Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A65-Ingin Diperbaiki atau tidak

HOLAAAA, Gimana nih kabarnya?

Kangen gak ama mereka? atau ama aku? wkwkwk

aku mau liat vote ama komennya dulu ah, kalo banyak up cepet lngsung❣❣

ASKAR selalu latihan band di studio kecil yang dia sewa bersama teman-teman bandnya. Hampir tiap hari mereka melakukannya. Ditambah ada perlombaan yang ingin mereka ikuti, semakin padat jadwal yang mereka buat.

Selain menjadi bassis, dia yang mengatur semua. Di belakang drum, ada Riko. Gitaris ada Erik dan Valdi yang sekaligus bernyanyi. Lalu bassis tentu saja dirinya.

Dari segala persiapan yang sudah tersusun rapi, tentu masih ada yang kurang.

"Lo udah nemu cewek yang bakal jadi vokalis bareng Valdi?"

Askar menggeleng sambil mengatur bassnya. "Belom, gue entar minta bantuan Arven buat masang audisi di mading."

"Kelamaan lah," Valdi protes. "Tinggal seminggu waktunya."

"Ya mau gimana, gak segampang itu nyari vokalis cewek. Apalagi suaranya yang emang cocok sama lagunya."

"Kalo gitu kenapa milih lagu yang harus ada ceweknya sih." Riko ikut bersuara.

"Valdi yang milih noh." Erik kompor. Valdi mau angkat suara saat Askar memotongnya.

"Udahlah," Askar menengahi. "Pasti bakal ketemu."

"Mau kapan, gak bakal ..."

Semuanya jadi terkejut. Termasuk Valdi yang berjengit saat pintu studio tahu-tahu dibuka kencang.

Askar menoleh dan sontak mengangkat alis saat melihat seorang cewek kecil berdiri di sana dengan cengiran.

"Lo ngapain Shill?"

Ashilla, perempuan bertubuh kecil. Berwajah imut. Mata bulat layaknya boneka itu berdiri percaya diri. Hal yang Askar harus tahu, adiknya Arven itu memang kadang suka semena-mena. Sama seperti kakaknya.

"Askar lagi butuh vokalis cewek kan?"

Askar melepaskan bassnya dari kepala. Hendak mendekat. "Kenapa emangnya?"

"Nih, aku punya kandidatnya." Ashilla lalu menarik-narik seseorang yang tampaknya bersembunyi di balik tembok. Saat dia berhasil menarik perempuan tinggi itu ke depannya.

Askar menaikkan alis makin heran.

Perempuan yang Ashilla tarik-tarik itu merengut. Mengomelinya habis-habisan.

"Maleficent ngapain lo?"

Cewek yang merasa terpanggil makin memelotot marah. "Sialan lo! Berhenti manggil gue kayak gitu!"

"Cocok sama lo."

"Lo mau gue tonjok!" Andien, cewek yang Askar suka jahili itu tampak ingin menerjangnya.

"Galak banget sih kanjeng ratu!" Valdi tertawa.

"Terserah lo semua, gue mau balik!" Andien baru juga membalikkan badan saat Ashilla tentu menahannya.

"Kok balik sih. Kita kan ke sini supaya Andien jadi vokalis bandnya Askar."

"Gue gak mau, Shil!"

"Bentar-bentar, lagian siapa yang mau," Askar agak terkejut yang detik berikutnya jadi meledek. "Suara lo belom tentu bagus."

Ashilla bertolak pinggang. Marah. "Askar gak boleh ngomong gitu ..."

"Lo baru aja ngerendahin gue hah?!" Andien berjalan mendekat. Menusuk Askar dengan tatapan.

"Gue gak ngerendahin lo ..."

"Oke, Valdi mainin lagu We're Just Friends - LovingCaliber." Dia berhentidi sebelah Askar, mengambil sebuah mic dari tangannya. "Tau gak lo kuncinya!

"Valdi mendengkus. "Taulah."

"Nih ya dengerin baik-baik!" Andien menatap Askar tajam, yang dibalasnya dengan senyum dan alis terangkat menyebalkan.

Sejenak, Andien berdeham. "Oh man, i think might be going crazy, 'cause all i really, really want is to be with you
and i'm like ..."

Sekadar itu, tapi Askar dibuat bungkam. Dan berita tidak baiknya jika tatapan Andien memengaruhinya buat diam di tempat.

"We're saying we're just friends, but thinking you're my man ..." Andien menyentuh bahu Askar sambil mengusapnya pelan.

"Hey! i say i'm doing alright, i'm doing just fine but, i'm scattered, scattered and i cry when you're not around because it matters, matters."

Ashilla bersorak girang, pun Andien yang mengedipkan sebelah mata padanya.

"Dreaming of your kisses in the night time, knowing what i'm missing, but i still lie, hey! i say i'm doing alright, i'm fine, but i'm scattered, we're just friends."

Entah apa alasan Askar terdiam, karena suara Andien yang memang harus diakui bagus, atau pada lirik yang terasa menamparnya.

"Oh no ..."

"Oke, berhenti." Askar memotongnya sengaja. Termasuk Valdi pada petikkan gitarnya. "Suara lo bagus, tapi gak cocok sama lagu kita."

"Cocok!" Riko memotong, yang diangguki setuju oleh Valdi. "Suara dia jelas cocok banget ama lagunya."

"Apaan sih lo, tau apa lo berdua!" Askar jadi kesal karena tidak ada yang peduli pada pendapatnya.

"Kita pilih dia!" Erik memutuskan begitu saja. 

Jika Ashilla jadi makin girang, dan Andien yang tersenyum sombong, beda dengan Askar yang memelotot tak terima. "Gak bisa! Keputusan harus lewat gue. Gue ketuanya di sini!"

"Udahlah, Kar," sela Valdi sambil menepuk bahunya. "Kita gak punya waktu lagi. Kita pilih dia aja."

Askar memandang malas Andien yang terlihat begitu bangga lalu mendengkus. Meski, berbalikan dengan hatinya yang rasanya ingin tersenyum. "Oke, gue terpaksa milih lo."

"Dan lo pikir gue mau dipilih?" Andien menaikkan alis, jadi tampak angkuh. Mengejutkan semuanya. "Gue nyanyi tadi cuma buat buktiin kalo suara gue emang bagus. Bukan buat jadi vokalis lo."

"Andien kok gitu!" Ashilla protes. Seakan menang dalam perperangan, Andien melangkah hendak meninggalkan tempat, saat Askar lebih tanggap menariknya hingga menabrak dada cowok begitu saja. 

Andien speechlees.

Beda dengan yang lain yang malah heboh. Termasuk Ashilla.

"Gue udah milih, dan gak segampang itu lo lari."

"Anjir, anjir kenapa maknanya jadi ambigu gitu."

"Bos, tolong dong jangan nempel banget. Pada mupeng sialan!"

"Kagak ada akhlak emang Askar."

Dalam sekejap sadar, Andien langsung mendorong Askar menjauh. "Lo gak bisa maksa gue." Dia berniat pergi saat, perkataan Askar berhasil membekukkan kakinya.

"Kalo lo mau, gue siap jadi pesuruh lo selama seminggu."

"WOAAAAHH!"

Andien terdiam lama.

"Gak ada yang bisa perintahin Askar, jarang-jarang, Din. Bisa jadiin dia babu!"

Andien kembali memutar badan. Menatap Askar lama. "Tawaran lo terlalu menarik buat gue tolak ya kan?"

Andien tersenyum sambil melipat tangan di dada. "Oke, kalo lo maksa. Mulai sekarang lo jadi babu gue."

••• 

"Lo bisa mesenin gue minuman kan? Inget ya, caramel macchiato, whipped cream minta banyakkin."

Ini terhitung dua hari Askar menjadi pesuruhnya. Cowok itu mendengkus sebelum berjalan ke meja bar buat memesan.

Sepertinya Andien terlalu lama melamun saat segelas kopi diletakkan di atas mejanya. Dia mendongak saat pelayan itu cuma mengangguk dan berlalu. Dia mengerutkan dahi karena merasa dirinya tidak memesan apapun.

Namun, saat melihat sebuah kertas lalu membacanya. Andien jadi mendengkus malas dan menatap nomor meja yang tertera di kertas sekaligus nomor telepon dan nama yang pasti salah satu gerombolan cowok di sana.

Dia terpaksa berdiri sambil membawa gelas kopinya. Begitu berani melangkah mendekat dengan pakaiannya yang tentu membuat para cowok menoleh memerhatikan kaki jenjangnya.

"Siapa di antara kalian yang namanya Revan?"

Cowok yang berambut sedikit gondrong dan ikal itu mengangkat tangan sambil tersenyum begitu lebar. "Gak perlu berterima kasih kalo niat lo ke sini."

"Tapi sori, gue gak suka kopi dan gak mau berterima kasih," Andien meletakkan gelas kopinya di meja. "Gue malah mau ngembaliin ini."

Lima temannya ber'woah' keras. Terdengar meledek. Beda dengan cowok bernama Revan itu yang malah makin tersenyum. "Kalo gak suka kopi, lo suka apa? Bunga? Gue bisa beliin itu."

"Gue alergi bunga."

Saat hendak berbalik, suara cowok itu terdengar lagi.

"Gimana kalo ke club mahal. Minumannya juga mahal-mahal di sana. Lo pasti bakal puas."

Andien membalikkan tubuh bersama senyum anggunnya. "Ide bagus."

"Menarik kan?" Cowok itu makin menampakkan muka yang membuat Andien jijik dan mual. 

"Gue juga bisa sewa kamar VVIP kalo lo mau."

"Iya, menarik," Andien mengangguk sambil mendekat, mengambil kopinya di meja. "Menarik banget sampe gue pengen nyiram lo sama kopi." Dan begitulah cara Andien sukses mempermalukan cowok itu dengan cairan kopi yang membasahinya dari kepala.

Dan harusnya Andien melarikan diri saat cowok itu berdiri dengan muka benteng mengamuk yang siap menerjangnya.

"LO!" Cowok itu mendekat. Sama sekali Andien tidak menebak jika cowok itu akan menendang kakinya keras. Membuat tubuhnya menabrak meja. Andien mengaduh, kakinya jadi lecet terkena besi.

"Lo cewek murahan yang emang pantes digituin!"

Saat ingin melawan, tubuhnya kembali didorong keras. Membuat minuman di meja sebelah tumpah, mengotori sisi lengan kirinya. Tentu kejadian itu membuat café heboh menjadikkannya tontonan. 

Andien terbiasa menjadi sorotan orang ramai. Tapi, tentu bukan sesuatu yang terasa merugikannya. Dia berusaha berdiri saat sebuah tubuh berdiri membelakanginya.

"Dan lo, terlalu kurang ajar kan karena kasar sama cewek!"

Dan Andien lebih speeclees luar biasa saat mengenal suara cowok itu.

Askar ...

Cowok kurang ajar itu hendak menonjok Askar saat bersamaan manajer cafenya datang. Menghentikan kehebohan. 

Belum sempat diusir karena kegaduhan yang diciptakan, Askar sudah lebih dulu menariknya keluar café. Membawanya ke parkiran. Askar menyuruhnya menunggu di depan kap mobilnya, sementara cowok itu masuk ke dalam, entah mengambil apa.

Saat kembali di depannya, cowok itu mengulurkan sebuah salep. 

"Ngapain lo di sini?" Dan harusnya Andien menerima, bukan malah bertanya.

"Lo gak usah kepedean, gue kebetulan ada disitu tadi."

"Harusnya lo gak perlu ngelakuin ini," Andien membuang muka. Yang ada di sekitar tentu lebih menarik dibanding wajah Askar yang membawa penyesalannya. "Gue gak butuh bantuan lo."

Tahu-tahu Askar berjongkok, Andien refleks melangkah mundur walau sia-sia karena terbentur kap mobil. 

Kalau pun Askar berniat kurang ajar sekarang, Andien tidak segan-segan akan ...

Dan segala pikiran buruk di kepalanya lenyap entah kemana saat Askar justru membubuhi salep di pahanya yang memerah.

"Lo tolol," Askar bahkan tak perlu menyaring mulutnya. Dia mendongak dengan Andien yang menunduk. 

"Kalo gue cowok kurang ajar, mungkin gue bakal bawa lo ke tempat sepi, cuma karena ngeliat pakaian lo."

Andien tanpa sadar meremas dress putih yang dipakainya. Sedikit menariknya ke bawah, usaha yang tentu tak menghasilkan apa-apa karena dressnya terlalu mengetat di bagian paha. 

"Tapi, gue lebih tolol kan karena gak pernah bisa nyakitin lo. Bahkan disaat gue bisa aja ngambil kesempatan." Askar tertawa pahit, sesuatu yang meremas dadanya secara menyakitkan. 

"Gue benci lo!"

Sama sekali Andien tidak pernah berharap dibenci!

"Gue benci lo, Din!" 

Andien kembali membuang muka, matanya mulai memanas. Ada sesak yang tak mampu dijelaskan. 

"Jadi gue mohon," Setelah sekali lagi memberi salep dipahanya, Askar berdiri. Menatap Andien yang sama sekali tidak menatapnya. "Gue mohon berhenti. Berhenti buat gue jadi peduli!"

Saat Askar berniat pergi, Andien refleks menahannya. "Apa salah ... apa salah gue jatuh cinta?"

Cowok memakai jaket abu-abu itu bahkan tak sedikit pun menoleh.

"Lo boleh jatuh cinta ke gue. Lo boleh sayang sama gue. Terus kenapa?" Kali ini Andien tak berusaha menahan air matanya. "Terus kenapa gue gak boleh jatuh cinta sama sepupu lo? Kenapa cuma gue yang gak boleh?!"

Andien terisak dan Askar yang terdiam tentu tak menolong. "Gue juga mohon! Gue mohon berhenti benci gue!"

Dan seolah memang takdir membenci keduanya, secara tak terduga Andien merasa perlu menenggelamkan diri saat Askar menatap apa yang juga Andien lihat.

"Lo liat?" Askar menunjuk ke arah pintu café.

Ada Avisha bersama Arven. 

"Mereka keliatan bahagia." Itu gumaman Askar yang entah kenapa terasa begitu menyeramkan. Kali ini cowok itu menoleh, menatapnya yang berlinangan air mata. "Lo tau kan, gue bukan cuma benci lo, gue benci kejadian bertahun-tahun lalu. Gue juga benci Arven ..."

"Kar ..."

"Gue benci Arven yang bisa bahagia, sedangkan gue enggak," Askar mendekatkan wajahnya dengan Andien yang jadi terdiam. "Saat Avisha tahu faktanya, saat Avisha tahu apa yang terjadi sama kita berempat. Gue yakin gue bisa menang kali ini."

"Apa ... apa maksud lo?!"

"Gue mau Avisha tahu semuanya."

••• 

Selagi, Arven memesan minuman di depan, Avisha menatap sekeliling café. Sebelum mengernyit melihat sedikit kekacauan yang terjadi di meja pojok. 

"Kak," Avisha menahan seorang pelayan, yang sepertinya hendak membersihkan cairan kopi yang berceceran itu. "Itu kenapa?"

"Oh, tadi ada keributan kecil. Tapi, udah diatasin kok sama manajer kami."

Avisha beroh panjang sambil mengangguk. Saat dia memberikan senyumnya, pelayan itu pun pergi.

"Nih," Arven kembali tak lama dengan segelas es cokelat ditangannya. Berbeda dengan cowok itu yang memesan americano. "Udah ayo balik."

Saat mereka sudah di mobil dan mulai berjalan di ibukota yang padat. Avisha sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari Arven.

Betapa beruntungnya dia disaat segala masalah yang datang tanpa henti, dia memiliki Arven disisinya. Menemaninya. Menjaganya.

Cowok itu tengah sibuk oleh persiapan ujian kekelulusan didepan mata, tinggal seminggu lagi cowok itu memiliki waktu di sekolah. Meski begitu, dia masih menyisakan waktu buatnya. Masih memikirkannya.

"Sha."

"Iya?" Avisha bahkan masih menatap Arven dan tak merasa malu saat cowok itu menoleh, menangkap basah. 

"Kenapa ngeliatin gue mulu?"

"Gak apa-apa, Visha cuma mau nyimpen semua sudut muka kak Arven di kepala Visha. Biar nanti kalo kak Arven pergi jauh, Visha gak bakal lupa wajah kak Arven."

Arven terdiam. Tak membalas apapun. Bahkan sampai mereka tiba di apartemen Arven, cowok itu masih diam.

Dan selalu saja, Avisha yang banyak bicara, walau tak diacuhkan. "Terus ya, karena les biola Visha hari ini yang terakhir, kayaknya pekan depan deh, seminggu setelah kak Arven ujian, Visha bakal ikut lomba lagi."

Arven membuka pintu apartemennya buat Avisha.

"Kak Arven harus dateng ya, liat Visha di sana. "Avisha masuk ke dalam, lalu berjalan ke arah meja. Meletakkan mie ayam yang sempat mereka beli di dekat tempat lesnya. Arven duduk di atas sofa memerhatikan Avisha yang begitu lebar tersenyum.

"Visha mau ambil mangkok dulu, gak bagus makan distreafom." 

Baru juga selangkah menuju dapur, tangan Avisha ditarik dan lebih terkejut saat akhirnya dia mendarat di pangkuan Arven. Apalagi cowok itu langsung memeluk pinggangnya erat.

"Kak Arven ..."

"Nanti aja makannya."

"Kenapa nanti?"

Arven meletakkan kepala di bahunya. "Gue pengen meluk lo."

Saat detik berikutnya Arven diam. Avisha jadi ikut diam. Berusaha tak peduli pada napas Arven yang terasa menggelitiki lehernya. Ada keinginan Avisha buat mendorong karena bibir Arven benar-benar menempel disana. Namun, ada kenyamanan juga yang dia rasakan, terbukti dari debaran jantungnya yang kencang.

"Gimana kalo misalkan gue kuliah di luar negeri." Gumaman serak Arven terlalu kecil untuk didengar.

"Apa?" Avisha tidak bisa mendengarnya.

Arven mendongak. Dan mata sedingin es itu menatapnya lurus.

"Misalkan gue kuliah di luar negeri gimana menurut lo?"

"Kak Arven ..." Tiba-tiba membahas ini membuat Avisha kehilangan kata. "Mau ... mau kuliah di luar negeri?"

"Misalkan."

"Kak Arven bakal jauh dari Visha?"

"Ini misalkan, Sha."

Avisha membuang muka, merasa sesuatu menelusup tak mengenakan. "Visha gak tau." 

Karena tak perlu dijelaskan, keadaan tentu akan berubah diantara mereka. Jarak akan memisahkan. Tanpa tatap muka berbulan-bulan, dan mungkin bisa saja bertahun-tahun, Avisha tidak tahu cara mengatasi itu semua. 

Cuma lewat ponsel, mereka berkomunikasi. Bagaimana mungkin Avisha bisa melakukannya.

"Gimana kalo Visha kangen?" gumamnya pelan. "Gimana kalo Visha pengen meluk? Gimana Visha bisa ngajak jalan terus gimana ... gimana kalo Visha kesusahan ..."

"Gue bakal di sini kalo itu yang lo minta."

Dan Avisha bisa jadi orang yang paling egois jika benar melakukan itu.

"Lagian ya," Arven menarik wajah Avisha buat menatapnya."Itu belom tentu kejadian, itu masih misalkan." Ditekannya pipi Avisha hingga bibirnya mengerucut lucu. "Iya gak?"

Avisha tentu mengangguk dengan perasaan yang sedikit lega.

"Lo terlalu jujur tau?"

"Tau," Avisha menarik tangan Arven dari pipinya. "Mending kayak gitu. Biar kak Arven tau perasaan Visha."

"Dan harusnya lo juga tau, gue gak bisa jauh dari lo," Tanpa peringatan, Arven mencium bibirnya. Avisha tentu memelotot terkejut. "Gue gak mungkin bisa nyium lo lewat video call doang."

"Ih kak Arven!" Avisha sontak memukul lengannya pelan.

Arven tertawa dan saat menciumnya kembali, protesan Avisha seakan tenggelam saat Arven sengaja mencium bibirnya setiap kali dia membuka mulut. 

Dan pada ciuman terakhir, Arven menahannya di sana. Lama. Apalagi saat Arven menarik pinggangnya makin merapat dan memperdalam ciumannya. 

Tak perlu dijelaskan bagaimana ciuman itu menghanyutkan Avisha kan?

Avisha bahkan merasa fungsi otaknya mati total. Ada rasa asing yang membuatnya menaruh kedua tangan di leher Arven. Menariknya makin dekat. Tidak mau berhenti.

"Lo buat gue sejatuh ini, Sha." Di sela ciuman, Arven berbicara. Yang setelahnya menghentikan aksi gilanya. Jika tidak mau melangkah makin jauh. Napas mereka saling memburu. Dan tentu tatapan polos Avisha sama sekali tidak membantu.

"Kakek gue ulang tahun minggu besok," ucap Arven sambilmengusap bibir Avisha yang basah. "Setelah ujian gue selesai, dia ngadaian acara makan-makan."

"Terus, kak Arven ..."

"Gue mau lo ikut," Avisha tentu tak lebih terkejut mendengarnya, apalagi saat Arven melanjutkan. "Gue mau ngenalin lo secara resmi ke kakek, kalo Avisha Pratista itu ... perempuan gue."


•••

part ini panas2 gitu ya wkwkwkwk🙈

Gimana nih? mau lanjut kapan?

Arven kamuuu ...🙈

Andien💓

Askar😽

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro