A;A50-Terlena pada waktu
HALOHAAAAA ada yang kangen?
Huhu maaf ya skrang jarang banget up-nya. Sumpah waktunya tuh bener-bener udah gak ada :((
Tapi happy banget pas liat wattpad hari ini. Arven udah 50k dong. Luar byasaaaaah
Makanya skrang banyak vote-komen biar semangat gitcu
▪
ATMOSFER dingin masih leluasa menyebar walau Askar telah berlalu. Tak terkecuali wajah Arven yang terdiam kaku.
Ilona dan Yania saling berbisik, bertanya padanya, yang tak bisa Avisha jawab. Karena untuk beberapa alasan dia justru terpekur pada wajah dingin Arven yang sangat kentara tengah memikirkan sesuatu.
Dan secepat itu, Arven bisa mengendalikan diri. Wajah datar khasnya itu kembali menatapnya sambil berkata, "Gue tunggu di taman." Yang kemudian berlalu keluar tenda. Avisha menghela napas, tak mengerti pada situasi yang telah terjadi.
Sebenarnya ada masalah apa antara mereka?
Seharusnya Avisha sudah menyusul Arven setelah berganti pakaian. Namun, lima menit kemudian satu teman kelasnya menyusulnya di tenda. Heboh meminta foto dan riuh saling bercanda. Avisha terjebak di sana selama beberapa menit dan akhirnya baru bisa menyusul Arven setelah setengah jam.
Apalagi suasana ricuh itu membuatnya tak tahan pada make up di wajah, hingga dia meminta Ilona untuk membersihkannya.
Saat Avisha ke taman belakang sekolah tampak sepi karena kebetulan ada sebuah band indie yang diundang sekolah untuk memeriahkan acara. Hampir sebagian anak berpusat di depan panggung sambil bernyanyi bersama dan membuat suasana makin meriah.
Di sana dia menemukan Arven tengah menyandar di salah satu kursi sudut taman. Menutup kedua mata dengan sebelah tangan. Niat awal, Avisha ingin menganggetkan tapi ...
"Lama banget sih lo!"
Avisha yang justru berjengit melihat Arven masih berposisi sama, yang detik berikutnya menurunkan tangannya dari wajah dan menatapnya lurus-lurus.
Sebentar bagaimana cowok itu bisa tahu dirinya datang?
"Kedengaran langkah kaki lo!" ucap yang cowok seolah bisa membaca pikiran.
Avisha mendengkus, dengan kantong plastik di sebelah kanan, dia menyeret tongkatnya mendekat. Lalu mendaratkan diri di sebelah Arven yang sudah menaikkan alis melirik kantong yang dibawanya.
"Mau?" Avisha mengeluarkan sebuah kotak kue yang berada di dalam kantongnya lalu mengulurkan pada Arven. "Ini cokelat." Avisha membuka penutupnya dan mengambilnya satu. "Mau Visha suapin?"
Saat tangannya terulur, Arven sudah lebih dulu menahannya. "Gue gak suka cokelat."
"Kenapa?" Avisha masih menggantungkan tangannya di depan wajah Arven. Mengernyit bingung. "Kan enak cokelat. Manis. Apalagi kalo sambil liat Visha."
Cowok itu semakin menaikkan alis karena nada percaya dirinya. "Masalahnya, gue gak suka makanan manis."
"Aneh," ledeknya sambil menarik tangannya dari cekalan Arven. "Bilang aja takut sakit gigi. Iya kan?"
"Bukan, semuanya udah terlalu manis di sini." Yang setelahnya Arven menatap matanya lama, Avisha tentunya menjadi salah tingkah. Mendorong pipi Arven untuk mengalihkan mata tajamnya itu.
"Apa sih Kak Arven! Gak usah sok manis deh!"
Arven mengambil tangannya dan menatap matanya tepat. "Lo baru aja bilang gue manis?"
"Enggak," Avisha menggeleng sambil menarik tangannnya walau pipinya sudah merona. "Visha bilang cokelatnya manis." Yang kemudian menyuapkan cokelatnya ke mulut.
Dan ... ternyata karena terlalu terburu-buru, Avisha tidak tahu bahwa saat digigit cokelat yang ada di dalamnya akan melumer dan membuatnya muncrat keluar bibir.
Avisha sontak berniat membersihkan saat sebuah ibu jari lebih dulu mendarat di bibirnya, mengusapnya pelan. Dia sontak terpaku di kursi, terkunci pada tatapan Arven yang lurus mengenai irisnya. "Dibanding ngerasain manis cokelatnya, gue lebih pengin tau rasanya ini." Sambil menekan bibirnya pelan.
Dia jadi mengernyit. "Ini?" Ikut menunjuk bibirnya sendiri. "Emang bibir punya rasa? Rasa apa?"
"Gak tau," Arven lalu memotong jarak antara mereka. "Makanya pengin gue rasain."
Avisha sontak terbelalak, yang kemudian cepat menutup bibirnya dengan kedua telapak tangan. Menjauhkan begitu saja ibu jari Arven di bibirnya. "Gak boleh, bibir Visha bukan makanan."
Cowok itu terdiam sejenak sebelum detik berikutnya cuma tersenyum sambil mengusap kepalanya. Avisha pastinya jadi kaget dan mengerjapkan mata bingung sendiri.
"Kak Arven tau gak, cokelatnya dari siapa?" Karena tidak ingin berlarut pada kejadian barusan, Avisha mengalihkan topik.
"Enggak dan gak mau tau."
"Ck, padahal Visha baru mau ngasih tau kalo ini dari Nata."
"Siapa?" Arven seketika menoleh dan tatapannya berubah.
"Apanya?" Avisha pura-pura bego.
"Cokelatnya?" Arven gregetan.
"Katanya gak mau tau," balasnya sengaja.
"Baguslah, untung gue gak makan," balas Arven cuek.
"Baguslah, Visha juga mau makan sendiri, gak mau bagi-bagi." Avisha mengikuti perkataan Arven sekaligus meledek. Tapi, dia jadi kaget saat Arven justru mengambil kotak cokelatnya lalu menjauhkan.
"Eh, eh itu kan cokelat Visha ..."
"Tapi, makan cokelat juga gak bagus banyak-banyak," gertak Arven menahan kesal. "Sakit gigi lo entar."
"Yang sakit Visha bukan kak Arven. Sini!" pintanya ikutan kesal.
"Gak," Arven menggeleng tenang.
"Sini!"
"Enggak."
"Sini!" Avisha makin kesal. "Lagian ya, kak Arven tuh harusnya kasih Visha hadiah setelah penampilan Visha tadi."
Yang cowok menaikkan alis heran jadinya. Avisha mendengkus sebal. Betapa besar keinginananya untuk mencakar muka datar itu. "Nata aja ngasih Visha selamat sama cokelat ..."
"Selamat buat penampilan lo tadi." Arven memotong sambil meletakkan kotak cokelatnya kembali.
"Terus dia juga muji-muji Visha lewat chat, padahal dia sibuk tanding futsal." Avisha seolah tak peduli pada wajah Arven yang tampak ingin memusnahkan orang. "Apalagi tadi juga kak Askar muji Visha dan ngasih Visha hadiah ..."
Diujung kata, suaranya sontak memelan dan berhenti. Tersadar jika tak seharusnya dia menyebut nama 'Askar' dalam topik obrolan mereka. Dia pelan-pelan menoleh dan menemukan garis wajah yang tak terbaca itu menatapnya lurus.
"Dia ngasih lo apa?"
Astaga! Kenapa mulut ini selalu saja menjebaknya pada situasi tak mengenakan seperti ini!
"Dia, gak—cuma ..."
"Dia ngasih lo apa?"
Gawat!
"Cuma ..." Avisha menunduk sambil memainkan jari. "Cuma ... gantungan kunci terus ada bandul biolanya gitu."
Jantung Avisha mendadak berdebar kencang menunggu respon Arven.
"Oh."
CUMA ITU?! Avisha lantas menoleh dengan wajah bodoh. "Oh? Oh doang?"
"Emang lo berharap gue respon apa?" tanya balik cowok dengan tenang.
Entah kenapa kekesalannya jadi meluap begitu saja. Dia mengulurkan tangan seolah ingin mencekik Arven. "Tau gak sih, kak Arven udah buat Visha kesel dari tadi! Gatel banget tangan Visha pengin nyekek!"
"Yakin mau nyekek?" Nada Arven seolah menggodanya apalagi saat kedua lengan kekar itu menarik pinggangnya tiba-tiba. Avisha jadi kaku. "Ayo cekek!"
"Curang ah!" Avisha menggembungkan pipi sambil meletakkan kedua tangannya yang menggantung di kedua pundak Arven. Menggerakan telunjuknya dengan gerakan memutar. "Visha jadi gak bisa nyekek kalo gini."
"Jadi?"
Avisha menahan senyum yang membuat bibirnya malah jadi maju. Lucu. "Mau dipeluk." Yang kemudian tanpa perintah lagi sudah memeluk Arven erat. Bisa dirasakan tubuh Arven yang menegak kaget.
Avisha lantas terkekeh. "Ini hitung-hitung hadiah kak Arven buat Visha karena kak Arven belum ngasih apapun ke Visha." Lalu dia tak canggung sedikit pun saat membaringkan kepalanya di dada Arven. Merasakan deru cepat jantung cowok itu.
"Kenapa detak jantung kak Arven cepet banget?" Avisha mendongak dan melihat cowok menunduk membalas tatapannya. "Kan Visha udah hapus make-upnya? Udah gak secantik tadi."
"Gak harus cantik, karena kalo deket lo," Arven menariknya makin mendekat. "Jantung gue udah jadi kayak gini."
•••
Kalau mengingat setiap detail kejadian yang terjadi antara dia dan Arven, mulai dari pertemuan pertama dan sampai sekarang, entah kenapa Avisha merasa lucu.
Di taman belakang gudang itu, pertama kali Avisha melihat sosok dingin yang sempat membuatnya terpesona. Kesalahan Avisha karena mengira cowok itu adalah anak mos sepertinya, lalu kesal karena dia memecahkan balonnya dan berujung jadi menamparnya, tanpa tahu fakta kalau cowok itu adalah seorang ketua osis.
Semuanya berlanjut pada misinya karena dia merasa familiar dengan wajah itu dan sampai tragedi tabrakan yang berakibat pada kakinya.
Pertanggung jawaban, misi konyol, dan terror beruntun semua itu membawa mereka makin mendekat. Makin mengerti. Makin paham jika yang tampak kuat di luar belum tentu sama seperti isinya. Arven mungkin sosok yang dingin, susah didekati, memegang kuat prinsip, anak teladan, kesayangan guru, dan banyak lagi yang menciptakan sosok itu tampak nyaris sempurna.
Namun, kenyataannya Arven cuma sosok lemah yang bersembunyi dari dunia luar untuk menyimpan trauma. Menyimpan ketakutannya sendiri tanpa menunjukkan jati dirinya yang asli.
Avisha seperti menemukan jalan keluar, bahwa di dunia ini bukan cuma dirinya yang punya ketakutan besar. Memilih menyembunyikan di balik setiap tingkah dan hal-hal sederhana yang dia lakukan.
Dia juga mengerti sikap Arven yang tak pernah tertebak dan di luar perkiraan.
Seperti saat malam hari, Avisha turun untuk mengambil stock es krimnya disaat matanya justru menemukan kotak es krim brownies matcha kesukaannya.
Saat Avisha bertanya pada mamanya. Velin mengatakan, "Oh itu tadi ada gojek nganterin, Arven yang beli katanya."
Seperti itulah cara Arven membuatnya tersenyum dengan mudah.
Avisha. P: Cieee yang nganterin Visha brownies haha
Manusia batu: Suka?
Avisha. P: Suka dong, tapi Visha lebih suka sama yang ngasih sih
Manusia batu: O
Avisha. P: O bulet
Manusia batu: Kayak pipi lo
Avisha. P: Bulet-bulet gini banyak yang suka nyubit pipi Visha
Manusia batu: Karena empuk
Avisha. P: Bukan karena sayang?
Manusia batu: Do
Sekadar pesan singkat itu Avisha tersenyam-senyum tidak jelas. Memakan setiap potong brownies es krim pemberian Arven sambil memainkan ponsel. Bertukar pesan dengan cowok itu. Untuk alasan yang entah datang darimana, Avisha merasa tidak ingin berhenti. Berharap jika selamanya akan seperti ini.
Mereka bertukar pesan sampai akhirnya Avisha tertidur di ranjang dengan kotak brownies yang sudah tandas.
Saat pagi, Avisha terbangun dan menemukan chat Arven yang memberi kabar jika dia tidak bisa menjemput.
Tentu saja Avisha mengerti. Hari ini bertepatan dengan acara pelepasan jabatan. Arven akan menyerahkan posisinya pada calon yang terpilih pada pemilihan osis minggu lalu.
Acara serah lepas jabatan diadakan di dalam aula. Semua anak Taruna Jaya sudah berbondong-bondong dan berkumpul di sana.
"Kayaknya cepet banget gak sih, kita udah tiga bulan aja sekolah di sini?" Yania bersuara saat kepala sekolah di atas panggung sana tengah melakukan salam pembukaan.
"Iya, ya, sekarang udah ganti anggota osis aja, padahal gue ngerasa baru kemarin kita mos." Ilona menyahuti.
"Iya dan udah dua bulan kaki Visha masih gini aja." Avisha ikut bersuara. Menunduk lesu menatap kaki kirinya yang terpasang sepatu. Ilona dan Yania kompak menatapnya heran. "Tinggal sebulan lagi dan tanggung jawab kak Arven selesai."
"Ya, kalo lo belom sembuh, tanggung jawab kak Arven belom selesai, Sha," balas Yania yang duduk di sebelah kirinya.
Ilona merangkul bahunya. "Gue yakin lo bakal sembuh, Sha. Tenang aja."
"Justru Visha berharap gak usah sembuh." Yania dan Ilona serentak jadi bingung. "Visha gak mau kak Arven berhenti jagain Visha. Tapi," dia menunduk, merasa sedih tiba-tiba. "Belom tentu juga sih kak Arven tetep bakal jagain Visha kalo udah lewat tiga bulan. Kan di perjanjian cuma sampe tiga bulan."
Avisha terlalu terlena pada setiap detik kebersamaan mereka hingga tanpa sadar dia lupa jika ini tidak akan bertahan lama. Semua ini cuma berawal dari perjanjian, pertanggung jawaban konyol yang tentunya punya rentang waktu untuk berhenti.
"Lo gak boleh ngomong gitu, Sha," Ilona menegur. Lalu menghela napas. "Gue gak mau lo jadi galau gini cuma karena cowok. Mana Visha yang ceria, jangan jadi kayak kakak gue."
"Apa sih, Na!" Yania tidak setuju. "Gue yakin kak Arven bakal tetep di samping lo, Sha. Sampe lo bener-bener sembuh. Percaya deh."
Avisha tahu ucapan Yania itu cuma untuk menghiburnya. Bahkan dia tidak tahu isi kepala Arven. Tidak ada yang tahu sampai kapan Arven bertahan di sisinya. Cuma Tuhan dan cowok itu yang tahu.
Dia tidak mengerti kenapa jadi mendadak sedih begini. Merasa takut tanpa alasan. Apalagi saat dia mendongak, melihat Arven yang tengah mengalungkan sebuah selempang emas bertuliskan 'ketua osis SMA Taruna Jaya', yang detik berikutnya disambut riuh tepuk tangan.
"Visha gak mau jauh dari kak Arven," gumamnya tanpa sadar. Yang Yania dan Ilona tetap bisa mendengar. Bertepatan dengan Arven yang melihatnya lurus, tepat ke arahnya. Walau hati terasa teriris dan mata menjadi perih, Avisha tersenyum sambil melambaikan tangan ceria.
Karena untuk kesekian kalinya, Avisha harus selalu menutupi apa yang dia takutkan.
Saat acara selesai, semua murid bubar secara teratur. Kelas dibebaskan. Saat kelasnya berisik dan saling bercanda, Avisha merenung di kursinya sendirian. Sampai Arven datang menjemputnya, mengajak ke kantin.
"Yang baru aja turun jabatan cieeee," Avisha meledek saat mereka tengah melangkah di lorong yang padat.
"Bukannya bagus?" sahut cowok yang sekarang memasukkan sebelah tangan di saku. "Gue lebih gampang jagain lo."
Avisha sontak berhenti menyeret tongkatnya. Seperti ada yang menghantamnya tepat. Dia berharap bisa bersikap biasa di depan Arven, tapi mendadak rasa takut kehilangan itu menyelinak tak mengenakan.
"Kenapa?" Alis Arven terangkat bingung. Secepat itu Avisha menggeleng dan mengangkat senyum.
"Gak kenapa-napa," jawabnya ceria. "Berarti kak Arven gak boleh kemana-mana. Harus kayak bodyguard yang jagain Visha dua puluh empat jam."
Arven tak membalas apapun. Sekadar menarik poninya kencang. Avisha merengut sambil memukul lengan Arven kesal, yang justru membuat cowok itu tersenyum kecil.
Setibanya di kantin pun Avisha lebih banyak diam. Keramaian kantin seolah membawanya larut pada pikiran dan merasa terjebak sendirian.
"Woy biji kuaci! Bengong lagi!"
Avisha tersentak luar biasa sampai rasanya napasnya tertarik. Dia mengerjapkan mata sebelum akhirnya sadar jika di meja kantin bukan cuma ada dia dan Arven. Melainkan ada dua teman Arven yang lain.
"Eh anjir gue manggilnya biasa aja padahal." Zion ikutan kaget.
"Lo kenapa?" Meski suaranya datar, Avisha tahu Arven tampak bingung.
"Eng-enggak," dia menggeleng cepat. "Visha gak kenapa-napa. Bentar, kok ada kak Regha sama kak Zion di sini?"
"Idih ini anak kenapa? Gue sama Regha udah di sini sejak tadi woi! Kesambet lo ya, Sha?" Yang kemudian meletakkan tangannya begitu saja di kening Avisha. "Tapi gak panas."
"Singkirin tangan lo!" Secepat itu Zion yang duduk di depannya mendapat tabokkan dari orang sebelah Avisha.
"Yaelah dipegang doang dikit, udah galak bener! Apalagi udah gue gombalin."
Arven mendelik. Zion lantas meringis sambil mengangkat tangan menyerah.
"Lo mikirin sesuatu ya? Sampe gak sadar ada kita?" Regha terkekeh ramah.
"Enggak kok, Visha gak mikirin apa-apa."
"Mie ayamnya sampe dingin tuh. Makan! Udah gue beliin juga!" kata Arven ketus.
"Yee! Mantan ketos jangan ketus-ketus woi ke gebetan sendiri. Ditolak nyaho lo!" Zion tertawa.
"Lo mau gue siram kuah bakso, Yon?"
"Ogah ah, gue mau isinya." Zion membalas cuek, tanpa peduli pada sahabatnya yang sudah ingin menelannya hidup-hidup. "Oh, ya Sha, Arven udah nembak lo belom?"
Seketika itu juga Avisha tersedak.
"Apa banget sih lo, Yon nanya-nya!" omel Regha, menatapnya panik yang terbatuk-batuk menerima gelas yang Arven sodorkan cepat.
Arven membantu mengusap punggungnya yang sementara dirinya meneguk air banyak-banyak. Ya Tuhan! Kenapa kakak kelasnya itu bisa bertanya seperti itu dengan santai!
"Udah?" tanya Arven yang dia jawab anggukan. "Lo kalo ngomong bisa filter gak sih, Yon. Balik makan ke cewek aja lo sana!"
"Dih ngusir! Kalo gak karena Linzy lagi quality time sama Retta dan Shena. Gue sama Regha gak mungkin di sini. Iya kan, Gha?" Regha cuma mengangkat bahu cuek. Membuat Zion memelotot sebal. "Lagian gue cuma nanya. Bener gak Sha?"
"Kalo ditembak Visha mati kak Zion," sahutnya asal.
"Anj—" Zion hampir refleks mengumpat. "Bukan itu maksud gue. ADUH! Ini anak terlalu polos apa bego masa ..."
"Sha, kaki lo gimana?" Regha memotong kalimat Zion begitu saja. "Ada perkembangan?"
"Lo apa-apaan sih, Gha! Gue kan lagi ..."
"Kata Om El, kaki Visha perkembangannya lebih bagus dibanding bulan lalu." Dia menjawab antusias. "Apalagi setelah terapi kemarin, kak Arven jadi terapis Visha." Dia tersenyum pada Arven yang cuek menyeruput jus jeruknya.
Regha tersenyum, menampilkan lesung pipinya. "Gue doain ya lo cepet sembuh."
Senyumnya mendadak turun. "Sembuh ya?" lalu dia diam. Menoleh pada Arven. "Menurut kak Arven gimana kalo Visha sembuh ..."
"Bagus dong, tanggung jawab gue ke lo selesai jadinya."
Seperti ada yang menghantam dadanya keras. Avisha terbungkam sepenuhnya. Merasakan nyeri di dada. "Iya," gumamnya . "Selesai."
•••
Sepanjang jalan pulang. Avisha cuma menatap keadaan luar dari jendela mobil. Banyak hal yang dia pikirkan hingga diam menjadi pilihan. Ketakutan yang dia rasakan ini tak beralasan.
Sebenarnya apa yang dia inginkan?
Kenapa dia tidak ingin Arven menjauh dan berhenti menjaganya?
Apalagi perkataan Arven menampar Avisha pada kesadaran.
Jika kedekatan ini memang sebatas pertanggung jawaban. Tidak ada yang spesial.
"Kapan jadwal terapi lo?"
"Lusa." Avisha menjawab sekadarnya. Memilih berpura-pura tidak tahu Arven yang sebenarnya tampak bingung dan heran pada sikapnya yang menjadi pendiam.
"Mau gue temenin?"
Dia menggeleng. "Gak usah, biar Om El aja."
"Tapi, Om El bilang sejak gue nemenin lo, perkembangan lo lebih bagus. Lebih bisa cepet sembuh."
Arven berkata tenang, tanpa tahu itu menyulut sesuatu di dadanya. "Kenapa?" Dia menoleh. "Kak Arven pengen banget Visha cepet sembuh ya? Biar bisa berhenti deket Visha iya kan?"
Arven menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang rumahnya yang terbuka. Cowok itu menaikkan alis bingung. "Lo kenapa sih? Ada yang ganggu lo lagi?"
"Iya," jawabnya tegas. "Dan pengganggu itu kak Arven!" Avisha tidak tahu kenapa dirinya jadi seperti ini. "Harusnya sejak awal kak Arven gak nurutin perintah Papa!"
"Sha," Arven tampak kebingungan. "Lo ..."
"Visha mau turun!" ucapnya yang mendorong pintu terbuka, yang disusul cepat Arven menuruni mobil dan berputar untuk membukakan pintu mobilnya.
"Kalo lagi ngomong penting, lo gak bisa asal lari kayak gini," tegas cowok itu sambil menahan lengannya. "Lo harus ..."
"Visha capek! Mau langsung ke kamar!" potongnya sengaja. Menarik lengannya menjauh dan hendak melangkah jika bukan karena seseorang yang baru saja keluar dari gerbang rumahnya.
Langkahnya terkunci dan bola matanya membulat kaget. Sebelum pelan-pelan dia menoleh pada cowok di sebelah yang tampak lebih syok di tempatnya.
"Kak Askar?" Avisha masih harus beradaptasi pada keadaan. "Kenapa bisa ..."
"Visha, kamu udah pulang?" Itu Velin yang melangkah mendekat bersama seorang wanita, yang kemudian si wanita terkejut saat melihat Arven.
"Arven, kamu di sini?" Sebentar Avisha makin kebingungan. Wanita itu mengenal Arven? "Oh ini yang namanya Avisha." Wanita itu lalu tersenyum padanya. "Hai, nak. Perkenalkan saya Tante Diana, dan ini," Dia merangkul Askar kemudian. "Anak saya, Askar."
Avisha syok sepenuhnya. Tunggu ... tunggu!
"Dan cowok sebelah kamu ... keponakan saya, Arven!"
Astaga! Rasanya Avisha baru saja diberi kejutan yang berdampak serangan jantung.
"Jadi," Avisha menatap Arven dan Askar bergantian. "Jadi ... kalian sepupu?!"
•••
Nah sekarang udah tau kan ya Sha mereka tuh sepupu :)))))
Hubungan Arven-Askar tuh sebenrnya manis, saking manisnya jadi suka pahit di lidah haha
Dan terakhir ... tolong untuk saudara Arven bibir anak orang gak boleh asal pegang2, kena pidana entar wkwkwkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro