Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A51-Terungkap Sebelah Sisi

Dua minggu ya ampun :((( Aku takut gak bisa lanjutin ini, sekarang tuh bener-bener gak ada waktu, pagi kerja, malem kuliah haha, itu juga belom campur sama tugas-tugas :(

Makanya penyuntik semangat cuma dari komen dan vote kalian, komen banyak auto ngegas up pasti haha


SEPERTINYA Avisha butuh obat pereda pusing sekarang. Kepalanya mendadak penuh setelah mendapatkan fakta yang membuatnya luar biasa tercengang.

Arven dan Askar saudara sepupu!

SEPUPU?!

Bagaimana, bagaimana mungkin?

Tapi, seolah Avisha harus percaya walau hatinya menolak percaya saat melihat Diana, sosok wanita itu mendekat pada Arven dan mengusap bahu cowok itu.

"Kamu udah lama gak pulang, kamu gak kangen masakkan Tante?"

Arven bergerak menjauh, menolak sentuhan itu. "Maaf, Tan. Arven sibuk akhir-akhir ini." Sebelum Avisha bisa melihat lirikan tajam Arven tertuju pada Askar yang memasang muka malas.

Saat mereka semua berpamitan pulang. Termasuk Arven. Keadaan hening, tapi tidak pada isi kepalanya yang bising oleh banyak pertanyaan. Itu kejadian tadi sore dan tiba saat malam, Avisha masih belum bisa menyingkirkan apapun.

Padahal Avisha masih pusing pada masalahnya sendiri. Ini perihal hati saja belum selesai. Tapi, lagi dan lagi ada masalah yang datang. Sebenarnya ini bukan masalah, cuma tentu Avisha tidak mudah untuk membuang pertanyaan kepalanya begitu saja.

Dia sangat yakin sekarang jika masalah Arven dan Askar pasti berhubungan dengan keluarganya. Ada yang salah dengan keluarga mereka.

"Tadi Diana ke sini Mas."

Avisha seperti ditarik ke dunia nyata. Melihat sekeliling dan baru sadar jika dia tengah di meja makan, menikmati hidangan makan malam. Suasana khidmat yang sempat mengelilingi seolah pecah oleh pertanyaan sang mama. Suasana di meja makan jadi berubah.

"Bukan sudah kubilang untuk tidak dekat-dekat dengan keluarga mereka?" Avisha jadi mengerutkan dahi, mendengar nada tajam sang Papa. "Cukup Avisha yang berurusan dengan anak itu."

"Mas, Diana cuma berkunjung untuk main ke rumah. Memang salah?" balas Velin tampak kesal.

"Bukan begitu, Vel kamu tau ..."

"Aku tau maksud kamu. Tapi, kesimpulan kamu gak beralasan, Mas." Velin berkata tegas.

Di kursinya Avisha jadi keheranan, melihat pertengkaran yang jarang terjadi di antara mama-papanya. Lagipula, bukankah itu cuma hal sepele, kenapa papanya perlu marah?

"Bang Darlan," Avisha mencolek lengan Darlan di sebelahnya, yang tampak tak acuh oleh perdebatan orang tuanya. Menikmati makanan santai. "Sebenernya ada apa sih?"

Darlan mengangkat bahu cuek. Sebelum detik berikutnya Avisha jadi kaget sekaligus bingung oleh tindakkan kakaknya itu.

"Ma, Darlan mau nambah gulainya dong." Sebentar, Avisha tidak mengerti dengan jalan pikiran kakaknya. Bagaimana bisa di situasi ini dia malah ingin menambah makanan. Perhatian Velin dan Devin sontak teralihkan. Begitu saja perdebatan mereka terhenti. "Gulai buatan Mama enak banget. Darlan sampe ketagihan."

Secepat itu raut kesal Velin berubah menjadi senyum sumringah. "Kamu suka gulai buatan Mama?"

"Kalau gulai ikan kayak gini, Darlan suka. Tapi, kalo gulai daging kayak kemaren, Darlan gak mau. Mama kan tau Darlan benci daging."

Velin tampak senang sekali. Menyendokkan gula ikan di ujung meja untuk Darlan. "Kalo gitu besok Mama masakkin lagi. Mau?"

"Siap Bu boss." Darlan mengangkat tangan hormat. "Tanya Papa dong, Ma. Suka juga gak gulainya?"

Devin tampak kelagapan di tempatnya. "Pasti dong," jawabnya kemudian cepat. "Semua masakkan kamu emang yang terbaik kan?"

Dan tentunya perlahan suasana membaik. Mamanya tersenyum senang setelah mendapat pujian dan papanya yang jadi ikut senang. Obrolan awal terlupakan begitu saja, justru mereka saling bercanda dan tertawa sekarang.

Darlan menoleh padanya dan tersenyum menang. "Gampang kan?"

•••

"Dih sini, Na keripiknya!"

"Ogah, entar lo serakahin lagi."

"Ye biarin, Tuan rumah aja b aja, kenapa lo yang ngomel?"

"Tapi, harusnya lo jadi tamu yang tau diri."

"Gue bukan tamu sih, gue udah kayak bagian di rumah Visha. Ya kan, Sha?" Yania berteriak, yang Avisha balas dengan mengangkat jempol seakan mengiyakan. Ilona yang kalah suara jadi mendengkus sebal. Mengalah saja saat Yania meminta hak toples keripik di rengkuhannya.

"Idih gak tau malu lo, Yaya!" ejek Nata yang tengah menuntun Avisha berjalan.

"Serah gue!" Yania menjulur lidah meledek. "Mending lo fokus tuh jangan sampe temen gue jatoh!"

Nata menatap Avisha yang melangkah tertatih-tatih lewat bantuan tangannya. "Tenang aja, kalo Visha jatoh langsung gue tangkep."

"Cicak kali ah!" Yania mendengkus malas. "Gak usah sok ngegombal lo cimeng, keselek keripik gue."

"Lo keselek gue tawain." Nata tertawa kencang.

Yania melempar keripiknya pada Nata, walau jelas tidak akan terkena karena jarak.

"Yaya jangan buang-buang makanan," tegur Ilona seperti mamanya.

"Tolong deh ya, Na. Itu temen lo bawa pulang! Sebel gue!" Yania merengut di kursi sambil melipat kedua tangan.

"Yaya gak boleh gitu, kan Visha yang nyuruh Nata ke sini buat jadi terapis Visha."

Sekarang memang jadwalnya melakukan terapi. Om Rafael ada tengah di dapur mengobrol dengan mamanya. Beberapa menit pertama, sahabat papanya itu yang menuntunnya berjalan tanpa tongkat, tapi saat Nata datang, beliau meminta untuk menggantikannya.

Sebenarnya dia yang sengaja meminta karena sejak datang, Om Rafael menanyai Arven. Kenapa cowok itu tidak ke sini untuk membantunya. Oh, yang jelas saja dia jawab jika Arven sibuk. Padahal kenyataannya dia sendiri yang meminta Arven untuk tidak datang.

Dia cuma ingin menenangkan pikirannya sejenak. Meski, tidak juga berguna, pikirannya tetap penuh oleh setiap hal tentang cowok itu.

"Lagian lo kenapa minta Nata yang dateng dah, kenapa gak kak Arven aja?" Yania masih kekeuh.

"Visha ..."

"Emang harus banget cowok itu yang nemenin Visha?" Nata jadi sewot.

"Gak usah ngegas juga kali!" Yania ikutan sewot.

Ilona memegang keningnya. Pening sendiri. "Pusing kepala gue ngeliat lo berdua berantem mulu!"

Avisha cuma geleng kepala malas. Melangkah dibantu Nata, saat justru tiba-tiba membeku di pijakan.

"Kenapa, Sha?" Nata ikut berhenti.

"Sejak kapan kak Arven di situ?" Mata Avisha mendelik pada sekat kaca pembatas area belakang dapur dan taman. Serempak semua temannya ikut melihat matanya tertuju. Cowok itu tengah berdiri di sana sambil memerhatikan dan memasukkan tangan di saku celana.

"Sejak tadi," sahut Arven cuek lalu melangkah mendekat, yang membuatnya refleks mengangkat tangan.

"Kak Arven di sana aja, gak usah deket-deket."

Yania dan Ilona terheran-heran. Beda dengan Nata yang mengangkat senyum senang. Tapi, seolah tuli Arven tetap melangkahkan kaki mendekat. Berhenti di depannya yang sudah melemparkan tatapan tajam.

"Lo mungkin bisa perintah ke yang lain, tapi gak gue."

"Ngapain kak Arven di sini?" tanyanya jutek.

Arven tak mengatakan apapun, cuma mengambil alih tangannya yang berada di genggaman Nata begitu saja.

"Punya hak apa lo hah?!" Nata marah dan meraih sebelah tangannya kembali. Posisi ini malah membuat Avisha seperti tali tambang yang ditarik kanan-kiri.

"Hak gue, karena dia tanggung jawab gue," balas Arven tenang dan mengambil kembali tangannya yang ditarik Nata sebelumnya.

"Harusnya nih gue rekam, Na biar viral." Itu ucapan pelan Yania yang membuat Ilona menoyor kepalanya.

"Dan gue juga punya hak karena gue sahabatnya!" Nata tak mau kalah.

"Ada apa ini?" Suara itu menyeruak di antara ketegangan yang ada. Sontak perhatian semua teralihkan ke sekat kaca, melihat Rafael yang tengah mengigit santai apel di tangannya. "Persaingan anak muda?" Sahabat papanya itu kemudian mendekat lalu menepuk pundak Arven. "Om pikir kamu sibuk Arven?" Sambil meliriknya. "Kapan datang?"

"Baru aja, Om."

Rafael mengangguk mengerti. "Nata," panggilan itu memutus tatapan tajam Nata yang sejak tadi tak lepas dari Arven. "Kamu sejak tadi menuntun Visha, pasti capek. Istirahat aja, biarkan Arven yang akan menggantikanmu."

Nata terpaksa menuruti, setelah melemparkan sebilah pisau lewat tatapan pada Arven, dia melangkah mundur dan berjalan ke arah Yania dan Ilona.

"Kapan selesai terapinya Om, kaki Visha pegel!" protesnya sengaja agar dia tak perlu terjebak dengan Arven. Ayolah! Dia berniat ingin menjaga jarak untuk menjernihkan isi kepala, kondisi ini justru mengacaukan semuanya.

"Lima belas menit lagi." Rafael menggigit kembali apelnya. "Ayolah, Visha Om yakin kamu masih kuat sebenernya. Om akan mengawasimu di sana." Sambil menunjuk kursi yang ada di dekat teman-temannya, yang kemudian berlalu meninggalkannya bersama Arven.

"Visha kan udah nyuruh kak Arven gak usah ke sini." Dia berbicara saat Arven mulai membantunya melangkah.

"Biar lo bisa berduaan sama Nata?"

"Apa sih! Kenapa bawa-bawa Nata. Ini gak ada hubungannya!"

"Ada, karena gue gak suka!" Arven tak mau kalah. Tapi, ucapannya itu malah membuatnya menahan kaki di pijakan rerumputan taman.

"Gak suka?" Avisha menautkan alis. "Nata temen Visha."

"Gue cuma mau lo deket ke gue, gak ke yang lain." Bukan cuma suara, pun mata Arven memancar ketegasan. "Lo masih punya utang permintaan ke gue." Avisha terpaksa mendongak saat Arven mendekatkan wajah, menjatuhkan iris biru kehijauan itu tepat di matanya. "Satu permintaan, cukup liat gue."

•••

Hadiah dari Askar dia simpan dalam tas. Setelah mengambilnya, dia membawa turun dari kamar. Saat sampai di ruang keluarga, tampak Arven yang tengah berdiri sambil menjelajahi foto-foto masa kecilnya yang tersusun di rak sekaligus terpasang di dinding.

Setelah selesai sesi terapi, dan pada pembicaraan serius tadi, Avisha memutuskan untuk menyudahi 'ngambek'nya, oh bukan lebih tepatnya berhenti untuk bersikap berlebihan. Seharusnya, dia sadar hal yang dia lakukan itu justru membuat Arven yang tak tahu apa-apa kebingungan.

Cowok itu tidak punya salah apapun, malah selalu baik karena sudah menjaganya selama kakinya sakit, menemaninya, mengantar-jemputnya, semua cowok itu lakukan, walau sebatas pertanggung jawaban, Avisha tahu Arven tulus melakukannya, dan tidak bagus karena Avisha tiba-tiba menjauh cuma karena takut patah hati.

"Ini hadiah dari kak Askar." Avisha duduk bersama Arven di atas karpet dan menyodorkan benda di tangannya.

Arven menatap lama benda di tangannya. Dahinya berkerut dalam, seolah ada hal yang tengah dipikirkan.

"Kak Arven."

"Mm?" Arven tampak tersentak luar biasa. Padahal Avisha memanggilnya pelan.

"Kenapa?"

"Enggak."

"Visha mau nanya deh."

"Gue dapet apa kalo jawab pertanyaan lo?" Arven menaikkan alis . Menggodanya. Avisha sontak mendorong bahunya pelan, yang membuat cowok itu jadi tersenyum kecil.

"Shh," Avisha menutup bibir Arven dengan telapak tangannya. "Jangan senyum, kalo Bi Desi liat, jadi suka." Sangat jelas terasa Arven tersenyum makin lebar lewat telapak tangannya. "Cuma Visha aja yang boleh liat."

Arven menurunkan tangan Avisha dari bibirnya, menggenggamnya, meletakkan di pipi, yang kemudian mendekatkan wajah. "Oke, lo boleh nanya, asal," dia menggerakan genggaman mereka pada pipinya. "Cium pipi gue. Berani?"

"Kak Arven mau Visha cium?"

"Kalo lo berani," Arven kemudian tersenyum miring seolah meremehkan. "Tapi, sih gue gak yakin lo bakal ..." Lidah Arven beku begitu saja saat merasakan bibir lembut Avisha di pipinya. Walau ciuman itu cuma terasa sedetik, tapi dampaknya begitu besar mengenai jantung.

"Udah kan?" Avisha menatapnya dengan wajah memerah. Hal yang hampir mendorong akal sehatnya untuk menarik sekaligus mengurung cewek itu cuma untuknya. "Jadi Visha boleh nanya?"

Seperti ada bongkahan yang tertanam di tenggorokannya, yang butuh Arven netralkan dengan berdeham beberapa kali.

"Lo emang mau nanya apa?" Arven berusaha bersikap biasa.

"Tapi, kak Arven jangan marah ya?"

Arven menaikkan alis bingung.

"Ini, mm, ini soal kak Askar."

Dan cuma itu, tapi raut Arven berubah keruh dalam sedetik.

"Kalian ... sepupu, Visha ... kak Arven gak pernah ngasih tau."

"Karena lo gak pernah nanya."

"Karena Visha baru tau kalo kak Arven punya sepupu. Apalagi ternyata ... orangnya itu, kak Askar." Avisha tak pernah menebak sampai sana.

Arven mengalihkan pandangan ke depan. Matanya seperti tengah menerawang. "Sepupu?" gumamnya pelan lalu tersenyum kecut. "Entah kita masih bisa dibilang saudara sepupu atau enggak kalo masing-masing dari kita saling ngebenci gini."

Avisha mengernyit. "Benci? Cuma ... karena kalah suara osis?"

"Masalahnya gak sepele itu," Arven menyandar pada kaki sofa sambil menekuk sebelah kaki. "Kita saling marah dan ngebenci karena kesalahan dulu." Dalam tatapan Arven yang kosong, Avisha tahu ada 'luka' besar yang tertanam di sana. "Askar marah karena salah paham dan gue ... gue marah karena dia bohong,"

Ada jeda lama di sana.

"Dia bohong ke kakek gue, ke semua orang." Arven mengepalkan tangan, menahan emosi yang seakan meledak di dada. "Dia tau, dia liat ada orang yang sengaja nabrak adik gue, tapi dia nutupin itu. Dia bilang kalo ini salah gue, karena sebelum kejadian emang gue berantem sama adik gue."

Dan untuk kelanjutan dari itu semua Avisha sangat tahu.

"Dan lo tau akhirnya kayak apa," Arven menatapnya tanpa ekspresi. "Kakek gue makin benci ke gue dan buat kedua kali gue dianggap pembawa sial."

Membayangkan betapa menderitanya Arven dulu membuat Avisha tidak mencegah tangannya yang terulur, menangkup pipi cowok. "Kak Arven bukan pembawa sial," Dia tersenyum. "Tapi, malaikat Visha, kak Arven gak ngapa-ngapain aja bisa buat Visha seneng. Jadi, gak usah peduliin siapapun yang benci sama kak Arven, karena masih banyak yang sayang sama kak Arven."

Seuntai senyum terbentuk di wajah Arven perlahan. Mengulurkan tangan, menarik poninya. "Siapa yang ngajarin lo ngomong manis gitu?"

Senyum Avisha ikut melebar, menurunkan tangan dari pipi Arven ke bahunya seakan memeluk. "Diajarin kak Arven mungkin?"

Cowok itu menaruh sebelah tangan di pinggang Avisha. Menariknya mendekat. "Tapi jangan sering-sering ngomong gitu, gak bagus."

"Gak bagus?" Avisha menurunkan sebelah tangannya tepat pada dada Arven. "Gak bagus buat jantung kak Arven maksudnya."

"Bukan cuma jantung gue," Lalu sebelah tangan Arven yang lain, menggerakan ibu jarinya di bibir tipis milik Avisha. Diusapnya pelan. "Tapi, buat pikiran gue juga."

Seperti didukung keadaaan, Avisha tak mengelak saat Arven mendekat. Menipiskan jarak antara mereka. Apalagi usapan pelan di bibirnya menuntut matanya untuk memejam.

"Non! Chicken wings-nya udah dateng!"

Teriakkan itu menghancurkan segalanya. Avisha sontak membuka mata, pun Arven yang langsung melepas pinggangnya sekaligus membangun jarak bertepatan dengan Bi Desi yang datang membawa kantong plastik makanan pesanan mereka.

"Eh kenapa Non?" Bi Desi mengernyit saat dilihatnya dua anak muda itu saling diam dengan wajah yang tak bisa diartikan. "Bibi ganggu ..."

"Enggak," Avisha langsung memotong dan menarik kantong pesanannya dari Bi Desi. "Makasih ya, Bi."

Bi Desi masih menatap mereka yang setelahnya jadi garuk kepala bingung sendiri. Walau Bi Desi sudah berlalu pergi, kecanggungan yang ada masih terasa jelas di sini.

"Visha ..." Dia membuka suara. Meski jadi bingung mau berbicara apa. "Visha gak pa-pa kan simpen hadiah kak Askar?"

"Kalo liat benda itu lo keinget Askar gak?" tanya yang cowok tenang sambil mengambil kantong plastik di tangannya.

"Emang kenapa?"

"Kalo iya, mending gak usah. Lo cuma boleh inget gue." Avisha kaget, tapi juga heran karena bagaimana bisa Arven mengucapkan kata itu begitu santai sambil memakan chicken wings yang telah dia buka.

Sejenak dia diam sebelum menggeleng. "Gak, Visha malah keinget sama gelang Visha."

Arven berhenti makan. "Gelang?"

Avisha mengangguk. "Iya, kak Arven mau liat? Kayaknya sih seinget Visha, Visha simpen di lemari." Lalu dia berdiri ditopang tongkatnya. "Bentar ya Visha cari dulu." Tanpa menunggu persetujuan Arven, Avisha melangkah menuju kamarnya yang di atas. Meninggalkan cowok yang jadi terdiam panjang.

Selama hampir lima belas menit, Avisha membongkar isi lemarinya. Walau semua bagian bawah yang diisi pernak-perniknya, Avisha tidak bisa menemukan gelang itu. Bahkan dia juga mencari di laci cermin, meski tahu akhirnya tidak mungkin ada di sana.

"Apa di atas ya?" Dia mendongak pada bagian atas lemarinya.

"Butuh bantuan?"

Avisha sontak menoleh dan melihat Arven yang berjalan ke arahnya.

"Kak Arven mau nolong Visha. Hmm ... cuma ini kak Arven harus gendong Visha. Mau gak?" tanyanya dengan pipi merona. "Kayaknya gelangnya ada di atas."

Dari cara Arven melipat sebelah kaki bersimpuh, Avisha tak dapat menahan senyum karena cowok itu ternyata setuju membantunya. Dia memegang kedua bahu Arven. Setelah menarik satu napas panjang, Arven mengangkat pinggangnya tinggi.

"Makanya tinggi biar gak nyusahin orang."

Avisha mendelik dan memilih untuk tidak memperpanjang ledekkan itu.

"Udah belom?"

"Bentar," Avisha mengecek setiap baju lamanya yang tersusun di sana. Di celah-celah, Avisha mencari sampai ... ada sebuah benda jatuh mengenai kaki Arven. Lantas cowok itu menurunkannya pelan-pelan.

Jika Arven membungkuk. Memungut. Avisha menopang kembali kakinya dengan tongkat. Saat Avisha tahu benda di tangan Arven, dia memekik kesenangan.

"Itu gelangnya! Itu gelangnya!" Avisha begitu gembira.

"Ini ... gelang lo?" Avisha mengangguk, meski ada kebingungan melihat raut Arven yang tak dapat diartikan. "Dari ... dari siapa?"

"Itu," Avisha diam, membiarkan pikirannya melangkah ke ingatan belakang. "Gelang itu dari Dino. Dino yang ngasih."

Avisha tersenyum senang, tanpa tahu ucapan itu bagai godam yang menghantam dada Arven keras.

•••

Dino, saranghaeeee hahaha

Lanjut bsok apa minggu? Haha ngegas ya kita, udah ketinggalan jauh banget ini

entah kenapa suka banget sama foto ini :)))))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro