A;A55-Mengikhlaskan
Mantap dah ya, siapa nih yang liburan di rumah aja, buka sosmed? wkwkwkw
Vote dan komen jangan lupa sayangkuh, harus rame ya part ini, lumayan panjang nih
▪
BAGAI tersangka yang siap dihakimi, Avisha sedikit terkejut setibanya di kelas langsung ditarik begitu saja oleh Yania dan Ilona lalu membawanya menuju taman belakang yang sudah sepi karena bel masuk telah berdering lima menit lalu.
Avisha didudukan di kursi panas. Dan dua pengintrogasi berdiri di depannya dengan tatapan selidik.
"Sejak kapan?"
"A ..."
"Lo kok gak ngomong apa-apa sih, Sha?" Ilona kembali memotong.
"Lona dengerin Visha ..."
"Gak," Ilona mengangkat tangan menghentikan ucapannya. "Lo tega, Sha. Kenapa lo gak jujur, minimal sama Yaya, sahabat kecil lo, atau emang lo gak mau dengerin kegilaan dia, lo bisa cerita ke gue. Lo tau Nata ..."
"Wait, my friends," Yania memotong kalimat Ilona. Hal yang berlaku juga pada Avisha, dia jadi tidak punya kesempatan bicara. "Gue mau ngelakuin satu hal ..." Yania berbisik, lalu yang dilakukan berikutnya justru mengejutkan dirinya maupun Ilona, cewek itu berteriak kencang.
"GILA, SHA! GILA!" Lalu dia heboh menggoyangkan bahunya. "MAMA BANGGA NAK. MAMA BANGGA. YA ALLAH GAK SALAH DIDIKAN GUE SELAMA INI, AKHIRNYA YE KAN LU BISA DAPETIN BIBIT UNGGUL. OH BUKAN UNGGUL LAGI. TAPI BIBIT LIMITED EDITION."
"Ya plis," Ilona menangkup kepala seakan pusing. "Tujuan kita tuh ..."
"Bentar ya Lonaku sayang," Yania mengangkat telunjuk di bibir menyuruh diam. "Berita maha penting kayak gini, harus diwawancara dulu. Ayo, Sha kita mulai. Mungkin pertama-tama lu bisa kasih tips gimana bisa singa galak gitu jinak ke lo? Atau ... mungkin jampe-jampe apa yang lo pake buat nakhlukin manusia batu itu ..."
"YAYA!" bentakkan Ilona, bukan cuma membuat Yania kepeleset hampir mengumpat. Tapi juga Avisha yang sama sekali tidak menduga, seorang Ilona bisa membentak orang. "Ya, plis dong, tujuan kita narik Visha tuh buat Nata ..."
"Nata?" Avisha tanpa sadar menyalip bingung. "Kenapa Nata?"
Ilona menghela napas lelah. "Sha, lo tuh harus tau ..."
"Na, kayaknya ini bukan urusan kita deh," Yania bersuara. Raut jenakanya hilang. Justru terlihat serius sekarang "Kalo emang Nata gentle, harusnya dia sendiri yang ngomong kan? Kita gak bisa jadi perantara, Na. Yang terlibat dia sama Visha. Bukan kita!"
"Tapi, Ya. Lo tau Nata ..."
"Apa?" Yania maju selangkah di depan Ilona. Sesuatu yang langka karena sikap Yania berubah drastis dibanding sebelumnya. "Cuma cowok banci, yang gak bisa ngungkapin isi hatinya. Kalo dia cowok, maju dong! Bilang langsung!"
Avisha di tempatnya kebingungan. Memandang Ilona dan Yania yang saling melempar pandang. Seperti ada ungkapan yang tersembunyi dalam tatapan mereka.
"Lagian, Visha berhak milih. Visha berhak buat nentuin pilihannya. Dan di sini, Nata cuma pihak sebelah tangan, jadi gak bisa ada paksaan kan?"
Ilona menatap Yania tidak percaya. Mendongak sejenak dengan tangan berkacang di pinggang. Menarik napas panjang. "Nata temen kita, Ya. Seenggaknya kita perlu bantu dia."
"Kita sering bantu, dia Na. Lo lupa, hampir setiap minggu, kalo kita lagi kumpul bereempat. Kita selalu ngasih space buat Nata ngungkapin isi hatinya. Iya kan?"
"Bentar dulu dong," Avisha mengangkat tangan. Seperti anak murid yang melihat gurunya berdebat sambil berbisik. "Kalian ngomong apa sih? Jangan bisik-bisikkan dong. Visha gak denger."
Yania dan Ilona kompak menatapnya sebelum kembali saling menatap. "Gue bukan cuma mau bantu, Nata. Tapi di sini, sebagai temen, gue cuma gak mau Visha kenapa-napa. Mereka baru deket bukan? Terus kita denger kalo mereka jadian. Apa segampang itu lo biarin temen lo jadian sama orang yang baru dikenal?"
"Visha kenal kak Arven kok," dengan wajah polosnya, Avisha memiringkan kepala. "Udah kenal dari dulu malah, cuma kita baru ketemu lagi setelah bertahun-tahun."
"Maksud lo?" Yania menatapnya bingung.
"Yaya inget gak? Visha pernah cerita tentang Dino?" Yania tampak terdiam berpikir. "Dino, cowok yang ngasih Visha gelang dan kak Arven itu orangnya."
Secepat itu air muka Yania berubah terkejut.
"Se-serius?"
Dengan senyum lebarnya, Avisha mengangguk.
Yania tampak terkejut menerima fakta itu.
"Lo liat itu, Na?" Yania menunjuk Avisha. "Gak ada yang perlu lo takutin? Kekhawatiran lo itu gak jelas. Lagian ya, gak mungkin juga Visha bakal kayak kakak lo yang cuma karena patah hati sama cowok terus milih pergi ke luar negeri."
"Gak usah bawa-bawa kakak gue!" Ilona terlihat tidak suka.
"Tapi, itu kenyataannya bukan? Lo takut,Visha ngalamin hal yang kakak lo alamin."
•••
"Lo ngajak vc cuma buat nyuruh gue ngeliatin lo yang senyam-senyum?"
Suara yang terdengar dari ponselnya justru membuat senyum Avisha makin lebar. Di layar ponselnya, terlihat wajah Arven dari samping sambil mengerjakan beberapa tugas sekolah. Ponselnya sepertinya disandarkan di meja dan sengaja menghadap ke arah cowok itu.
Dan berbeda dengan Avisha yang sekarang tengah berbaring telungkup dengan ponsel yang sengaja dia sandarkan di bantal. Sepenuhnya memerhatikan wajah serius cowoknya.
"Kenapa emangnya? Salah emang kalo Visha senyum ke pacar sendiri?"
Arven sedikit menoleh kali ini. "Tapi, senyum lo ganggu."
"Ganggu?" Avisha tersenyum nakal. "Oh Visha tau, ganggu kak Arven, karena senyum Visha bikin gak fokus ya? Cieeeee~"
Arven terlihat masa bodoh oleh kepercayaan dirinya yang tinggi. "Mending matiin, Sha. Gue lagi belajar."
"Ih bentar sih, Visha kan kangen."
Perhatian Arven sepenuhnya berpusat padanya. "Lo kenapa? Salah minum obat?"
Cuma itu, mood Avisha langsung jatuh ke bawah. "Kak Arven apa sih! Nyebelin masa!"
"Lagian aneh lo! Gak usah sok manis. Gak cocok!"
"Cocok sih, kan Visha manis."
"Siapa yang bilang?"
"Visha tadi."
"Bodo!"
"Amat!" Avisha melanjutkan sambil menekuk bibir sebal.
"Belajar sana! Tutup sambungannya!"
"Senyum dulu, baru Visha tutup."
"Oh ya udah kalo gitu gak usah ditutup!"
Avisha memelotot. "Suruh senyum aja susah banget. Ayolah kak Arven untung-untung sedekah ke pacar sendiri."
"Lagi gak mood." Wajah datar itu jadi tampak makin menyebalkan. Untungnya sayang, kalau tidak rasanya Avisha gatal untuk menimpuknya dengan sepatu.
"Kak ..."
"Visha!" ketukan pelan di pintu sekaligus panggilan itu mengalihkan perhatiannya.
"Siapa?" Arven juga mendengarnya.
"Visha dipanggil Mama, bentar ya kak Arven."
"Kalo gitu matiin!"
Avisha sontak cemberut. "Sebentar doang."
"Visha kamu ngapain nak?" Suara mamanya di luar pintu semakin terdengar jelas.
"Sha, matiin!" tegas cowok itu tak terbantahkan. Avisha mendengkus kesal. Terpaksa mengalah.
"Iya! Iya!"
Setelah memutuskan video callnya dengan Arven, Avisha mengambil tongkat. "Bentar, Ma!" Dia menyeret tongkatnya menuju pintu, yang kemudian membukanya. "Kenapa Ma?"
"Kamu lagi belajar?"
"Gak," polosnya Avisha menggeleng. "Habis ngeliatin orang belajar malah."
Velin jadi mengerutkan dahi bingung.
"Mama kenapa manggil?"
"Itu ada Nata di bawah, nyariin kamu."
"Nata?" Avisha bingung. Setelah pengakuan Arven di kantin tadi pagi, Avisha memang tidak bertemu Nata seharian. Cowok itu seperti sengaja menghilang. Dia tidak datang ke kelasnya. Bahkan juga tidak ada chat yang cowok itu kirimkan. Walau berita tak penting pun, minimal selalu ada satu pesan dari Nata.
Tapi ini tidak ....
"Iya, dia nungguin di taman belakang."
"Ya udah," Dia mengangguk. "Visha turun."
Dengan tongkatnya, Avisha berjalan menuruni tangga lalu menyeretnya ke arah taman belakang rumahnya yang tampak senyap saat malam.
Nata ada di sana. Duduk di atas ayunan. Sambil menatap langit gelap yang kosong tanpa bintang. Layaknya langit yang mendung, wajah Nata hampir tampak serupa. Kekosongan terlihat jelas di mata.
"Nata!"
Panggilan ceria Avisha, tak menarik perhatian Nata. Cowok itu masih diam seolah langit malam lebih menganggumkan buatnya. Avisha memutuskan untuk duduk di ayunan satu lagi. Menoleh dengan tatapan polos.
"Dari kapan?"
Suara cowok itu selirih angin. Avisha bahkan sampai salah mengira dan hampir tidak mendengarnya.
"Apa?"
Cowok itu menunduk. Menangkupkan kepala. Seolah ada beban berat yang dipikulnya. "Lo jadian sama manusia itu? Kapan? Dari kapan?"
"Oh Nata ke sini cuma mau nanya Visha kapan jadiannya sama kak Arven?" Avisha justru menanggapinya dengan senyuman lebar. Lalu memukul bahu cowok itu pelan. "Jangan ditanya ah, malu tau!"
Nata menoleh kali ini, melihat jelas rona merah yang tercetak di pipinya. "Lu bahagia?"
"Bahagia?"
Nata mengangguk. Pelan dan terlihat kaku. "Lo bahagia ... sama Arven?"
Avisha mengerutkan dahi jadinya. "Kenapa Nata nanya gitu?"
Cowok itu diam sebelum tersenyum. Senyum tipis yang diupayakan untuk tetap terlihat tegar. "Lo inget gak, Sha, saat pertama kali kita ketemu?"
Pada topik yang terlempar jauh itu, Avisha terdiam lama. Karena dalam hati tak mengerti kenapa Nata jadi membahas hal itu. Lagipula, siapa yang akan melupakan pertemuan pertama mereka.
Avisha adalah tipe orang yang tak mudah melupakan kejadian. Apalagi kejadian yang menurutnya membekas, meninggalkan memori, entah yang menyenangkan atau menyedihkan, dia akan terus mengingatnya.
"Lo jatoh di tangga, kepeleset depan banyak orang." Tawa Nata terdengar getir. "Gue bantuin lo diri, tapi, lo nolak, lo bilang 'Gak usah bantu Visha, Visha dapet pahala karena buat orang ketawa' aneh, gue mikir lo aneh."
Jeda sejenak, Nata menarik napas panjangnya.
"Besoknya, lo gak bisa ngelempar bola basket ke ring karena tinggi badan lo, saat semua orang ketawain lo, lo justru ikut ketawa dan bilang 'Visha sih gak mau jadi pemain bakset, entar Visha jadi tinggi dan berotot, gak imut lagi'."
Jemari Nata tampak menguat memegang tali ayunan. "Sejak itu, gue mandang lo beda. Lo cewek aneh, heboh, ceroboh, bawel, , terlalu banyak sifat yang lo milikkin dan kebanyakan jelek semua." Cowok itu tertawa lagi. Tapi benar-benar tawa menyakitkan kali ini. "Meski kayak gitu, lo tetep punya daya tarik buat orang lain. Lo punya kelebihan yang jarang orang punya. Lo ... cewek yang apa adanya."
"Nata ..." Avisha ingin mendengar inti pembicaraan ini. Tapi, jadi kelu begitu saja saat melihat mata Nata yang agak berkaca.
"Kalo lo bahagia, gue juga bahagia, Sha." Cowok itu mengambil sebelah tangannya yang ada di atas paha. "Jadi, sekarang gue tanya lagi, lo bahagia sama Arven?"
"Visha ..."
"Jujur aja." Nata tersenyum. Senyum sedikit lebar kali ini.
Avisha diam walau detik berikutnya dia mengangguk. Hal yang memukul telak Nata dalam kejapan. Tapi, begitu hebatnya Nata mengatur ekspresi hingga cuma senyum yang tampak di sana walau hati jelas menjerit sakit.
"Kalo emang lo bahagia, congrats!" Cowok itu mengulurkan sebelah tangannya. "Congrats karena lo udah punya pacar sekarang."
Avisha melirik bergantian wajah Nata dan uluran tangannya yang menggantung minta dibalas. Tidak ada hal yang terpikirkan oleh Avisha, dia menerima saja uluran tangan itu, tersenyum lebih lebar, dan di sini Nata mati-matian menjaga rautnya agar tenang.
"Gue seneng kalo lo bahagia, Sha. Karena kebahagian lo yang utama ... buat gue." Lalu cowok itu melepaskan tangan mereka yang bertaut dan justru melarikannya ke atas kepala Avisha. Mengusapnya. "Nanti, kalo lo ngerasa sedih dan gak bahagia lagi, gue selalu di sini, Sha. Nungguin lo."
•••
Cowok berhoodie hitam itu mengurungkan kepalanya dengan tudung sambil mengistirahatkan kepalanya pada sandaran sofa. Membiarkan matanya sejenak memejam. Dalam beberapa detik hening melingkup sebelum dia sedikit tersentak setelah merasakan sebuah benda terlempar ke arahnya.
"Gue pikir lo udah berhenti ngerokok, Kar."
Askar, cowok itu membuka tudung kepala hoodienya dan menatap Valdi sang sahabat yang kini berdiri menatapnya dan berdecak malas.
"Bokap gue habis pidato panjang banget, jadinya gue butuh cuci mulut."
"Lo ngapain lagi emang sampe Paduka raja marah?" Valdi tertawa lalu duduk di sebelah Askar. Berdecak sambil geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya.
"Ck! Lo tau karena apa, Arven sialan itu dapet nilai paling tinggi di ujian praktek kimia kemaren." Askar membuka kotak persegi yang sempat Valdi lempar barusan. Mengambil sebatang, menaruh di antara bibir lalu mulai menyulutnya dengan api. "Dan gue yang kena omel habis-habisan."
"Obsesi bokap lo ternyata belom berhenti juga ya." Tidak ada tatapan simpati. Justru Valdi menatapnya meledek. Ini yang Askar suka dari Valdi, karena Askar benci dikasihani. Dia tidak butuh tatapan prihatin atau kata-kata penyemangat yang menurutnya menjijikan. Cukup mendengar masalahnya saja itu sudah cukup.
"Bokap gue gak bakal tobat, kecuali gue bisa ngalahin Arven."
"Tapi lo tau itu mustahil, secara nilai Arven gak pernah merah, gak kayak lo." Dan lagi-lagi Valdi malah meledek, yang membuat Askar menendang betis cowok itu pelan.
Valdi berhenti tertawa. Rautnya tampak serius sekarang. "Lo udah denger?"
Askar berhenti menyesap rokoknya begitu saja. "Drama di kantin?" tebaknya tepat sasaran.
"Ternyata lo tau, lo gimana?"
"Gimana apanya?" Askar kembali menyesap rokoknya santai, membuang asapnya perlahan. "Mungkin sekarang gue yakin, lo bisa nebak isi kepala gue." Lalu senyum liciknya terulas. Membuat alis Valdi terangkat curiga.
"Ck! Tampang lo udah kayak kriminal yang nyiapin rencana jahat."
"Gue emang peran jahat di sini bukan?" tanyanya lalu tertawa sinis. "Buat apa berbuat baik sama orang yang selalu nyakitin lo. Itu sama aja, lo megang kaktus berduri, lo tau sakit, tapi tetep lo pegang. Kan bego!"
"Tapi," nada Valdi ragu. "Dia sepupu lo. Keluarga lo."
"Lo lagi mau nasehatin gue?" Askar menoleh malas. "Plis, Val, gak berguna. Gue gak mandang dia keluarga gue atau bukan, dia udah ngangkat bendera perang, jadi wajar kalo gue lawan."
Valdi mendengkus. Mengerti akar penyebab ini bermula dari mana. "Tapi, kalo lo udah tau drama di kantin. Harusnya lo tau kalo lo udah kalah."
"Kalah?" Askar tertawa. Jenis tawa mengerikan yang menusuk telinga. Dia menekan puntung rokoknya ke atas asbak. Mematikan baranya di sana. "Gak ada kata kalah dalam kamus gue. Ini justru garis start-nya, Val. Tinggal tunggu waktunya gue ngelempar bomnya."
Valdi sontak mengernyit tak mengerti. "Apa maksud lo?"
"Lo gak usah ngerti maksud gue, lo tinggal liat nanti pas bomnya meledak."
•••
Saat keluar mobil, setiap sorotan itu langsung berpusat padanya. Avisha untungnya cuek, dia justru dengan sengaja mengambil tangan Arven dan mengenggamnya, membuat yang cowok berhenti dan melirik tangannya.
"Ngapain lo? Mau nyebrang?"
Avisha mendelik. Lebih saat beberapa cewek yang keluar arena parkir mendengar, membuat beberapa di antara mereka tertawa. "Kak Arven tuh!" desisnya kesal. "Emang gak boleh Visha gandeng tangan pacar sendiri? Oh ya udah kalo gitu Visha gandeng tangan Nata ..."
Saat hendak menjauhkan tangannya, Avisha tersentak karena Arven justru menguatkan genggaman mereka. "Jangan sebut dia, gue gak suka."
Avisha jadi mengernyit. "Kenapa? Nata baik kok."
"Gue gak peduli dia baik atau enggak, yang gue peduliin milik gue," Dia mengangkat tangan mereka yang bertautan. "Cuma boleh ada di genggaman gue. Paham?"
Seperti ditembak tepat, Avisha sesaat tak mampu berkata-kata, sebelum senyum lebar yang menjawabnya. Dia melambaikan tangan, kode untuk Arven menurunkan sisi kepala, yang cowok itu jelas mengerti. "Singanya Visha gak boleh manis-manis," bisiknya di telinga Arven. "Entar kalo ada yang denger, mereka jadi iri."
Senyum Arven tampak tertahan. Tak mengatakan apapun lagi, selain menariknya menuju lobi utama.
"Gue mau ke ruang osis dulu, lo duluan aja," mereka menghentikan langkah di depan pertigaan koridor. "Ada berkas yang kebawa sama gue soalnya."
"Oke," Avisha mengangkat jemarinya yang dibentuk simbol O. "Tapi, usapan kepalanya dulu." Wajah Arven terpasang datar dengan alis terangkat itu, membuat Avisha mendelik. Cowok itu mendengkus, mengusap lembut kepalanya singkat sebelum berlalu pergi ke lorong lain.
Meski begitu, tindakan itu tetap mencuri perhatian seluruh murid yang berada di koridor yang sama dengan Avisha. Tanpa acuh, dia melenggang santai menuju kelasnya, tak dipedulikannya tatapan sinis, atau tidak suka yang diterimanya di lorong, yang kebanyakan dari kakak kelas.
Avisha harus siap-siap mendapat kehebohan teman kelasnya lagi. Yang kemarin saja, dia terhimpit di mejanya karena seluruh teman kelasnya mengerubungi dan mengintrogasinya saat jam kosong. Ada banyak pertanyaan yang mereka lontarkan seolah kemarin adalah ajang sesi wawancara.
Bahkan anak lelakinya banyak yang meledek. Contohnya Rafi yang menceletuk jika otak Arven butuh perbaikan. Mau-maunya pacaran dengan Avisha yang receh dan tidak jelas.
Saat itu Avisha langsung menaboknya dengan buku.
Dia berhenti di depan jajaran loker. Membalas sapaan dari teman angkatannya, walau ada yang beberapa menatap kakinya dengan tatapan jijik.
Tapi, Avisha menyikapi santai, kata dokter Rafael tinggal seminggu lagi, dia akan melepaskan tongkatnya dan harus mulai belajar berjalan tertatih-tatih tanpa bantuan tongkat, agar saraf-saraf ototnya yang kaku normal kembali.
Avisha berhenti di depan lokernya, membukanya terbuka, cuma seperti kejapan, setelah akhirnya Avisha hampir oleng jatuh ke belakang. Terkejut luar biasa. Cepat-cepat dia menutup lokernya kembali dan menyandar dengan detak jantung yang berdetak gila-gilaan.
Untuk keyakinan penuh kalau tidak ada yang salah pada matanya, Avisha sangat yakin kalau benda tadi ... benda tadi adalah laba-laba hidup berukuran besar.
Sudah mati.
Dan berlumuran darah.
•••
Kan dibilang jangan manis-manis, ujungnya kan pait wkwkwkw
mau lanjut besok niatnya, langsung up gitu, tapi liat bsok dulu deh ya :v
liatin apa sih neng, serius amat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro