A;A6-Sarang Iblis
Maaf ya direpublish muehehehe. Jangan lupa vote dan komen
▪
❝Tak semua iblis tampak wujudnya. Ada beberapa wujud iblis yang bersembunyi pada kata 'manusia'.❞
•°•°•
SEPERTI hari-hari biasa yang terlewati, sepulang sekolah jika ada waktu Arven akan berkumpul bersama kedua sahabatnya. Menikmati waktu sore yang seharusnya bisa mengosongkan isi kepala. Membebaskannya sejenak dari beban-beban yang nyaris saja menenggelamkannya.
Namun, semua orang tahu kejadian di masa lalu tak semudah itu dihilangkan. Rasanya Arven ingin amnesia saja, agar ingatan di kepalanya musnah. Cih! Cetek sekali pemikirannya kalo berpikir begitu.
Suara riak air di kolam, menyentak lamunan Arven. Dia yang sekadar duduk di pinggiran bebatuan, bisa melihat Regha yang bertelanjang dada keluar dari dasar air dan berenang ke arahnya, lalu ikut duduk di sebelahnya.
"Lo gak mau ikut nyebur?"
"Gue gak bawa baju ganti," jawab Arven seadanya.
Regha maklum. Berteman lima tahun dengan Arven membuatnya mengerti seperti apa suasana hati cowok itu yang tak pernah bisa ditebak. Terkadang mudah didekati,, tapi disatu sisi memiliki tembok tinggi untuk menutupi sisi kelam yang cowok itu sembunyikan dari dunia luar.
Status persahabatan mereka seolah tidak menjadi alasan untuk Arven terbuka. Dia selalu saja menyimpan semua sendiri, walau setengah masalah cowok itu sudah Regha ketahui.
"Lo ada masalah?"
Arven mendengkus. "Lo tau hidup gue emang selalu bermasalah."
Regha mengangguk saja. Mengalihkan topik. "Ngomong-ngomong ..." dia ragu. "Mereka mirip."
"Mereka beda," Arven sudah dapat menebak arah pembicaraan yang Regha maksud."Dia bukan Avisha, dan Avisha bukan dia."
"Padahal lo tau mereka beda, terus kenapa kepikiran?"
Untuk beberapa saat Arven terbungkam.
"Gue gak kepikiran," ucap Arven jujur akhirnya. Tapi, tidak sepenuhnya. Ada hal lain yang mengganggu pikirannya sekarang. "Di luar topik mereka yang hampir mirip, gue ngerasa gak asing sama Avisha."
"Maksud lo?" Regha bingung. "Lo pernah ketemu dia?"
"Aroma vanilla, mata bulatnya, gue ngerasa ..." lalu Arven menggeleng. "Cih! Lupain, kayaknya gara-gara speaker yang hampir jatoh tadi pagi, otak gue gak nyambung gini."
Kemudian keduanya tersentak saat sebuah cipratan mengenai wajah. Arven mengerjap kaget, pun Regha yang ikut terkena. Mereka menoleh pada si tersangka yang sudah menyengir lebar.
"Cih! Udah selesai diskusi politiknya?" Zion yang bertelanjang dada tampak berkacang pinggang di tengah kolam. "Ngomongin gue ya lo berdua?"
"Geer lo!" Arven berkata datar.
Dia berenang mendekati mereka di pinggir kolam dan tersenyum lebar. "Gue tau kegantengan gue emang meningkat setiap harinya, jadi lo berdua gak usah bisik-bisik kalo mau muji. Ngomong aja langsung."
"Yon ..." Regha tampak lelah. "Kepala lo udah pernah disangkutin ke pipa kolam belum?"
"Kalo bukan ngomongin gue siapa lagi?" Kali ini Zion keluar kolam dan bersila kaki memandang mereka. "Oh atau lo berdua lagi ngomongin degem baru nih? Gue aduin ke Retta lo, Gha!"
"Sialan lo!" Regha melempar Zion handuk yang dibalasnya tawa kencang.
"Lo ya Ven jangan-jangan. Ada adek kelas yang lo taksir?"
Bukannya menjawab, Arven bangkit berdiri. Mengambil sweater navy yang tersampir di kursi, selesai memakainya, dia mengambil kunci mobil. "Gue balik!"
"Dih punuk unta! Manusia es! Kulkas!" Zion cemberut. "Belom jawab pertanyaan gue lo! Lagian masih sore, udah mau balik aja?"
"Kebetulan Tuan Raihan Gazkel lagi nunggu gue di istananya buat makan malem," Senyum Arven terangkat setengah hati. Zion dan Regha terdiam kali ini. "Gue gak bisa lama-lama jadinya." Kemudian dia berbalik menuju sekat pintu kaca, berjalan keluar rumah mewah Regha.
•••
Lihatlah rumah mewah bertingkat di daerah Jakarta Pusat. Cukup dari gerbang yang menjulang gagah, rumah bergaya klasik Eropa, halaman depan seluas yang bisa dipakai menampung ribuan orang. Air mancur di tengah-tengah dengan patung seorang peri menuangkan air dari guci di tangan. Sayapnya mengepak lebar.
Belum lagi, taman hijau di halaman belakang. Ruang tengah seluas ballroom hotel, yang sering dipakai untuk mengadakan pesta. Sepertinya dari penjelasan itu rumah ini bisa dibilang istana.
Istana? Tapi menurut Arven rumah itu neraka.
Gerbang terbuka lebar, mobil Arven bergerak memutari air mancur menuju garasi yang sudah banyak mobil terparkir. Bagai orang yang paling ditunggu-tunggu, Arven disambut para pelayan saat turun dari mobil.
"Tuan muda sudah ditunggu di ruang makan," Evan, sekretaris sang kakek memberitahu. "Apa Tuan mau berganti pakaian ..."
"Gak perlu." Arven memotong. Lalu berjalan menaiki tangga melingkar, untuk mencapai beranda rumah. Sementara Evan dan beberapa pelayan mengikuti dari belakang.
Ini sebuah kewajiban, di luar pintu utama yang terbuka, juga banyak pelayan yang berbaris dan membungkuk saat Arven melewatinya.
Jujur ... Arven muak oleh semua ini.
Bukan cuma bagian luar bergaya Eropa, bagian dalam tak jauh berbeda. Dinding-dinding dominan gelap dan bergaya klasik. Bahkan interior pun lebih didominasi oleh barang-barang kuno peninggalan lama. Termasuk lukisan artistik antik yang bergantung di dinding.
Semuanya masih tampak sama, seperti sebulan lalu saat Arven memilih meninggalkan rumah dan tinggal di apartemen sederhana.
Setidaknya itu jauh lebih baik, dibanding dia harus tinggal dikelilingi orang-orang tak punya hati.
"Ternyata lo inget jalan pulang?"
Terhitung orang ini.
Dengan gaya santai seperti biasanya, Askar melangkah mendekat. Berhenti tepat di depan Arven yang memasukkan tangan di saku celana, berusaha untuk mengabaikannya.
"Gue pikir lo udah betah tinggal di apart?" Askar senyum mengejek. "Kenapa balik lagi? Uangnya abis? Mau minta sama kakek?"
Arven tak menghiraukan. Tujuannya ke sini cuma satu. Menuruti perintah kakeknya. Yang pintarnya sang kakek tahu jika Arven pasti akan menolak hingga beliau menjadikan Diana sebagai perantara untuk membujuknya. Jelas Arven tak bisa menolak karena di rumah ini cuma Diana yang Arven hormati.
Dia melangkah hendak meninggalkan Askar, sayangnya sepupu satu-satunya itu adalah orang yang paling suka memancing keributan. Dia mencekal tangan Arven, yang langsung dia tepis.
"Mungkin di sekolah semua orang nurutin permintaan lo, tapi gak di sini!" Askar memandangnya jijik. "Perintah lo di sini cuma debu, yang sampai kapanpun, gak akan kakek anggap."
Beruntung Arven pintar mengatur emosi walau dadanya sudah memercik api.
"Gue heran," Askar tidak akan berhenti sampai Arven terpancing. "Kenapa kakek masih peduli sama lo? Cucu pembawa sial!"
CUKUP!
Arven menarik kerah Askar, yang justru direspon dengan senyuman meledek. "Arvendino Gazkel ternyata bisa marah juga ya? Kenapa marah, itu emang kenyataan bukan? Lo itu pembawa sial!" ledeknya. Mati-matian Arven tidak menonjok wajah sepupunya sekarang. "Ayo dong tonjok, tunjukkin kalo lo bukan banci!"
Setan di sekitar Arven mulai menjauh saat dia menarik napas panjang. Dia mendorong Askar hingga cowok itu tersentak jauh. "Cuma orang-orang yang gak berotak, yang nyelesain semuanya pake tonjokkan. Termasuk lo!"
Askar yang kali ini tersulut. Menarik sweater navy yang Arven pakai. "Otak? Lo mau bilang kalo Arven cowok terpintar dan terbaik sementara Askar cuma cowok yang lebih rendah dan buruk. Tapi ... lo lupa kayaknya. Kakek tetep mandang lo sama, lo itu selalu buruk di matanya!"
"Gue emang buruk," Arven menyingkirkan tangan Askar kasar. "Tapi seenggaknya, gue gak selalu sembunyi di bawah kaki bokap. Kayak lo!"
Kemudian tanpa peduli lagi, Arven meninggalkan Askar yang mengepalkan tangan kuat-kuat.
•••
Dilihat dari menu makanan yang tersaji di meja makan, bisa dinilai sangat mewah hanya untuk merayakan peningkatan investasi perusahaan milik keluarga Gazkel. Apalagi makanan tidak cukup untuk mencairkan suasana beku yang tercipta. Tidak ada suara selain dentingan piring di meja.
Meja makan berukuran panjang dengan delapan kursi kanan-kiri, terasa tak mengenakan sama sekali.
Diana, perempuan berkepala empat, yang menjadi satu-satunya perempuan yang duduk di meja makan, akhirnya memilih memecahkan keadaan itu. "Gimana masakannya Arven?" Wanita yang sudah dianggapnya ibu oleh Arven itu senyum lebar. "Suka?"
Arven sekadar mengangguk. Beda dengan Askar yang mendengkus tak suka mendengar perhatian ibunya.
"Itu Tante yang minta pelayan untuk memasak makanan kesukaan Arven." Bukti Diana pantas dihormati karena dia memang yang paling menghargai Arven di sini. Dibanding tiga pria yang mengelilingi meja makan.
Terutama ...
"Sepertinya kamu harus sering ke sini Arven," Vargelon Dafa, sang pria yang duduk di sebelah Diana buka suara juga akhirnya. Sayang, nadanya terdengar menyindir. "Istri saya seneng banget ngeliat keponakannya akhirnya dateng. Kamu lihat, sampai banyak makanan yang dibuat khusus untuk kamu."
Arven meresponnya dengan kedinginan yang nyata. "Makasih Om Dafa, Arven sangat menghargai itu."
"Itu wajar, Mas," Diana tak peduli oleh sindiran suaminya. Dia tetap tersenyum memandang Arven. "Karena dia juga anakku."
Terdengar suara deheman. Lantas semua perhatian langsung terpusat pada sosok pria di ujung meja. Yang paling berkuasa walau kulit wajah dan tubuhnya termakan usia. Bahkan rambut putihnya tidak menghalangi aura tegas yang dipancarkan.
"Bagaimana sekolah kamu Arven?" Raihan Gazkel, sang kakek yang pernah menjadi panutan Arven. Walau semuanya berubah saat beliau menganggap dirinya cuma sebatas alat penerus bisnis keluarga.
"Kakek harap semuanya baik-baik saja. Nilai kamu harus sempurna dan tidak ada berita buruk atau pelanggaran yang bisa saja mencoreng nama keluarga. Ingat! Cukup dua kesalahan yang kamu lakukan dulu, jangan mengulangi kesalahan yang sama."
"Tapi ..." Arven memotong daging steaknya di piring. Bersikap tak peduli. "Bukan emangnya semua yang Arven lakuin selalu salah di mata kakek?"
"Arven!" Suara Dafa menegur tajam. "Kamu tidak tahu cara bersikap sopan pada orang yang lebih tua? Jangan cuma karena kamu sudah tidak tinggal di sini, kamu bisa bersikap semena-mena! Anak tidak tahu terima kasih!"
"Mas!" Ini Diana yang menegur. Askar justru tampak santai menikmati drama di depan matanya.
"Arven emang lupa cara berterima kasih, Om." Jika digambarkan tabung kesabaran Arven berada di tingkat bahaya. "Itu juga kan ajaran dari Om. Om lupa?"
Emosi Dafa terpancing, refleks berdiri hendak melakukan sesuatu jika bukan karena teguran tegas Raihan yang membuatnya duduk kembali. Diana berusaha menenangkan suaminya.
"Arven dengar, tidak ada keluarga Gazkel yang tidak diajarkan sopan santun!" Sang kakek menatapnya tegas. Sepertinya aura dingin Arven bisa ditebak berasal darimana kalau melihat tatapan Raihan kini. "Jaga sikap kamu!"
Arven tidak tahan. Bangkit berdiri sambil menatap sang kakek yang memandangnya dingin. "Kakek bener, mungkin Arven bukan bagian keluarga Gazkel!"
Kemudian dia berjalan pergi, mengabaikan panggilan Raihan berkali-kali.
Dia cuma ingin keluar dari sarang iblis ini sebelum mereka semua melihat kehancurannya.
•••
Ingin tahu isi kepala Avisha. Kalau diurai mungkin tidak akan bisa karena terlalu kusut sampai dahinya ikut berkerut-kerut. Jarinya mengetuk bibir, pose yang sering dia lakukan jika tengah berpikir.
Ruang keluarga berukuran lebih dari 40 meter persegi seolah cuma menjadi pendengar suara denting jarum jam yang berada di dinding. Bahkan suara televisi yang menyiarkan kartun kesukaan, tak menjadi daya pikat lagi.
Yania yang sejak tadi tengah memakan cemilan di atas karpet, memerhatikan Avisha yang terduduk di atas sofa sambil menyilangkan kaki. Jika dihitung sudah sejak Yania datang Avisha mendadak jadi patung, mungkin bisa saja tadi Yania salah mengenalinya sebagai pajangan meja, kalau tidak merasakan deru napas Avisha.
"Sha!" Dari arah tangga, terdengar suara berupa teriakan. Tak lama sosok Darlan muncul di ruang keluarga dengan pakaian santai; celana jeans pendek dan kaos putih.
"Sha!" panggil kakaknya lagi.
Jangan kan Darlan, sejak tadi juga Yania tidak mendapat sambutan apapun. Karena untungnya Yania masa bodoh dan sudah sering berkunjung ke rumah Avisha, ya jadi dia santai-santai saja menikmati cemilan yang tersimpan di bawah rak televisi. Anggap saja rumah sendiri, itu yang Velin bilang, mama Avisha.
"Ini anak kenapa sih?" Darlan bingung. Aneh jika Avisha yang bawel kini diam seolah tengah berpikir. Cih! Biasanya juga paling malas mikir.
"Gak tau bang," Yania mengedikan bahu dan justru memakan lagi cemilannya. "Udah kayak gitu dari tadi."
Jujur saja, kalau tidak karena sudah biasa bertemu Darlan, yang gantengnya kebangetan. Mungkin Yania akan pingsan. Jangan tanya ketampanan seorang Darlan, kakak lelaki Avisha yang lebih tua setahun itu, memiliki ciri-ciri sebagai cowok idaman.
Anak futsal. Berbadan atletis. Alis yang menukik tebal. Yang menjadi daya pikat adalah lesung di bawah mata. Oh TUHAN ... Yania! Sadar-sadar, kalau Avisha tahu dia tengah memikirkan abangnya, dia pasti akan mengamuk.
"Sha gue minta es krim lo ya?!"
Yania memelotot. Jelas ucapan Darlan itu bagai mengikrarkan bendera perang. Yania menoleh, menunggu reaksi Avisha dan ternyata .... responnya di luar dugaan. Yania tak dapat lagi mengontrol matanya saat melihat Avisha mengangguk.
MENGANGGUK?!
"Serius lo?" Darlan tampak bahagia luar biasa. Kapan lagi kan dia mendapat anggukan Avisha saat meminta es krimnya, biasanya juga tolakkan mentah-mentah. "Makasih adikku sayang, sering-sering kayak gini aja ya!"
Setelahnya Darlan beranjak pergi, meninggalkan Yania yang ternganga bego, memandang punggung Darlan yang menjauh dan Avisha bergantian.
"Sha ..." Yania makin bingung. Ini Avisha kenapa. "Lo kesambet ya ... itu lo seriusan bolehin bang Darlan makan es krim lo?"
"Visha lagi gak mau mikirin es krim sekarang."
Yania makin ternganga. "Eh jangan-jangan lo bukan Avisha ya, lo makhluk luar angkasa yang menyamar jadi Avisha. Iya kan? Iya kan? Ayo ngaku! Gue tau Avisha itu nyebelin, berisik, aneh, bawel tapi ..."
"Ih Yaya!" Avisha cemberut. "Kenapa nyebutin sifat Visha yang jelek-jelek, walaupun nyebelin Visha imut tau! Udah ah jangan ganggu, Visha lagi mikir!"
Yania beringsut bangun dan duduk di sebelah Avisha. "Lo mikirin apaan sih?"
"Kak Arven," jawabnya lugas.
"Tuhkan!" Yania heboh. Avisha memejamkan mata, Yania pasti akan melanjutkan ceramahnya yang panjang lebar seperti saat di sekolah tadi. "Gue bilang apa ... lo tuh seharusnya berterima kasih sama kak Arven karena udah ditolongin, bukan malah marah-marah. Cuma lo doang, Sha. Yang ngomel-ngomel dipeluk cogan. Kalo gue mah ikhlas. Apalagi sweet gitu posenya. Cewek mana yang gak bakal meleleh."
"Visha tau, Yaya. Tapi tuh Visha kaget aja pas tau kalo kak Arven meluknya kenceng banget," Dia lalu memiringkan duduknya menatap Yania. "Terus nih ya pas Visha natap kak Arven tuh, Visha yakin banget kalo Visha kenal kak Arven."
Yania mendengkus. "Plis deh, Sha ... kalo mau ngehalu besok-besok aja deh."
"Visha gak lagi halu!" omelnya. "Visha yakin kalo Visha kenal kak Arven, entah kapan. Nah makanya dari tadi Visha mikir ..." Dia tersenyum lebar. "Kalo Visha mau tau jawabannya, bukannya berarti Visha harus deket sama kak Arven?"
•••
Visha mau deketin Arven cuma karena pengin dapet jawaban.
Eughh cari perkara nih anak -_-
Lanjut yeay or nay?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro