesuatu ..."
"Pasti kak Arven mau nganterin Visha ke hantu-hantu di sana kan. Jadiin Visha tumbal. Visha gak mau!"
Arven menunjuk dahinya dengan telunjuk. "Otak kecil lo ini kenapa suka nyimpulin yang enggak-enggak sih. Ayo turun!"
"Visha gak mau!"
"Lo harus mau!"
"Kalo gak mau gimana?" tanyanya menantang.
"Kalo gak mau gue tinggal." Arven membuka pintu mobil, yang refleks Avisha tahan dengan wajah terkejut.
"Kok malah ditinggal!" Avisha cemberut. "Kak Arven jahat banget!"
"Makanya ikut turun!" Yang cowok mulai gregatan.
"Tapi, janji ya kak Arven gak bakal jadiin Visha tumbal buat hantu-hantu di sana."
"Terserah." Arven mendorong pintu mobilnya, yang sontak Avisha ikuti dengan membuka pintunya. Saat turun, dia langsung bersembunyi di belakang tubuh Arven, mengintip takut-takut.
"Lo jangan di belakang, kalo setannya ada di belakang gimana?"
Avisha refleks menabok Arven kencang. "Jangan ngomong kayak gitu dong! Mau kemana kita sekarang? Kak Arven jangan jauh-jauh ya dari Visha."
Melihat bagaimana Avisha benar-benar ketakutan, memegangnya begitu kencang. Membuat Arven mati-matian menahan tawa cuma karena kepolosan cewek itu.
"Mending kayak gini aja." Arven memindahkan pegangan Avisha pada jaketnya dengan merangkul di lengannya. Avisha jadi mendongak, menatapnya lama, dan kemudian cuma mengangguk polos.
Astaga!
Mereka melangkah bersama di jalan setapak dengan pinggir-pinggir gundukkan tanah tertutup rumput. Belum lagi, pepohonan tinggi dengan daun yang lebat, bergerak-gerak terbawa angin. Bagaimana mungkin Avisha tidak takut karenanya.
"Kak Arven harus banget ya kita ke sini malem-malem?"
Lelaki itu cuma menatapnya tak mengatakan apapun. Menyebalkan!
Saat langkah kaki Arven berhenti akhirnya, Avisha ikutan berhenti. Di dekat tiga gundukkan tanah berumput hijau itu, Arven menekuk sebelah kakinya, seperti bersimpuh. Avisha menatapnya bingung, meski pikirannya tak tenang menoleh ke segala arah. Takut ada yang datang tiba-tiba.
"Kak Arven ..." Cewek itu memegang bahunya kencang.
"Ini makam mereka?"
"Apa?" Avisha jadi menunduk, dengan Arven yang justru memandang ke arah tiga makam di depannya. Avisha jadi ikut melihat. Bertanya-tanya. "Mereka?"
"Orang tua dan adik gue."
Begitu saja Avisha jadi diam. Cowok itu terdiam, tampak berdoa. Yang refleks Avisha jadi ikut-ikutan. Arven bersuara lagi saat selesai.
"Mereka bahagia di atas sana. Sedangkan gue masih terpuruk di sini."
"Kak Arven jangan ngomong gitu."
"Tapi, gue gak bakal biarin hidup gue sia-sia. Gue bakal nemuin pelaku yang bunuh mereka." Seolah ucapan Arven itu janji yang sudah lama dia ikrarkan. "Lo liat makam adik gue."
Avisha menatap makam di paling kiri. Di nisan bertuliskan, Ashilla Resha Gazkel.
"Saat orang tua gue meninggal, dia yang nenangin gue, dia yang selalu ada buat gue, walaupun gue bentak gimana pun dia tetep senyum," Walau nada itu datar entah kenapa Avisha bisa merasakan getirnya. "Gue cuma punya dia, keluarga gue cuma dia, jadi apapun nanti, misalkan lo denger hal-hal yang enggak-enggak, tolong pikirin baik-baik dulu, jangan asal nyimpulin."
"Apa maksud kak Arven?" Sudah dua kali Arven mengucapkan kalimat yang penuh tanda tanya.
"Lo pasti bakal ngerti gak lama."
Apa-apaan penjelasan setengah itu!
Arven berdiri, menjulang di depannya. Menatapnya dengan senyum. "Cuma lo yang gue bawa ke sini. Harusnya lo bangga."
"Bangga?" Dibawa malam-malam ke kuburan, Avisha harus bangga? Ha! Lucu sekali!
"Cuma lo yang gue bawa ke depan Papa-Mama gue."
Kali ini Avisha terbungkam sepenuhnya.
"Ikut gue!" Arven mengambil tangannya.
"Kemana lagi?"
Lagi-lagi cowok itu tak menjawabnya. Menarik tangannya entah kemana. Yang terpaksa Avisha cuma bisa biarkan. Mereka berjalan di jalan setapak melewati pepohonan yang makin merapat lebat. Belum lagi semak-semak yang menutupi kanan kiri.
Serius. Ini jelas hutan. Ditambah makam-makam. Lalu mereka sedikit menanjak, menaiki bebatuan. Perjalanan seolah sangat panjang sampai Avisha mendengar suara bedebum kencang.
Dia refleks memeluk Arven.
"Ayo balik aja! Balik aja! Visha gak mau! Visha gak mau diterkam macan ataupun setan. Visha gak mau!"
"Sha!" Arven menekan kedua pipinya lalu mendorong menjauh. "Gak ada macan, apalagi setan!"
Avisha memajukan bibirnya. "Visha mau balik pokoknya!"
"Iya setelah ini."
"Sebenarnya kita mau kemana sih?!"
"Lo juga bakal tau nanti."
Avisha mencibir mendengar kata-kata itu.
Saat, sebuah lampu, bukan, lebih tepatnya kunang-kunang yang hinggap di bahunya, dia menganga luar biasa. Itu benar kunang-kunang?
Sampai Arven mendorong dedaunan lebat di depan, menunjukkan pemandangan yang tertutup di baliknya.
Avisha membeku sepenuhnya dengan mulut menganga takjub.
Apa Avisha tengah bermimpi di negeri dongeng?
Dia menabok pipinya sendiri berulang kali. Dan penampakkan danau di tengah hutan bersama kunang-kunang bertebrangan tak beraturan itu sama sekali tak lenyap di matanya.
Ini nyata!
"Ini rahasia gue."
Avisha jadi menoleh.
"Sekarang lo tau."
"Kak Arven ..." Entah apa yang harus Avisha katakan. Semuanya luar biasa, hingga dia tak mampu lagi berkata-kata. "Kak Arven ..." Matanya mulai berkaca-kaca. Mengacungkan kedua jempol di tangannya. "Kak Arven luar biasa!"
"Kenapa lo malah nangis?"
Avisha tertawa sambil mengusap air matanya yang mengalir tanpa alasan. "Visha gak nyesel ketemu kak Arven, kenal kak Arven, pokoknya semuanya sama kak Arven, Visha gak nyesel."
"Harusnya gue yang ngomong."
"Gak perlu!" Ada luapan emosi yang tak bisa Avisha jelaskan artinya. "Visha juga bisa ngungkapin semuanya."
Arven mengusap air matanya, yang tak mau berhenti.
"Visha cuma mau ama kak Arven. Di samping kak Arven. Semuanya yang Visha lakuin harus ada kak Arven."
Cowok itu menatapnya sejenak. Sebelum menariknya ke pelukan. Merengkuhnya dengan erat.
"Jadi, jangan ninggalin gue," ucapnya entah kenapa terdengar takut. "Jangan pernah biarin gue sendiri."
Avisha mendongak dengan matanya yang basah. "Dan berhenti nangis."
"Kenapa Visha jadi nangis ya," gumamnya mengusap air matanya kembali. "Kok cengeng banget." Dia menatap wajah Arven yang begitu dekat, apalagi tubuh mereka yang memang masih saling merapat.
"Kenapa cewek pendek kayak lo bisa buat gue kayak gini?"
"Gini gimana?"
"Lo mau tau isi kepala gue?" Avisha tentu mengangguk. "Gue mau lo cuma buat gue. Gue mau ngurung lo, biar gak ada yang bisa liat lo selain gue."
"Kenapa jadi serem gitu."
Arven sontak tertawa mendengarnya, melepaskan pelukan.
Avisha menatap danau di sana. Cahaya kunang-kunang yang terbang di atasnya seolah menambah daya tariknya. Belum lagi, bayangan bulan sabit yang tampak jatuh di air. Bagai, lukisan yang begitu indah diciptakan Tuhan, Avisha tak mampu lagi buat mendeskripsikannya.
"Tapi, ya," gumamnya, "Visha seneng hari ini. Kakek kak Arven baik ternyata."
Arven meliriknya. "Satu hari sebelum acara itu, gue dateng dengan satu syarat. Kalo kakek gue emang mau berdamai, dia harus bantu gue buat nemuin pelaku yang neror lo. Termasuk siapa orang yang ngelecakain orang tua dan adik gue."
Kali ini Avisha jadi menoleh. "Jadi ..."
"Kakek gue bakal nyari tau semuanya," ucapnya. "Gue mau berdamai ama kakek gue karena lo, Sha."
"Emang seharusnya gitu kan, kak Arven harus lupain masa lalu antara kak Arven dan kakek Raihan."
"Menurut lo gitu?"
Avisha mengangguk mantap.
"Kalo lo minta gitu, oke."
"Jangan karena Visha," Avisha menunjuk dada Arven dengan telunjuknya. "Tapi, karena hati kak Arven yang setuju soal itu. Kebencian gak bakal nyelesaian apapun, kata mama, benci cuma bikin kita terpuruk, dan orang yang kita benci mungkin hidupnya baik-baik aja. Kita yang terluka sendirian."
Arven seperti kehabisan kata-kata. Tak percaya jika Avisha bisa sedewasa itu. "Lo bisa ngomong kata-kata bijak kayak gitu?"
"Visha cuma inget kata-kata mama aja."
Hening untuk sejenak, sebelum lengan Arven menariknya dalam pelukan. Avisha membeku.
"Gue bakal pastiin kalo gak ada cowok lain yang bisa ngambil lo dari gue."
•••
Mobil Arven meninggalkan gerbang rumahnya dengan Avisha yang berdadah ria. Makin hari dan makin ke sini, Avisha menyadari jika terlepas dari terror hidupnya memang sudah sempurna. Tiap menit dan detik yang terbuang, kebahagian makin terasa berharga.
Dan menyadari atas penyebab itu semua karena Arven. Terkadang Avisha merasa ada ketakutan lain yang dia rasakan. Dia terlalu bergantung pada lelaki dingin itu, dan kata 'terlalu' tentu menjadi hal yang tidak baik jika dibiarkan.
Avisha menghela napas. Dan melepas senyumnya begitu saja. Tapi, harusnya dia yakin Arven tidak akan membiarkan kata 'terlalu' itu menjadi malapetaka.
Dia masuk ke dalam gerbang. Baru juga beberapa langkah saat langkahnya berhenti tak lama.
Itu berkat Nata yang berdiri di sana dengan hoodie abu-abu. Hoodie angkatan sekolah SMP-nya.
"Nata," Ini sudah terlalu larut, dan buat apa cowok itu ke sini. "Nata ngapain?"
"Gue kangen sama lo."
Cuma karena perkataan itu, Avisha jadi makin bertanya-tanya. "Nata malem-malem ke sini cuma karena kangen Visha?"
Cowok sipit itu mengangguk sambil mendekat. "Sejak sekolah libur kita gak pernah ketemu."
Benar juga. Tapi kan ... "Itu karena Nata gak mau diajak ngumpul."
"Iya," lagi-lagi dia mengangguk. "Gue takut gue makin pengen milikkin lo."
"Apa?" Avisha mendengarnya. Sangat mendengarnya.
"Sori, Sha," dua tangan cowok itu tenggelam di saku hoodie depannya. "Sori karena gue gak bisa jadi sahabat yang baik. Sahabat yang pengertian. Sahabat yang gak bisa jaga ... perasaan."
"Apa maksud Nata?"
"Gue berusaha buat gak ngomong, berusaha buat ..." tatapan Nata lurus menatapnya dengan kaki yang tak bisa diam di tempat. "Gue berusaha buat nutupin dan lupain. Tapi, gue gak bisa, Sha ... gue ... gue sayang sama lo."
Avisha sejenak diam. "Karena kita sahabat."
"Gue sayang sama lo bukan sebagai sahabat, Sha."
Dan seperti mendapat berita kematian, Avisha dibungkam sepenuhnya.
"Lo pasti ngerti kan. Plis jangan benci gue," Dan buat pertama kalinya, seluruh wajah penuh jenaka itu hilang di matanya. Nata menatapnya ketakutan. Bingung. Dan perasaan campur aduk lain. "Jangan jauhin gue, Sha. Plis. Gue cuma pengen jujur. Gue cuma pengen lo tau, dan gue gak berharap buat dibales."
"Nata ..."
"Gue pikir gue bisa nyimpen ini sendirian, buang jauh-jauh perasaan gue," Nata mengeluarkan satu tangannya dan mengenggam tangan Avisha. "Tapi, gue gak bisa, Sha. Itu susah. Susah buat dilakuin."
Seluruh kosa katanya lenyap entah kemana. Avisha tidak bisa menemukan kalimat apapun buat mencairkan suasana. Semua beku dan terasa tak mengenakan.
"Gue cuma mau ngomong itu aja, Sha," cowok itu lalu mengusap rambutnya. "Gue balik ya." Cowok itu lalu berjalan mendekati motornya yang terparkir tak jauh dari beranda rumahnya. Setelah cowok itu hilang dari gerbang, Avisha masih berdiri di tempatnya.
Dia berjalan menaiki tangga ke beranda, dia harus membersihkan diri buat menjernihkan pikirannya. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti.
Kali ini bukan lagi Nata.
benda kecil yang tergeletak di ujung dekat pintu samping pot besar menarik perhatiannya. Dia mengambil kotak di sana. Jantungnya berdebar-debar tanpa alasan. Ketakutan mulai menghantui, yang diperparah dengan tulisan merah di penutup kotaknya.
Dua permainan sebelum berakhir ...
Apa maksudnya?
Pelan-pelan dia membukanya dengan tangan gemetaran.
Tapi, dia agak speechlees saat mengetahui benda di sana.
Sebuah foto?
Foto siapa?
Ada empat orang di fotonya. Dengan dua cewek dan dua cowok. Dan Avisha cuma fokus sama satu cewek yang memakai dress yang bewarna sama dengan dressnya. Kepalanya dicoret lingkaran dengan tulisan 'dead'.
Tidak ada yang lebih mengejutkan dibanding wajah cewek itu.
Mirip dengannya?
Nyaris mirip ...
•••
nah .... :(((
Nata dateng cuma buat jujur, eh tpi kok ada kotak disitu. pas bnget gitu ya.
jadi siapa penerornya? ada tiga kandidat ya :((
Arven u,u
Udah lama kan Nata gak nongol :))))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro