Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A58-Tersimpan Bekasnya

Ya ampun gak nyangka aja masih bisa up wkwkwk

Btw tengkyuuu buat yang selalu nungguin. Stay terus ya sampe ending. Dan jangan susah buat vote sama komen. Laff yuuu


KOTAK P3K Arven simpan di bawah meja. Cowok itu mengambil obat krim yang tersimpan di sana. Menarik perlahan kaki Avisha untuk diletakan di atas pahanya. Sementara cewek itu memerhatikan Arven yang begitu pelan melepaskan flat shoes yang terpasang di kakinya.

"Kenapa lo susah banget dikasih tau?"

Suara ketusnya malah cuma direspon senyum oleh Avisha. "Kalo kak Arven langsung anterin Visha pulang tadi, Visha gak bakal ngerasain diobatin dokter ganteng kayak sekarang."

Arven cuma bisa menghela napas. Seharusnya sehabis dari mall, yang Arven lakukan adalah membawa Avisha pulang. Namun, cewek yang keras kepala itu malah merengek ingin ikut ke apartemennya.

"Lo tau gue mau belajar habis ini." Dia lalu terdiam saat melihat kaki ceweknya yang lecet.

"Visha bisa temenin kak Arven belajar."

Dia sangat tahu kalau Avisha punya jawaban atas semua pertanyaannya. Dia menoleh, melihat senyum yang terulas lebar di bibir cewek itu.

"Kaki lo lecet."

Avisha melirik kakinya. "Iya, pantes sakit." Lalu sedikit meringis saat Arven membubuhi salep di sana. "Pelan-pelan dong kak Arven. Sakit tau. Bales dendamnya gak gitu juga."

Dia kembali menoleh pada ceweknya. "Siapa suruh lo muterin mall selama itu tadi. Lo mau jadi satpamnya?"

Avisha tertawa. "Apa sih kak Arven, receh deh."

"Serius, Sha." Begitu saja membungkam tawa Avisha. "Kaki lo belum sembuh total. Jadi, jangan asal dipake jalan selama itu. Ya, gue tau emang itu saran Om Rafael, tapi ada batasnya."

"Iya, iya," Avisha menggembungkan pipinya. "Visha tau."

"Gue cuma gak mau lo kenapa-napa." Sekarang, Arven mengusapkan salep itu begitu pelan. "Sampe sini paham kan?"

Bagaimana mungkin ucapan semanis itu masih membuat wajah Avisha cemberut. "Iyaa, jangan manis-manis gitu ih. Visha kan jadi makin sayang, AW!" Avisha refleks menjerit sakit saat Arven menekan luka lecetnya. "Sakit kak Arven. Sengaja ya?"

"Bisa gak sih sifat narsis lo itu diilangin?"

"Itu daya tariknya!" Avisha mengibaskan rambut percaya diri. Arven tak mampu berkata-kata lagi.

Saat selesai, Arven menaruh salepnya di tempat asalnya sekaligus menyimpan kotaknya di bawah meja kembali.

"Gue mau belajar, besok ada ujian praktek." Arven menatap Avisha penuh peringatan, yang cuma dibalas wajah polosnya. "Jadi, Avisha Pratista. Diem dan jangan ganggu!"

Avisha mengangkat kedua jempolnya. "Tenang aja."

Entah apa maksud perkataan 'tenang' versi Avisha. Karena yang terjadi setengah jam kemudian sama sekali bukanlah ketenangan.

Arven harus begitu sabar saat Avisha seolah sengaja menarik perhatian. Mulai dari sengaja meletakkan kepala di bahunya. Mencolek-colek pinggangnya. Meniup-niup telinganya. Memeluk lehernya dari belakang.

"Sha!" Arven hampir hilang sabar saat Avisha dengan begitu mudahnya meletakkan kepala di atas pahanya, yang sementara Arven tengah membaca buku sambil mencatat.

"Kak Arven mau ada yang ditanyain mungkin?" Arven menunduk pada ceweknya yang menatapnya polos. "Visha mungkin bisa bantu jawab?"

"Sepintar apa lo?"

"Visha pinter kak Arven, cuma gak mau disombongin aja, sombong kan gak baik. Bener kan?"

"Gitu ya?" Arven mencubit kedua pipi tembamnya lalu menurunkan sisi kepala yang membuat Avisha refleks menarik buku untuk menutupi wajahnya.

"Kak Arven mau ngapain?!" jeritnya.

"Lo takut, tapi mancing?"

"Mancing apa sih?" Avisha menurunkan buku dari wajahnya. Mengintip takut. "Visha kan udah pernah bilang, Visha gak suka mancing."

Arven menatapnya lama, yang membuat Avisha kembali menarik naik bukunya menutupi wajah. Entah apa yang terjadi, saat Avisha memekik kaget luar biasa, menjatuhkan bukunya begitu saja saat Arven mengangkat tubuhnya tiba-tiba dan memindahkan dengan posisi Arven yang berada di atasnya.

Avisha refleks memelotot.

"Kak Arven!" Avisha menahan dada cowok itu agar menjauh.

"Lo tau gak sih, alasan kenapa gue gak mau sering ngajak lo ke apart gue?"

"Karena ... kak Arven gak suka diganggu."

"Karena, gue bisa aja ngelakuin sesuatu yang gak lo suka."

"Ma-maksudnya?" tanyanya gugup sendiri. Begini ya, kenapa Arven harus selalu mengatakan kalimat yang sulit dicerna otaknya.

"Iya," Arven menunduk di lehernya. Berbisik pelan di telinga. "Lo gak bakal suka? atau mungkin lo bakal suka?"

Avisha jadi mendelik kesal. "Apa sih! Jangan buat pikiran Visha kotor gitu dong!"

Sudut bibir Arven sedikit terangkat. "Emang lo mikir apa?"

"Udah ah sana!" Avisha mendorong dada cowoknya. Kedekatan ini sungguh tidak baik buat jantungnya. "Kak Arven kayak berani aja!"

"Lo nantang gue?" Oh jelas siapa yang berani menantang Arven selain Avisha. "Inget kan, gue gak suka ditantang."

"Visha tau!" Avisha dengan wajah polos dan posisi sekarang adalah perpaduan yang sangat tak menguntungkan. Arven harus mati-matian menahan sesuatu yang hampir meledak. Apalagi saat tangan kecil itu terulur, mengusap pipinya. "Tapi, Visha gak yakin kak Arven bakal berani."

Cukup sudah!

Saat kepala Arven mendekat, Avisha memelotot dan refleks menutup mata. Semuanya beku dalam beberapa detik dan yang terjadi selanjutnya Avisha refleks membuka matanya, terkejut melihat Arven yang menempelkan jempol di bibirnya, menghalangi bibir cowok itu sendiri.

Jarak itu hampir teraup habis. Detik terdiam. Kecuali mata mereka yang bertatapan dengan napas yang tertahan.

Arven lalu menarik wajahnya sedikit memberi jarak. Tersenyum kecil yang hampir menghancurkan rongga dadanya karena debaran jantungnya.

"Lo tau gak, gue gak pernah segila ini sebelumnya." Avisha mengerutkan dahi tak mengerti. Apalagi saat Arven mengambil tangannya untuk dicium pelan. "Lo buat gue frustasi, Sha."

"Kak Arven ngomong apa? Visha gak ngerti!"

"Apa yang lo ngerti sih?"

Arven sedikit tertawa saat yang bersamaan terdengar suara bel. Mereka berdua kompak menatap ke arah pintu. "Kayaknya udah harus berhenti main-mainnya!" Arven beringsut bangun, belum juga cowok itu berdiri, dia kembali pada Avisha dan mencium hidungnya.

Pelan dan cepat membuat Avisha syok di tempat.

Arven melangkah ke arah pintu. Dia merasa perlu menghajar orang yang bertamu pada saat seperti ini. Dan tentu, harusnya Arven tahu saat membuka pintu, tidak ada siapapun yang suka seenaknya pada dirinya selain kakeknya sendiri.

•••

"Buat apa kakek ke sini?"

Sungguh tidak sekali pun terlintas dalam pikiran Avisha kalau kakeknya Arven yang datang. Orang tua yang mungkin hampir menginjak angka delapan puluh tahun lebih itu duduk di sofa dengan sikap dinginnya yang luar biasa.

Arven menariknya berdiri lalu merangkul bahunya erat.

"Dia siapa?"

"Jawab dulu pertanyaan Arven!"

Suasana suram menyelinap tak mengenakan. Dan Avisha tidak tahu harus berbuat apa di situasi ini.

"Saya Raihan Gazkel, kakeknya Arven!" Lelaki tua itu mengenalkan diri sok ramah. Membuat Arven berdecih jijik di sebelahnya. "Siapa nama kamu, nak?"

"Visha," Avisha merasa gugup tanpa alasan. Sorot kakek itu tak terbaca. Matanya sedingin es, apalagi aura kelam yang dibawanya. Tidak ada lagi alasan yang tidak membuat Avisha takut. "Avisha, Kek."

"Jadi kamu yang dibicarakan Daffa."

Avisha mengerutkan dahi. Merasa nama itu familiar buatnya.

"Seperti biasa, kakek terhasut sama lelaki gila harta itu!"

"Jaga omongan kamu, Arven!" Raihan menatapnya marah. "Dia Om kamu!"

"Kakek tau, apa kesalahan kakek selain percaya sama omongan dia yang suka jatohin Arven," Avisha sangat tahu di balik sikap dingin yang Arven tunjukkan, ada kesedihan kekal yang cowok itu sembunyikan. "Karena kakek menikahkan tante Diana sama lelaki busuk itu! Duda anak satu itu!"

"Arven!"

"Askar bukan cucu kakek!" Avisha seperti dipukul palu kencang sekarang. Air mukanya berubah pucat karena syok. Bukan cucu? Askar bukan cucu? "Dia gak lahir dari rahim tante Diana! Cucu kakek cuma dua, yang satu udah meninggal dan yang lainnya kakek anggep mati!"

"Cukup, Arven! Kita perlu bicara!"

"Gak ada yang perlu dibicarain!" Arven mengganti rangkulannya menjadi genggaman tangan. "Kakek pasti udah tau dia siapa. Om Dafa pasti udah cerita banyak bukan?"

"Ikut Kakek ke belakang sekarang!" Raihan yang tak suka dibantah perintahnya. Arven mengepalkan tangannya yang satunya. Mati-matian menahan emosi yang terasa ingin menghancurkan.

"Sebentar."

Saat mendapat anggukan Avisha, Arven melepaskan genggaman mereka dan berjalan mengikuti kakeknya.

"Kamu tidak melupakan kalau keluarga Devin pernah menghancurkan bisnis kakek bukan?!" Di dapur, Raihan langsung melemparkan permasalahan yang harus diselesaikan di sini. "Dan buat apa anak gadisnya ada di sini?"

"Kebusukkan apa aja yang Om Daffa ceritain ke Kakek?"

"Kamu masih bagian keluarga Gazkel dan membawa anak itu ke sini, sama saja kamu mengkhianati keluarga sendiri!"

Arven seperti ditampar secara menyakitkan.

Mengkhianati?

Harus berapa sebutan lagi yang harus dia dapatkan dari keluarganya sendiri. Pembawa sial dan sekarang disebut pengkhianat.

"Pengkhianat?" Akal sehat hampir hilang karena emosinya yang membumbung tinggi. "Kakek nyebut Arven pengkhianat? Apa Kakek lupa, justru kakek yang mengkhianati Arven. Kakek gak percaya sama semua perkataan Arven. Kakek yang menjatuhkan cucu kakek sendiri sampe cucu itu lupa kalo dia punya keluarga!"

"Sepuluh tahun Arven, sepuluh tahun kamu masih bersikap seperti ini!" Raihan menatapnya dingin meski sangat jelas ada nada frustasi di sana. "Apa kamu tidak memikirkan orangtua dan juga adikmu! Mereka pasti tidak akan tenang melihat sikapmu ini!"

"Mereka justru gak akan tenang sampe penyebab kecelakaan mereka terungkap!" Mulai terasa mata Arven memanas sebab emosi yang mengurungnya. "Dan pelakunya itu bisa terkurung di penjara!"

"Harus berapa kali kakek jelaskan, itu kecelakaan murni kecelakaan! Tidak ada motif apapun di balik itu semua!" Pertahanan Raihan makin mengikis, raut lelahnya mulai terlihat di wajah keriputnya. "Lupakan ini semua, dan baliklah seperti dulu. Kakek cuma mengharapkan itu!"

"Kalo kakek mengharapkan Arven menjadi anak penurut, anak lemah, anak yang tak peduli dihina-hina seperti dulu. Maaf, Kek. Itu Dino dan Dino udah mati sejak kecelakaan orang tua dan adiknya!" Tahukah sang kakek, Arven rasanya ingin menghancurkan apapun yang ada di sini untuk melampiaskan amarah yang membakarnya.

"Andai, dari awal kakek lebih memercayai Arven, mungkin bukti-bukti kecelakaan itu sudah ada dan 'mereka' bahagia di atas sana. Tapi, Arven gak ngerti dengan pola pikir kakek yang justru memercayai menantu kakek itu!"

"Dan karena kakek tidak memercayaimu, kamu mengkhianati Kakek dengan mendekati keluarga Kayden?"

Kepalan Arven perlahan mengendur, bukan karena pertengkaran ini selesai. Bagaimana sorot terluka yang terlihat pada kakeknya, cukup menjadi alasan kuat emosi Arven berganti menjadi penyesalan.

"Cewek yang Kakek lihat itu, Avisha, dia mengalami kecelakaan tiga bulan lalu," jelas Arven tanpa diminta. "Dan, Arven yang harus menanggung semua itu." Lalu dia terdiam, mengingat setiap detail kedekatan mereka cuma karena tanggung jawab konyol itu.

"Awalnya cuma tanggung jawab, sampe Arven sadar, kalo ada dampak lain dari itu semua." Arven mendongak angkuh. Kembali membangun tembok tinggi antaranya dan sang kakek. "Arven sayang dia, sayang ngelebihin apapun, dan Kakek tau cukup bertahun-tahun lalu Arven kehilangan orang-orang yang Arven sayang, tapi gak buat sekarang. Arven gak akan ngebiarin siapapun nyelakain Avisha, termasuk itu keluarga sendiri!"

Raihan menyorotnya tajam. "Apa maksudmu?"

"Dilihat dari cara keluarga kita membenci keluarga Devin, bisa aja kan, Kakek yang menjadi dalang atas semua peristiwa yang terjdi pada Avisha!"

"Jaga mulutmu Arven!" Raihan hampir kehilangan kontrol emosinya. "Apa semua yang kamu lakukan karena perempuan itu mirip dengan Ashilla, adikmu?"

"Ashilla akan selalu ada di hati Arven, pun Avisha! Tapi jelas mereka beda, dan Kakek pasti paham apa maksudnya!" Mata Arven seolah berkilat. Ini Janjinya, Janjinya pada orangtuanya, pada adiknya, pada Avisha, dan termasuk ... pada dirinya sendiri. "Arven mungkin dulu bodoh, tapi sekarang, Arven pastiin bakal nemuin pelaku yang selalu berusaha nyelakain Avisha. Dan Arven bakal kecewa berat kalo Kakek betul terlibat di sana!"

Raihan kehilangan seluruh kata-katanya.

"Kakek bisa pergi," Arven membuang muka. "Sekarang!"

Ada luka yang tak berusaha diperlihatkan, ada kesedihan yang berusaha ditutupi. Kekeraskepalaan antara sang kakek dan cucunya tidak akan pernah tembus kalau salah satu di antara mereka tidak ada yang melunakkan diri.

"Bagaimana caranya Kakek mengembalikan semua sifatmu seperti dulu," Baru beberapa langkah Raihan kembali berhenti di tempat. Arven kembali menoleh dan tak mengerti apa maksud kakeknya. "Sebenarnya mudah bukan, kamu cukup meminta, dan Kakek akan membantumu. Dan perang dingin akan selesai."

Sebagai gantinya, Arven yang kini benar-benar tak punya kata buat melawan.

"Kakek menyesal Arven. Selama bertahun-tahun Kakek menyesal atas semua itu! Askar memang bukan cucu kandung Kakek, tapi dia tetap cucu keluarga Gazkel, sama sepertimu! Dan harusnya kamu tau, sejahat apa kakek dulu, itu hanya untuk melindungimu!"

Setelahnya, Raihan meninggalkan Arven yang terdiam.

Melindunginya?

Bagian mana yang lelaki tua itu sebut melindungi? Bagian saat kakeknya menganggapnya asing, bagian saat memaksanya belajar mati-matian, atau bagian saat kakeknya menanamkan 'kesempurnaan' yang justru menghancurkannya perlahan.

Sepuluh tahun, memori sepuluh tahun masih sangat jelas diingatnya. Mulai dari rusaknya hubungan, rusaknya kepercayaan, gudang kosong, buku tertumpuk, dan jatuh sakit sendirian.

Arven merasa kakinya tak kuat lagi menumpuh beban. Dia merosot jatuh ke lantai.

"Gak ada bukti apapun kalau kecelakaan itu direkayasa. Anak ini pembohong, Pa!"

"Dino gak bohong, ada tiga mobil yang ngikutin mobil Papa. Mereka bawa pistol!"

"Kamu kebanyakan nonton film!"

"Itu kenyataan, Om!" Arven memeluk lutut kakeknya saat itu. "Kakek harus percaya sama Dino!"

"Buat apa saya memercayaimu? Saya cukup tau kamu yang menyebabkan anak sekaligus menantu di rumah ini meninggal dunia!"

"Mereka nembakkin pelurunya ke mobil Papa! Dino ngeliat sendiri!"

Arven berteriak. Meringkuk kesakitan. Dadanya seperti dibombardir habis oleh emosinya sendiri sampai membuat tangannya ikut gemetaran.

"Apa yang kamu lakukan pada adikmu?!"

"Ada mobil ..."

Kakeknya memotong begitu saja ucapan Arven bertahun-tahun lalu.

"Askar, jawab Kakek kenapa Ashilla ..."

"Arven penyebabnya!" Askar yang merusak hubungan mereka dengan kebohongan itu.

"Jangan percaya sama Askar, Kek, itu ..."

"Karangan apa lagi yang kamu mau rangkai!" Saat itu, Dafa menambah buruknya keadaan. "Jangan percaya dengan anak itu, Pa. Dia pembohong besar!"

"ARVEN GAK BOHONG!"

"Benar kata Dafa, kamu memang pembawa sial!"

Buat semua luka, air mata, caci maki, Arven ingin menertawakan hidupnya yang tak lagi berguna. Sempurna? Mana bagian sempurna itu? Mana bagian yang orang-orang bicarakan jika hidup Arven begitu sempurna dan membahagiakan?

Mati-matian Arven mengupayakan semua. Mengupayakan hidupnya agar tak lagi diremehkan. Tak lagi dijatuhkan. Bertahun-tahun Arven melakukan semua itu dengan tangannya sendiri hingga dia lupa sampai mana dia bisa melakukan ini.

Karena, pada akhirnya usahanya tak berarti. Keluarganya sendiri yang akan mematahkan kesempurnaan palsu yang dibuatnya untuk bertahan.

"Kak Arven?"

Suara lirih itu menyadarkan Arven pada satu hal; jika hidupnya tidak benar-benar sendirian.

Menemukan Avisha berdiri bingung sambil menatapnya yang tampak lemah dengan air mata. Dan situasi ini membuat Arven benci pada dirinya sendiri. Dia menunduk, menghindari kontak mata saat detik berikutnya dia terkejut merasakan kehangatan pelukan Avisha.

Sekejap itu, cuma itu, dan pertahanan Arven tak dapat lagi dibendung.

Untuk pertama kalinya, Arven membiarkan orang lain melihatnya menangis sesakit itu. Karena, pada nyatanya, sikap kerasnya, sikap dinginnya, sikap beraninya cuma alat untuk menutupi semua kelemahannya.


•••

Sampe sini dulu lah, sebelum semua masa lalunya Arven bener-bener jelas

Ditunggu part selanjutnya ya

:))))


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro