Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A59-Yang dicuriga

Buat malem minggu, sengaja update  :)))

HAYO-HAYO VOTE DAN KOMEN Cayaaang :*

MALAM ini hujan turun. Begitu deras diikuti kilat mengerikan. Dalam kamar yang sedikit remang, Avisha duduk di belakang meja belajar yang di atasnya menumpuk tugas sekolah. Dia cuma mengandalkan lampu belajarnya yang terang dan termenung menatap jendela kamar.

Bukan, tugas matematika yang membuat pusing, bukan juga kimia yang mengharuskannya menghafal zat-zat senyawa. Dia masih sangat jelas mengingat bagaimana sosok Arven yang sempurna, yang ditakuti, yang disegani, begitu tampak lemah oleh air mata.

Avisha sudah mengetahui tiap detail masa lalu Arven yang menyedihkan. Namun, alam semesta tahu jika Arven selalu bercerita tenang, oh bukan mungkin selalu berusaha tak menampakkannya. Lelaki itu pintar mengatur emosi, pintar menjaga ekspresi, pintar untuk mengelabui, Arven begitu cerdas untuk menunjukkan dirinya agar terlihat sempurna di mata orang-orang.

Ketakutan dan trauma.

Sama seperti halnya Avisha, Arven menutupi itu semua. Trauma. Sakit. Semuanya disimpan begitu apik. Tapi, bedanya jika dia punya keluarga yang menyayangi sekaligus melindungi. Arven justru mendapatkan tekanan dari keluarganya sendiri.

Tak dipercayai, tak didengarkan, dibenci, Avisha tidak tahu bagaimana nasibnya jika dia yang mengalami itu semua.

Dia menatap pulpen pada genggaman tangannya. Menekannya keras hingga kulit pada jari tengahnya memerah. Dia menghentikannya. Itu kebiasaan Arven. Arven selalu melakukan itu. Bahkan sampai jarinya terluka dan berdarah.

Dia mengangkat kedua kakinya ke atas kursi. Memeluk lututnya sambil mengingat pelukan yang dia berikan pada Arven tadi sore. Tak ada yang berbicara selama itu. Mereka diam, membiarkan air mata Arven pun yang mengalir diam.

Avisha bahkan tak sadar saat ikut menangis di sana. Merasa sakit yang Arven rasakan juga melukainya.

Perhatian Avisha sedikit teralihkan saat ponselnya berbunyi. Ada sebuah pesan dari Ilona.

Lona : Sha, kok lo gak ke sini sih, kakak gue nungguin nih

Avisha. P : Visha dari kmren gak ngrjain PR, jadi numpuk tugasnya. Maaf ya, Lona Visha gak bisa dateng

Avisha. P : Oh ya, kadonya udah Visha titip ya ke Yaya

Lona : Gue pokoknya marah ama lo

Avisha. P : Maaf :((

Tak ada lagi balasan dari Ilona. Bisa ditebak jika Ilona benar-benar marah padanya. Di pikiran yang begitu pelik, membuat Avisha lebih baik mengurung dirinya di rumah. Dia butuh ketenangan sejenak. Butuh waktu untuk memperbaiki pikirannya.

Arven mungkin sudah jujur mengenai masa lalunya. Tapi, mungkin masih ada rahasia cowok itu yang tidak Avisha ketahui. Salah satunya mengenai Askar yang merupakan sepupu tiri. Belum lagi, soal percakapan Arven dan kakeknya yang sempat terdengar. Ini melibatkan keluarganya.

Apa maksud dari itu semua ...

Terdengar ketukan di pintu.

Avisha menoleh dan melihat pintunya yang sengaja tak dikuncinya terbuka. Ternyata Darlan, abangnya memanggilnya untuk turun makan malam.

Saat pintu kembali ditutup, Avisha melirik pada ponsel di bawah chat Ilona, ada roomchat Arven yang kosong. Tidak ada pesan baru dari cowok itu. Dia menarik napas panjang, mengerikan karena Avisha tak bisa menyingkirkan seluruh tanya di kepalanya.

Avisha memutuskan buat turun makan malam.

Satu persatu undakkan tangga dia turuni perlahan. Belum juga langkahnya mencapai ruang makan, dia berhenti di tempat tanpa pergerakan. Itu sebab percakapan samar antara orang tuanya.

"Kakek tua itu datang kemarin ke kantor." Itu suara papanya yang terdengar sangat dingin. Dari nadanya, bisa ditebak jika 'kakek tua' yang Devin sebut adalah orang yang tidak dia suka.

"Pak Raihan maksud kamu?"

Raihan? Avisha tentu tak langsung melupakan nama itu. Baru tadi sore di apartemen Arven, Avisha mendengar nama itu. Mendengar Kakek itu mengenalkan diri. Apa yang mamanya maksud sama dengan yang ada di pikirannya.

Raihan Gazkel?

"Siapa lagi kalau bukan orang itu," Devin mendesis, seperti menahan emosi. "Dia datang, tanpa ada rasa bersalah sama sekali."

"Mas," Suara Velin lembut, terdengar berusaha menenangkan. "Itu cuma masa lalu, dendam gak akan menyelesaikan apapun."

"Tapi, kamu lupa apa yang dia lakukan dulu ... pada keluarga kita?"

Ada jeda lama mamanya merespon.

"Dugaanmu belum tentu benar, mas. Gak ada bukti apapun yang bisa dijadikan keluarga Gazkel terlibat!"

Benarkan!

Avisha menebak dengan tepat.

Yang mereka bicarakan kakeknya Arven.

Sebenarnya ... sebenarnya apa maksud semua ini? Apa masalah di antara mereka?

"Jangan cuma karena cucunya punya hubungan dekat dengan Avisha. Dia menggunakan hal itu untuk menjatuhkan kita!" Devin benar-benar menjadi sosok yang beda dari suaranya. "Bisa aja bukan, gak diterima dikalahkan dia ..."

"Ngapain lo?!"

Avisha langsung berjengit kaget. Menoleh untuk mendapati Darlan yang mengangkat alis heran.

"Ba-bang Darlan," Avisha jadi seperti tersangka yang ketahuan menguping. "Bang Darlan kok gak di ruang makan?"

Alis Darlan makin terangkat tinggi. Bingung. "Habis ngambil makanan di ojek online. Kenapa?"

Pantas saja orang tuanya begitu mudah mengobrol hal penting seperti tadi kalau cuma ada mereka berdua di sana.

"Ayo!" Darlan menyentaknya sadar.

Dia mengangguk kaku, walaupun beribu tanya di kepalanya makin menyerbu tak karuan.

Dan ... ekspresi orang tuanya tampak biasa saja. Mungkin memang banyak orang yang pintar berakting buat menutupi semuanya.

"Darlan, kamu tau mama masak banyak hari ini. Buat apa semua jajananmu itu?" Velin menatap kakaknya penuh peringatan.

"Ini buat tengah malem, Ma kalo Darlan laper pas ngegame." Dan Darlan keceplosan tentu saja saat melihat sang Papa menatapnya tajam.

"Jadi itu yang kamu lakukan saat tengah malam?"

"Gak, gak," elak Darlan buru-buru. "Maksudnya, Darlan kayak gitu pas libur aja, Pa. Bener kok. Gak boong."

Devin akhirnya tak mau memperpanjang lagi.

"Avisha," Avisha langsung mendongak seolah kaget. Membuat Papanya keheranan. "Kenapa kamu?"

"Gak ... Visha gak pa-pa."

•••

Di malam yang sama, Regha mendatangi apartemen Arven. Di ruang tamunya, dia menemukan lelaki itu bersama tumpukkan buku. Pemandangan yang tak asing lagi buatnya. Apalagi plester yang menutup jari telunjuk dan jari tengahnya yang menggenggam pulpen.

Bisa ditebak apa yang telah Arven lakukan pada jari-jarinya.

"Lo ngapain ke sini?" Tanpa mengalihkan dari buku catatannya, Arven bertanya ketus.

"Berhenti sih, jari lo udh luka kayak gitu!"

"Besok ada ujian praktek."

"Ya, gue tau, tapi gak harus ngelukain diri lo!"

"Tadi Kakek gue dateng," Arven menjelaskan tanpa Regha memintanya. "Terus ada Avisha."

Cukup dari itu, Regha sudah bisa menebak akhirnya.

"Oke," Regha mengangguk paham. "Tapi bisa gak, lo tutup buku lo dulu. Kalo gak ada hal penting gak mungkin gue malem-malem ke sini."

Kali ini, Arven memusatkan semua perhatiannya buat Regha. Sahabatnya yang sudah lama mengenalnya itu duduk di sebelahnya, memandangnya diam sebelum meletakan sebuah benda di atas meja.

Arven menatap benda yang Regha letakkan. Menaikkan alis.

"Flashdisk?"

"Rekaman di sekolah ada disitu semua. Termasuk semua rekaman yang ada Avisha di sana."

Arven tentu langsung mengambil benda itu saat Regha kembali buka suara.

"Itu berita baiknya. Berita buruknya ..."

"Apa maksud lo?!"

"Berita buruknya," Tanpa peduli oleh tatapan Arven yang jadi menajam, Regha melanjutkan hal yang ingin dia sampaikan. "Sia-sia ngeliat rekaman itu karena pelakunya pake jaket hoodie."

Penjelasan itu lebih dari cukup membuat emosi Arven kembali melonjak naik. Dia butuh mengepalkan tangan saat semua hal yang terpikirkan olehnya benar adanya.

Semua ini benar direncana dan pelakunya cukup pintar untuk melakukan ini semua.

"Terus," Regha kembali mengeluarkan sebuah flashdisk. "Ini rekaman depan gerbang sekolah. Benar tebakkan lo. Avisha sengaja ditabrak bukan ketabrak. Pelakunya pake motor bodong terus plat motornya palsu. Gak bisa dilacak."

Ini menakjubkan. Arven rasanya ingin memberi tepuk tangan yang sangat kencang untuk semua rencana yang disusun rapi itu. Seenggaknya, seekor nyamuk selalu mendapatkan tepuk tangan sebelum mati bukan?

"Semuanya sia-sia, Ven. Dari yang taksi, pelakunya juga gak ketauan. Sepinter itu dia. Hebat gue akuin."

"Yang nabrak Avisha, pake baju apa?"

"Lagi-lagi hitam," jawab Regha. "Dan ya, pelakunya pasti cowok, ketebak dari cara dia mainin stang motornya. Tapi, kayaknya kita salah buat pelaku yang di sekolah."

Tidak ada yang lebih menarik perhatian Arven dibanding seseorang yang meneror Avisha selama di sekolah.

"Pelakunya gak bisa ditebak cewek apa cowok. Dia pake celana olahraga terus pake hoodie yang kegedean. Kepalanya selalu ditutup tudung hoodie."

Arven ingin semua ini cepat terselesaikan.

Setidaknya, dari semua harapan yang pupus itu, tersisa satu harapan buat Arven menemukan si pelaku. Dia membuka laptopnya untuk mengconnect flashdisk di sana. Dibuka file yang Regha maksud, sementara Regha di sebelahnya cuma memerhatikan apa yang Arven lakukan.

Setiap rekaman itu Arven lihat sampai dia menghentikan videonya. Menyipitkan mata. Lalu sengaja menzoom layarnya.

"Seenggaknya sekarang hoodienya gak warna hitam." Arven lalu mengernyit. "Abu-abu?"

"Terus lo mau apa?"

"Gue bakal cari siapa yang punya jaket ini." Arven mengscreenshot layarnya untuk di simpan di ponsel.

"Anak di sekolah kita, ada ratusan, Ven ..."

"Ya terus kenapa?" Arven memotong dingin. Auranya mendadak gelap. "Gimana pun gue harus nemuin pelakunya."

•••

Berbeda buat malam ini. Rumah Ilona tampak sangat ramai. Ada sebuah pesta di sana. Perayaan yang dibentuk untuk merayakan kembalinya sang kakak ke rumah.

Pada saat semua orang berkumpul di ruang tengah menikmati pesta. Ilona, yang juga bagian dari tuan rumah, justru melarikan diri ke taman belakang. Dia duduk di kursi rotan cembung sambil menikmati minuman di gelasnya.

"Kok lo di sini sih?" Yania menghampirinya dengan cokelat besar di tangannya. "Kakak lo nyariin noh."

"Biarin aja dia," lalu Ilona menghela napas panjang. Seolah ada beban yang dipikulnya begitu berat.

"Kenapa lo?" Yania justru duduk di ayunan yang juga terbuat dari rotan.

Ilona tersenyum sambil menggeleng. "Gak apa-apa."

"Kakak lo makin cantik banget, Na."

"Hmm, iya."

"Gue aja yang cewek sampe kayak insecure gitu liat dia. Secantik itu."

"Iya."

"Temen cowoknya banyak bnget lagi."

Ilona diam kali ini.

"Siapa sih yang gak naksir sama dia. Iya kan?"

Ilona tak bisa menjawab pertanyaan itu. "Nata mana?" dia justru sengaja mengalihkan topik. Yania baru mau buka mulut saat bersamaan orang yang Ilona sebut datang dengan cengiran lebar.

"Yaelah langsung kangen aja, padahal gue ada di dalem loh." Begitu sengaja ucapan itu melirik Yania sambil merangkulnya, membuat yang dirangkul mendorongnya menjauh kesal.

"Jauh-jauh lo!" Yania memelotot. "Lagian ya, yang nyariin lo Ilona bukan gue!"

"Tapi, gue tau banget, yang selalu kangen gue tuh lo!"

"Dih geer banget! Lo seganteng apa! Jaehyun, Jeno, Jaemin, Lucas ..."

"Apa? Kulkas?" Nata memotong sengaja sambil ketawa.

"Apa sih!" Yania berdiri maju hendak menjambak. Yang membuat Nata langsung bersembunyi di belakang Ilona.

"Oh, plis." Ilona memutar matanya malas. Yang dia butuhkan ketenangan, kedatangan dua orang ini justru membawa hal sebaliknya. "Gue lagi pusing tau gak sih!"

Yania dan Nata kompak menghentikan kelakuan 'tikus-kucing'-nya. Walaupun sempat-sempatnya Yania melemparkan tatapan penuh permusuhan.

"Mm," Nata bergumam. "Visha kenapa gak dateng?"

"Gue gak tau," Ilona menjawab. "Dia bilang tugasnya lagi banyak."

Nata menghela napas. "Dia boong mungkin. Tadi siang kan dia pergi ama Arven ke mall. Berdua."

"Terus kenapa lo yang ribet!" Yania memotong kesal. "Mereka pacaran. Ya wajar aja jalan berdua!"

Cowok sipit itu tersenyum pahit. "Gue cemburu, Yaya."

"Kalo gitu bilang ke orangnya langsung! Bukan ke gue!" Yania mengucapkan marah. Ilona diam. Melirik muka Yania yang memerah. Menahan emosi.

"Iya, ya lo kan bukan emaknya!" canda Nata tertawa.

"Iya, gue bukan emaknya dan gue bukan tempat curhat hati lo yang nelangsa karena ditinggalin Avisha!" 

Yania lalu meninggalkan tempat dengan wajah yang bisa dibilang tidak baik-baik saja. Meninggalkan dua orang yang terdiam di sana. Terutama Nata yang jadi bingung sendiri.

Ilona menghela napas. "Lo sih!"

"Kok gue?!"

Tanpa peduli pada Nata, Ilona berlari menyusul langkah cepat Yania. Cewek itu berbelok ke arah gerbang.

"Yaya!"

Tepat di luar gerbang rumahnya, Yania menghentikan langkahnya tanpa menoleh.

"Lo cemburu kan?"

"Siapa yang cemburu!"

Ilona melangkah mendekat. "Lo gak bisa boong, Ya!"

Yania menoleh. Ada air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Gak ada yang boong, Na!"

"Lo suka Nata!"

"Gak ..."

"Gue baca buku diary lo!"

Begitu saja Yania speechlees mendengarnya. "Apa?"

Ilona menarik napas panjang. Situasi ini. Persahabatan ini. Ilona tak mengerti kenapa harus jadi rumit begini. 

"Sori, gue gak sengaja baca pas buku diary lo kebuka." Dia diam sejenak. "Ada nama Nata di sana."

Yania menggeleng. Melangkah mundur perlahan.  "Gak, gue ..."

"Plis, Ya." Ilona menatapnya memohon. "Jangan bohong. Jangan bohongin perasaan lo!"

Yania diam. Membiarkan hening ini terasa menyiksa.

"Lo suka Nata kan?"

"Iya," Air mata mulai mengalir di pipi Yania. Hal yang membuat Ilona terdiam. Sebab cewek sekeras Yania bisa menangis di depannya. "Gue suka Nata! Gue suka dia sejak dulu!" teriaknya sambil menangis. "Tapi, yang bikin sakit, dia lebih suka sama Avisha. Sahabat kecil gue!"

Menerima fakta secara langsung membuat lutut Ilona melemas. Dia merosot dan berjongkok diam.

"Gue gak suka liat Nata deket-deket Avisha, Na! Gue gak suka!"

Ilona menggeleng penuh ironi. Menunduk.

"Kenapa?" suara Ilona lirih. "Kenapa harus ada drama lagi!"

•••

Apa yang lebih mengejutkan buat Avisha saat tengah malam seperti ini. Sebuah batu yang sejak tadi melempari jendela kamarnya yang membuatnya terbangun dari tidur. Atau kenyataan Arven-lah yang melakukan itu semua.

Avisha beberapa kali harus meyakinkan diri jika itu betul adalah Arven. Dia cuma tidak mau saja saat ternyata itu cuma halusinasi dan membuatnya harus bertemu orang yang tak menampak tanah.

Saat dia sepenuhnya yakin. Dia turun mengendap-endap dari kamar. Sempat diliriknya jam di dinding ruang tamunya. Jam 1 pagi. Itu sungguh kejutan luar biasa.

Sebenarnya apa yang lelaki itu ingin lakukan?

"Kak Arven," Avisha menyelimuti dirinya dengan selimut bergambar es krim yang dibawanya. "Kak Arven mau ngapain? Ini jam 1 pagi. Serem tau gak sih. Kan bisa besok ketemu kalo kangen sama Visha!"

"Gue cuma sebentar," Tanpa peduli nada percaya dirinya, lelaki itu merapihkan rambutnya. Yang bisa Avisha tebak cukup berantakan. "Gue cuma mau nanya ..."

"Nanya apa?" Avisha memotong. "Kan bisa lewat chat. Kak Arven ke sini dini hari kayak gini. Jalanan sepi, bisa aja pas pulang atau tadi pas mau jalan ada begal gimana? Visha gak mau jomblo lagi ya!"

Cukup itu wajah kaku Arven yang tampak samar di tengah kegelapan tersingkirkan oleh senyum kecilnya. "Bawel!"

Sebenarnya dari aura saja, Avisha bisa menebak jika ada hal yang tak baik-baik saja tengah cowok itu pikirkan.

"Kenapa?" tanyanya. "Kak Arven mau Visha peluk lagi kayak tadi sore? Kurang ya pelukannya?"

Arven tertawa. Menggeleng. Dia menarik tangannya dari kepala Avisha. Merogoh saku jaket navy-nya. Ternyata mengeluarkan ponsel.

Avisha cuma diam. Menunggu apa yang Arven ingin lakukan saat membuka ponselnya dan menggeser layar.

"Ini," Avisha menyipitkan mata. Saat sebuah foto seseorang berjalan di koridor memakai jaket hoodie bewarna abu-abu yang familiar di matanya.

"Kenapa sama fotonya?"

"Lo tau siapa yang punya jaket ini?"

"Taulah." Avisha menjawab santai. Tanpa tahu, raut Arven kembali seperti pertama kali datang ke sini.

"Siapa?"

"Visha."

"Serius, Sha!" Arven mendelik. Tak menerima perkataan Avisha yang menurutnya bohong.

"Dih, Visha juga serius. Visha punya jaket itu!" Mata Avisha tak bisa berbohong. Arven sangat tahu itu tapi ...

"Itu jaket angkatan Visha pas SMP!" jelasnya saat melihat cowoknya tampak bingung.

"Jadi ..."

"Bukan Visha aja yang punya. Semua teman SMP Visha punya jaket itu!" Avisha menjelaskan lebih detailnya. Walau dia juga bertanya-tanya buat apa Arven mendatanginya dini hari seperti ini cuma buat bertanya hal tak penting.

"Di SMA kita ada berapa teman SMP lo?!"

"Dikit kok," Avisha memiringkan kepala. "Kak Arven tahu mereka."

Arven sudah tahu jawabannya, saat Avisha juga ikut memberi tahu.

"Yaya, Lona, Nata."

•••

Gimana, gimana buat part ini :)))))

Mau tanya aja sih, yang paling bikin penasaran dari cerita ini tuh apa?

Oh iya, pastiin aja ya kalian rajin komen sama vote biar semangat gitu

Tengkyuuu semua. Jaga kesehatan ya. Inget. Di rumah aja.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro