A;A49-Acara Spesial
Telat banget baru bisa up
Buat part ini maksa aku pokoknya buat vote sama komennya Haha
Ayo ramaikan zeyengkuh
▪
DARI tenda belakang panggung, keramaian di luar jelas terdengar. Ramai oleh suara anak band bercampur keantusiasan para perwakilan kelas yang menjadi peserta lomba. Sorak-sorai terdengar riuh. Suara musik bergema keras. Belum lagi, suara para osis yang terdengar di speaker.
Semuanya menyatu pada euphoria yang menyenangkan.
Dan disinilah Avisha, di ruangan yang cuma bisa mendengar ricuh di luar tanpa bisa melihat langsung. Disaat yang lain menikmati acara, Avisha justru harus terkurung di tenda bersama kehebohan Yania dan Ilona.
Sebenarnya ... Yania yang membuat semuanya tampak heboh.
Bayangkan, Ilona seharusnya cukup fokus mendadani Avisha tanpa perlu mengadakan edisi tanya-jawab. Tapi, seolah memang Yania tak kenal lelah, dia tidak ada hentinya bertanya.
"Ini bb cushion kan, Na? Kebetulan gue yang jadi ambassador iklannya tuh."
"Ini apaan? Obat mata? Tapi kok dalamnya merah."
"Na, ini klip buat biar ada kelopak matanya kan?"
"Iya," Ilona menjawab sambil menabuhi bedak di wajah Avisha. "Jangan dipake, entar kayak waktu itu, lemnya malah nempel di bulu mata lo."
Jika Yania langsung merengut. Avisha tertawa tentu saja.
"Kalo ini apa, Na? Pensil alis ya?" Dia mengambil benda yang ada di meja asal saja. "Tapi, kok warnanya putih? Alisnya jadi beruban dong nanti."
Ilona menarik paksa benda di tangan Yania. "Udah deh, lo gak usah ganggu gue, entar hasil riasan gue jadi gak bagus."
"Cih!" Yania cemberut. "Harusnya tuh lo gak usah ribet-ribet dandanin Visha. Templokkin aja mukanya pake bedak tabur. Selesai."
Lewat cermin, Avisha menjulurkan lidah pada Yania, membuat cewek itu jadi memelotot padanya. "Bilang aja Yaya iri. Lona entar gantian aja dandanin Yaya, tapi yang simple aja, kasih tepung terigu." Kemudian Avisha tersenyum penuh kemenangan, beda dengan Yania yang mengumpat dan Ilona yang ketawa ngakak.
Avisha menyipitkan mata sesaat setelah Ilona memberi sesuatu pada pipinya dan membuatnya jadi memerah. "Ini kenapa pipi Visha kayak abis ditabokkin?"
"Plis deh, itu blush on namanya!" Yania memutar mata malas.
"Tumben pinter," puji Ilona sekaligus meledek.
"Apa? bloon?" Avisha belum mengerti.
"Blush on, Sha! Blush on! Lo tuh yang bloon, gitu aja gak ngerti." Yania sewot.
"Ya udah sih," Avisha menekuk bibirnya yang sudah memerah karena diberi liptint. "Visha kan gak tau."
"Dikit lagi selesai, Sha." Ilona sumringah sambil memberi sentuhan terakhir di bagian kelopak matanya.
Sejak awal mendengarnya akan tampil di panggung, Ilona yang paling antusias. Karena bukan cuma ingin melihatnya bermain biola di muka umum, tapi dia juga memang sangat ingin menjadikan wajahnya objek untuknya berkreasi.
Dari situ saja bisa disimpulkan, kalau Ilona gemar bermake up. Tak cuma hobi, dia juga mengoleksi, banyak jenis-jenis make up bermerek yang cewek itu simpan di rumahnya. Tertata begitu rapi. Dan bahkan hampir setiap hari dia menonton siaran vlogger beauty di youtube.
Avisha tidak bisa melihat cermin karena Ilona berdiri menghalangi sambil menata rambutnya entah dibuat apa. Dia cuma diam dan menerima saja apa yang Ilona lakukan. Yang penting buatnya sekarang adalah mengatur detak jantungnya yang terasa tak enak karena gugup sekaligus takut.
"Selesai." Saat Ilona berseru senang sambil menggeser tubuhnya, Avisha mendadak tak mampu berkata-kata. Bahkan Yania sampai bengong di belakangnya. Bayangan yang ada di cermin sulit Avisha percayai jika itu adalah bayangan dirinya sendiri.
"Sha! GILA!" Yania syok. "ANJIR! ANJIR! Lo cantik parah!"
"Siapa dulu penata riasnya." Ilona tersenyum sambil menepuk dadanya bangga.
"Lo keren, Na!" Yania memberi sebuah applause. "Gue sampe speechlees gitu lho. Gak nyangka kalo lo bisa ngubah kurcaci jadi ibu peri."
Avisha langsung mendelik mendengarnya. Yania mengangkat kedua jarinya membentuk V.
Ilona geleng kepala. "Sebenernya gue gak sehebat itu, wajah Visha tuh emang gampang diapain aja, makanya sejak dulu gue ngebet banget pengen dekor mukanya. Tapi, dianya selalu gak mau." Ilona mengangkat bahu tak acuh. "Harusnya lo inget kata pepatah, Na. Cewek gak make up sekalinya make up, kelar hidup lo!"
Yania jadi tertawa disusul dengan Ilona. Sementara Avisha dia terdiam. Harus berulang-ulang meyakinkan jika bayangan cewek dengan rambut dibuat two-buns berponi itu benarlah dirinya.
"Lo tinggal ganti baju lo dan pake sepatu, Sha. Tenang aja, semuanya udah gue siapin."
Avisha menoleh, menatap sahabat tingginya itu bersama senyum. "Makasih ya Lona. Cuma karena penampilan Visha hari ini, Lona jadi ikutan sibuk dan ribet."
"Gak ribet kok," balas Ilona. "Justru gue seneng nyiapin semuanya. Inget, kita temen." Yang kemudian menyentuh pundaknya pelan, yang tentu saja menarik ujung bibirnya lebih lebar.
"Aduh, mendadak jadi mellow gini ya." Ilona memasang muka terharu.
"Iya, gak bagus kan kalo Visha jadi mewek."
Ilona langsung memelotot padanya. "Awas aja lo mewek, rusak entar hasil karya gue."
Avisha tertawa mendengar nada ancaman itu. Tapi, kompak mereka jadi menoleh saat mendengar suara langkah kaki. Ternyata Bu Santi.
"Gak salah ternyata, Ibu gak jadi penata rias kamu," Bu Santi mendekat sambil senyum. "Kalo tetep ibu, mungkin kamu gak akan secantik ini, Avisha."
Avisha tertawa di kursinya. Yang sementara Yania dan Ilona menyalimi tangan Bu Santi. "Lona yang buat muka Visha jadi gini, Bu."
"Iya, kamu hebat sekali Ilona," puji Bu Santi sungguh-sungguh membuat rona malu tercipta di wajah Ilona. Cewek tinggi itu cuma berterima kasih kikuk.
"Kamu gugup?" Jelas pertanyaan ini untuk Avisha.
"Sedikit, Bu." Avisha jujur.
"Ibu senang karena kamu akhirnya setuju sama permintaan ibu," Bu Santi tersenyum. "Sejak awal, Ibu lebih banyak menaruh harapan ke kamu dibanding Vio. Bukan karena Ibu tidak menyukai Vio, cuma cara kamu bermain biola itu lebih menarik buat Ibu."
Kemudian guru mudanya itu menyentuh kedua pundaknya lembut. "Ibu gak tau apa yang membuat kamu sulit menerima awalnya, tapi sekarang Ibu tidak memikirkannya lagi, Ibu cuma berharap kamu bisa menampilkan yang terbaik, bukan buat yang lain tapi buat diri kamu sendiri."
Avisha sekadar diam. Karena untuk saat ini, yang Avisha butuhkan hanya ruang untuk mengatur kegugupan sekaligus ketakutannya.
"Ya sudah," Bu Santi menarik turun tangannya. "Ibu pamit, kamu perlu berganti baju. Jangan gugup lagi ya."
•••
Avisha telah selesai mengganti pakaiannya dibantu Ilona. Sementara Yania terpaksa pergi karena dia menjadi salah satu perwakilan lomba balon dari kelasnya.
"Perfect!" Ilona bertepuk tangan senang sambil memandang Avisha lewat cermin. Baru saja cewek itu menambahi anting berbandul mutiara di kedua telinganya. "Sisa sepatunya, Sha. Gue ambilin du—kak Arven!" Ilona sedikit terpekik saat berbalik badan, dan mau tak mau Avisha jadi ikut menoleh dan melihat Arven mendadak menghentikan langkah.
"Kak Arven!" panggilnya yang langsung membuat cowok itu mengerjapkan mata.
"Lona," Avisha berbisik. "Kak Arven kenapa sih? Kayaknya dia kaget liat muka Visha. Jangan-jangan dia aneh liat Visha dandan gini."
Ilona mengangkat bahu tak acuh. "Terpesona mungkin," balasnya sebelum meninggalkannya untuk mengambil kotak sepatu di tasnya yang tergeletak di pojok tenda. Sedang cowok itu berjalan mendekat dan tanpa alasan membuat Avisha jadi gugup tak jelas.
"Kak Arven ke sini juga akhirnya." Avisha tersenyum kaku sambil menyelipkan sisa rambutnya ke belakang telinga.
"Lo yang minta."
"Oh iya ya? Hehe." Sebentar kenapa dia jadi bertingkah tak jelas begini.
"Nih, Sha sepatunya ..." Ilona menaruh kotaknya di meja. Terlihat kikuk. "Mm ... gue tinggal deh ya." Lalu tanpa berbasa-basi lagi, dia melangkah keluar tenda.
Tersisa mereka berdua dan suasana jadi terasa makin canggung. Avisha mungkin bisa saja bersikap biasa, cuma ... melihat Arven yang sejak tadi diam dan intens menatapnya membuatnya merasa dikunci di kursinya. Apalagi sekarang Avisha tengah berpenampilan berbeda.
"Mau dipake sepatunya?"
Suara dingin itu menyentak Avisha sadar. "Ah iya ... hehe Visha hampir lupa."
"Mau gue pakein?" Arven mengulurkan tangan sesaat setelah Avisha mengambil kotaknya.
Belum juga Avisha setuju, Arven sudah lebih dulu mengambil kotaknya dan mengeluarkan sepatunya dari sana. Yang terjadi detik berikutnya Avisha sudah menebak walau tetap kaku di kursinya saat Arven menekuk sebelah kaki lalu meletakan kakinya di atas paha cowok itu sambil memakaikan sepatunya bergantian.
Arven lalu diam sambil menatap kaki kirinya yang sakit.
"Visha nanti pake tongkat maju ke panggungnya." Avisha berusaha tertawa walau ucapan itu jelas menyentil sesuatu.
"Emang kenapa kalo pake tongkat," Arven mengusap kakinya pelan. "Yang dilihat bukan keadaan kaki lo tapi permainan biola lo."
Itulah Arven yang selalu bisa membuat ketakutannya luruh.
"Padahal Visha cuma mau tampil buat meriahin acara tujuh belasan aja, tapi Visha ngerasa gugup kayak mau ikut ajang bakat."
Arven tak mengatakan apapun sambil menurunkan kakinya dari atas paha. Lalu mengulurkan tangan menyentuh pipinya yang jujur bukan saja memerah karena blush on tapi karena kedekatan ini.
"Masih gugup?"
"Eng-gak," Avisha menunduk pada cowok yang masih bersimpuh di bawahnya. "Karena ada kak Arven."
"Emang harus gitu, lo cukup gugup kalo deket gue." Setelahnya Arven mengangkat kedua ujung bibirnya, yang membuat Avisha jadi ikut-ikutan. Cowok itu menyentuh rambutnya yang dibuat cepol di dua sisi kepalanya. "Lo jadi punya empat kuping?"
Avisha sontak tertawa. "Lona yang buat ini, kak Arven suka? Kata Yaya, Visha jadi keliatan kayak anak TK."
"Kalo gitu, gue kayak pedofil dong kalo suka sama anak TK." Arven tersenyum kecut dan semakin membuatnya tergelak keras.
"Tapi, anak TK gak tau rasanya jantungnya itu suka lompat-lompat kalo deket cowok."
"Cowok jahat mana yang ngebuat lo jadi gitu?" Arven pura-pura tak tahu.
Avisha menyentuh hidung Arven dengan telunjuknya. "Orang jahatnya ada di depan Visha sekarang."
Arven mengambil telunjuk Avisha dan menarik tangannya untuk menyelipkan setiap jemarinya di sela jemari cowok itu. "Tapi lo yang udah jahat duluan, gue udah nyuruh lo jangan cantik-cantik," lalu meletakan genggaman mereka di atas dadanya tepat. Avisha tersentak luar biasa, merasakan deru cepat jantung cowok itu. "Gak bagus buat kerja jantung gue."
•••
"Gak ada yang kurang?"
Veron menggerakan tangannya santai. "Tenang aja, semuanya udah gue selesain lewat tangan gue yang keren ini. Lo gak mau muji?"
Arven mendengkus, mengalihkan tatapan ke atas panggung. Ternyata masih anak ekskul dance yang tampil di sana. Seluruh tubuhnya bergerak sesuai ritme musik yang menghentak beraturan.
"Hadiah lombanya gak lupa kan lo?"
"Kagak elah, kapan sih gue kerjanya gak bener?" Veron jadi tersinggung. "Selalu benar gue, dibanding lo lari mulu kalo rapat." Arven langsung mendelik membuat Veron mengangkat tangan membentuk V. "Hehe, bercanda pak boss."
Arven mengalihkan pandangannya kembali. Padahal dia tahu jika penampilan Avisha masih beberapa menit lagi. Namun, rasa tak sabarnya ini tak bisa lagi dibuat menunggu.
Veron ikut menatap hal yang Arven lihat lalu berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Gila emang, gak pernah ngerti gue sama body-nya anak ekskul dance, bikin mata gue khilaf mulu."
"Yakin yang khilaf mata doang?" sindir Arven.
"Haha, tau bangetlah lo isi kepala gue kayak apa. Jangan-jangan lo juga ya?" Jika wajah Arven makin datar. Beda dengan Veron yang tertawa. "Eh iya gue lupa, tipe cewek lo kan gak yang kayak gitu, tapi cewek imut kecil. Kayak anak ayam." Dan seterusnya Veron makin tertawa kencang.
"Mending lo jauh-jauh deh, Ron!" Arven mulai tak tahan.
"Lagian siapa yang mau deket-deket lo, gue masih normal."
Mata Arven langsung setajam elang membuat Veron meringis seketika, yang kemudian bergegas pergi setelah pamit.
Dia membuang napas kasar. Tak lama setelah Veron, ternyata Arven harus kembali mendapat gangguan. Cowok itu langsung menatap tak suka Zion yang datang bersama kamera yang menggantung di leher dan tak lupa pada kerupuk yang ada di tangan.
"Hai mamen!" sapanya sambil menikmati kerupuknya santai.
"Mau ngapain lo?!" tanyanya malas.
"Idih galak!" Zion meringkuk pura-pura takut.
Arven menghela napas lelah. "Tadi Veron sekarang lo, pergi sana!"
"Yee heran gue PMS mulu bawaannya." Zion mendengkus. "Mau kerupuk, kali aja ilang gitu keselnya."
"Yon!"
Zion langsung menyengir. "Pis bang! Pis! Jangan gigit gue!"
Arven menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Lebih baik untuk tidak meladeni Zion.
"Lo ngapain dah di sini, mojok-mojok kayak tai kucing?"
"Lo kayaknya belum pernah dicakar kucing ya?" Arven mendesis kesal.
"Udah sering, Ven. Lo lupa tetangga gue melihara kucing banyak banget. Udah kucingnya beranak mulu. Panen kucing kayaknya tetangga gue." Zion tak terpengaruh.
"Kalo kucingnya, kucing yang punya taring dan bisa nonjok udah pernah?" Arven menoleh sambil menggertakan gigi menahan kesal.
"Serem ya kalo ada kucing bisa nonjok." Zion mengernyit. Sebelum meringis melihat air muka Arven. "Yaelah bercanda doang gue. Oh iya, si Visha kapan tampil?" Dan pintarnya Zion mengalihkan perhatiaannya.
"Habis ini."
Detik berikutnya, terdengar riuh tepuk tangan. Penampilan dance ternyata telah selesai. Secepat itu Arven sontak mengunci pandangannya pada panggung. Melihat beberapa menit setelahnya cewek yang ditunggunya itu menaiki panggung dengan tongkat. Sementara ada satu anggota osis yang membantu membawakan biolanya.
Dibanding mendengarkan bisik-bisik yang terdengar di sana-sini dan pada Zion yang ternganga sekarang, Arven lebih peduli pada Avisha yang tampak kelimpungan di atas sana. Wajah gugupnya terlalu kentara. Matanya bergerak ke segala arah dan saat melihatnya berdiri di sudut lapangan bagian kiri, senyum cewek itu mengulas.
"ANJIR TRIPLE!" Zion terperangah luar biasa. "Itu biji kuaci? Kok bisa cantik?"
"Kalo lo lupa, biji kuaci itu dari bunga matahari dan lo tau secantik apa bunga matahari." Zion makin ternganga. Arven tak peduli, cuma mengangkat sudut bibirnya kecil membuat Avisha makin menyengir lebar menunjukkan dua gigi kelincinya.
Cewek itu memberi salam pembukaan sebelum duduk di atas kursi yang disediakan. Menerima biolanya, yang lalu membukanya. Setelah satu tarikan napas panjang, Avisha tampak meletakkan biolanya di antara leher dan dagu lalu menjepitnya.
Tak sedetik pun Arven berpaling saat Avisha mulai menciptakan nada, cewek itu tersenyum sambil memejamkan mata. Arven terlena, tak ada yang menarik buatnya selain wajah cewek itu dan gesekkan yang terdengar merdu.
"Yee nyantai Ven liatnya." Dan Zion mengacaukan semuanya. Arven sontak menatapnya tajam. "Kalo digambarin nih ya, mata lo tuh udah kayak ada bunga-bunganya. Keliatan mupeng banget lo njir!" Kemudian tertawa.
"Lo pergi deh, Yon!"
Zion tertawa. "Entar dulu, gue mau foto biji kuaci."
"Gak perlu."
"Heh, ini buat dokumentasi mading. Ya kali gak perlu!" Zion protes lalu mengangkat kameranya tanpa peduli pada Arven dan setelahnya dia terpaksa menurunkan kamera saat Arven menghalanginya dengan tangan. "Apaan sih njir! Ini buat mading, kagak bakal gue simpen juga fotonya."
"Bukan itu, kalo lo taro mading, makin banyak yang ngeliat."
"Lah emang itu tujuannya!" Zion bingung. "Udah awas! Gue mau selesain tugas gue cepet-cepet nih, mau ke cewek gue!"
Dan malah Arven menarik kameranya begitu saja. Membuat tali di lehernya tertarik. "BEGO VEN! Gue kecekek." Zion terbatuk-batuk setelah Arven berhasil merampas kameranya tanpa izin. "Kenapa dah lo! Kesambet! Kurang vitamin! Keracunan film dora! Udah ah sini ..."
"Gue aja yang foto."
"Hah?" Zion makin bingung.
"Lo mau ke cewek lo kan? Udah sana!" Arven berkata santai sambil mengotak-atik kameranya.
"Lo mau gantiin tugas gue? Fotonya bakal ditaro di mading kan?"
"Enggaklah," Arven mengangkat kameranya dan bersiap memotret Avisha di sana. "Buat gue simpen sendiri."
•••
Rasanya begitu lega setelah turun panggung. Apalagi di tenda belakang, Avisha langsung disambut oleh kedua temannya. Mereka bertiga langsung berpelukan heboh. Yania mengoceh banyak soal betapa orang-orang dibuat terpukau oleh penampilannya tadi dan pada Ilona yang tak henti-hentinya memujinya habis-habisan.
Bahkan, dia mendapatkan hadiah cokelat dari Nata, karena cowok itu tidak bisa ke sini tengah melakukan lomba futsal antar-kelas.
Sayang, suasana itu mendadak berubah saat suara deheman terdengar. Pelukan mereka terlepas dan saat melihat siapa yang datang Avisha tak dapat menghalau rasa terkejutnya.
"Kak Askar."
"Gak salah Bu Santi ngebet banget milih lo," Askar tampak memakai jas osis, sama persis yang Arven kenakan saat datang menemui Avisha sebelum tampil tadi. "Lo keren!" puji cowok itu melangkah mendekat. "Banget!"
"Makasih, kak." Avisha tersenyum walau bayangan kemarin saat melihat perselisihan Askar dan Arven kembali menyelinap di kepala.
"Gue gak bakal lama di sini," Ilona dan Yania tampak saling merapat diam saat Askar mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. "Gue cuma mau kasih ini."
"Apa itu?" Avisha mengernyit sesaat sebelum akhirnya Askar meletakkan sebuah benda yang ternyata adalah sebuah gantungan kunci berbentuk biola bewarna silver. Tunggu ... mendadak Avisha merasa de javu.
"Kebetulan kemarin pas gue ke puncak sama temen-temen gue, gue ngeliat itu dan gak tau kenapa jadi keinget lo."
"Visha juga punya benda kayak gini," gumam Avisha tanpa sadar.
"Oh ya?"
"Iya," Avisha seperti tengah mengulang ingatannya. Jelas benda ini mengingatkan Avisha pada seseorang di sepuluh tahun lalu. "Tapi ... bentuknya gelang."
"Yang dulu itu, ya Sha?" Yania ikut nimbrung.
"Yang mana?" Ilona bingung. "Gue gak pernah liat."
Avisha seperti ditarik ke kenyataan saat kepalanya terasa diusap. Bahkan Avisha lebih kaget lagi dibanding Yania dan Ilona yang melihatnya. "Gak pa-pa dong, bagus malah jadinya lo punya dua. Ya udah, gue balik tugas gue belom selesai."
Seolah dirancang Tuhan untuk dipertemukan, saat Askar berbalik bertepatan dengan Arven yang melangkah masuk dari sela pintu tenda.
Kedua cowok itu saling menatap dan tak perlu ditanya suasana sekitar yang berubah horror.
"Ngapain lo di sini?" tanya Arven tenang walau sangat jelas nada tajamnnya di sana.
"Lo gak liat kalo gue abis nyamperin Visha. Permainan biolanya keren dan gue cuma mau bilang itu ke dia." Askar seolah menyulut dengan senyum di bibirnya. "Keren banget ya kan? Sampe gue ngerasa de javu."
Itu belum cukup, Askar seperti sengaja memancing dengan menipiskan jarak. "Lo gak ngerasa de javu? Atau keinget seseorang?"
"Gue lagi gak mau ribut ya, Kar!" balas Arven semaksimal mungkin untuk tenang.
"Tapi masalahnya," Askar tertawa sinis. "Lo tau gue suka keributan."
"Dan lo tau cuma orang waras yang gak bakal nyari ribut di tempat umum. Termasuk gue yang masih waras."
Melihat yang terpampang di depannya, Avisha kebingungan sendiri. Apalagi posisinya di sini ada Ilona dan Yania. Dua cewek itu lebih terlihat bingung, atau bisa dibilang syok. Karena ternyata rumor yang ada di sekolah benar adanya. Jika ketua dan wakilnya tidak pernah akur.
Askar berdecih. "Sha! Gue duluan ya!" Avisha tersentak yang kemudian cuma bisa mengangguk kaku. "Kebetulan gue alergi deket anjing!" Yang setelahnya berlalu begitu saja.
•••
Arven sayang kamu kenapa nak? Mabok aer aqua ya? Haha
Ini lagi Askar, gak boleh kasar. Cubit nih
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro