Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A66-Tidak tahu akhirnya

padahal mau up minggu, malah jadi rabu wkwkwk

tengkyuu buat yg kmren ramein part sama komen, boleh dong part ini juga ...

lihat dulu ya komen ama vote nya :))))

KALAU dipikirkan, waktu berjalan lambat. Tapi, jika dibiarkan berlalu begitu cepat. Sudah terhitung seminggu lebih sekolah Avisha diliburkan sebab kelas tiga yang tengah ujian. Dan dalam seminggu lebih itu, dia tidak bertemu Arven sama sekali.

Tiap hari, dan cukup satu pesan Avisha kirimkan pada Arven, meski dia sangat tahu akan berakhir diabaikan.

Seperti hari-hari kemarin yang membosankan, Avisha merasa benar-benar tidak bergairah di rumah. Ternyata memang benar, saat sekolah dia ingin libur panjang, tapi saat diwujudkan dia justru merasa ingin bersekolah, bercanda dengan teman-temannya.

"Kak Arven sama sekali gak chat lo, Sha?"

Saking banyak melamun, Avisha sampai melupakan keberadaan kedua temannya. Bahkan ikut lupa jika dia ada di rumah Ilona sekarang. Dia duduk bersilang kaki bersama Yania di sofa panjang, yang tampak ingin menghabiskan keripik di toples yang dipeluknya.

Dan ... Ilona duduk di sofa sebelahnya. Ikut menunggu jawaban.

"Kak Arven kan emang gitu kalo udah belajar, lupa semuanya."

Avisha menjawab seadanya. Meski, jelas-jelas tidak bertemu berhari-hari membuat dia merindukan cowok itu.

"Gak kangen?" tanya Ilona menggoda.

"Gak." Avisha menutupi kenyataan.

"Oh ya, btw kalo pas gue ama Visha main ke sini kenapa jarang liat kakak lo?" Yania bertanya sambil memakan keripik.

"Kakak gue mulu yang lo tanyain," Ilona tertawa garing. "Dia sibuk ama pemotretannya, pulang tengah malem mulu."

Jika Yania beroh panjang. Avisha sekadar diam. Tidak seharusnya dia begini, tapi entah kenapa dia jadi canggung sendiri mengingat kalau Andien adalah mantan Arven. Mantan pertama Arven. Bukankah fakta itu terlalu mencengangkan, sampai dia terkadang masih tidak percaya.

"Gue hampir lupa, Papa gue bawa cokelat habis pulang dari Kanada." Ilona berdiri dari sofa. "Bentar ya, gue ambil dulu."

Setelah cewek tinggi itu berlalu, Yania memastikan Ilona sudah berbelok ke dapur. Sebelum menatap serius Avisha yang masih diam.

"Kak Andien mantannya kak Arven kan?"

Dan perkataan tanpa basa-basi Yania tentu menyadarkan Avisha sepenuhnya.

"Apa?" Dia mendengarnya. Terlalu jelas mendengarnya.

"Lo udah tau?"

"Yaya tau dari mana?"

Yania menggeserkan tubuhnya lebih deket. Menutup toples keripik yang dipeluknya dan diletakkan di meja.

"Jawab pertanyaan gue dulu, Sha. Lo udah tau?"

Avisha sejenak diam. Bingung berkata apa, dia cuma mengangguk. Dan Yania yang melihatnya jadi menghela napas panjang. Avisha mau tak mau menatapnya.

"Gue gak sengaja denger kemaren, syok sumpah gue." Wajah Yania jelas tidak berbohong. "Ilona berantem ama kakaknya kemaren siang. Dan gue gak sengaja denger pas Ilona bawa-bawa nama kak Arven."

"Mereka berantem?" Tidak ada yang lebih membingungkan dibanding itu.

"Ya lo kan tau mereka dari dulu emang gak akur. Inget gak, pas kakaknya mau ke luar negeri. Dia bahkan gak mau nganterin ke bandara kan."

Avisha ingat saat dirinya dulu memaksa Ilona, cewek itu tetap bergeming di kamarnya.

Hal itu sempat menganggu pikirannya, sepertinya tidak ada masalah apapun di antara mereka. Mereka berdua, cewek yang Avisha bisa bilang cukup sempurna karena tubuh dan wajah yang diciptakan begitu indah.

Dan terkadang kalau mengingat Andien adalah mantan Arven. Avisha jadi membandingkannya dengan diri sendiri. Tentu untuk pertama kalinya, Avisha menjadi tidak percaya diri. Andien begitu cantik dan sempurna. Sementara dirinya. Cuma cewek kecil yang menang imut saja.

"Lo gak apa-apa?"

"Hah?"

"Lo gak apa-apa karena hal itu kan?" Yania memang yang paling mengerti dirinya. "Sha, jangan diem aja dong."

"Visha gak apa-apa," Dan seperti yang sudah-sudah, Avisha menutupi kebenarannya. "Kan cuma mantan. Jadi, ya gak apa-apa."

"Tapi, Sha ..."

"Ini cokelatnya!" Ilona balik dengan kotak besar di tangannya. Memutus percakapan itu begitu saja. Meletakkan kotak cokelatnya di meja. "Kalian habisin aja."

"Woah!" Yania heboh setelah membuka kotaknya. "Gila, Na! Ini cokelat yang gue mau udah lama!"

"Beneran dihabisin nih?" Avisha juga ikut takjub melihat cokelat itu yang dibungkus warna silver. Tampak begitu menggoda.

"Beneran, gue males makan manis-manis gitu. Terus juga kak Andien kan gak boleh keseringan makan gituan, kalo mau badannya tetap bagus."

"Kakak lo diet?" Yania bertanya yang diangguki Ilona. "Ngapain dah kakak lo diet-diet gitu, badan kakak lo udah bagus kan."

Sekadar perkataan itu, Avisha mengurungkan niatnya untuk mengambil cokelat di sana.

"Mm, Visha gak bisa lama-lama." Dia bersuara pelan. Yania dan Ilona kompak menatapnya bingung.

Untuk mengurangi kecurigaan, Avisha menambahi. "Visha mau latihan biola, dua minggu lagi Visha bakal ikut lomba kan."

Lagi dan lagi, Avisha harus berpura-pura buat kepentingan dirinya.

•••

Di kamarnya yang dibiarkan remang dan cuma mengandalkan lampu meja, Avisha berbaring telungkup berbantal boneka es krimnya. Membiarkan pikiran tak mengenakan ini mengendalikan dirinya.

Terkadang, Avisha merasa paling beruntung memiliki Arven. Itu pun tak menutupi jika disaat bersamaan dia merasa rendah diri jika disandingkan dengannya.

Andien dan Arven ...

Dua pasang makhluk yang diagung-agungkan. Andien yang populer dan cantik, disandingkan Arven yang pintar dan tampan. Dunia seolah berpusat pada mereka. Mungkin berdusta, jika tidak ada yang iri jika melihat kebersamaan mereka.

Pasangan sempurna.

Bahkan sebelum satu hari, Arven sibuk dengan ujiannya. Dia berkumpul bersama teman-temannya. Avisha diajak. Di sana, Avisha bertanya pada Retta saat di toilet.

"Kak Retta satu sekolah sama Kak Didi kan?"

Sejujurnya Avisha agak berani menanyakan ini, tapi Retta adalah kakak kelasnya yang paling ramah. Sesuatu yang perlu disyukuri.

Retta yang saat itu tengah mencuci tangan jadi menoleh. "Didi?"

"Ah, maksud Visha, kak Andien."

"Oh ... iya, gue kenal Andien ya ... karena dia," Retta agak ragu. "Pernah pacaran sama Arven."

"Kak Retta gak usah ragu gitu ngomongnya, Visha gak apa-apa kok. Visha kenal kak Didi, eh kak Andien."

"Lo kenal dia?"

Avisha mengangguk. "Dia kakaknya teman Visha."

"Oh iya?"

Sekali lagi, Avisha mengangguk. "Kak Andien dulu sama kak Arven gimana?"

"Gimana ... apanya?" Cewek berbandana itu tampak bingung untuk menjawabnya.

"Visha denger, Kak Retta sering double date sama mereka?"

"Sha, itu masa lalu." Retta di depannya bingung harus berbicara apa. "Lo gak usah pikirin itu."

"Justru karena itu," Avisha meremas rok pink yang dipakainya. "Visha harus tau masa lalu kak Arven."

Retta menarik napas panjang. Tanpa berani menatap Avisha di sebelah. "Lo pasti tau kan dari Arven kalo mereka pasangan populer?"

Tentu. Tentu Avisha sudah mendengarnya.

"Di sekolah, mereka jadi tolak ukur orang-orang yang pengen pacaran. Kalo cewek pengen punya cowok pinter-dingin kayak Arven. Terus ..."

Siap bertanya, harusnya Avisha siap buat menerima segalanya.

"Yang cowok selalu pengen punya cewek kayak Andien yang cantik."

Avisha makin meremas roknya.

"Tapi ya, Sha. Ngebosenin pacaran kayak gitu." Avisha jadi mendongak lagi dan menemukan kakak kelasnya yang tersenyum menenangkan. "Gini ya, semua orang pasti bakal jadiin pasangan itu bahan gossip setiap hari, tiap detik, masalah sedikit aja pasti langsung jadi bahan omongan. Hubungan kayak gitu gak bakal awet kan?"

Ucapan itu seperti suntikkan buatnya.

"Justru dibanding liat Arven sama Andien, gue lebih suka liat lo sama cowok dingin itu. Lo yang cerewet, dan Arven yang diam. Pasangan emang harus kayak gitu kan. Saling ngelengkapi." Retta menepuk bahunya. "Gue ngomong gini bukan karena buat nenangin lo, tapi itu emang kenyataannya."

Kemudian, seluruh bayangan Avisha buyar saat ponselnya bergetar.

Ada pesan.

Dari Arven!

Singanya Visha: Besok Ujian terakhir gue. Ada acara coret-coretan. Datang ya, gue mau liat lo.

Dan tentunya, pesan itu berdampak besar untuk memperbaiki moodnya yang berantakan. Avisha tersenyum membacanya.

•••

Avisha datang agak telat dari jam yang Arven rencanakan. Dia mengetik pesan pada Arven jika dia sudah sampai. Tapi, beberapa menit menunggu di luar gerbang, belum ada balasan apapun dari cowok itu. Dia memutuskan untuk masuk setelah menyapa satpam sekolahnya yang tampak berjaga di pos.

Belum juga jauh melangkah dari gerbang, samar-samar Avisha mendengar sorak-sorai. Sangat ramai. Suaranya berasal dari arah lapangan sekolah.

Dan ...

Saat Avisha sampai di sana. Tentu Avisha sangat menyesali keputusannnya memakai dress putih selututnya. Corat-coret pilox bertebaran dimana-mana. Anak-anak kelas dua belas tampak gembira dengan pakaian kotor warna-warninya. Belum lagi, fakta serbuk-serbuk berwarna berterbangan di udara, jatuh mengenai rambut mereka.

Termasuk mengenai kepala Avisha.

Apa seperti ini, euphoria yang dirasakan anak SMA. Avisha juga baru merasakan kelulusan tahun kemarin. Tapi jelas, terlihat nyata perbedaannya.

Bahkan, di sini Avisha cuma sebagai penonton. Namun, tak perlu dijelaskan kalau Avisha merasa seperti terjun langsung merasakan kegembiraan di sana.

"Sha!"

Teriakkan itu membuat Avisha mencari sumber suara.

Ternyata Zion.

Kakak kelas absurdnya itu berjalan mendekat dengan pakaian yang tentu tidak bisa dibilang pakaian lagi. Sebab pilok itu sudah mengotori seluruh seragamnya. Termasuk coretan spidol.

"Kak Zion kotor banget."

"Ini namanya seni." Cowok itu asal saja menjawab. "Lo ke sini disuruh Arven?"

Avisha mengangguk. Merasa serbuk-serbuk di udara itu makin menyebar ke dressnya.

"Bodoh banget sih," Zion yang juga melihatnya jadi mengatai. "Kenapa pake baju putih. Kotor baju lo entar."

"Ya Visha mana tau bakal ada kayak gini," Avisha jadi memelotot kesal. "Lagian ini apa sih? Buat apaan pake-pake ginian?"

"Ini yang bikin rame." Lalu Zion menyodorkan spidol di tangan. "Sha, tanda tanganin baju gue dong."

"Tanda tangan?"

"Nih di sini!" Zion menunjuk bahunya. Mau tak mau, Avisha menerima spidolnya, belum apa-apa saat Avisha malah kaget benda di tangannya ditarik tiba-tiba.

Sontak keduanya menoleh.

Arven berdiri di sampingnya dengan wajah dinginnya yang biasa. Dan entah bukan fakta itu, yang membuat Avisha mengernyit melainkan pakaian Arven yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari pakaian Zion. Seragamnya masih putih kinclong.

"Apa-apaan sih, Ven! Spidol gue tuh!"

"Seragam kak Arven kok masih bersih?" Avisha jadi refleks bertanya.

"Iya dia nungguin gue," Ini Zion yang menjawab. "Lo pasti mau tanda tangan pertama gue di baju lo kan? Sini-sini gue yang ..."

"Gue mau lo yang pertama nyoret seragam gue." Arven justru menyodorkan spidol pada Avisha.

"Vi-Visha?" Avisha sedikit syok.

"Gue nungguin lo," Bagaimana bisa perkataan tanpa nada itu memporakporandakan jantungnya sedemikian rupa. "Gue cuma mau seragam gue ditandatangin sama lo."

"Heh bucin!" Sungguh Zion memang perusak suasana. "Gak sampe segitunya kali!"

"Bacot!" Arven mendorong menjauh. "Pergi lo!"

Zion bertolak pinggang sambil menekuk bibirnya. Sama sekali penampakkan yang membuat Arven mendengkus jijik.

"Lo gak pantes kayak gitu."

"Tega banget lo sama gue!" Zion mulai mendrama. "Lo gak inget kenang-kenangan kita? Kata-kata manis yang selalu lo ucapin kalo gue tidur. Terus, emot lope-lope—ANJING!"

Setelahnya Zion mengumpat kasar saat Arven menendang kakinya kasar. Avisha yang melihatnya agak kaget, walau rasanya ingin sekali tertawa.

"Sakit bangsat!"

Peduli pun tidak, Arven justru menariknya meninggalkan Zion yang kesakitan di sana. Zion mengumpat, memanggil Arven berkali-kali.

"Kak Arven, kak Zion ..."

"Biarin aja orang stress."

Avisha tak lagi bersuara. Sampai Arven berhenti melangkah. Ternyata cowok itu membawanya ke gerbang belakang sekolahnya.

"Nih," Arven menyerahkan spidolnya, yang Avisha terima dengan senyum lebar.

"Ngapain jauh-jauh bawa Visha ke sini cuma buat tanda tangan?" Avisha tertawa kemudian. "Takut dikatain bucin ya?"

"Gak juga, gue cuma mau lihat lo tanpa diganggu."

Spidol di tangannya sontak berhenti di udara. Dia terpaksa mendongak dengan Arven yang menunduk, menatapnya datar.

"Jadi kak Arven beneran nungguin Visha?"

Cowok itu mengangguk membuat Avisha menahan senyumnya agar tak melebar.

"Kak Arven jadi cuma mau tanda tangan Visha nih?"

"Gue gak perlu butuh yang lain kan?" Tangan Arven lalu menarik pinggangnya buat mendekat. "Gue cuma butuh lo."

Kali ini, Avisha tak lagi menahan senyum lebarnya. Avisha menempelkan tepat spidolnya di atas dada Arven yang sangat terasa degupannya. Persis seperti keadaan jantungnya. Dia membentuk tanda 'love' besar di sana.

"Gambar hati?"

Sebagai respon, Avisha sekadar senyum. Lalu cewek itu meletakkan tanda tangannya di tengah gambar hati yang tentu menjadikan sudut Arven terangkat.

"Emang gak salah kan gue ngajak lo ke sini." Cowok itu mengambil spidol dari tangannya. Ikut mencoret seragamnya sendiri. Membuat tanda tangannya di bawah tanda tangan milik Avisha.

"Kak Arven gak bakal malu pake baju kayak gitu?"

"Kenapa harus malu?" Cowok itu menunjuk tanda tangan Avisha yang tentu ada namanya di bawahnya. "Ada nama lo di sini."

"Kak Arven apa sih!" Avisha refleks memukulnya pelan. Salah tingkah dengan senyumnya yang tak bisa ditahan lagi.

"Jangan senyum."

"Hah?"

"Kita lagi di sekolah, gue gak mau refleks nyium lo."

Apa-apaan itu! Kenapa nada datar itu begitu besar dampaknya bagi jantung Avisha.

"Kak Arven ih!" Buat menutupi gugup, Avisha menaboknya lagi. Yang malah membuat cowok itu tertawa. Lalu memeluknya tanpa izin.

Avisha bingung di dada Arven. "Kenapa jadi meluk?"

"Dibanding gue nyium, mending gue meluk kan?"

•••

Waktu telah membawa Avisha ke titik ini. Pada titik yang Avisha harapkan bisa menyembuhkan. Trauma. Ketakutan. Pun Avisha berharap misteri tentang pelaku terornya akan terungkap. Semuanya selesai dan dia bisa kembali hidup tentram.

Tanpa ada gangguan.

Tanpa ada ketakutan.

Tanpa apapun, yang kembali membuatnya sulit.

Setidaknya, karena dia memiliki Arven. Dia bisa melewati semuanya.

Ya, setidaknya ...

Karena dia tidak tahu rencana Tuhan ke depannya.

Balik ke kenyataan, Arven memarkirkan mobilnya di depan minimarket.

"Lo mau beli apa emangnya?"

"Visha mau buat cheese cake buat kakeknya kak Arven."

"Kalo gitu, kita langsung balik aja."

"Ih!" Avisha sontak menahan lengan Arven yang hendak menarik perseneling. "Besok ulang tahun kakeknya kak Arven. Visha cuma mau buatin itu sebagai hadiah."

"Sha ..."

"Ayolah kak Arven."Avisha menatapnya dengan mata polos. Hal yang membuat Arven mendengkus karena merasa kalah.

"Gue perlu ganti baju, Sha. Liat gue masih pake seragam yang lo coret2!" Arven menunjuk seragamnya yang tertutup hoodie birunya. Avisha memutar mata malas.

"Gak keliatan bajunya! Bentar aja ya?"

Arven menghela napas. Avisha tentu tertawa senang lalu membuka pintu mobil buat turun.

Baru juga sampai di depan pintu, kakinya mendadak beku di pijakan. Pun Arven di sebelahnya.

Ada Andien di sana.

Mungkin Avisha memilih buat biasa. Tapi, fakta jika jaket yang Andien pakai terasa familiar, membuatnya mengernyit dalam.

"Arven." Bahkan Avisha tidak peduli jika cewek itu cuma menyapa Arven padahal ada dirinya di sini. "Eh, hai, Sha. Kalian ..."

"Itu jaket kak Arven kan?"

Avisha tidak perlu buat basa basi.

"Oh ini," Andien seperti kebingungan buat menjelaskan. "Ini, kita waktu itu ketemu gak pas gitu waktunya. Arven terpaksa minjemin jaket ini."

"Apa maksudnya?" Avisha menoleh pada Arven. Berharap cowok itu akan menjelaskan.

"Itu cuma jaket," Arven menatapnya. "Gak perlu dipikirin."

Apa-apaan penjelasan itu!

"Oke, kalo gitu," Avisha tidak suka dengan itu. "Kak Didi bisa lepas jaketnya kan?"

"Apa?"

"Lepas jaketnya," ulang Avisha penuh penekanan.

"Niatnya gue juga mau balikkin kok," Andien menjawabnya. "Tapi, tadi gue mau buru-buru ke minimarket, jadi pake baju pendek, makanya gue tutupin jaket."

"Kak Didi tau kan kak Arven pacar Visha sekarang?" Avisha mendongak berani. Hal yang tentu tak disangka Andien. "Jadi, Visha harap Kak Didi inget batasnya aja." Andien tampak bingung untuk berkata lagi.

"Sha, gue ..."

"Visha mau balik!"

Setelahnya, Avisha memutar badannya menuju mobil. Baru saja dipikirkan jika keadaan akan selalu sama. Tapi, harusnya Avisha tahu roda yang berputar tidak akan tertebak arahnya kemana.

•••

Baru juga seneng ya kan, tpi kita msih seneng2 dululah ya

santai aja dulu wkwkwkwk🙈

Ada yg mau nyapa Andien mungkin?

Visha😽

Mangap aja, Ven :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro