Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A62-Bagian yang dibingungkan

SIAPA YANG NUNGGUIN NIH :))

Mumpung malem minggu kan, terus harus #dirumahaja jadi sengaja upnya sekarang

Boleh dong komennya banyak. Sama votenya juga ya

"Lo tau kan, itu sia-sia. Lo bakal nangis akhirnya."

Itu kalimat sederhana. Tapi, begitu memukulnya telak. Andien menggeleng. Mencoba buat tidak memikirkan secara serius. Askar tidak tahu apapun. Lelaki itu masih digelapi oleh cerita lama. Hingga rasa bencinya masih mengakar dan tak mampu melupakan.

Suara mendidih air membuat Andien tersadar. Dia sontak bergerak untuk memasukkan spaghetti instannya. Malam ini rumahnya sepi karena kedua orang tuanya berada di luar kota. Cuma ada dia bersama Ilona di rumah.

Karena tidak ada pembantu, Andien terpaksa yang memasak buat makan malam. Itu juga sekadarnya. Walau sejak pulang sekolah, Ilona tak menampakkan diri atau mencoba mengobrol dengannya. Mengurung diri seharian di kamar.

"Na!" Andien berteriak dari bawah tangga setelah makanannya sudah siap di meja makan. "Na, gue buat ..."

Tahu-tahu Ilona menuruni tangga dengan wajah datar.

"Gue buat spaghetti. Lo belom makan kan?" Andien tersenyum lebar. "Ayo!" Hendak menarik lengan adiknya, saat perempuan itu menepisnya kasar.

"Gue gak mau makan."

Ilona berjalan ke arah dapur. Mengambil minum. Andien mengikuti di belakang.

"Kenapa? Lo lagi diet?"

Ilona menatap kakaknya tidak suka.

"Lagi naksir cowok ya? Cieeee, cerita-cerita dong sama gue."

"Gak usah sok peduli sama gue kak!" Ilona menutup pintu kulkas kasar lalu berjalan hendak meninggalkan dapur.

Andien mengerutkan dahi tak mengerti. "Lo kenapa?"

Berkat itu, langkah adiknya tertahan di pijakan. Menoleh dengan raut yang sama sekali tidak bisa Andien mengerti. Marah? Kesal? Tapi, apa yang membuatnya kesal.

"Lo nanya gue kenapa?" Ilona mendengkus sinis. "Harusnya gue yang tanya, kak. Lo kenapa?"

"Apa sih! Gue gak ..."

"Kenapa lo datang ke sekolah gue? Buat apa hah?!" Andien agak terkejut oleh nada tinggi adiknya. "Lo bikin ribet semuanya tau gak sih! Lo balik ke sini aja, gue muak, ditambah lo ke sekolah!"

"Gue salah apa sama lo, Na?" Meski adiknya bersikap kasar padanya, sebisa mungkin Andien tidak ikut-ikutan.

"Salah apa?" Ilona tertawa. Terdengar miris.

"Gue kembali ke sini karena gue kangen Negara kelahiran gue, emang itu salah?"

"Niat lo bukan cuma itu, kak." Ilona melangkah mendekat. Menatap Andien dengan kilat yang tak mampu diartikan. Selain bingung, Andien tak bisa mengartikan apapun. "Plis, kak, cukup sampe sini kegilaan lo! Lo bisa aja ngehancurin semuanya!"

"Gila? Lo ngatain gue gila?!" Andien rasanya ingin tertawa keras. Tidak ada satu pun orang yang menyambut kedatangannya ke sini. Itu tidak apa-apa. Tapi, rasanya terlalu berlebihan jika menganggapnya 'masalah' jika kembali.

"Kenapa lo harus ikut-ikutan buat gak suka gue di sini?! Gue salah apa sama lo!"

"Kalo pun gue jelasin, lo gak bakal ngerti, kak. Lo gak ngerti!" Penuh penekanan, Ilona mengucapkannya.

Andien speechlees luar biasa. Tak menyangka jika adiknya bisa berbicara seperti itu. Oleh tekanan yang dia rasakan, dia refleks mengambil air panas bekas merebus spaghetti. Ilona yang melihatnya menyipitkan mata.

"Lo bilang gue gila kan?"

Begitu saja Andien membawa panci itu ke arah wastafel dan yang terjadi selanjutnya membuat Ilona luar biasa terkejut saat melihat sang kakak menyiram air panas itu kedua tangannya sendiri. Membiarkan airnya mengalir seakan membakarnya.

"LO GAK WARAS!" Ilona menarik panci dan melemparnya menjauh.

"Gue gak punya salah apa-apa!" Andien meringis menahan panas yang terasa membakarnya. "Terus kenapa? Kenapa gue dianggep peran jahat di sini! Kenapa semua orang benci gue! Itu gak adil kan?"

Ilona terbungkam sepenuhnya.

"Cukup, Arven sama Askar yang benci gue," Andien menangkup kedua pipi adiknya. Lalu tersenyum sedih. "Lo jangan ikut-ikutan, Na."

Cuma sedetik sepertinya saat Ilona langsung menepis kedua tangannya. "Telat, gue terlanjur benci lo!"

•••

"Kak Arven gak mau komen apa-apa, hari ini rambut Visha dikepang loh!" Avisha sejak tadi mencoba mengibas-ngibas rambutnya yang dibuat kepang menyerupai elsa. Tapi, tak ada respon apapun dari cowoknya, malah sibuk menyetir, menatap jalanan.

"Hm," Arven mengangguk. "Bagus."

"Gitu aja deh komennya!" Avisha cemberut. Membuang muka ke arah jendela. "Gak romantis amat."

Lampu merah, mobil Arven berhenti. Kali ini sepenuhnya menatap Avisha.

"Coba nengok ke gue," Avisha mendengkus, terpaksa kembali menoleh menatap Arven. Cowok itu diam sejenak sambil menatapnya lurus. Tatapan dinginnya itu yang membuat Avisha serasa lupa bernapas. Apalagi saat cowok itu tersenyum. Jantungnya hampir seperti tak berdetak.

Dia membuang muka tak kuat. Lalu yang terjadi selanjutnya membuatnya terkejut merasakan ciuman di ujung bibirnya.

Avisha memelotot. "Kok malah nyium!"

"Gak tau, liat lo kayak gini jadi pengen nyium!"

"Dih gitu!" Avisha merasa pipinya mulai memanas. "Modus!"

"Serius, gue selalu suka kalo lo dikepang gitu. Apalagi poninya itu."

"Ih kak Arven!" Lebih dari manis, Avisha menangkup mukanya tidak kuat karena malu. "Jangan gitu, pipi Visha makin panas."

"Coba gue liat pipi lo," Arven menarik kedua tangannya yang menutupi wajah.

"Merah ka ..." Avisha terbelalak saat Arven malah mencium pipinya. Bersamaan dengan mobilnya yang kembali melaju sebab lampu hijau. Saat dia refleks memukul Arven pelan, cowok itu malah tertawa sambil mengusap kepalanya.

Tak butuh waktu lama saat akhirnya mereka tiba di sekolah. Mobil Arven sudah terpakir. Bersama Arven, Avisha melangkah keluar area parkir. Ketika di lobi dia menemukan Ilona yang berjalan hendak ke koridor.

"Lona!" Avisha memanggilnya sambil berteriak. Ilona tentu mendengarnya dan menoleh. Avisha melambaikan tangan ceria. Tersenyum lebar. Dia berjalan mendekat.

"Lona mau ke kelas kan? Bareng Visha ya."

Ilona diam. Sejenak tatapannya jatuh ke arah Arven, membuat Avisha juga ikut-ikutan. Mengartikan apa yang ada di pikiran temannya. "Kak Arven sampe sini aja nganterinnya. Visha bisa bareng Lona."

Arven mengangguk. "Nanti, pas istirahat gue agak lama ke kantinnya. Mau ngambil nilai dulu. Lo bisa ke kantin duluan kan?"

"Siap pak boss!"Layaknya tentara, dia mengangkat tangan hormat. Arven menepuk kepalanya lalu meninggalkannya bersama Ilona.

Di koridor yang cukup ramai oleh hilir mudik siswa, Avisha melangkah tertatih di sebelah Ilona yang tampak tak bersemangat. Meski sesekali dia merespon ucapannya. Terkadang tersenyum. Terkadang cuma membalas 'iya'.

"Lona udah ngerjain tugas rumah?"

Dia mengangguk. "Udah."

"Susah kan ya, Visha sampe pusing lo ngerjainnya."

"Hm, iya, lumayan susah," responnya. "Tapi, lo bisa ngerjain."

"Hehe, dibantu kak Arven." Avisha nyengir.

"Oh."

"Lona sakit ya?"

"Hm?"

"Lona keliatan gak semangat gitu. Sakit?"

Teman cantiknya itu malah terdiam beberapa detik, yang kemudian menggeleng sambil senyum kecil. "Gak, gue gak pa-pa."

"Yakin?"

Ilona mengangguk sekadarnya. Avisha jadi ikutan diam. Sebenarnya ada yang ingin dia tanyakan. Tapi, melihat bagaimana Ilona yang mendadak pendiam hari ini membuatnya bingung. Antara ingin mengatakan atau lain kali.

"Lona?"

"Iya?"

"Mm," Avisha ragu. "Mm ... Lona tau kalo kak Didi pernah ... pernah pacaran sama kak Arven?"

Cuma itu dan Ilona mendadak menghentikan langkah. Apalagi sorotnya yang tak bisa Avisha mengerti.

"Kak Didi ... mantannya kak Arven. Lona tau?"

Ilona menatapnya. Seperti ada yang dia pikirkan sesaat. Tapi, setelahnya dia menggeleng. "Gue gak tau. Lo tau dari mana?"

Avisha bingung buat mengartikan bagaimana sikap Ilona sekarang. Cewek itu kaget? Atau tidak?

"Lona gak tau?"

"Gue baru tau dari lo." Avisha menyipitkan mata. Ragu. "Lo tau dari mana?"

"Kak Arven yang ngasih tau. Lona kaget?"

"Oh ..." Cuma itu respon Ilona, setelahnya dia berjalan lebih dulu. "Gue gak tau. Gue gak suka ngurusin kehidupan kakak gue. Buang-buang waktu!"

"Kok Lona ngomong gitu ..."

Ilona kembali berhenti berjalan. Avisha jadi ikutan. Melihat ke arah yang perempuan itu lihat.

"Lo pikir lo siapa hah?!" Itu Yania yang bertengkar bersama Nata. Bodohnya, hal yang mereka lakukan membuat lalu lalang orang-orang menoleh penasaran.

"Bercanda gue, Ya!" Nata masih bisa-bisanya tertawa. Padahal, Yania tampak ingin memukulnya habis-habisan.

"Gak lucu!" Yania berteriak. Avisha baru kali ini melihat sahabatnya semarah itu. "Becandaan lo gak lucu!"

"Lona, kenapa mereka ..."

Ilona menarik napas panjang. Tampak lelah. "Gue udah pusing sama urusan gue. Gue gak mau tambah pusing." Yang setelahnya, dia berbalik dan meninggalkan Avisha yang terbengong bingung.

"Lona! Lona!" Sayangnya, Ilona sudah berbelok. Tak mengacuhkan teriakkannya sama sekali.

"Yaya!" Avisha menarik lengan Yania saat cewek itu hendak menampar Nata. Pertengkaran itu sontak terhenti. Keduanya menoleh. "Yaya kenapa? Kalian kenapa berantem?"

Jika Nata, langsung tersenyum lebar. Beda dengan Yania yang menatapnya sejenak sebelum menarik lepas lengannya.

"Yaya ..."

"Ini yang lo cari!" Yania menunjuk Avisha sambil menatap Nata penuh emosi. "Orangnya udah dateng!" Kemudian tanpa menjawab pertanyaan Avisha, sahabatnya itu berjalan pergi. Membuat Avisha membeku di tempatnya. Bingung.

"Sha ..."

"Nata ngapain Yaya?"

"Gue gak ngapa-ngapain! Dia ..."

Avisha tak mau mendengar lanjutannya. Dengan langkah tertatih, dia berjalan cepat menyusul langkah Yania.

"Pelan-pelan, Sha!" Nata berteriak, yang tak Avisha acuhkan. "Kaki lo masih sakit!"

"Yaya, berhenti dong!"

Mendengar pun tidak, Yania tampak berusaha tuli. Berjalan cepat sekali.

"Yaya, kenapa?"

"Yaya, berhe—aw!"

Dan saat berbelok menuju koridor pinggir lapangan, Avisha tersandung tali sepatu dan membuatnya terjatuh. Yania refleks berhenti lalu menoleh. Terkejut melihat Avisha meringis memegang lututnya yang tergores.

Dia hendak mendekat saat bersamaan Nata datang membantu Avisha berdiri.

"Kan gue bilang jangan buru-buru!" Nata mengomel. Avisha masa bodoh dan cuma mendongak menatap Yania yang cuma diam menyaksikan.

"Yaya! Kaki Visha sakit!" Avisha mengadu. Membuat Yania kembali mendekat, mengambil alih tangan Avisha dari Nata lalu mendorong cowok itu menjauh.

"Lo gak pa-pa?" Avisha tahu, sekesal-kesalnya Yania cewek itu selalu mengkhawatirkannya.

"Visha gak pa-pa." Dia tersenyum lebar, walau sedikit meredup detik berikutnya. "Yaya kenapa?"

Sejenak, Yania menatap Nata. Yang ditatap menaikkan alis bingung. Lalu cewek itu menggeleng sambil menatapnya. "Gue gak pa-pa."

"Yaya nangis tapi?" Avisha menyipitkan mata. Yania tampak gelagapan bingung.

"Gue ..."

"Gara-gara Nata nih pasti!" Avisha menyikut perut Nata.

"Duh, Sha!" Nata mengaduh. "Kok gue sih!"

"Bukan, mata gue kelilipan." Yania tentunya pintar berbohong.

"Gitu ya?"

Yania mengangguk sambil tersenyum. "Udah, ayo ke kantin aja. Gue belom sarapan."

"Oke, ayo!"

Yania menarik tangannya, yang sebelumnya lebih dulu mendorong Nata lagi. "Pergi lo cimeng!"

•••

Bawel: Visha udah di kantin, kak Arven nanti nyusul ya :)

Sekadar pesan singkat Avisha berhasil membuat Arven tersenyum. Dia memasukkan ponselnya kembali ke saku celana saat langkahnya sudah berhenti di depan pintu ruang kepala sekolah. Diketuk pintu itu yang tak lama terdengar sahutan untuknya masuk.

"Kenapa Pak memanggil saya?"

Kepala sekolahnya, Pak Ian, tampak duduk di balik meja kerjanya. Di meja banyak tertumpuk kertas-kertas penting sepertinya.

"Kamu bisa duduk dulu."

Arven mematuhi. Menarik kursi sebelum mendaratkan diri.

"Langsung ke intinya ya. Kita ketahui Arven nilaimu selalu sempurna. Itu pun kalau menurun sepersen saja, kamu pasti bakal minta remedial."

Tanpa sadar, Arven menyembunyikan tangannya yang terkepal sebab ingatan yang menusuknya karena perkataan cuma-cuma itu.

"Sembilan puluh delapan? Kamu bodoh atau apa! Kamu gak inget semua yang kakek katakan! Kakek mau nilai sempurna Arven! Sempurna!"

Arven ingin tertawa miris mengingatnya. Ditekan habis-habisan. Dipaksa tanpa kepedulian. Arven bahkan tak pernah membayang apa cita-citanya, saking semua perintah yang nyaris membuatnya gila.

Tidak seperti anak sekaligus remaja lain yang suka bermain-main, sejak kecil teman Arven pun cuma buku dan alat tulis.

Arven menggeleng. Menyingkirkan memori tak mengenakan itu dari kepala.

"Dan kamu ingat," Pak Ian sedikit menggeser berkas kerjanya. "Saat kamu datang ke ruangan bapak dua tahun lalu, saat baru sekolah di sini, kamu bercerita ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri."

"Iya pak?" Sontak Arven terdiam. Nyaris lupa pada hal itu. Dia bilang kan, dia tidak punya cita-cita. Impiannya cuma satu, keluar dari sangkar mengerikan kakeknya.

"Tanpa biaya kakek, Arven tetap bisa melanjutkan pendidikan Arven! Di tempat yang Arven mau."

"Bapak mewujudkan impian kamu itu."

" ... Maksudnya?"

"Bapak sudah merekomendasikan namamu ke daftar beasiswa luar negeri." Arven sudah menebak itu di kepalanya. "Dilihat dari kemampuanmu, nilai-nilaimu, apalagi piala-piala olimpiade yang kamu menangkan, yang membawa harum nama sekolah. Kamu lebih dari sempurna, Arven untuk menjadi siswa di sini."

Arven masih belum bisa mencerna ini semua. Satu sisi dia mengerti. Di sisi lain, ada sesuatu yang menahannya untuk mengerti.

Pak Ian mendorong amplop cokelat ke arahnya. "Ini formulir, kamu cukup isi lalu tanda tangan. Dan jangan lupa minta tanda tangan walimu. Kamu mau tau, ini salah satu universitas bagus di Jerman. Kampung halaman mamamu."

Arven speechlees luar biasa.

"Selamat, Arven. Bapak harap kamu sukses nanti." Pak Ian menyodorkan tangan, yang membuatnya sontak menerimanya sambil senyum sekadarnya.

Dia keluar ruangan dalam keadaan kepala kosong.

"Kak Arven mau kuliah dimana nanti?"

Tiba-tiba dia teringat percakapannya dengan Avisha.

"Luar negeri. Tapi, kalo di Indonesia juga gak pa-pa."

"Gitu ya, jangan jauh-jauh ya. Visha gak bisa jauh-jauh dari kak Arven."

Dia menatap amplop di tangannya. Melihat logo universitas yang tercetak di pinggir amplop. Itu mengingatkannya pada sang mama. Mamanya berharap dia akan kuliah di sana.

Bagaimana dengan Avisha ...

Kepalanya seperti ditarik sadar saat mendengar alarm kebakaran. Dan sebuah kebetulan saat Veron berlari, yang sontak membuatnya menahan lengan cowok itu.

"Ada apa?"

"I-itu, kantin," Veron terbata-bata menjelaskan. "Ada stan kantin yang kebakar!"

Gerakan Arven lebih cepat mendahului otaknya. "Titip ini!" dia mendorong amplopnya ke dada Veron. Belum juga direspon, Arven sudah lebih dulu berlari ke arah kantin. Cukup masuk akal jika dia seperti ini karena Avisha ada di sana.

Cewek itu ada di sana menunggunya!

Asap itu ada dimana-mana saat dia sampai di kantin. Banyak para penjual, guru, dan anggota osis yang membantu sekaligus menjaga agar tak ada siswa yang masuk. Arven menerobos, membuat salah satu anggota osis, menahannya.

"Jangan masuk, kak!"

"AWAS!"

"Apinya lumayan gede, kak Arven!"

Arven menepis lengan adik kelasnya itu. "Ada cewek gue di sana!"

"Gak ada kak," temannya yang ikut menahan Arven menyahut. "Gak ada siapapun siswa di dalam! Plis kak, kita kayak gini biar gak ada korban."

"Kalo lo gak biarin masuk, cewek gue yang jadi korban bangsat!" Setelahnya Arven mendorong dua adik kelasnya yang menghalanginya masuk.

"SHA!" Arven berteriak. Membiarkan asap yang menutupi pandangan. "SHA!"

"Arven ngapain kamu di sini?!" Salah satu guru menahannya dan hendak menariknya yang dia tepis langsung.

"SHA! AVISHA!"

"Avisha di sini?" gurunya seperti terkejut luar biasa. Arven tak mengatakan apapun, dan malah melangkah makin dalam. Asapnya semakin menusuk dan terlihat pekat.

"Plis, Sha! LO DIMANA?!"

Arven hampir putus asa. Berpikir positif jika ceweknya sudah keluar kantin. Tapi, saat dia berbalik, dia melihat rok abu-abu di balik meja. Dia sontak menarik mejanya.

Dan ... kehilangan kata saat melihat Avisha meringkuk ketakutan di sana.

"Sha!" Arven berjongkok. "Sha! Ini gue Arven!"

Cewek itu mendongak perlahan. Seperti ditikam berkali-kali, Arven makin tak bisa berkata melihat wajah Avisha basah oleh air mata. Apalagi sorot matanya yang kosong.

"Apinya ..." lirihnya. "Apinya! Apinya tadi!"

Tanpa perkataan, dia mengangkat tubuh Avisha keluar kantin. Semua yang berperan untuk menghentikan apinya terkejut melihatnya, tapi bukan fakta itu yang dia pedulikan.

Jika tangannya gemetaran melihat Avisha yang seperti ini.

•••

Nahloh :((

gimana nih, kbakarannya menurut kalian kenapa?

tapi cuma kebakaran aja kayaknya :((

moga aja

Arven🙈

Askar :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro