A;A54-Hari yang baru
Ya allah akhirnya ya kan bisa up lagi, kadang suka sedih liat komen-komen, kalian luar biasa, selalu nyemangatin
Hari ini wattpad ulang tahun ya? Haha ya udah ini jadi hadiah aja
kita liat seberapa banyak yang antusias buat part ini :)))
▪
KELIHATANNYA tidak ada yang berubah.
Sikap Arven yang kadang mengaung seperti singa atau lebih manis dari kucing.
Karakter Arven yang keras dan suka memerintah. Tapi, dibalik itu ada perhatian kecil yang cowok itu berikan secara diam-diam.
Semuanya masih terlihat sama.
Mungkin yang berubah ... status mereka.
Setelah kejadian kemarin, penembakkan secara langsung, sebuah pernyataan yang tak bisa ditolak, Arven masih bersikap biasa, seolah kejadian kemarin bukanlah apa-apa.
Namun, saat di lorong sekolah, Avisha agak terkejut ketika Arven menggandeng tangannya. Mengenggamnya erat. Sebuah tindakkan sederhana, yang mencuri perhatian semua.
Tidak ada satupun mata yang tidak mengikuti langkah mereka di lorong. Avisha tak berkata apapun, karena pada genggaman itu, dia tahu jika memang ada yang berubah antara mereka.
Seperti berada di wahana rumah horror, Avisha merasa hawa sekitar menusuknya dalam-dalam. Beruntung, karena Avisha dianugerahi telinga pendek, hingga hal-hal yang terdengar di sekeliling dia abaikan.
Mereka bukan ingin pacaran diam-diam, hubungan mereka baru berubah kemarin. Apalagi Arven itu sosok kalem, yang tak suka mengumbar-ngumbar. Dan juga ... kebersamaan yang sudah biasa terlihat. Jadi walau terdengar kasak-kusuk, tidak ada satupun manusia di sini yang tahu status baru mereka. Cuma kecurigaan yang tak mendapat kejelasan.
Bahkan satu teman kelasnya tidak ada yang tahu, termasuk sahabat-sahabatnya.
Saat Arven mengantarkannya ke kelas, makhluk di sana, tidak ada yang curiga. Seluruh teman-temannya bersikap sama. Ilona menyapanya kalem. Beda dengan Yania yang menyambutnya heboh.
"Gue tinggal." Arven menarik tangannya, yang sontak kembali Avisha tarik. Membuat kedua alis cowok itu terangkat heran.
"Apa?"
"Gitu doang?" Avisha membeo.
"Emang gue harus apa?"
"Gak ada kata-kata lain gitu?" bisiknya pelan.
"Gak usah kode-kode, Sha. Langsung to the point."
"IH KAK ARVEN!" Avisha menghentak tongkatnya kesal. "Masa harus Visha jelasin sih. Kak Arven bilang apa kek biar kayak cowok-cowok lain. Manis-manis gitu ke pacarnya."
"Buat apa?"
"Ya biar yang lain tau, kalo kak Arven itu milik Visha sekarang." Avisha cemberut. "Gak ada yang boleh deketin kak Arven."
"Gak ada yang boleh deketin?" Nada Arven seperti menggoda.
"Iya!" tegas Avisha. "Kak Arven itu punya Visha. Kalo ada yang berani deketin, harus berurusan sama Visha." Terlihat sudut bibir Arven berkedut, menahan senyum, membuatnya memelotot. "Jangan senyum! Entar banyak yang liat."
"Banyak peraturannya ya lo tuh."
"Iya dong, emang harus gitu."
Arven mengangkat senyumnya samar. Hal yang hampir membuat Avisha kembali mengomel, tapi wajah Arven langsung bergerak ke arah telinganya. Menutupi senyumnya sekaligus berbisik di sana. "Kalo gitu, peraturan itu juga harus berlaku ke lo. Lo cuma milik gue, gak ada yang boleh nyentuh lo sedikit pun, kalo ada yang berani, harus berhadapan sama gue."
Jika Avisha lantas tersenyum lebar. Arven menegakkan tubuh, bertepatan dengan anggukan setuju yang Avisha berikan.
•••
"Sha, kantin."
"Iya, bentar-bentar." Avisha mengangkat tangan, menyuruh Yania menunggu disaat jemarinya membuka layar ponsel mengetik chat pada Arven.
Avisha. P: Kak Arven gak jemput Visha?
Tak lama, balasan datang.
Singanya Visha: Gue udah di kantin, lagi ngumpul bareng temen. Lo mau gue jemput ke kelas?
Avisha. P: Gak usah deh, Visha nyusul ke sana aja
"Sha! Cepetanlah! Lelet banget lo kayak siput!" Teriakan Yania diambang pintu bukan cuma mendapat senggolan pelan dari Ilona yang berdiri di sebelahnya. Tapi, juga mencuri perhatian anak kelas, yang akhirnya membuatnya jadi bahan ledekkan.
"Toa lo, Ya."
"Yaya, gak enak ya kalo gak teriak-teriak?"
"Emang nih, lo lagi di sekolah, Ya bukan di hutan."
Tapi, beruntung Yania termasuk orang yang tidak baperan. "Yeee serah gue dong!" Dia masa bodoh. "Cepetan, Sha. Gue laper ta—eh ngapain lo di sini?"
Avisha jadi menolehkan kepala pada pintu dan melihat Nata tahu-tahu datang dengan senyuman lebar.
"Mau ke kantin bareng." Cowok itu menyandar di pilar pintu. Sok melipat tangan, yang membuat Yania menatapnya tidak suka. Tapi, beda dengan Ilona yang menyambutnya senang.
"Wah bagus dong, jarang-jarang kan kita makan bareng lagi."
Yania mendelik tak setuju pada Ilona. "Gak, gak, ini quality time para cewek. Lo gak boleh ganggu."
Avisha berjalan mendekat dengan tongkatnya, hal yang makin membuat Nata menyengir.
"Yee lagian gue mau makan sama Visha sih." Lalu begitu saja menggandeng tangannya. "Ayo, Sha. Laper banget nih gue."
"Dih apa sih lo!" Yania jadi kesal. "Lo kalo mau kumpul bareng kita, ganti gender dulu sana!"
"Ya!" Ilona memperingati lewat mata. "Ayolah, ini pertengahan bulan, jadwal pms lo masih jauh."
"Emang nih," ucap Nata sengaja, yang semakin membuat Yania geram. "Ya udah gampang ntar gue pake rambut palsu dah, biar dikira cewek."
"Gak lucu, Nat!" Melihat bagaimana kekesalan Yania, tentu itu hal yang membuat Nata bahagia. Cowok itu tertawa senang sampai tiba-tiba Avisha menarik tangannya terlepas dari genggaman Nata.
"Kenapa, Sha?" Nata mengernyit bingung.
"Haha," Yania tertawa menyindir. "Udah ditolak lo tuh, mending mundur." Ilona di sebelahnya sontak menginjak kaki Yania, yang membuat cewek berambut sebahu itu meringis kesakitan. "Sakit, Na! Sengaja lo ya?"
Ilona menatapnya, seolah ada kata-kata tersirat di sana.
"Visa gak kenapa-napa, cuma gak mau digandeng aja." Penjelasan bersama senyum tipis Avisha membuat ketiga orang di sana, menatapnya heran.
Tapi, bukan Nata namanya, yang menyerah begitu saja. Dia mengambil kembali tangannya. "Tapi, gue mau gandeng lo."
Jika Avisha terkejut, tak heran jika Yania dan Ilona pun juga. Belum sempat, Yania buka mulut untuk mengeluarkan kalimat sadis, Nata sudah mendahuluinya. "Gak usah marah-marah, Ya. Lo juga mau gue gandeng? Nih sebelah tangan kanan gue kosong."
"Najis!" Langsung saja Yania mengumpat. Nata lantas tertawa ngakak sampai matanya menyipit.
Lain cerita dengan Avisha yang jadi merasa dilema. Dia menatap gandengan itu, rasanya tidak nyaman. Ada keinginan besar untuk melepaskan, apalagi mengingat statusnya sekarang. Tapi, di sisi lain, dia tidak ingin Nata merasa tersinggung dan akhirnya marah.
Sepanjang jalan menuju kantin, Avisha sudah menyiapkan kata-kata alasan untuk menjauhkan tangan Nata. Sayang terlambat, hal yang paling Avisha takuti terjadi, ketika tanpa sengaja matanya bertemu dengan Arven yang duduk di kantin bersama sahabat sekaligus pacar sahabatnya.
Mati!
Situasi seolah berubah menegangkan untuknya apalagi saat tatapan Arven turun pada genggaman mereka.
"Sha, lo mau makan apa?"
Dan bagaimana bisa saat Avisha merasa berada di ambang kematian, Nata malah bersikap santai menawarinya makanan.
"Visha ..."
Kalimatnya begitu saja menggantung saat Arven berdiri dari kursinya dan berjalan mendekat. Hal yang sontak membuat kedua temannya menaikkan alis heran. Termasuk seisi kantin yang menjadikan hal itu sorotan.
Sial! Double death!
"Ven, mau ngapain lo?!" Zion berteriak kencang yang tak Arven acuhkan sama sekali. Lalu saat lelaki jangkung itu berhenti tepat di depannya, dia terpaksa mendongak dengan kerongkongan yang terasa kering. Meneguk ludah susah payah.
Arven tak mengatakan apapun selain menarik tangannya menjauh dari genggaman Nata. Nata mau tak mau menoleh. Pun Yania dan Ilona yang tampak tak mengerti.
"Lo apa-apaan sih dateng-dateng, ngerusuh?" sindir Nata tajam sambil menatap Arven tidak suka.
"Gue gak ngerusuh, gue cuma mau ngasih tau satu hal sama lo," Arven menarik tubuh Avisha untuk berdiri di belakangnya. "Sebelum lo gandeng cewek, harusnya lo cari tau dulu, tuh cewek punya cowok apa enggak."
"Hah?" Nata jadi memasang muka bodoh. Tak beda jauh dengan Yania dan Ilona. Mereka terbengong sesaat sebelum menatapnya menuntut penjelasan.
"Visha gak punya cowok!" Nata berseru. Antara ingin menegaskan dan juga ... ragu.
"Gue harus ngomong keras-keras?" Arven menoleh padanya. Mata dinginnya itu seolah mengunci Avisha di pijakan. "Atau lo aja yang ngasih tau?"
"Visha ..."
"Ragu? Kalo gitu gue aja." Belum sempat Avisha menjelaskan maksudnya, Arven sudah memotong. "Mulai sekarang, lo harus jauh-jauh dari Avisha."
Nata tampak tak terima. "
Karena dia cewek gue."
Dan begitu saja waktu seperti berhenti dalam kebekuan. Termasuk raut Nata yang berubah seiring kalimat itu diucapkan penuh ketegasan.
"Apa?" Nata pias.
"Lo gak denger? Mau gue ucapin lebih keras?" Arven menggenggam tangannya erat, menunjukkan pada Nata. "Dia. Cewek. Gue. AVISHA PRATISTA CEWEK GUE SEKARANG!" Suaranya penuh penekanan, tegas, sekaligus kencang. Hal yang membuat suasana ramai kantin teredam. Hening menyelinap tak mengenakan. Bahkan raut-raut semua orang yang kini tak bisa Avisha lagi tebak isi kepalanya masing-masing.
Termasuk Ilona dan Yania.
"Sha," Yania menatapnya. Syok luar biasa. "Itu bener?"
Avisha terdiam sejenak, sebelum anggukan kepalanya terlihat jelas oleh semuanya. Membuat mereka makin terperangah.
"Lo bohong kan, Sha?" Nata yang paling syok di sini. Ada kesedihan dalam nada suaranya. Ada luka yang terpancar dalam tatapannya. Dan belum sempat, Avisha berkata-kata, Arven sudah menariknya menjauh dari ketiga sahabatnya yang sangat ingin mendengar penjelasan dan juga diikuti sorot hampir sebagian dari penghuni kantin.
Tapi, nyatanya, tatapan syok itu juga harus diterimanya di meja Arven bersama teman-temannya.
Apalagi kakak kelasnya yang paling absurd itu.
"Lo berdua jadian?" Diantara orang-orang yang duduk di sekeliling meja; Retta, Regha, Linzy. Zion memang yang paling syok. "Lo gak habis minum kan, Ven?" Pertanyaan itu lantas langsung mendapatkan tabokkan kencang dari cewek pirang sebelahnya.
"Duduk!" Arven tak meladeni Zion dan malah cuma menarikkan kursi untuknya.
"Kak Arven, bentar, Visha harus ngomong sama Yaya, Lona, Na ..."
"Duduk!" ulang cowok itu tegas. Yang mau tak mau Avisha turuti dengan mendaratkan diri di kursi yang Arven tarik itu. "Harusnya, gue emang jemput lo tadi."
Avisha diam, mencuri ke arah belakang. Dan ternyata ... ketiga temannya sudah tidak ada di tempat yang sama. Kemana mereka?
"Mau makan apa?"
Suara Arven membuat Avisha kembali menatap cowok itu. "Visha ..."
"Kenapa?" Sepertinya wajah kebingungan Avisha terlihat jelas di mata Arven. "Lo mau ngejar Nata?"
Avisha menekuk bibirnya. "Bukan gitu, Visha ngerasa gak enak sama Yaya, Lona, Nata. Visha belom cerita apa-apa soalnya. Nanti kalo mereka marah gimana?"
"Sekarang waktunya makan. Lo bisa jelasin itu nanti."
Avisha tidak punya pilihan lain selain mengikuti.
"Ven, lo belom jawab pertanyaan kita?" Retta di sebelah Regha jelas butuh penjelasan. Yang diberi anggukan setuju dari Linzy.
"Apa yang harus gue jawab?" Arven malah balik bertanya.
"Tolong, saudara Arven yang terhormat, para wartawan di sini menunggu jawaban anda." Selalu saja Zion mengacaukan keadaan.
Arven mendengkus lelah. "Kayaknya jawaban gue udah jelas tadi, jadi gak perlu diulang." Avisha bisa melihat ketiga kakak kelasnya, kecuali Regha tampak kurang terima oleh jawaban Arven yang setengah. "Makan soto?"
"Visha mau mie ayam."
Arven mengangguk. "Mie ayamnya jadi tiga, Yon."
Zion sontak mendelik. "Gue gak jadi mesen. Males." Arven langsung menatapnya tajam, yang Zion balas sama kerasnya. "Jahat lo! Gak cerita-cerita. Lo anggap gue apa, Ven. Gue ini temen lo ..."
"Plis, ya Yon, gak usah drama!" Linzy di sebelahnya langsung memelotot. Yang membuat Zion menekuk bibir cemberut.
"Bentar, gue nyium-nyium sesuatu di sini," Zion menatap Regha yang menyeruput es tehnya santai. "Kok lo ... gak kaget sih, Gha?" Yang ditanya, Regha malah tersenyum menatap Arven. Membuat Zion menyipit curiga sebelum akhirnya berseru keras, "Wah! Jangan-jangan lo tau ya?"
"Kamu tau, Gha?" Retta dan Linzy kompak memandang cowok berlesung pipi itu.
Yang ditatap cuma mengedikan bahu tak acuh. "Gak sengaja, keceplosan Arven kemaren." Regha menunjuk Arven dengan dagunya, membuat yang ditunjuk memutar mata malas.
"Wah-wah gak terima nih gue! Gak terima!" Zion merasa seperti teman yang dibuang. "Lo cerita ke Regha, tapi gak ke gue? Oke fiks, hubungan kita selesai, bro. Harap lambaikan tangan ke kamera. Kita selesai sampai sin—AAAAARGH! Sakit, Yank!"
Avisha meringis, melihat bagaimana kesalnya Linzy menjambak rambut cowoknya. Melihat penderitaan Zion, Regha dan Retta malah kompak tertawa.
"Kejem banget lo sama cowok sendiri!" Zion memelotot sebal sambil mengusap rambutnya bekas jambakkan.
"Lagian lo! Apa sih! Absurd banget!"
"Kalo gak gini, gak seru, bener gak, Sha?"
Avisha mengangguk saja. "Iya, lebih seru lagi kalo Visha videoin pas kak Zion dijambak kak Linzy. Kali aja viral."
"SIALAN LO!"
"Ngomong apa lo?" Arven memelotot pada Zion, membuat cowok aneh itu meringis ngeri.
"Pis bang!" Dia mengangkat jari berbentuk V. "Serem banget lo, ceweknya digituin doang."
"Berisik!" Arven menatapnya datar. "Beli mie ayam sana!"
"ANJIR! Berasa pembantu gue!" ucap Zion yang mengundang tawa semuanya. Kecuali Arven. Untuk sejenak, Avisha merasa senang, karena setidaknya pikirannya sedikit teralihkan oleh kebersamaan ini.
"Lo mau beli mie ayam atau enggak, Yon?" Tatapan Arven tentunya menjadi lebih menyeramkan. Hal yang sudah biasa terlihat oleh Zion, hingga cowok itu tampak tak takut sama sekali.
"Lo mau mie ayam?"
"Harus ditanya?"
"Oke," Zion mengangguk, yang kemudian berdiri. Itu tindakan biasa, tapi tidak pada tindakan selanjutnya yang cowok itu lakukan. "WOY PERHATIAN SEMUA!" Semua yang di mejanya terkejut, termasuk seluruh murid dan para penjaja makanan yang lantas menjadikan meja mereka pusat perhatian.
"ADA PENGUNGUMAN YANG HARUS GUE KASIH TAU," Avisha dan Arven jelas menunggu apa maksud aksi Zion sekarang. "BERHUBUNG HARI INI KITA MENDENGAR MANTAN KETOS KITA JADIAN DENGAN SI BIJI KUACI INI, TERKHUSUS UNTUK MIE AYAM, ITU BAKAL DIGRATISKAN."
Bagai ada suara bom, Avisha merasa jantungnya merosot ke bawah. Apalagi Arven yang seolah siap membunuh Zion di tempat lewat tatapan matanya.
"Mang Ujang tenang aja, Arven yang bakal bayar semuanya."
Ucapan Zion disambut ricuh, seruan antusias terdengar, ditambah tepuk tangan heboh. Sebagian dari mereka langsung berdiri cepat, berbaris di depan stan mie ayam. Hal yang membuat senyum Zion teruntai lebar, beda dengan Arven yang ingin menelannya hidup-hidup.
"Yon!" Tatapan Arven tenang. Tenang yang diam-diam bisa saja membunuh. "Lo mau mati?"
"Siapa yang mau mati, gue mau makan!" Zion tersenyum makin lebar. Tanpa peduli, tatapan Arven yang seakan menyembelihnya langsung. "Sha, bilangin cowok lo ya, jangan lupa bayar."
Perlahan, Avisha berhasil mengontrol kagetnya. "Tapi, kak Arven kasian bayar ..."
"Yaelah, Sha. Gak ada sejarahnya keluarga Gazkel bangkrut. Bersin aja, yang keluar duit. Benerkan Ven?"
Arven tak mengatakan apapun selain melempar botol kosong ke arah Zion, yang justru membuat cowok itu tertawa.
•••
"Jumlah mangkok semuanya berapa mang?" Avisha bertanya takut-takut.
"200 mangkok neng, kalo dijumlahin sama yang minta dibungkus."
Tak ada alasan lagi buat Avisha tidak ternganga sekarang. Dia menoleh pada Arven di sebelahnya, tampaknya kekagetan ini cuma berlaku padanya, tidak pada cowok itu, yang justru menyikapinya tenang.
"Kalo dijumlahin harganya ..."
"Stop, kak Arven!" Avisha refleks mengangkat tangan, bermaksud menghentikan ucapan cowok itu. "Jangan, disebutin nominal harganya. Visha udah kebayang banyaknya, bisa-bisa entar Visha pingsan."
Mang Ujang terkekeh mendengarnya. "Jangan kan neng, saya yang dagang aja ini gak kebayang sama banyak duitnya. Untung banyak neng hari ini saya."
Arven menghela napas. "Saya gak bawa uang cash, Mang ..."
"Eh tenang, Aa ganteng, saya punya rekening bank. Tinggal transfer." Mang Ujang antusias.
"Oh oke," Arven tampak takjub. Tak menyangka jika pedagang sekarang memiliki rekening tabungan. "Mang Ujang nulis aja nomor rekeningnya, nanti saya transfer."
"SIAP DILAKSANAKAN PERINTAHNYA AJUDAN!" Mang Ujang berlagak mengangkat tangan hormat.
Setelahnya, Arven cuma mengangguk lalu berlalu pergi usai menerima kertas yang tertera nomor rekening Mang Ujang. Avisha mengikuti di setiap langkah lebar Arven yang hendak mengantarkannya ke kelasnya.
"Yahh uang kak Arven jadi ludes ya." Di sini, Avisha merasa tidak enak. "Kak Arven mau setengah-setengah sama Visha?"
"Setengah-setengah apa?"
"Itu loh, buat yang traktir tadi. Jumlah semuanya kita bagi setengah-setengah. Biar gak kak Arven semua yang bayar."
"Lo emang bisa bayar?" Arven menoleh padanya dan tetap melangkah.
"Bisa," jawabnya yakin yang kemudian jadi menyengir. "Tapi, dicicil."
Arven mengangkat ujung bibirnya. Menekan kedua pipinya kencang. Membuat bibirnya menekuk lucu. "Kalo gitu kapan lunasnya?"
"Yahkan yhang penthing Vishha mau bhantuin." Kalimat Avisha jadi tidak jelas karena pipinya yang ditekan.
"Gak perlu," Arven melepaskan pipinya. "Gue aja yang bayar."
"Idih!" Avisha menatap sinis dengan senyuman lebar. "Gini nih, yang buat Visha makin sayang. Singanya Visha tuh emang debes. Gak ada duanya."
"Oh kalo gitu, lo bawelnya gue?"
"Ish!" Avisha mendorong Arven pelan. "Yang kerenan dikit kek. Masa bawel."
"Ya udah, cebongnya gue?"
"Makin parah dong kalo gitu!" Avisha memelotot kesal. Yang membuat Arven tak tahan, menariknya ke pojok pilar di bawah tangga. Ruang tertutup yang leluasa untuk Arven menumpahkan tawanya.
Sementara yang ditarik terkejut, ruang kecil dan tubuhnya yang terpojok, apalagi saat mendengar tawa Arven yang renyah menyentuh pendengarannya. Avisha syok luar biasa.
"Kak Arven ... kak Arven ketawa?"
"Cebong!" Yang setelahnya cowok itu tertawa kembali. "Bawel! Aneh! Penakut! Pendek! Tembem! Kayaknya masih banyak lagi panggilan buat lo." Lalu mencubit hidungnya pelan. "Tapi, gak ada yang lebih spesial dibanding panggilan Icha. Ichanya gue."
•••
Singanya Visha :)))))))
Doain aja ya moga ini bakal lancar lgi updatenya, dua minggu sekali gapapalah ya? wkwkwkw
Musim ujan kan skarang makanya harus sedia payung :(((
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro