Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A63-Segalanya jadi terseret

jangan baca part ini siang2 pas puasa ya wkwk

Boleh dong minta vote ama komennya

ramaikan ya :)))

Avisha. P : Visha udah di kantin, kak Arven nanti nyusul ya :)

Itu pesan yang Avisha kirimkan sepuluh menit lalu. Tak ada balasan. Tentu saja. Apa yang bisa diharapkannya oleh Arven.

Dia menangkup dagu sambil mengaduk sedotan di jus mangganya. Memandang kantin yang ramai. Sepertinya dia butuh cemilan sambil menunggu Arven.

Dia mendekati stan sosis bakar. Mengantri di belakang.

Selama lima menit, Avisha melongok ke samping saat merasa antrian ini terlalu lama. Beberapa yang tadi mengantri pun jadi menyingkir tak jadi membeli. Tinggal Avisha seorang. Dia mendekati sang penjual dan bertanya.

"Kenapa bu?"

"Gak tau nih neng, kayak aneh gitu selangnya."

"Hah?" Avisha mengerut dahi. Bingung. "Kalo gitu, Visha belinya nanti aja ya, bu."

Avisha baru juga mau duduk kembali ke mejanya saat bersamaan, tanpa perkiraan, tanpa sebuah tanda, terdengar ledakkan. Avisha terkejut luar biasa, terjatuh karena hilang keseimbangan dan kepalanya tak sengaja membentur ujung meja.

Avisha meringis memegang dahinya.

Setelahnya suasana jadi ricuh. Orang-orang berlari keluar kantin. Dan harusnya itu yang Avisha lakukan. Bukan terpaku di tempat dengan tubuh gemetaran. Jantungnya berhenti berdetak, pun yang otaknya mendadak kosong.

Saat api itu mulai merambat dan makin tinggi, dia merasa de javu. Ingatan itu menusuknya kembali. Memori menyakitkan itu seperti tereka ulang di depannya. Dia mundur dengan perlahan hingga tembok di belakang menjadi penghalang.

"Gak, gak!" Avisha menggeleng. Meringkuk di dekat meja-nyaris di bawahnya. Membiarkan asap seperti mengurung, Avisha lebih tenggelam pada setiap adegan pada masa lalunya. Mulai dari penculikan lalu ... kebakaran itu.

Dia menangis diam.

Seperti berabad-abad menunggu, Avisha seperti menemui cahaya akhirnya. Itu sebab Arven datang tanpa terduga. Cowok itu dengan sigap membawanya keluar kantin.

"Masih sakit?"

Disinilah Avisha sekarang. Di UKS dengan Arven yang telah lama selesai mengobatinya .

Avisha tak merespon. Masih terlalu terkejut buat menerima apa yang dilihatnya setengah jam lalu.

"Kebakaran, apinya ..."

"Tenang aja, udah banyak yang ngurus itu." Arven mengusap plester yang tertempel di dahinya. Itu dia yang memasangnya juga. "Lo gak usah pikiran. Oke?"

Avisha menunjukkan kedua telapak tangannya yang basah pada Arven. "Liat, tangan Visha masih gemeteran."

Sebagai responnya, Arven ikut menunjukkan telapak tangannya. "Gue juga gemeteran."

Sejak tiga puluh menit yang lalu cowok itu membawanya ke sini. Cowok itu sekadar diam sambil memeluknya. Perkataan seolah memang itu tidak dibutuhkan.

Avisha mendongak. "Kenapa?"

"Saat lo takut, gue juga ikut takut," Mata biru kehijauan itu tersirat kelembutan. "Gue takut lo kenapa-napa. Gue takut ... kehilangan lo." Arven mengambil kedua tangan Avisha. Tangan yang gemetaran itu bersatu seolah menguatkan. "Ini yang nguatin gue, saat gue genggam tangan lo."

Terharu adalah sesuatu yang membuat dada Avisha bergejolak oleh hal yang tak dimengerti. Pun matanya yang jadi ikut memanas, tapi tidak dengan bibirnya yang tersenyum.

"Visha juga suka pas tangan Visha digenggam gini sama kak Arven. Visha udah sering bilang kan." Lalu Avisha mengangkat kedua tangannya yang tergenggam. Menciumnya. "Semuanya bakal baik-baik aja kalo Visha di samping kak Arven."

Dari mata, Avisha meyakinkan. Semua yang terjadi siang ini seperti serangan tiba-tiba. Dia sangat jelas mengingatnya. Ledakkan tiba-tiba. Api yang merambat di sana. Saat Arven membawanya menuju UKS, pun dia mendengar suara sirine pemadam kebakaran.

Masing-masing ingatan berperan untuk menyakitinya. Beruntung dalam kukungan kedua tangan Arven, Avisha seolah terlindungi.

"Ada gue sekarang kan," Arven menariknya ke pelukan. Membuat Avisha bisa sangat jelas mendengar detak jantung cowoknya yang berdetak tak beratuan. "Jadi, apa yang perlu ditakutin."

Avisha sedikit mendongak untuk melihat wajah lelaki dingin itu. Yang entah kenapa sudah mengambil seluruh detak jantungnya. Dia bergantung pada itu.

"Udah gak sakit kan?" Arven mendaratkan ciuman di atas lukanya yang tertutup plester.

Avisha menggeleng. "Cuma dikiiiit."

"Kalo ini sakit?" Kali ini, bibir Arven mendarat di dekat pelipisnya.

"Gak," Avisha yang polos cuma menunjuk dahinya yang luka. "Ini doang yang sakit."

"Masa si," Arven kembali mencium pipinya kanan-kiri. "Gak?"

Avisha menggeleng.

"Kalo ini?" Dia mencium pucuk hidung lalu ke dagunya.

"Ih Visha udah bilang, yang sakit cuma ini."

Kenapa Avisha harus sepolos ini, hal yang terasa menggoda untuk Arven bermain-main dengannya.

"Nih gak mungkin kan?" Arven menyentuh bibirnya dengan ibu jari.

"Gak," Napas Avisha tertahan. "Juga," lanjutnya. Avisha butuh sesuatu untuk menetralkan detak jantungnya. "Udah ah," Keputusannya yang terbaik adalah mendorong Arven untuk memberi jarak. "Jantung Visha udah kayak meledak tau gak sih!"

"Tapi, terlambat kayaknya ..."

"Hah? Apa ..." Dia menoleh saat bersamaan Arven langsung mencium bibirnya cepat. Jangan tanya bagaimana terkejutnya Avisha sekarang. Apalagi detak jantungnya yang seperti berhenti.

"Kak Arven kok ..." Semua perkataan Avisha teredam saat Arven menciumnya kembali. Kali ini berbeda. Ciuman ini lebih lama. Lebih dalam. Lebih besar dampaknya.

Seluruh tenaga Avisha seolah terkuras habis oleh satu ciuman itu.

Dan lebih hebatnya ... karena Avisha seakan tak mau melepasnya saat bersamaan Arven bergerak menjauh. Ciuman itu tersudahi.

"Gue pernah bilang kan?" Sorot Arven begitu memujanya. "Gue lebih suka bibir lo dibanding cokelat."

Nata sepertinya salah waktu untuk datang. Dia tak sengaja melihat dari kaca jendela yang sedikit terbuka. Sebuah keberuntungan karena seluruh siswa sudah dipulangkan karena kebakaran itu. Tapi, kesialan bagi Nata, yang merasa dadanya seperti terbakar.

Nata mengepalkan tangan. Berbeda dengan senyumnya yang tak ada arti.

•••

Saat Arven hendak mengantarkan Avisha pulang, Veron datang menghampiri bersamaan dengan dia yang menutup pintu mobil.

"Lo belom pulang?" Alis Arven terangkat. Yang membuat Veron mengikuti perkataannya. Mencibir.

"Lo lupa sama ini!" Veron menyodorkan amplop cokelat di tangannya. Hal yang hampir membuat Arven refleks mengumpat karena melupakan benda sepenting itu.

"Thanks." Arven hendak mengambilnya.

"Beasiswa?" Namun Veron menahannya. Tak mendapat respon apapun, Veron mendengkus. Beruntung dia terbiasa menghadapi Arven.

"Gak kaget gue sih. Ya malah aneh kan anak ambis kayak lo, gak dapat kesempatan kayak gini. Serem emang lo dari dulu." Setelahnya dia membiarkan saja Arven mengambil miliknya.

"Gue mau balik nganter Avisha."

"Oh iya," Veron menghentikan gerakan Arven yang ingin masuk ke dalam mobilnya. "Cewek lo gak apa-apa?"

Dengan tangan tenggelam di saku, Arven melirik kaca mobil bagian kiri. Melihat Avisha yang tertidur nyenyak di sana.

"Dia gak apa-apa." Arven sangat tahu walau Avisha berbicara seperti itu, cewek itu masih sangat trauma. Awal yang cuma sebatas mimpi buruk bekas ingatan lekang, lalu menjadi kenyataan yang kembali memberikan akibat fatal. "Cuma masih lemes aja."

Veron mengangguk mengerti. Wajahnya ikut perhatin. "Wajar sih, gue aja yang gak di kantin, kaget banget denger ledakkannya gimana orang-orang yang ada di sana."

"Iya, pasti." Apalagi Avisha juga punya trauma itu sebelumnya.

"Tapi ini aneh tau gak sih," Veron merendahkan suaranya. Berbisik. "Gue denger desas-desus aja sih, katanya tuh Bu Tini, si penjual sosis itu baru ngambil gas baru karena gasnya abis. Dia tinggal sebentar kan stannya, nah pas balik, pas dia pasang itu gasnya, kayak ada masalah gitu selangnya, ya terus meledak deh. BOOM!"

Begitu ekspresif, Veron menjelaskan. Namun, Arven tak tertarik pada hal itu dan lebih tertarik pada fakta yang baru saja didengarnya. Entah itu fakta atau cuma berita angin yang belum tentu kebenarannya.

"Lo denger itu dimana?"

"Dari orang-orang."

"Lo bisa buktiin itu bener?"

"Gue tanya besok ke bu Tini. Oh udah ya, gue juga mau balik." Veron mendapatkan telepon. Bersamaan cowok itu meninggalkannya, seperti itu jugalah perkataannya terngiang-ngiang.

Yang paling Arven benci, jika berita angin itu benar-benar menganggunya.

•••

Pukul setengah tiga sore Arven tiba di rumah Avisha. Saat masuk sambil menggendong Avisha yang tertidur, rumahnya tampak sepi. Dia pun kesulitan memencet bel sebelumnya, untungnya ada sopir Avisha di pos satpam, membantunya mendorong pintu utama.

Di ruang tamu, ada Mbak Tia yang datang tampak bingung.

"Non Visha kenapa, den?"

"Gak kenapa-napa cuma tidur."

Mbak Tia menghela napas lega. "Ya ampun saya pikir kenapa-napa loh."

"Kenapa sepi?"

"Nyonya sama tuan lagi pergi ke acara keluarga, den. Non Avisha udah diajak semalem, cuma dia gak mau, maunya tetep sekolah. Katanya entar gak ketemu, den Arven." Mbak Tia terkikik. "Terus, den Darlan lagi les."

"Les?" Karena terbiasa berkunjung, Arven jadi sangat hafal jadwal les Darlan.

"Iya, karena kebanyakan main game, Tuan jadi nyuruh den Darlan ikut les tambahan lagi." Mbak Tia kemudian tertawa. "Ya udah, den, Non Visha bisa ditidurin di kamarnya aja. Den Arven kalo mau balik, balik aja gak apa-apa."

"Gak perlu, Mbak Tia telpon Tante Velin aja, kalo saya di sini nemenin Avisha." Tanpa perlu menunggu respon pembantu ceweknya, Arven berjalan menuju tangga yang akan membawanya ke kamar Avisha.

Di ranjang bersperai es krim dan warna pastel itu Arven meletakkan Avisha hati-hati. Pintu kamar dia biarkan terbuka. Sementara Arven menarik kursi di depan meja belajar di dekat ranjang. Lalu duduk di sana.

•••

Ini bukan tempatnya. Seratus persen Avisha sangat yakin jika ini sekadar mimpi. Ilusi yang tercipta sebab tragedi-tragedi yang menamparnya seharian tanpa pemberitahuan.

Apalagi saat dia melihat dirinya yang berada di panggung itu tampak gembira. Lalu penampakkan itu bergeser pada saat dia terikat di gudang kosong.

"Avisha Pratista, anak Devin Kayden," Dia tersenyum. Senyum yang sampai kapanpun melekat di memori buruk kepalanya. "Kalo bukan ayahmu, kamu gak akan di sini, nak."

"OM SIAPA?!"

Avisha mengepalkan tangan. Melihat sekitar untuk mencari jalan keluar.

Dia tidak ingin di sini!

"Om jahat!"

Avisha mohon berhenti. Dia tidak mau di sini. TIDAK MAU!

"Kenapa Om lakuin ini?! Salah Papa Visha apa?!"

"Sha!" Sayup-sayup dia mendengar suara.

"JANGAN! ICHA MOHON JANGAN!"

"Sha! Bangun!"

Kedua suara itu seolah beradu di otaknya. Avisha memegang kepalanya. Mendadak sakit.

"Icha mohon jangan dibakar! JANGAN! Jangan dibakar!"

"Sha, sadar!"

Avisha tak bisa membedakan lagi mana yang mimpi dan mana yang nyata.

Api itu merambat cepat. Percik-percikannya menyambar ke segala arah.

"Papa! Tolong Icha. Tolong!"

"AVISHA PRATISTA!"

Seperti itulah, dirinya merasa tertarik dari kegelapan. Dia terbangun dengan napas tersengal-sengal. Apalagi keringat yang bercucuran di wajahnya.

Dan ... dari semua hal yang terbiasa terjadi saat terbangun dari mimpi buruk, keberadaan Arven yang berada di sisinya seolah ikut menjadi kebiasaan sekarang.

"Ka-kak ... kak Arven?"

Cowok itu sejenak diam. Dan saat dia menarik Avisha ke pelukan hangatnya. Avisha tahu pertahanannya runtuh-Lagi. Nyatanya dia tak sekuat itu untuk terlihat baik-baik saja. Peristiwa siang ini tentu berpengaruh besar pada ingatannya.

Arven sekadar mengeratkan pelukan tanpa mengatakan apa-apa. Mengelus rambut sambil sesekali menciumnya. Membiarkannya menangis sesegukkan. Membiarkan seluruh kesedihannya tumpah berkali-kali lipat.

Kata lelah pun seperti tak cukup menggambarkan yang Avisha rasakan. Mau melupakan, tapi seluruh ingatan itu seperti bayangan yang selalu mengikuti. Mau berhenti dan bersikap biasa, tapi dunia seperti begitu kejam padanya.

Setelah keheningan yang terjadi, Arven sedikit melonggarakan pelukan saat dilihatnya Avisha sudah mulai tenang. Cewek itu menunduk sambil membersihkan air matanya, yang Arven bantu dengan perlahan.

"Kenapa ..." Suara Avisha serak. "Kak Arven di sini?"

"Nemenin lo." Arven mengusap pipi lalu ke dagunya yang basah. Membersihkan sisa air matanya.

"Visha cengeng ya?"

Arven justru menggeleng. "Lo justru paling kuat. Lo masih bisa ceria di depan orang-orang."

"Bohong!" Avisha memukul dada Arven pelan.

"Gak ada yang percaya, cewek sependek, sepolos, sebawel ini punya trauma kan?" Sekadar perkataan itu saja Avisha dibuat tak berkata. "Siapapun pasti gak percaya lo masih baik-baik aja setelah semua peristiwa itu. Bahkan lo masih bisa senyum."

"Menurut ... menurut kak Arven gitu?"

Dengan dua tangannya Arven mengusap rambut Avisha ke belakang lalu mendorong punggungnya untuk merapat.

"Cewek gue emang paling hebat kan?" Avisha sontak tersenyum oleh nada datar itu. "Karena itu, hari ini gue udah mesenin makanan banyak."

"Makanan?" Mata Avisha langsung berbinar.

"Chicken wings, es krim, burger, float, semua buat lo."

Dan Arven memang yang paling hebat untuk mengembalikan semuanya. "Hebat banget sih kak Arven buat Visha senyum lagi." Lalu spontan Avisha mencium pipi Arven. "Singanya Visha emang manis kan?"

"Siapa yang ngajarin nyium tiba-tiba gitu?"

Avisha mengangkat telunjuknya, memegang hidung Arven. "Orangnya di depan Visha." Lalu dia perlahan menuruni ranjang, belum juga berjalan saat Arven menarik lengannya.

Dan ... sebuah ciuman mendarat di bibirnya.

Avisha masih syok saat Arven yang santainya mendahuluinya keluar kamar.

•••

Pukul dua belas malam. Arven baru pulang dari rumah Avisha. Setidaknya ada Darlan yang menjaga Avisha, menggantikan Arven. Cowok itu juga mendengar berita jika kantin sekolahnya kebakaran.

Arven menceritakan semua tanpa ditutupi.

Termasuk ada desus yang mengatakan kalau kebakaran itu tampak seperti disengaja.

"Lo emang gak bisa cek CCTV-nya?"

"CCTV-nya mati. Kalo nanti orang tua lo juga tau dan nanya. Lo cukup bilang Avisha gak di kantin. Avisha gak mau mereka khawatir."

Seusai memarkirkan mobilnya di basement, Arven melangkah menuju lobi lalu berjalan ke lift.

Saat telah tiba di lantai apartemennya, dia berjalan santai di lorong, yang tak butuh waktu lama langkahnya jadi membeku di tempat.

Persis beberapa langkah dari apartemennya.

"Kita perlu ngomong."

Suara Andien bahkan terlalu jelas di telinganya.

•••

nakal nih di UKS bisa-bisanya, siapa yg ngajarin!🙈🙈

Andien sayang kmu mau ngapain lagi :((

pake sayap2 gitu buat apa sha

Andien malah gigit bunga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro