A;A67-Apa artinya?
huhu maaf atas keterlambatannya :((
sibuk bnget dri kmren, tpi tiap liat komen seneng bnget krna bnyak yg nungguin
pokoknya yg sring komen, diakhir part dapet bonus ya wkwkwk
•
MUNGKIN hampir lima belas menit mobil silver milik Arven cuma terparkir di luar gerbang Avisha. Tak ada percakapan. Cuma hening yang dibiarkan tak mengenakan.
"Besok Jam berapa kak Arven jemput Visha?"
Akhirnya Avisha yang memutusnya dengan pertanyaan. Tapi, tentu sorot cewek itu lurus ke depan, tak menatap Arven sama sekali. Lebih tepatnya, tidak mau menatapnya.
"Andien datang ke apartemen gue setelah malam gue nemenin lo." Kali ini, Avisha mau tak mau menoleh. "Dia ngajak gue ngobrol di rooftop dan lo tau angin di sana kenceng banget, karena gue manusia yang masih punya rasa peduli, gue lemparin jaket yang gue pake."
Dan Avisha jadi bingung untuk lebih khawatir atau tidak mendengar penjelasan itu.
"Nanti kak Arven chat Visha aja kalo belom tau mau jemput jam berapa." Saat Avisha hendak membuka pintu mobil, tangannya tahu-tahu ditarik dan membuatnya mendarat di dada Arven. Avisha syok bukan main.
"Lo gak percaya sama gue?" Mata biru kehijauan itu seperti menusuknya dalam.
"Visha percaya kak Arven," dia menjawab jujur. "Tapi, Visha gak percaya kak Didi."
"Gue sama dia cuma ngobrol biasa, dan hubungan kita udah selesai."
"Kak Arven yang anggep selesai, Kak Didi enggak."
"Gue tau lo cemburu, tapi jangan ..."
"Visha gak cemburu!" Avisha memelotot tak terima. "Visha kan udah pernah bilang Visha gak pernah cemburu."
"Terus kenapa lo marah?" Alis Arven terangkat. Tampak menyebalkan.
"Ya, Visha bingung aja kenapa jaket kak Arven ada ama kak Andien."
"Dan gue udah jelasin kenapanya."
Avisha makin menatap Arven tajam. Kenapa cowok itu selalu menjawab semua perkataannya.
"Terserahlah." Avisha menepis tangan Arven yang memegangnya. Walau cowok itu kembali mengenggamnya.
"Lo gak tau hubungan gue ama Andien kayak gimana," Arven mengenggam tangannya erat. "Kita jadian karena terpaksa. Karena keadaan ..."
"Apa maksudnya?"
"Denger, apapun yang terjadi sama gue dan Andien dulu itu gak artinya. Dibanding gue sama lo sekarang." Entah Avisha harus senang atas pengakuan itu. Atau makin dibuat bingung karena tentu perkataan Arven menimbulkan tanda tanya.
"Lebih dari apapun, lo lebih berharga. Gue udah jelasin kan, Andien gak ada apa-apanya. Cuma lo, Sha."
Avisha tahu perkataan itu tulus. Avisha sangat tahu!
"Lucu lo cemburu sama orang yang jelas derajatnya jauh di bawah lo."
Dan pada sikapnya barusan, Avisha jadi merasa sangat kekanakkan. Cuma karena jaket, dia cemburu tanpa alasan. Dia menunduk, memainkan kuku. Namun, Arven justru menyentuh pipinya untuk mendongak menatap cowok itu.
Arven tak mengatakan apapun lagi selain mencium keningnya lalu memeluknya.
"Bahkan gue rela dikatain bucin kalo sama lo."
•••
"Arven udah siap?"
Saat Arven baru saja meloloskan kaosnya dari kepala, bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Arven tentu langsung mendelik pada pelakunya.
"Lo kebiasaan banget sih!"
Yang diomeli malah menyengir tak merasa bersalah.
"Arven yang biasaan pintunya suka gak ditutup." Ashilla, gadis kecil itu menyandar pada tembok memerhatikan kakaknya. Dan Arven yang justru menatapnya dari atas sampai bawah.
"Rok lo kependekkan."
Ashilla jadi ikut melihat yang dimaksud kakaknya. Dia memegang rok maroonnya. Tampak cocok dengan kaos abu-abu terang yang dia kenakan.
"Gak ah, bagus tau, ini dari Andien." Gadis itu malah tersenyum senang. Beda dengan Arven yang makin tak suka.
"Rok lo kependekkan, jadi ganti," ulang cowok itu sambil mengambil jam tangannya di meja. Tanpa tahu perkataan itu sedikit menyinggung Ashilla.
"Emang kenapa? Sekali-sekali aku pakai baju kayak gini, gak masalah kan?"
"Shill ..."
"Arven gak perlu khawatir, aku bisa ..."
"Bisa apa?" Arven memotongnya sengaja. "Gimana kalo cowok-cowok hidung belang itu ngincer lo. Godain lo. Lo yakin bisa ngatasin itu."
"Kenapa aku yang harus ngatasin, ada Arven," ucapnya menatap lurus Arven yang membalasnya dingin. "Kayak yang Arven lakuin ke Andien, Arven juga bisa ngelakuin itu ke aku kan?"
"Shill, gue gak peduli soal Andien. Ini beda kalo lo yang diincer ..."
"Kenapa kalo aku yang diincer?" Ashilla meremas jemarinya. Sesuatu yang dipendam sendirian memang tak enak. "Aku bukan anak kecil lagi, yang gak ngerti apapun."
"Gue kayak gini karena gue mau lindungin lo. Gue kakak lo."
Pada perkataan itu, entah kenapa Ashilla ingin sekali tertawa. Tertawa pahit.
"Jadi, tolong dengerin kata gue ..."
"Arven suka Andien?"
"Apa?" Arven tentu bukan tak mendengarnya. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba.
"Arven kadang muji Andien cantik, nolong Andien, baik ke Andien," Dan Arven sama sekali tak mengerti apa maksudnya. "Arven suka ke Andien kan?"
"Dia emang cantik, dan itu berarti gue suka kalo muji dia?" Tidak ada yang salah dengan itu. "Gue baik karena dia temen lo, gue nolong ..."
"Tapi Dino gak pernah baik ke siapapun," Ashilla mengucapkan fakta. "Apalagi Arven, jadi Arvendino gak mungkin baik ..."
"Berhenti manggil gue kayak gitu!"
"Dino cuma baik sama adiknya. Dino cuma peduli ama adiknya!" Penuh penekanan dan emosi, Ashilla memutar tubuh kemudian, membuat Arven butuh penjelasan lebih. "Aku tunggu di bawah, Arven turun aja kalo udah siap."
•••
"Kalo ketauan anak umur nyetir mobil, habis lo, Ven." Askar yang duduk di sebelahnya meledek.
"Iya, harusnya tadi kita bareng Pak Endah aja." Ashilla duduk tepat di belakang Arven bersama Andien. "Bareng temen-temennya Askar."
Andien melihat mobil di depan, mobil yang berisi teman-teman band Askar. Dan mobil mereka tentu tengah mengikuti mobil di depan.
"Kalo ada polisi gimana?"
"Askar yang nanggung." Arven menjawab ketus.
"Kok gue?" Askar menunjuk dirinya tak terima. "Mana bisa gitu. Lo lah! Lo yang nyetir."
Arven meliriknya tajam. "Yang nyuruh gue nyetir siapa?"
"Udahlah," Askar menyandar santai. "Hari minggu polisi pasti males. Mereka pasti juga pengen rebahan di rumah."
"Oh iya," Andien baru teringat satu hal. Mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Ta-da! Gue buat sphagetti. Buat lo, Ven." Cewek itu menyodorkan pada Arven yang fokus menyetir.
Tidak Peduli, Arven pun tak melirik.
"Andien buatin Arven sphagetti?" Ashilla di sebelahnya bertanya lirih, yang Andien angguki antusias.
"Kenapa Arven doang? Gue mana maleficent?!" tagih Askar.
Andien masa bodoh, membuka tutup tempat makannya. Garpu plastik dengan sphagetti itu Andien angsurkan ke arah Arven. "Ini tanda terima kasih gue karena lo selalu nolong gue."
"Gak perlu."
"Perlu," Andien kekeuh. "Aaa buka mulutnya ..."
Dan bukan Arven yang menerima, justru Askar dengan sengaja menarik tangan Andien ke arah mulut dan menerimanya senang hati.
"Kalo Arven gak mau mending buat gue."
Andien mendelik lalu menoyor kepala Askar tanpa belas kasihan. "Apaan sih lo!"
"Bener kan? Kasian tuh makanan dianggurin gitu, mending gue makan." Askar tersenyum menyebalkan.
"Lo tuh!" Andien gregetan hendak menjambak rambut Askar, jika saja cowok itu tak menghindar.
Ashilla yang menyaksikan tertawa geli. "Kalian udah pake baju couplean juga, masa berantem."
Keduanya kompak berhenti. Sama-sama menatap pakaian yang mereka pakai. Baju putih dengan logo band yang Askar ketuai itu jelas terpampang jelas di bajunya.
"Gue terpaksa ya pakai ini!" Andien menutup tempat makannya kembali dengan kesal. Menjatuhkan tubuh menyandar sambil menghela napas kasar.
Setelah banyak pertengkaran, percakapan, mobil mereka tak lama sampai di tempat tujuan. Memarkirkan mobilnya di parkiran yang tersedia.
Dari jauh saja, panggung besar itu sudah terlihat jelas. Belum lagi kepadatan orang-orang. Bazzar makanan. Permainan yang juga meramaikan festival itu.
"Kalo Askar sama Andien udah selesai tampil, kita naik bianglala ya," usul Ashilla antusias. Andien mengangguk setuju. Pun Askar. Dan jangan tanya Arven yang tentu cuma diam selama perjalanan. Menimpali seperlunya saja.
Mereka turun dari mobil dan sudah disambut para teman Askar.
"Hai, Shill," Ini Valdi yang menyapa. "Cantik banget sih!"
"He kutu gak usah sok kegantengan lo!" Andien yang memarahi sambil mendorong Valdi menjauh. Dan Andien justru tak fokus pada Valdi yang membalas menghina, melainkan pada Arven yang menarik Ashilla ke belakang tubuhnya.
Tindakkan yang tentu disebut melindungi.
Cuma itu padahal, tapi Andien merasa mengganjal tanpa alasan.
•••
Saat band Askar tampil di atas panggung itu. Suasana sangat heboh. Terutama para cewek yang mengaku menjadi fans mereka. Ashilla berdiri agak jauh bersama Arven. Memegang gulali di tangan, ikut bernyanyi heboh.
"Andai Arven suka makanan manis, gulali ini enak banget tau," ucap Ashilla dengan mulut penuh.
"Lo kurang? Gue bisa beliin lagi."
"Gak perlu, entar aku gak ngeliat penampilan mereka sampai habis." Ashilla bertepuk tangan heboh, menyoraki Askar. "Askar sepupu aku, kamu luar biasa!" Lalu tertawa girang. "Kayaknya kita emang harus diri di depan deh, biar aku lebih puas liat mereka."
"Gue gak mau lo desak-desakkan orang di sana. Kalo lo gak sengaja jatoh, terus keinjek, gue juga yang kena masalah."
"Kakek gak bakal marahin Arven."
"Lo tau apa, kalo ketauan pergi ke tempat yang buang-buang waktu kayak gini, gue bakal habis ama kakek."
"Aku yang bakal jelasin ke Kakek. Arven tenang aja." Ashilla senyum meyakinkan.
Arven ikut tersenyum, lalu tak disangka saat mengusap kening Ashilla yang basah. "Lo keringetan."
"A-aku gak apa-apa." Ashilla menunduk, menghindari kontak mata. Tapi, dia kembali terpaksa mendongak saat merasakkan sesuatu di kepalanya.
Dia memegang kepala.
Ternyata Arven meletakkan topi yang dipakainya.
"Biar gak kepanasan." Cowok itu membenarkan posisi topinya. Termasuk merapihkan poninya.
"Lo gak perlu maju ke depan biar lihat mereka lebih jelas, gue bisa gendong lo."
Saat Arven mendekat, Ashilla melangkah mundur, menahan. "Gak perlu, aku keliatan kok."
"Dari tadi lo jinjit-jinjit."
"Tapi, aku masih keliatan, Arven gak perlu—AHHH!" Ashilla refleks berteriak saat Arven mengangkat tubuhnya dari belakang.
Dia syok luar biasa.
Tubuhnya yang jadi tinggi membuatnya paling menonjol. Askar bahkan melihatnya, melambaikan tangan heboh. Termasuk Andien yang dibuat kehilangan kata untuk beberapa saat.
Saat penampilan band Askar selesai, Ashilla bersama Arven menyusul ke belakang panggung. Pada momen itu mereka mengabadikannya dengan kamera. Mereka semua heboh sendiri berebut posisi depan, terkadang berpose aneh.
Kecuali Arven. Tentu saja.
Lalu pada jepretan terakhir, Andien berdiri di sebelah Arven yang sementara kiri Arven ada Ashilla. Tentu pemandangan Arven yang merangkul erat bahu adiknya sangat jelas di matanya. Andien mengalihkan perhatian ke kamera dan tersenyum.
Walau sesuatu yang ganjal itu sungguh menganggunya.
"Shil foto ama gue dong."
Saat Valdi menarik lengan Ashilla, entah kenapa pikiran Andien sudah menebak jika Arven akan menepisnya dan justru membawa Ashilla keluar belakang panggung.
"Lo bertiga bebas kemana aja, gue mau ama sepupu gue dulu," Kesadaran Andien sepenuhnya kembali saat Askar merangkul bahunya sambil senyum. "Ayo, maleficent!"
"Apa sih!" Dia menjauhkan tangan Askar, berjalan dulu meninggalkan. Askar cuma tertawa, menyusul di belakangnya.
"Kita mau naik apa dulu nih?" Mereka berhasil menyusul Arven dan Ashilla. Berdiri di tempat pembelian tiket.
"Beli dulu tiketnya!" omel Andien pada Askar. Ini mereka masih berada di antrian, bisa-bisanya cowok itu sudah memikirkan wahana apa yang akan mereka naiki.
"Bianglala dulu ya."
"Gak nantang ah, itu belakangan aja." Askar menjawab, menyenggol bahu Arven yang cuma menyimak. "Iya kan, Ven."
Tiba giliran mereka, Askar cuma menyebutkan tiga tiket, yang membuat Andien refleks menendangnya. Cowok itu malah tertawa.
"Dia cuma pengasuh kita, mba." Dia menunjuk Andien dan makin terbahak. Dan jadi terbatuk-batuk saat Andien menendangnya buat kedua kali.
"Kita naik ontang-anting dulu," saran Askar, yang diangguki semuanya.
"Ada di sana kan wahananya." Andien berjalan lebih dulu ke arah yang dia tunjuk. Tapi, merasa ada yang aneh dengan higheels yang dia pakai.
"Kenapa jalan lo gitu?" Arven yang tiba-tiba berdiri di sebelahnya sungguh mengejutkan. Dibantu higheels yang dipakainya oleng, saat mencari keseimbangan tulangnya justru jadi terkekuk.
Kalau tidak karena lengan yang menahannya, Andien tentu jatuh ke tanah. Dia mendongak dan terdiam melihat Arven yang bisa dibilang memeluknya.
Askar dan Ashilla yang ada di belakang berhenti melangkah dan jadi terdiam.
"Lo gak apa-apa?" tanya cowok itu sambil membantunya berdiri seimbang.
"Gak gue, aw!" Andien sontak mengaduh saat hendak menggerakan kakinya.
"Gue udah bilang nenek lampir, pake sepatu kets aja," Askar menghampirinya sambil mengomel. "Kekilir kan lo. Bandel sih."
Arven berjongkok di depannya, menahan kaki Andien saat ingin mundur. "Iya, kaki lo kekilir." Cowok itu mengecek pergelangan kakinya. "Biru, lo harus obatin."
"Gampanglah, bisa diobatin di rum—"
"Gue yang ambilin di mobil." Askar memotong.
Andien tak mampu berkata ketika dua lelaki itu sama-sama menaruh lengannya di bahu mereka. Membopongnya. Dan sepertinya mereka melupakan Ashilla yang sejak tadi cuma menonton dan kini sudah tidak berdiri di tempatnya.
"Lo duduk di sini." Di bangku taman, dekat pancuran air. Askar melepaskan tangan Andien dari bahunya. "Gue ambil obatnya dulu."
"Lo harusnya hati-hati."
Nada itu dingin, tapi berhasil membuat senyumnya melebar. "Thanks ya, Ven."
"Gak perlu berterima kasih." Arven duduk di sebelahnya.
Andien makin tersenyum mendengarnya, yang kemudian jadi mengerutkan dahi. "Eh, di pipi lo ada apaan?"
"Apa?"
"Bentar."
Saat Andien mengambil sesuatu di pipi Arven, bersamaan Askar yang kembali dengan napas tersengal. Dia berlari mengambil obatnya. Dan tentu, melihat penampakkan di sana, membuat kakinya kaku di tempat.
"Obatnya."
Keduanya lantas menoleh. Askar menyerahkan obat salep di tangannya dengan ekspresi kaku. Andien menerimanya. Tak mengatakan apa-apa.
"Bilang makasih kek," sindirnya. Andien jadi mendengkus.
"Iya-iya, makasih," dia senyum paksa. Lalu menyadari suatu hal.
"Kepaksa banget kayaknya ..."
"Bentar-bentar, kayak ada yang kurang deh."
"Shilla mana?" Arven pun baru menyadari.
"Lah iya," Askar ikut lupa. "Kemana Shilla?"
"Kita harus cari dia!" Andien refleks menahan tangan Arven saat cowok itu berdiri.
"Terus yang nemenin gue siapa?"
"Askar yang bakal ..."
"Gue mau lo," Andien memegang tangan cowok itu erat. "Gue mau lo yang di sini."
"Din, gue gak ..."
"Gue aja yang nyari adek lo," Askar memotong dingin. "Kalo gue belom ketemu juga baru gue kabarin lo." Setelahnya, cowok itu berlari meninggalkan tempat.
"Lo apa-apaan sih, Din!"
"Segitu peduli ya lo sama adek lo?" Andien biasa melihatnya. Sudah empat tahun mereka saling mengenal. Andien telah terbiasa melihat sikap Arven yang sangat berbeda pada adiknya.
Seperti seolah dunia cuma tentang Ashilla.
"Dia adek gue!"
"Lo sayang banget sama adek lo?"
"Pertanyaan lo lucu!" Arven kali ini menatapnya tajam. Sesuatu yang sering Andien lihat, tapi tentu agak berbeda aura yang cowok itu bawa kali ini. "Gue cuma punya dia, gue gak punya siapapun lagi!"
•••
Sekali lagi, Andien menegak cairan di gelasnya. Membiarkan rasa panas dan pusing yang bisa saja menghanyutkannya itu mengalir ke tenggorokan.
Dia membayar minuman yang telah dia pesan berkali-kali. Tanpa peduli, pada barista yang mengucapkan kata-kata sok manis. Andien berjalan meninggalkan meja bar. Musik yang memekkan seolah menjadi hening di telinga.
Dia berjalan di lorong dengan sempoyongan memegang tasnya. Membiarkan orang yang tengah bercumbu di lorong gelap itu.
Di tengah kegelapan, dia menghentikan langkah. Kesabarannya pada ingatan-ingatan itu seperti terkuras habis. Dadanya makin sesak seiring memori itu menikamnya tanpa ampun.
Dia menahan bobotnya di tembok, walau perlahan-lahan pertahannya runtuh. Air matanya sudah mengalir tanpa henti. Dan sakit yang dirasakan membuatnya meringkuk menangis sesegukkan.
"Kar, kayaknya gue suka sama Arven."
"Andien gak boleh suka sama Arven."
"Aku gak suka Andien deket-deket Arven."
"Gue gak salah!" ucapnya terbata-bata. "Gue gak salah sayang sama sepupu lo! Gue gak salah jatuh cinta sama kakak lo!"
Dia berdiri lagi susah payah. Dia tertawa. Menertawakan hidupnya yang kacau. Dia tak peduli jika disangka gila. Hidupnya seolah tak ada arti karena selalu saja dianggap salah.
Tapi, sebuah bayangan gelapa yang berdiri di depannya tentu membuat dahinya mengerut.
"Awas!" Dia mendorong tubuh orang yang menghalangi jalannya. "Gue bilang awas!"
Setelahnya otak Andien seperti diserap habis ketika merasakan benda kenyal yang menempel di bibirnya. Dia membeku di tempat, tapi aroma khas yang diciumnya tentu membuatnya tak bisa menahan cowok di depannya yang menariknya dan memperdalam ciuman.
"Gue anter lo pulang."
Itu suara Askar.
Andien sudah menebaknya sejak awal.
•••
gak perlu takut ama andien srius dia baik loh🙈😶
astaga diakhir, ASKAAAAAAR kamu ngapain🙊
ada yg bisa nebak knapa andien kayak gitu ke ashilla?🐌
Visha bibirnya kalem aja
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro