A;A53-Tali yang Menyatu
HALOHAAAAA Kangen dong :)))))
Part khusus buat malem minggu, ayo ramaikan sayangkuuuh
▪
KEADAAN tidak akan berubah. Yang telah terjadi biarlah terjadi. Ini kehendak Tuhan dan tidak ada manusia satu pun yang bisa lari dari takdirnya. Tapi, bagaimana jika takdir itu dipermainkan. Manusia yang sengaja mengubah alur skenario yang Tuhan rancang.
Rinda, sang Mama bilang, jika apapun yang terjadi di dunia, itu Tuhan yang mengkehendaki. Mungkin untuk seluruh cerita yang sering mamanya bagi, banyak yang Arven percaya. Tapi tidak pada tentang cerita "Manusia dibunuh juga takdir".
"Pangeran Yunani itu dibunuh. Jadi, bukan Tuhan yang niat ngambil dia dari dunia."
Kala itu, mamanya tersenyum mengusap rambut Arven yang tengah tertidur mendekap guling, belum juga sampai diakhir cerita, Arven selalu berpendapat pada hal yang menurutnya tak masuk akal.
"Itu tetap takdirnya, entah bagaimana pun cara manusia meninggalkan dunia, Tuhan yang menulis skenarionya. Jika Tuhan menulis takdir pangeran itu mati karena dibunuh, ya itu emang udah jalannya."
"Tapi itu gak adil," Lagi-lagi protesan. Rinda terkekeh. "Pangeran itu seharusnya masih bisa hidup kalo pembunuh itu gak dateng. Dia masih bisa bahagia sama keluarganya."
"Ya begitulah, gak ada yang tau akhir manusia akan seperti apa, sayang." Rinda membenarkan posisi tidur miringnya. "Tapi, Tuhan selalu punya keadilan. Pangeran itu mungkin bahagia di surga-Nya dan pembunuh itu akan mendapatkan hukuman setimpal."
"Dino benci orang-orang jahat. Orang-orang kayak gitu harusnya gak boleh tinggal di dunia."
"Terus tinggal dimana?" Rinda tertawa. Mengecup puncak kepalanya penuh sayang. "Di dunia ini ada bermacam-macam orang, yang rajin seperti Dino, yang malas, yang baik ataupun yang jahat, itu udah sifat nak, gak ada yang bisa diubah kecuali manusia itu sendiri."
"Kata Mama, Tuhan itu adil."
Arven merasa pengap di ruangan tak luas ini. Papan 'kantor polisi' yang terpampang lebar di luar seolah tak menjadikannya aman. Masih ada ketakutan yang dia rasakan. Bayang-bayang orang yang mengejar, senapan panjang, peluru yang ditumpahkan berkali-kali. Semua masih hangat dalam ingatan.
"Ada orang jahat di sana. Ada yang sengaja bunuh Papa-Mama Dino." Arven telah menceritakan sebagian cerita. "Pak polisi harus nemuin orang jahat itu."
"Kita sedang selidikin nak, kamu tenang aja kalo dari kesaksian ceritamu itu benar, kita akan menindaklanjuti perkara ini." Beruntung polisi di depannya begitu ramah. "Kamu duduk di sana saja," dia menunjuk kursi panjang, yang ada seorang gadis kecil duduk di sana. Gadis yang sama, yang bersamanya di mobil.
"Bapak udah menelpon keluargamu, tunggu saja sampai mereka menjemputmu di sini." Pak polisi itu lalu tersenyum. "Tapi, kamu hebat, nak." Arven jadi kembali menatap pria paruh baya di depannya. "Kamu tidak menangis?"
"Kata Papa, Dino gak boleh jadi anak cengeng. Dino cowok, jadi harus kuat." Walau sebenarnya kenyataannya berbanding terbalik, Arven cuma-lah anak berusia tujuh tahun, mengingat kejadian yang menimpanya beberapa saat jelas berdampak besar pada psikisnya. Dia ingin menangis. Apalagi saat masih teringat jelas darah yang mengucur dari kepala orang tuanya.
Arven beranjak berdiri lalu berjalan ke arah kursi yang ditunjuk pak polisi. Mengabaikan gadis kecil yang menangis di sebelahnya. Walau Arven berusaha duduk tenang dan tak peduli, sesungguhnya tangisan dan gumaman 'takut' yang gadis itu lirihkan sangat mengganggunya.
"Api ... takut," Arven menoleh. "Icha takut, api ... Papa-Mama Icha takut." Arven sejenak melirik tas terbakar yang ada di pelukannya. Dia mengernyit, merasa tas itu hampir mirip seperti tas biola milik adiknya.
"Takut, Icha takut!" gumamnya tak juga berhenti sambil menangis. "Papa, Icha takut ... api ..."
"Berisik!" Gadis itu langsung tersentak, menoleh ke arahnya dengan mata bulatnya yang menatapnya takut. Sejenak Arven terdiam, melihat mata bulat yang berkabut takut itu, entah kenapa mengingatkannya pada adiknya yang kini entah bagaimana keadaannya. Tapi, dia yakin, dia aman. Ada kakek bersamanya.
"Kamu berisik! Cengeng!"
Gadis itu memajukkan bibirnya. Seperti menahan tangis kembali. "Icha gak cengeng."
"Cengeng! Itu buktinya nangis!"
"Biola kesayangan Icha kebakar. Ada orang jahat ..." Kemudian cewek itu malah makin menangis sambil menjerit. Membuatnya kaget dan jadi kewalahan.
"Ih malah makin nangis! Berhenti nangisnya!" Arven tidak tahan. Menutupi kedua telinganya. "Berisik tau!"
Dia sampai sesegukkan. Arven jadi tidak tega. Apalagi wajahnya itu sangat mirip dengan adiknya. Dia bergerak mengambil kotak tisu di sebelahnya dan mengambilnya selembar. "Nih, berhenti nangis!"
Gadis itu lantas menghentikan tangisannya dan menatap selembar tisu yang dia sodorkan. Mata bulatnya menatap Arven sejenak sebelum kembali pada tangannya. "Tangan kamu kenapa?" Cuma itu, yang membuat Arven segera menarik tangannya menjauh. "Kenapa merah? Kamu habis main cat?"
"Bukan urusan kamu." Arven membuang muka.
"Sini Icha liat!"
"Enggak!"
Suara tingginya membuat gadis itu terlonjak. Wajahnya mulai ada tanda-tanda ingin menangis lagi. "Kamu kok jadi galak lagi? Icha kan cuma mau liat aja."
Arven tak mengatakan apapun.
"Kok diam?" Arven masih diam. "Kita belom kenalan tau. Aku Icha. Kamu siapa?" Tangan mungil yang terulur itu cuma Arven tatap seolah lalat pengganggu. "Kenapa diam mulu sih, kata Mama Icha kalo ada yang ngulurin tangan harus disambut." Kemudian entengnya, dia mengambil tangannya untuk menerima uluran itu. "Nah kayak gini. Aku Icha, nama kamu siapa?"
"Dino. Namaku Dino." Nadanya terdengar terpaksa. Beda dengan cewek bernama Icha, senyumnya jadi melebar. Raut sedihnya perlahan pudar. "Mau jadi temen Icha?"
"Enggak!" Yang kemudian langsung menarik tangannya.
"Kenapa?" Icha tampak sedih lagi.
"Karena kamu cewek."
"Emang kenapa kalo cewek?"
"Aku gak suka main sama anak cewek. Mainnya barbie, cengeng lagi."
"Icha juga main robot kok, kalo sama abang."
"Aku gak nanya."
"Padahal Icha mau jadi temennya Dino." Icha cemberut. Arven cuma meliriknya dan kembali membuang muka. "Dino mau ya jadi temen Icha. Di sini, Icha gak punya temen, lagian kan cuma ada kita berdua di sini."
Arven memilih tak peduli.
"Kita temen kan? Dino senyum dong. Jangan diam aja."
"Berisik!"
Tak ada yang bisa gadis itu buat selain cemberut dan jadi diam. "Ya udah, Icha diam aja deh."
Selama hampir lima belas menit, tak ada yang bersuara. Sunyinya malam seolah cuma jangkrik yang bernyanyi. Arven melirik gadis di sebelahnya, yang seperti menahan kantuk lalu dia memandang tas biola yang didekapnya itu.
"Kamu suka main biola?"
Dia jadi terlonjak luar biasa. "Dino nanya?" Arven mendengkus sebal. Gadis itu malah menyengir lebar. "Iya, Icha suka main biola. Dino suka juga?"
"Adik aku yang suka."
"Oh iya? Kalo gitu, Icha jadi pengin kenalan. Kali aja jadi temen." Sepertinya beberapa saat lalu, gadis itu terlihat penuh ketakutan. Tapi, lihatlah, wajahnya sudah bersinar ceria sekarang.
"Karena kamu suka main biola, kita temen."
Gadis kecil bernama Icha itu tampak kaget. "Jadi, Dino mau jadi temen Icha?"
"Tapi, kamu gak boleh bawel!" Arven berkata dingin.
Icha terkekeh. "Kata Mama, itu emang sifatnya Icha gak bisa diubah."
Arven mendadak diam. Teringat langsung pada setiap perkataan mamanya. 'Sifat tak bisa diubah, kecuali orang itu sendiri yang mengubahnya'. Rasanya dia ingin melanggar peraturannya pada papanya, dia tidak bisa menjadi sosok kuat. Dia tidak bisa selalu menjadi cowok pemberani.
Dia tetaplah anak kecil yang butuh pegangan. Dia tetap anak kecil yang bisa menangis dan sedih kapan saja.
"Dino kenapa?" Arven jadi tersentak. "Kok jadi keliatan sedih."
"Aku gak pa-pa." Arven menggeleng.
"Kalo gitu, karena kita temen sekarang. Ayo salaman." Icha mengulurkan tangan kecilnya, yang Arven tatap sebentar sebelum menerimanya, membuat senyum yang cewek terangkat lebih lebar. "Icha seneng deh, temen Icha jadi ada dua. Yaya sama Dino."
"Kamu ngantuk?"
Icha mengangguk. "Iya, jangan dilepas ya tangannya. Icha takut."
"Takut apa?"
Icha diam sejenak sebelum suaranya terdengar bentuk bisikkan. "Hantu." Yang setelahnya dia tertawa. Membuat Arven tanpa sadar mengangkat ujung bibirnya. Setelah runtutan kejadian mengerikan hari ini, Arven tak pernah terbayang jika dia masih bisa tersenyum seperti sekarang.
Ya, setidaknya sebentar sebelum dia menghadapi kenyataan jika dia hanya akan hidup berdua dengan adiknya.
Avisha di sebelahnya mulai menyandar dengan mata memejam. Tangan mereka masih saling bertautan dan pada kelelahan yang dia rasakan seolah larut pada heningnya malam. Rasa kantuk itu ikut menyeretnya masuk ke dalam mimpi.
Arven terbangun saat salah satu sipir polisi membangunkannya. Ternyata orang tua Avisha sudah datang menjemput. Menunggu di luar.
"Dino belum dijemput?" Gadis itu tampak tak enak hati meninggalkannya. "Dino mau ikut Icha aja? Ayo!"
"Aku bakal dijemput kakek nanti."
"Kelamaan, mending ikut Icha, nanti Papa-Mama Icha anterin."
Arven menggeleng. "Gak, aku bakal tunggu di sini."
Icha menunduk sedih. Perlahan melepaskan genggaman mereka yang bahkan baru disadari masih saling bertemu. "Terus Icha gak bakal ketemu Dino lagi dong."
Yang cowok tak mengatakan apapun selain mengambil sesuatu di kantong jasnya. Sebuah gelang berbandul biola. Lalu menyerahkannya pada Icha. "Itu buat Icha. Simpan. Mungkin kita bakal ketemu lagi."
•••
"Icha, kita ketemu lagi."
Avisha menggeleng. Menolak percaya pada fakta yang terlempar tepat di wajahnya. Pikirannya mendadak kosong. Isi kepalanya buyar lari entah kemana. Dan pada bibirnya, dia tak mampu mengeluarkan seluruh kosa kata yang ada.
Dia mendongak. Mencari kebohongan dari mata Arven. Mungkin cowok itu mengerjainya. Mungkin cowok itu tengah bercanda sekarang. Tapi, mendadak Avisha harus percaya sepenuhnya saat sadar jika Arven tidak pernah bermain-main. Apalagi bercanda dengan perkataannya.
"Dino." Menyebut lirih nama itu, ada buncahan yang ingin meledak di dadanya. Berbagai rasa kini seperti bercampur aduk dan entah ... buat sekarang Avisha tak mengerti apa yang dia rasakan. "Jadi, kak Arven Dino, yang ngasih gelang itu ke Visha?"
Arven terdiam lama. Menatapnya dengan tatapan yang Avisha tahu penuh frustasi. "Jadi, sejak tiga hari lalu dong kak Arven udah tau kalo, Visha itu Icha, cewek kecil yang ketemu sama kak Arven di kantor polisi." Avisha melirik dua tangan Arven yang mengurungnya bergantian.
"Terus kenapa kak Arven gak ngasih tau Visha?" Sekarang jelas-jelas emosinya jadi berlipat ganda. Avisha menatap Arven dengan amarah yang besar. "Terus kenapa kak Arven malah sengaja jauhin Visha?!"
"Sha ..." Arven menurunkan kedua tangannya dan malah menangkup wajahnya. Yang langsung Avisha tepis dan membuat Arven kaget luar biasa.
"Kak Arven sengaja ngelakuin itu karena tau Visha adalah Icha?" Keadaan seolah berbalik. Arven malah bingung saat Avisha sengaja melangkah maju. Yang sontak Arven harus jaga jarak mundur. "Kenapa? Kak Arven gak suka ketemu Icha? Kak Arven gak mau inget-inget Icha lagi?"
"Sha, denger ..."
"Kak Arven jahat kalo gitu!" Avisha berseru kencang. "Visha selalu mikirin Dino, Visha gak pernah lupain Dino. Terus kenapa kak Arven mau lupain Icha!"
"Lo salah, gue justru ..."
"Visha mau pulang aja!" Avisha berbalik hendak menyeret tongkatnya, saat justru dia memekik merasa tubuhnya melayang di udara. Dia terkejut dan kesadarannya baru normal saat Arven meletakkannya di ujung ranjang dengan Arven yang menjulang di atasnya.
"Lo kebiasaan, kalo masalah belom selesai, jangan asal pergi."
Dia terbelalak melihat lengan Arven mengurungnya. Ditambah sorot tegas yang terpancar di sana, Avisha tak punya ruang lagi untuk lari.
"Lo salah, gue gak mungkin lupa sama Icha. Gue gak mungkin lupa, setelah lari dari tempat kecelakaan, ketemu sama cewek yang selalu bilang takut. Cewek yang meluk tas biolanya yang kebakar api!" Arven menurunkan sisi kepalanya, membuat Avisha bisa melihat sorot emosi itu lebih jelas. "Gue gak akan pernah lupa, gimana Icha ngebuat gue senyum walaupun gue pengin nangis saat itu."
"Kak Arven ..." suaranya jadi lirih. Mengingat detail kejadian sepuluh tahun, Avisha masih sangat ingat wajah Dino yang tampak cuek, tak peduli. Dino, yang galak dan datar.
Saat itu, dia tidak tahu apapun masalah yang terjadi pada Dino. Yang dia tahu, Dino cuma anak cowok yang dipaksa menjadi temannya. Cuma anak cowok yang memberikannya gelang. Cuma anak cowok yang membuat ketakutannya sedikit hilang.
Dia tidak tahu kalau ternyata cowok yang dia temui sepuluh tahun lalu menyimpan ketakutan besar. Cowok yang setelah bertahun-tahun menjadi teman mimpinya, kini jatuh di dunia nyata.
Dino dan Arven adalah orang yang sama.
"Gue gak pernah lupain Icha." Tatapan Arven seolah menenggalamkannya sekarang. "Lo satu paket sama masa lalu gue, Sha. Gue selalu berusaha lari dari ingatan itu, tapi saat gue tau lo ternyata termasuk dalam bagian, gue cuma butuh waktu buat menghindar. Tapi ..." Arven mengusap rambutnya lalu berujung ke pipinya. "Gue nyatanya gak bisa. Gue gak bisa ngehindarin lo."
"Kalo gitu jangan ngehindarin Visha," Avisha mengambil tangan Arven yang ada di pipinya. Digenggamnya tepat di depan dada. "Jangan jauhin Visha. Visha gak bisa ... jauh dari kak Arven."
"Jadi, itu tujuan lo ke sini?"
Polosnya Avisha mengangguk. Lalu melingkarkan kedua tangannya di leher Arven dengan sengaja agar cowok itu menatap matanya lurus. "Visha gak suka kak Arven jaga jarak, Visha gak suka dijemput bang Darlan, Visha gak suka kak Arven gak nelpon Visha. Pokoknya Visha benci kalo kak Arven jadi masa bodoh, gak pedulian sama Visha."
Alis Arven terangkat. "Terus apa yang lo suka?"
Avisha mendadak gugup saat Arven menatapnya dengan sorot dalam. Yang diperparah dengan usapan lembut pada rambutnya yang menutupi pipi.
"Visha ... Visha suka deket kak Arven."
"Terus?"
"Visha ..." Visha tanpa sadar memejamkan mata saat jemari Arven bergerak menyingkirkan anak poninya. "Visha suka saat kak Arven natap Visha. Visha juga suka ... saat tangan ... tangan Visha digenggam kak Arven."
"Ada lagi?" Suara cowok itu lirih dan pelan.
"Pokoknya ... semuanya yang ada di kak Arven, Visha suka," Kemudian seperti punya kendali diri, Avisha tak dapat menahan tangannya yang bergerak ke wajah Arven. Membiarkan jemarinya menyentuh setiap jengkal wajah datar itu. "Visha ... Visha sayang kak Arven."
Seuntai senyum kecil perlahan terbentuk di wajah Arven. "Gue suka cewek jujur," Yang lalu menyematkan jemarinya di jemari Avisha yang ada di wajahnya. Menggenggamnya erat. "Karena lo udah jujur," cowok itu berbisik rendah. "Lo dapet hadiah."
Avisha menunggu dengan jantung berdebar dan tanpa sadar sudah menahan napas saat kepala Arven makin turun dan seakan tenggelam di lekukan leher kirinya.
Embusan cowok itu terasa hangat.
Apalagi saat sangat jelas Avisha merasakan kecupan lembut di telinganya. Dia terkejut sebelum satu kata yang cowok itu bisikkan seolah menembak tepat jantungnya.
"Lo cewek gue sekarang."
•••
belom diedit udh kepencet publish haha
WAH WAH WAH
EH AJARAN SIAPA MAIN2 DI RANJANG GITU🙈😭
Gimana gimana buat part ini😶
aduh itu senyum :')))))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro