A;A64-Mulainya Kesalahan
Seminggu lebih ya gak up :(( Maaf buat yang selalu nungguin cerita ini ya
Sebenarnya mah kalo bisa, pengen banget bisa up tiap hari tpi selalu ada kendala
jadi berharap aja ya, sebagai timbal baliknya jangan lupa buat vote dan komen :))))
•
PEMANDANGAN tampak memukau dari sini. Dari atas gedung apartemennya, semua yang di bawah tampak setitik cahaya. Gedung-gedung di sekitar tak kalah tingginya, seolah sama-sama berlomba menjadi gagah.
"Kapan terakhir kali gue ke sini?" Andien tersenyum menatap bawah. Sebelum menoleh menatap Arven yang memasang muka kaku. "Pertama kali gue kesini, terhitung lo jadi anak mandiri kan?"
Dibanding wajah Andien yang tampak berkilau di bawah sinar bulan, Arven lebih tertarik pada keadaan sekitar. Banyak besi-besi yang tak terpakai. Barang-barang rongsokkan.
Tempat ini seolah menjadi perwujudan yang tepat untuk membunuh kesendirian. Itu yang Arven lakukan dulu sebelum sadar jika hal itu sama sekali tak berguna.
"Gak lama setelah lo pindah, kita putus." Santainya Andien mengatakan itu sambil tersenyum.
Arven mendongak. Kali ini membiarkan tatapan dinginnya menjelajahi tubuh Andien dari atas kepala sampai bawah kaki. Dress cokelat seatas paha itu mencetak penuh tubuh Andien yang sempurna. Belum lagi, bahunya yang terbuka. Perpaduan yang mengerikan saat angin sekitar begitu kencang.
Arven melepaskan jaket jeans yang dipakainya. Lalu melemparnya begitu saja pada Andien, yang karena terkejut refleks cewek itu tangkap.
"Lo ngajak gue ke atas sini, tapi gak sadar sama baju lo."
Andien mendengkap jaket jeans Arven yang menyebarkan aroma cowok itu. Terlalu jelas.
"Gue model, Ven. Udah terbiasa pake baju kayak gini." Andien menjelaskan.
"Lo model, bukan cewek murahan." Perkataan Arven terlalu kejam buat itu.
Andien tersenyum kecut. "Lo gak berubah. Mulut lo masih sama."
"Din ..."
"Itu yang buat gue suka lo kan. Lo inget gak," Andien mendekat sambil menaruh jaket Arven di bahunya. Merapatkan. "Saat semua orang kagum pas kita pacaran. Banyak yang bilang kita pasangan sempurna. Sampai semua orang doain kita semoga langgeng."
Arven menaikkan alis saat Andien berhenti tepat selangkah di depannya. Mata bening cewek itu menyorotnya rapuh. "Bodoh gak sih, mereka gak tau apapun. Mereka gak tau alasan kita pacaran. Mereka gak tau sekuat apa gue dulu ngehadepin lo."
Membawa cerita masa lalu ke masa kini adalah hal yang menyakitkan. Arven jadi mengingat semuanya. Mengingat semua sakit, penyesalan, kesalahpahaman itu.
Bagai pecahan kaca yang disatukan dengan tangan kosong, sakit sekaligus menimbulkan luka.
"Dan yang paling bodoh dari semuanya, gue gak bisa gak peduli sama lo."
"Kalo lo ke sini cuma buat bahas hal yang gak gue suka, mending lo pergi." Arven hendak berbalik, tapi begitu tanggap Andien menahan lengannya.
"Sejak kapan ..." Arven bahkan tak perlu susah-susah buat menoleh. "Sejak kapan lo pacaran sama Avisha?"
Sepertinya memang harus membawa nama Avisha untuk Arven peduli oleh segala perkataannya. Dia jadi tersenyum kecut saat cowok itu menoleh. Menatapnya tajam.
"Itu bukan urusan lo!"
"Itu jadi urusan gue," Andien mencengkal kuat lengan Arven. Seakan memang dia butuh itu. "Apa alasan lo pacaran sama Avisha?"
Arven menarik lengannya terlepas. Tatapan tajam di wajah dinginnya memang perpaduan yang menakutkan.
Tapi, ini Andien yang melihatnya. Andien yang biasa menerima segala penolakkan Arven.
"Ini gak karena adik lo kan?" Andien melemparkan bom tentu saja. "Gak karena Ashilla kan?"
Arven menarik lengan Andien. Cukup kuat saat Andien jadi tertarik. Hampir membentur dadanya.
"Jaga batasan lo!" Dari tipisnya jarak ini, Andien bisa melihat mata biru kehijauan Arven yang berkilat. "Gue masih baik sekarang."
"Tapi, semuanya bener kan!" Andien sekuat mungkin buat tidak kalah. "Lo tau, semua kesalahpahaman itu, kebencian itu, masalah itu, semuanya bermula darimana!"
"Berhenti, Din!"
"Lo gak bakal nyakitin Avisha kayak lo nyakitin gue kan?" Andien tentu sudah melewati batasnya. "Gue cuma gak mau ... gak mau Avisha jadi korban lo!"
Arven melepaskan cekalan itu. Pelan. Kini, tatapannya tak dapat diartikan. "Lo jangan ngerasa diri lo tinggi, Din. Lo berdua beda. Dan ... harusnya lo tau posisi Avisha jauh di atas lo!"
Memancing amarah Arven tentu kesalahan. Andien sangat tahu itu. Bagai dijatuhkan dari atas tebing, hatinya hancur berkeping-keping cuma karena sebuah perkataan.
"Mending lo pergi, Din. Semuanya udah selesai bukan?"
Bukan merespon, Andien justru tertawa. Alis Arven terangkat tak mengerti.
"Jauh ya? Sebucin itu lo?" Dia mendorong dada Arven pelan. Masih sambil tertawa. Suasana beku sekitar seolah cair saat Andien menjauh. Berjalan sedikit mendekati pinggir pembatas gedung. "Dari semua cowok yang ada, mungkin cuma lo yang nolak gue, Ven."
Apa semengerikan ini perempuan. Moodnya sama sekali tidak bisa ditebak. Tadi begitu terlihat emosi, lalu berubah baik-baik saja tanpa alasan.
"Lo sebenarnya mau apa?"
Andien membalik tubuh. Menyender di teralis besi. "Buat ngucapin selamat mungkin."
"Kalo lo lakuin itu, gue yakin lo bukan Andien yang gue kenal."
Mendengarnya, Andien jadi tertawa. "Lo terlalu kenal gue kan. Kadang gue mikir ya, apa bener lo gak pernah sayang sama gue?"
"Gue diem. Tapi, gue peka sekitar."
"Tapi, lo gak pernah peka sama cewek-cewek yang suka sama lo. Termasuk gue." Dan fakta itu entah menjadi terlihat menyedihkan atau tidak buat Andien.
Cerita mereka sudah terlalu lama buat diselesaikan. Sama saja seperti makanan basi yang sepantasnya dibuang.
Arven berjalan mendekat. Berhenti tepat di depan Andien yang melipat kedua tangan di dada.
"Terus apa kabarnya lo yang nyia-nyiain Askar?"
"Berarti kita sama," balas Andien. "Sama-sama suka nyakitin."
"Din ..."
"Bahkan kita sama-sama gak suka dikalahin," Andien kali ini mengangkat kedua tangannya. Menaruhnya di atas bahu Arven lalu menarik cowok itu buat merapat. "Gue gak suka kalah. Gimana kita coba buat semalem aja. Gue mau liat apa hati lo masih berlaku buat Avisha besoknya."
"Lo tau juga, lo gak pernah ada di hati gue."
Andien tertawa sambil mendengkus. Beruntung hatinya kebal mendengar itu. "Lo gak pernah mikir ya mungkin aja perkataan lo itu nyakitin orang yang lo suka."
"Itu lebih baik kan, dibanding orang itu berharap sama gue."
Sekali lagi, Andien tertawa. Lalu memeluknya tanpa aba-aba. Arven terlalu terkejut buat menahannya.
"Tapi, gue gak masalah coba buat semalem aja," Dia mencium pipinya lembut. "Gue kangen lo. Askar. Semuanya."
Arven terdiam. Mengepalkan tangan seiring ingatan menusuknya.
"Aku, Andien, Arven, dan Askar. Kita berempat sahabat kan? Jangan ada yang berubah ya."
•••
Bertahun-tahun yang lalu.
Saat jam istirahat, saat semua anak berlari ke kantin, cuma Arven tampaknya yang masih bergelung dengan bukunya. Terlihat serius dan tak mau diganggu.
Perhatian anak lelaki usia dua belas tahun itu lalu teralihkan saat mendengar sebuah siulan. Sangat kecil suaranya.
Arven mendongak ke arah pintu melihat gadis kecil berkepang dua yang melongokkan kepala sebelum berjalan masuk ke dalam kelasnya.
Bukan itu yang membuatnya mengernyit, tapi fakta adiknya tak sendiri melainkan menggandeng seorang perempuan menjadikannya bertanya-tanya.
"Arven, kenalin ini teman aku."
Arven tak tertarik sama sekali.
"Namanya Andien."
Cewek yang dikuncir lucu itu, mengulurkan tangan, persis di depan tatapan Arven pada buku.
"Andien."
Dia jadi terpaksa mendongak. Cukup lama tangan itu tak berbalas, saat akhirnya Ashilla menarik tangannya untuk menjabatnya.
"Arven ayo main bola!" suara itu mengalihkan perhatian mereka semua. Termasuk jabatan tangan yang dipaksa terlepas. Melihat Askar yang berdiri di sana menatap bingung.
"Siapa?" Dia bertanya setelah mendekat.
"Ini Askar sepupu aku yang paling baik," Ashilla mengenalkan girang, membuat Askar kecil tersipu malu.
Dibanding Arven yang merespon dingin kedatangan Andien, Askar menyambutnya ramah, bukti dari dia yang mengulurkan tangan sambil senyum.
"Askar."
Dan saat Andien menerima uluran tangan Askar, dan juga mengenalkan diri. Itu rasanya berbeda. Karena tatapannya masih jatuh pada Arven yang kembali fokus pada buku.
Tahun itu mereka belum mengenal apapun selain bermain. Belum mampu mencerna rasa yang menelusup tanpa makna. Setahun-dua tahun kemudian, mereka bersekolah di tempat yang sama. Persahabatan itu berjalan sesuai semestinya.
Seperti anak lain bersama sahabatnya, mereka selalu punya waktu luang bersama. Bermain. Bercanda gurau. Bertengkar dan kembali melupakan tak butuh waktu lama.
Tapi, persahabatan itu mulai berubah seiring waktu berjalan.
Andien meletakkan mug pink di meja. Membuat Ashilla yang duduk di depannya tersenyum.
"Susu cokelat. Andien emang paling tau kesukkan aku."
Ashilla meneguk minuman di mugnya. Saat dia merasa tak ada balasan, dia mendongak dan mengernyit bingung melihat Andien yang menyandar di kitchen set, tersenyum-senyum sambil mengelus mug di tangan.
Hari ini ada tugas berkelompok, bukannya harusnya mereka mengerjakan itu.
"Andien kenapa?"
"Shill lo ngerasa gak sih," Suara Andien cukup kecil tapi senyumnya juga tak kunjung hilang. "Kalo Arven jadi makin baik."
"Arven emang baik." Ashilla jadi makin bingung.
"Ya iya tau," Andien yang memakai kaos dengan rok sepahanya berjalan mendekat dan ikut duduk di kursi tinggi depan meja bar. "Tapi ya, lo kan tau dia tuh agak galak sama gue."
Ashilla tentu tahu Arven yang selalu bersikap dingin pada siapapun sejak orang tua mereka meninggal. Perubahan drastis yang kadang masih membuat Ashilla tak terbiasa.
"Kenapa Andien ngomong gitu?"
"Hari ini ya, Arven nyelamatin gue dari kakak kelas menjijikan itu," jelas Anden sambil menerawang mengingat kejadian di sekolah siang tadi. "Jadi ada kakel yang godain gue, terus Arven datang. Lo mau tau gak, apa yang dia bilang ke kakel itu?"
"Apa?"
"Dia bilang 'Cukup otak lo yang bodoh karena kurang belajar, mata sama mulut lo gak perlu ikutan buat bikin lo makin tolol'." Jika Ashilla tak menyangka, Andien masih menggebu-gebu bercerita, "Terus kan ya, mereka hampir berantem, Arven bilang gini lagi 'gue bisa aja matahin tangan lo, tapi gue sayang sama nilai sikap gue yang bisa jdi jelek karena lo'.
Tuh kakelnya kicep, Shill, langsung pergi gitu aja. Kakak lo baik banget sama gue tadi, belum lagi ngeliat rok gue yang emang ngetat, dia ngelempar jaketnya. Sampai sekarang bahkan masih melayang kalo nginget kata-katanya. 'Tubuh lo terlalu cantik buat jadi makanan cowok'."
"Arven ngomong itu semua?"
Andien mengangguk antusias. "Pokoknya ya, gue bakal beli rok baru lagi biar, Arven gak komen lagi soal rok gue."
"Aku juga selalu ingetin itu kan." Ashilla meneguk mugnya sambil berpikir. Beda dengan Andien yang tertawa senang.
"Menurut lo ya, kakak lo suka gak sih sama gue?"
Sepertinya ini untuk pertama kalinya, Ashilla kehilangan kosa kata di depan Andien. Tangan kirinya tak tahan untuk meremas dress kuning yang dipakainya.
•••
Di tempat yang beda, Arven tengah menyelesaikan tugas sekolahnya. Selalu serius jika sudah menyakut belajar.
Pintu kamarnya tahu-tahu terbuka. Belum sempat buat peduli, Askar tahu-tahu duduk di atas mejanya, mengacaukan semuanya.
"Apa-apaan sih lo!" Arven benci jika diganggu. Askar harusnya sudah tahu menganggunya sama saja membangunkan singa yang tertidur. "Minggir!"
"Santai elah." Askar malah tidak mengikuti perintahnya. Duduk menyandar sambil menerawang. "Ven, menurut lo Andien kayak gimana sih?"
"Cewek judes gak tau aturan," ucapnya tanpa mikir membuat Askar jadi tertawa.
"Gila mulut lo emang," Askar lalu jadi senyum sendiri. Yang malah Arven yang bingung di sini. "Tapi, lo tau dia pinter walaupun gak tau aturan. Terus juga, dia malah marah-marah kalo ada orang yang suka ngelanggar peraturan sekolah."
"Dia emang aneh."
"Iya," Askar setuju oleh perkataan Arven. "Dia aneh, judes, gak mau kalah, tapi ya ... kalo diliat-liat dia manis tau gak sih kalo marah-marah."
"Gue cukup nyimpulin kalo hubungan lo berdua gak pernah baik bukan selama ini?" Arven mengatakan sambil menarik bukunya yang diduduki Askar. "Kayak kucing ama anjing."
"Karena dia selalu ngomelin gue kalo gue berantem, selalu marah kalo gue mau bolos, anehnya dia juga selalu ditegor osis soal pakaiannya."
"Terus, lo tertarik sama dia?"
Arven berkata santai, tapi Askar yang memelotot terkejut tak santai sama sekali.
"Enggaklah gila!" ucapnya jadi kasar. "Gue naksir dia, ya gaklah. Ngapain naksir cewek judes kayak gitu!"
"Ya lo santai aja jawabnya."
"Gue santai sih!" Nadanya malah ngegas.
Arven geleng kepala. Kembali menatap bukunya.
"Oh iya, dua minggu lagi ada festival musik. Ada lomba juga di sana. Kebetulan band gue mau ikut."
Itu hal yang sama sekali tidak menarik. "Terus?"
"Bantu gue ya," Tatapan Askar sekarang sudah bisa ditebak menjurus kemana. "Bantu gue biar gak ketauan sama bokap gue."
"Gue bakal habis ama kakek kalo ikut ketauan bantuin lo."
"Bantuin gue lah, plisss ..." Askar menatapnya memohon. Tatapan menjijikan yang membuatnya mendorong wajah cowok berambut acak-acakkan itu menjauh. Dia malah jadi tertawa. "Tapi gue tau banget sih, tanpa minta pun lo bakal bantuin gue. Sepupu gue emang terbaik kan."
"Pergi lo!" Arven jadi galak. "Perlu gue tendang?"
Askar makin tergelak yang detik berikutnya malah terkejut saat pintu tahu-tahu dibuka kencang.
Itu sang kakek.
Askar sontak turun dari meja. Menunduk saat Raihan berjalan masuk dan meletakkan kasar sebuah kertas di meja Arven. Jika Arven menyikapi malas, beda dengan Askar yang jadi merinding sendiri melihat aura seram yang dibawa kakeknya.
"Sedang apa kamu Askar?"
Askar tampak gelagapan, yang membuat Arven angkat suara. "Kakek ngapain ke kamar Arven?"
"Ngapain kamu bilang," Kali ini kakeknya menatap Arven sedingin es. "Kamu gak liat nilai kamu itu?"
Askar ikut melirik seperti Arven.
"Sembilan puluh lima?" Gumaman Raihan terlalu menyeramkan buat didengar. "Kamu bodoh atau apa!"
"Maaf Kek, Arven kurang teliti." Bukankah masalah sekecil itu tak perlu ada kata maaf. Askar mengepalkan tangan, menahan gejolak melihat kejadian seperti ini berulang kali.
"Kesempurnaan itu diliat dari sebetapa telitinya kamu mengerjakan sesuatu. Kamu mau semua yang kamu kerjakan sempurna, kamu harus fokus!"
Kakeknya menggebrak meja, hal yang mengejutkan tentu saja.
"Kek," Askar memberanikan diri bersuara. Dia tidak bisa melihat sepupunya dimarahi, hampir setiap hari. "Sembilan puluh lima nilai yang sempurna kan, gak ada satu pun anak di kelas yang dapet nilai segitu. Bahkan ... Askar ... Askar dapet nilai enam aja itu udah sujud syukur."
"Kamu mau memberitahu kakek yang mana yang benar dan yang salah?"
"Bukan gitu, Kek. Bukannya Kakek terlalu berlebihan cuma karena masalah sekecil itu."
"Keluar kamu!" bentak Raihan.
"Arven sepupu Askar. Dan Askar gak bisa ngeliat Arven diginiin hampir setiap hari ama Kakek!"
"KELUAR KAKEK BILANG!"
"Lo keluar aja." Arven terlalu bodoh karena menyikapi ini begitu tenang. "Gue bisa ngatasin ini, kayak yang lo bilang gue hampir kayak gini tiap hari."
Dibanding Askar yang emosional dan mudah terpancing, Arven memang juara untuk mengatasi emosinya.
•••
Apapun benda yang ada di depannya seperti menjadi pelampiasan Askar.
Pecahan kaca itu berserakan dimana-mana.
Dia menonjok tembok berkali-kali sebelum terjatuh meringkuk di bawah kitchen set.
Jika Valdi sahabatnya melihat apartemen miliknya hancur, mungkin bukan lagi ceramah yang dia dengar. Tapi, siapa yang peduli, Askar butuh pelarian untuk semua emosi yang mengekangnya.
"Cewek sialan!" Askar membentur kepalanya di laci bawah. Membiarkan air mata yang sialannya menetes makin deras. "LO SIALAN DIN!"
"Kenapa lo gak ngomong jujur ke Kakek?" Askar ingin ini berhenti! "Kenapa lo makin ngebuat Kakek benci sama gue! Lo liat semuanya, LO LIAT KECELAKAAN ITU!"
"ARGHHHHHHHH!!"
Askar berteriak setelah kembali membenturkan kepala. Darah itu mengalir dari pelipisnya, bercampur dengan tangisan yang menunjukkan betapa menijikkan dirinya.
"Kalo lo gak rebut Andien dari gue, semuanya bakal baik-baik aja," gumamnya menyedihkan. "Termasuk Ashilla yang masih di sini mungkin."
•••
Baca partnya pelan-pelan ya biar gak bingung wkwk. Ini ada part masa lalunya terus balik lagi ke masa sekarang. Semoga paham
coba sampai sini mau tanya aku, menurut kalian yang terjadi sama mereka berempat (Arven, Askar, Andien, dan Ashilla) tuh apa?
Boleh dong ya aku kasih tau instagram aku ; aprillia.25 bagi yang mau follow aja sih ya
bonus
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro