A;A60-Terlupakan yang Kembali
Siap buat part ini? Siaplah ya :)))
Vote dan komen harus banyak ya, mau liat seberapa antusias kalo mau ini dilanjut
tengkyuuuu :*
•
PANGGUNG berukuran besar tampak menghiasi tengah lapangan. Berdiri begitu gagah dengan berbagai pernak-pernik yang menjuntai sana-sini.
Avisha memandang itu dengan kerutan di dahi. Tapi, suara 'bip-bip' mobil membuatnya sadar. Dia menoleh pada Arven yang menekan kunci remote mobilnya.
"Emang hari ini ada acara apa?"
Menghindari fakta, Arven yang seperti biasa datang menjemputnya ke sekolah. Pemandangan sebuah panggung adalah sesuatu yang membuatnya bingung tentu saja. Tidak ada desas-desus apapun Jum'at kemarin jika sekolahnya akan ada acara.
Arven juga ikut memandang apa yang Avisha lihat. Memilih mengangkat bahu tak acuh. "Gue juga baru tahu dua hari lalu. Ada acara penggalangan dana."
"Penggalangan dana?" Avisha menoleh makin bingung.
Arven bergumam dan mengangguk. "Kata Veron bakal ada beberapa model yang datang buat ikut serta sekolah kita nggalang bantuan buat korban tsunami."
"Terus apa hubungannya model ama bantuan?"
Arven menghela napas. "Model itu yang bakal narik para penyumbang buat dateng ke sini. Makin banyak orang dateng buat ngeliat mereka. Makin banyak juga dana yang kekumpul. Paham sampai sini?"
Avisha beroh panjang kali ini lalu menyengir lucu. "Nah kayak gitu dong kalo ngejelasin. Jelasin sejelas-jelasnya."
"Bukan penjelasan gue yang kurang jelas, tapi emang otak lo yang kurang!"
Avisha langsung mendelik pada Arven yang begitu santainya setelah mengatakan itu malah berjalan pergi. Walaupun tertatih, dia bisa menyusul dan mengimbangi langkah Arven yang cukup lebar itu.
"Jahat banget sih mulutnya!"
"Gue selalu ngomong sesuai fakta."
"Tapi itu nyakitin!"
"Dan gue harus bohong cuma biar lo seneng?"
"Emang harusnya gitu kan?" Avisha memelotot kesal. "Kak Arven harusnya manis-manisin pacarnya."
"Itu bukan gue dan gue gak bisa kayak gitu!"
Avisha mencibir. Heran jika di dunia ini ada manusia seperti ini. Dan, marah pun Avisha tidak bisa karena sayang. Cih! Menyebalkan.
"Visha penasaran gimana mantannya kak Arven pas pacaran ama kak Arven dulu! Stress gak ya?"
Cuma itu. Tapi luar biasa dampaknya. Begitu saja Arven berhenti melangkah. Avisha yang tak tahu apa-apa, ikut berhenti dan menoleh bingung.
"Kenapa? Visha salah ngomong?" Dari cara Arven tak melanjutkan jalan, diam, raut tak terbaca, Avisha merasa ada yang salah dengan kalimatnya. Tapi, tunggu apanya yang salah. "Kak Arven gak punya mantan ya?"
Arven masih diam.
"Eh, tapi kayaknya kak Zion pernah nyebut-nyebut mantan kak Arven deh."
Dia ingat saat Zion sepertinya keceplosan berbicara. Mereka ada di kantin saat itu, ada Regha juga di sana. Jika Arven tak peduli, Regha yang justru menendang kaki Zion keras.
Arven tak pernah membicarakan masalah percintaannya dulu. Cuma masalah keluarga yang itu pun pasti masih ada yang cowok itu rahasiakan. Adiknya saja, masih timbul teka-teki, buang jauh dulu soal kecelakaannya, soal wajahnya yang katanya mirip Avisha saja, dia masih dibuat penasaran. Semirip apa. Karena saat memintanya untuk melihat fotonya Arven selalu menolaknya.
"Kak Arven takut Visha cemburu ya?" Dia bercanda sambil tertawa ringan. "Tenang aja, Visha gak gampang cemburu kok orangnya. Kak Arven beruntung punya pacar kayak Visha."
Lelaki itu baru mau menoleh pada Avisha. Rautnya masih kaku.
"Buat apa lo nanyain mantan gue?"
"Mm, ya nanya aja."
Arven diam seolah ada banyak hal yang dia pikirkan. Keheningan ini sedikit menganggu buat Avisha. Apalagi raut cowoknya yang semakin tak bisa ditebak maknanya.
Avisha memilin kedua jemarinya, bingung sendiri saat detik berikutnya dia tersentak oleh tangan Arven yang menarik jemarinya buat digenggam.
"Mantan gue udah gak penting. Yang penting lo sekarang."
Bukan jawaban seperti itu yang Avisha ingin dengar. Di satu sisi, dia ingin tahu semua hal yang Arven rahasiakan. Tapi, di sisi lain, dia mengerti jika tak semudah itu membuka album berdebu.
"Iya," Buat memperbaiki suasana, Avisha senyum. "Visha paham kok. Kak Arven kan gak bisa jauh-jauh dari Visha. Bucin!"
"Bucin ya?" Arven mengangguk asal. "Mm ... gapapalah, bucinnya ke lo ini."
"Apa?" Avisha yang malah dibuat kehilangan kata dan bukannya bertanggung jawab atas ucapan yang membuatnya merona malu itu, Arven melangkah meninggalkannya.
Kebiasaan!
"Bisa diulang ucapan tadi?" Avisha mensejajarkan langkah.
"Gak."
"Ayolah, Visha mau denger lagi."
"Gak ada siaran ulang."
Avisha cemberut. Mencibir pelan.
"Oh iya, kalo ada acara nanti kita gak belajar dong!" Saat berjalan di lorong menuju kelasnya, Avisha baru teringat hal itu.
"Tetep belajar."
Arven memang suka merusak kesenangannya.
"Kok belajar sih!" Avisha memelotot kesal. "Harusnya kan kalo ada acara gitu, kelas bebas."
"Acara mulai jam satu siang," jelas Arven. "Jadi, biar otak lo kerja harus belajar."
"Otak Visha selalu kerja kok. Dua puluh empat jam malah." Alis Arven terangkat dengan Avisha yang melanjutkan. "Buat mikirin kak Arven."
Arven diam membuat Avisha tertawa. "Baper ya? Cieeeee!"
"Gue heran."
"Heran?" Avisha memiringkan kepala. Bingung.
"Heran aja, gimana cara ngobatin kenarsisan lo."
"Ini udah gak ada obatnya kak Arven. Lagian, ya kak Arven tuh harusnya seneng Visha pikirin tiap saat."
Arven menarik napas panjang. Tak mengatakan apapun lagi.
"Modelnya banyak ya kak Arven?"
Arven tak menjawab.
"Entar kira-kira Visha diajak gak ya buat fashion show?"
Arven mendengkus geli buat kali ini.
"Terus ya ..."
"Udah sampe depan kelas lo!" Arven memotong sengaja.
"Oh," Avisha baru menyadari itu. Di bangku depan kelasnya, ada Ilona dan Yania yang mengobrol sesuatu. "Yaya, Lona, Princess comeback—aw!" Dia langsung mendelik pada Arven yang sengaja menarik poninya. "Sakit tau!"
"Inget, Yania gak boleh ngomong kasar. Gak boleh ngomong kasar." Seperti itulah cara Yania menyambut Avisha yang membuatnya tertawa.
"Yaya nih kebiasan!" ucapnya masih tertawa. "Oh iya, gimana pestanya semalem?"
Ilona diam, pun Yania. Yania yang pertama melirik Ilona kemudian bersikap santai seperti biasa. "Ada yang ngambek."
Avisha melirik Arven sejenak. Sebelum menatap Ilona yang diam. Tak mengatakan apapun.
"Mm, maaf Lona. Visha sibuk banget sama tugas semalem."
"Alah, sibuk pacaran aja juga lo!" Ini Yania yang memang tak bisa menjaga mulutnya.
Ilona masih saja diam. Walau matanya melirik Arven dan dirinya bergantian.
"Gak pa-pa, kok." Ilona tersenyum kali ini. "Bisa lain kali kan lo ketemu kakak gue."
Avisha tertawa senang. "Lona emang terbaik."
"Sha," Arven bersuara membuat perhatian ketiga perempuan itu teralihkan. "Gue ke kelas ya."
Begitu lebarnya Avisha tersenyum sambil mengangguk. "Oke."
Arven melangkah mendekat. Tak mengatakan apapun dan cuma menatapnya.
"Kenapa?" Avisha bingung. Arven menggeleng dan cuma mengusap lembut kepalanya lalu melangkah pergi.
Bersamaan dengan punggung Arven yang menghilang saat berbelok, Avisha tersentak ketika Yania menariknya tiba-tiba. Mendudukannya antaranya dan Ilona.
"Apa?" Avisha sudah sangat menebak apa arti wajah kepo Yania sekarang.
"Lo sama kak Arven ke mall aja kemarin? Kok lama banget sampe sore."
"Habis dari mall, Visha ke apart kak Arven ..."
"Serius?!" Yania syok.
"Buat nemenin kak Arven belajar."
Yania cuma beroh panjang. "Terus, ada ..."
"Udah ah," Sengaja Avisha memotong. "Gak ada apa-apa."
"Ih lo mah pelit banget informasi ama temen sendiri!" Yania sebal.
"Kak Didi gimana kabarnya?" Avisha sengaja mengganti topik.
"Dia baik." Ilona menjawab. "Terus ..."
"Makin cantik." Yania yang antusias. "Cantik parah, Sha. Dia kemaren nanyain lo. Kabar lo gimana. Terus wajah lo gimana sekarang."
"Wajah?"
Yania mengangkat bahu tak mengerti. "Gak tau, gak paham juga gue. Ya gue bilang aja lo masih sama tingginya. Gak ada yang berubah." Avisha tentu mendelik sebab itu.
"Udahlah, gak usah ngomongin kakak gue." Ilona memotong. Berdiri dari kursi lalu melangkah masuk kelas. Yania dan Avisha saling pandang. Mengerutkan dahi jadi bingung.
•••
Di taman tak terpakai, di bawah pohon, Askar terduduk dengan pandangan kosong, yang sementara kepalanya ribut oleh ingatan mengerikan.
Bagaimana rasanya menjadi pemenang, yang dibanggakan, yang menjadi sorotan?
Entah ... siapapun yang pernah merasakan itu pasti merasa dirinya hebat. Berbeda dengan Askar yang pengecut. Tentu saja. Memangnya apa yang bisa dibanggakan dari orang yang selalu kalah.
Mungkin, biasa saja jika dikalahkan cuma sekali. Bukan berulang-ulang kali yang menghancurkan harapan seseorang. Membuatnya menerima kalau hidupnya memang sebatas untuk dinomorduakan.
Mulai dari anak yang ditinggal meninggal ibu kandungnya saat melahirkan.
Papanya yang kembali menikah saat bahkan usianya belum menginjak satu tahun.
Awalnya menyenangkan. Hidupnya tercukupi. Memiliki ibu tiri yang begitu menyayanginya. Bahkan kata 'bahagia' tak cukup untuk menggambarkan hidupnya dulu.
Sampai semuanya berubah saat obsesi papanya pada uang, ditambah seorang perempuan yang membuat hidupnya berantakan.
"Kar, kayaknya gue suka sama Arven!"
Suara cewek itu bahkan masih memberikan dampak saat Askar mengingatnya. Tangannya mengepal kuat seiring ingatan menyesakkan itu menusuk kepala.
"Bantuin gue dong biar Arven gak dingin kayak gitu!"
"Sempurna banget dia kan, Kar."
"Gue bakal jadi cewek yang bahagia banget kalo bisa jadi pacar dia."
"Askar! Gue pacaran sama Arven!"
Askar tertawa kencang. Pahit. Entah bagaimana caranya dia menghentikan sesak yang begitu mengoyak dadanya sekarang.
Hentikan!
Dia harus menghentikan otaknya yang terus mengingat itu semua.
"Benar bukan kata Papa, Arven memang suka menghancurkan harapan orang." Bukan memperbaiki keadaan, ucapan papanya dulu benar-benar membuat Askar membangun tembok 'permusuhan' pada sepupu tirinya.
"Cewek yang kamu suka, lebih memilih Arven. Semua orang memilih Arven. Gak ada yang peduli sama kamu, bahkan Mama Diana lebih menyayangi Arven dibanding kamu."
"Kar!"
Setidaknya, berkat panggilan itu pikirannya sedikit teralihkan. Dia menoleh cuma buat menemukan Valdi menatapnya dengan tatapan cemas sekaligus kebingungan.
"Pergi lo!" ucapnya malas. "Gue lagi pengen nonjok orang. Dan lo bukan objek bagus buat gue tonjok sekarang."
"Lo harus denger omongan gue," Valdi tak mengindahkan ucapannya. Sahabatnya itu malah melangkah mendekat. "Lo harus ke lapangan sekarang!"
"Apa sih!" Sekarang bukan waktunya buat melihat hal konyol di panggung itu. "Gue lagi gak butuh cewek kayak gitu paham? Yang gue mau, ceweknya Arven. Gue mau Avisha. Biar gue bisa liat, gimana seorang Arvendino hancur!"
Valdi bergerak gusar. "Itu gak penting. Lo harus ke lapangan, itu lebih penting!"
"Apa maksud lo sih?!"
"Dia ada di sini!!"
Lebih dari cukup, ucapan itu seperti membawa hilang nyawanya.
•••
Lapangan siang ini ramai oleh warga sekolah bahkan orang luar. Meja-meja makanan tampak memenuhi di pinggir lapangan. Stand-stand bazzar juga menjadi salah satu peramainya.
Di sudut lapangan, salah satu meja, Avisha duduk sambil menangkup dagu. Menatap ke arah panggung. Acara belum dimulai.
"Kak Arven mana sih?!" Tahukah cowok itu dia mulai bosan di sini. Apalagi yang menjadi teman mejanya adalah kedua sahabat cowoknya. Zion dan Regha. Mungkin tidak apa-apa kalau Regha. Masalahnya itu ada pada kakak kelas nasisnya itu.
"Ditinggal bentar doang juga lo! Kayak anak ayam yang kehilangan induknya!"
Avisha cuma mencibir.
"Nanti juga dia balik lagi, lo tunggu aja." Regha memang yang paling waras.
"Kak Zion Visha punya tebakkan," sepertinya Avisha harus bermain buat membunuh bosannya. "Kalau kak Zion kalah, kak Zion harus jadi pembantu Visha selama sehari."
"Gila kali nih anak!" Jika Zion memelotot tak terima. Regha tertawa ngakak.
"Kalo gue yang menang, gimana?"
"Ikut peraturan cewek. Kalo cewek selalu menang."
Regha makin tertawa di sini.
"Selalu benar!" koreksi Zion greget. "Bukan menang, kerdil!"
"Terserah Visha dong, kayak yang kak Zion bilang cewek selalu benar. Jadi gak perlu dikoreksi!" Kapan lagi, Regha melihat Zion kalah ngomong seperti sekarang. "Kita mulai ya," bahkan Zion belum mengiyakan. "Hewan yang gak pernah salah?"
"Hah?" Zion dan Regha sama-sama memasang muka bingung.
"Ayo apa, Visha kasih waktu lima detik."
"Heh biji kuaci! Otak gue nyatu ama sistem aja butuh lima detik. Jangan curang lo!"
"Oke, karena Visha peri yang baik hati, Visha kasih waktu tiga detik."
"Hah?" Regha di sebelahnya sepertinya menikmati penderitaan Zion sekarang. "Oke ..."
"Satu, dua ..."
"Singa." Zion memotong sambil senyum.
"Kenapa singa?" tanya Avisha.
"Karena, Arven itu singa. Dan Arven gak pernah salah."
"Kak Zion ngarang banget. Ketauan banget otaknya gak bisa mikir." Cuma Avisha sepertinya yang santai menghina kakak kelasnya seperti sekarang.
"Wah kurang ajar nih bocah." Zion mulai sebal. "Macan."
"Salah."
"Ayam."
"Salah."
"Ikan cupang."
"Harus banget lo bawa ikan cupang?" Regha geleng kepala.
"Ya kan nebak, kali aja bener."
"Gak bener, salah."
"Angsa berbulu domba. Sapi berbulu buaya. Serigala berbulu kambing, atau ..."
"Stop!" Avisha menghentikan ucapan Zion. "Gak ada yang bener. Kak Zion kalah."
Zion menghela napas pasrah. Sementara Regha menepuk bahunya kasihan. Tak lama, Avisha melihat Arven melangkah mendekat, seketika itu senyumnya melebar. Cowoknya menarik kursi di sebelahnya.
"Kak Arven ngapain sih lama banget?!" protes Avisha.
"Tapi yang penting gue udah di sini kan?"
"Mm, Yaiya sih."
"Ven, suruh cewek lo pindah sono! Gue sama Regha sengaja gak ngajak Linzy ama Retta!" Ini Zion yang protes.
"Gue gak larang lo bawa mereka."
"Mereka juga gak mau diajak."
"Jadi bukan salah gue dong."
Zion kehabisan kata jadinya.
"Lo keringetan?" Arven mengusap peluh di dahi Avisha.
"Iya, panas! Tadi kan gak ada payung. Ini payungnya baru di pasang. "Avisha menunjukkan payung yang terpasang di meja.
"Gue nyuruh Veron masang payung dari tadi."
Gumaman Arven masih bisa Avisha dengar. "Jadi Kak Veron kak Arven yang nyuruh?"
"Lupain." Arven tak mau memberi penjelasan lebih. "Lo haus? Mau minum?"
Avisha mengangguk. Wajahnya dibuat semelas mungkin. Membuat Zion mendengkus. "Visha haus. Kak Zion ambilin Visha minum dong."
Zion langsung mendelik. "Beraninya lo nyuruh ..."
"Kak Zion lupa? Kak Zion kalah tadi." Avisha memasang muka polos.
"Kalah?" Arven yang tak tahu apa-apa, bingung. Beda dengan Regha yang sudah kembali tertawa.
Zion menarik napas panjang. "Oke, putri biji kuaci, gue ambilin minum lo. Mau minum apa? Racun rasa leci? Apa Baygon rasa nanas?"
"Apa aja yang penting manis kayak Visha." Avisha memberikan senyum termanis. Membuat Zion mati-matian menahan umpatan. Lalu dia melangkah pergi, meninggalkan ketiga orang di sana.
"Kenapa sih? Kenapa lo nyuruh Zion?"
"Zion kalah main tebak-tebakkan sama Avisha tadi." Regha menjelaskan
Cukup itu, Arven sudah sangat mengerti. "Oh, udah pinter ngerjain orang ya lo sekarang."
"Iya dong, pacarnya siapa dulu!" Avisha bangga. Sebatas itu saja, sudut bibir Arven tertarik ke atas.
Acaranya sudah mau dimulai. Sudah ada MC yang berdiri di panggung memberikan sambutan.
"Sebelum para model ini beraksi, ada salah satu perwakilan model cantik kita yang akan memberikan sepatah kata manis buat semua yang di sini."
"Ada berapa banyak model?" Ini Regha bertanya.
"Mm, gue gak tau pasti. Sepuluh orang mungkin."
"Ayo, Baby, maju ke atas." Itu suara MC. Lalu terdengar langkah ketukan high heels yang menaiki tangga panggung, lalu saat tirai terbuka dan seorang perempuan melangkah mendekati stand mic, tidak ada satu pun orang yang ternganga melihatnya.
Avisha menyipitkan mata. Merasa familiar dengan wajah itu. Arven masih asyik mengobrol dengan Regha. Sampai suara cewek iu menggema di speaker.
"Halo semuanya."
Suara itu seperti membawa separuh detak jantungnya. Arven membeku. Perlahan menoleh, untuk dikejutkan lebih dalam lagi. Avisha bisa melihat tangan Arven yang mengepal seiring suara cewek itu makin jelas didengar.
"Sebelum saya memperkenalkan diri. Dan mengucapkan terima kasih. Saya ingin menemui teman saya dan menyapanya. Boleh ya."
"Ven ..." Suara Regha bahkan terdengar tak percaya.
Dari cara cewek itu melangkah menuruni panggung dengan mic di tangannya, tidak ada yang tidak terpesona oleh langkah anggunnya. Wajah cantiknya. Lekukan tubuhnya yang sempurna.
"Dia siapa dah?" Zion datang dengan minuman milik Avisha. "Kok kayaknya dia mau ke sini?"
Arven berdiri dari kursi seiring langkah cewek itu mendekat lalu berhenti tepat di depannya.
"Hai, Ven!" sapanya sambil mengangkat kedua ujung bibirnya yang tercetak sempurna. Perhatian semua orang tentu langsung teralihkan pada meja mereka. "Apa kabar?"
Tanpa disadari, Arven menarik tangan Avisha buat digenggam kuat, yang sementara matanya menatap lurus perempuan itu. Dingin dan tak ada arti.
"Lo gak lupa gue kan?" Cewek itu sejenak melirik genggaman mereka. "Gue Andien. Andien Gracia."
•••
Hmmmmmmm☻
Andien udah datang di part ini... gimana gimana? :))
stay terus ya, jangan bosen bosen. laff yuu💕
Haiiii Andien👋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro