A;A48-Hati Terikat
Aduh skrang susah banget ngatur waktunya buat up :(((
mau stuck aja sampe sini, tapi keinget kalian akutu
kayaknya butuh semangat nih :)))
▪
ARVEN mungkin sosok yang paling populer di sekolah. Ketua osis. Murid pandai kesayangan guru. Selalu menjadi yang pertama di ranking pararel. Sosok tampan yang dipuja-puja. Tapi, dibalik hidupnya yang nyaris sempurna, kehidupan cowok itu terlalu misterius.
Jika ditanya tentang Arven, orang-orang cuma akan menjawab hal yang diketahui tentangnya di sekolah. Tapi, saat ditanya tentang kehidupannya, Avisha bisa sangat pastikan jika mereka cuma tahu marga keluarga Arven yang terkenal.
Tidak ada yang satupun tahu jika Arven punya adik.
Apalagi punya sepupu.
Bahkan paginya saat Avisha tiba di sekolah, dia sempat bertanya pada Yania dan cewek itu malah kaget.
"Kak Arven punya sepupu?!"
Karena dia tidak mau Yania jadi kepo akut, dia akhirnya cuma bilang jika dia asal menebak saja.
Acara tinggal besok. Kelasnya sudah didekor sedemikian rupa, berharap bisa menang lomba. Panggung juga sudah tertata, persiapan semuanya sudah nyaris sempurna. Meski begitu, Avisha bisa melihat Arven dan sebagian anggota osis masih sangat sibuk menyiapkan semua.
Saat terdengar bel istirahat, semua anak keluar kelas. Termasuk Avisha yang melangkah ke arah lapangan, setelah bertanya lewat chat Arven ada dimana. Cowok itu membalas jika dia ada di lapangan sekolah belakang panggung.
Benar ternyata.
Cowok itu ada di sana. Tampak sangat sibuk. Avisha merasa tak enak buat menganggu, dia hendak berbalik. Mungkin ada baiknya dia makan bersama Yania dan Ilona saja. Namun, belum sempat memutar tongkatnya, terdengar suara Veron.
"Ven, Visha noh!"
Arven sontak menoleh padanya. Avisha tersenyum dan melambaikan tangan. Cowok itu kemudian menyerahkan sebuah catatan pada Veron. "Yang speaker kemarin, harus diganti."
"Aye-aye captain!" Veron mengangkat tangan hormat, walau terlihat jelas senyumnya tampak menggoda Arven. "Udah noh ditungguin."
Arven menatapnya tajam, yang membuat Veron cuma terkekeh, yang selanjutnya melangkah mendekati Avisha.
"Kak Arven kayaknya sibuk banget."
"Gak, udah selesai. Mau ke kantin?"
"Emang gak pa-pa itu tugasnya ditinggalin?"
"Ya gak pa-pa," Arven menjawab santai. "Ini udah istirahat. Waktunya makan. Ayo!" Yang langsung menarik tangannya meninggalkan lapangan.
Pada koridor yang padat, semua tatapan tertuju kepadanya. Hal yang kemarin tampaknya masih menjadi hal yang dihebohkan. Dan Avisha tahu memang tak semudah itu membuat orang-orang lupa. Dia memilih mengabaikan dan tenang berjalan di sebelah Arven yang juga tak terusik sama sekali.
"Kak Arven."
"Mm."
"Kak Arven, emang kak Arven tuh punya ..." Avisha ragu. "Kak Arven punya ..."
"Sha!"
Avisha menahan pertanyaannya begitu saja saat dari arah berlawanan Ilona berjalan cepat ke arahnya. "Lona kenapa?"
"Mm," Ilona sejenak menatap Arven sebelum kembali padanya. "Itu lo dicariin Bu Santi."
Avisha mengernyit. "Ngapain?"
"Ya mana gue tau, sana samperin, dia ada di ruang musik."
Sebenarnya apa yang ingin Bu Santi katakan?
"Ayo gue temenin." Dia menoleh pada cowok sampingnya. Sebelum tatapannya turun ketika merasakan sentuhan jemari Arven, dan melihat tangannya tengah digenggam. "Ayo!"
Tak luput itu mencuri perhatian Ilona.
"Lona," Cewek itu tersentak. "Visha duluan ya. Dadah." Ilona cuma tersenyum membalas saat dia berjalan meninggalkannya.
Setibanya di ruang musik, Ilona tidak berbohong jika Bu Santi ada di sana tengah menunggu. Saat Avisha berjalan masuk kedatangannya disambut antusias oleh guru mudanya itu.
"Akhirnya kamu dateng Avisha. Eh, ada kamu Arven?"
"Saya cuma nemenin Avisha Bu," jawab Arven lugas. Yang membuat Bu Santi mengangguk mengerti.
"Kenapa Bu Santi manggil Visha?"
"Ini ada masalah penting Visha, Vio sakit."
Avisha mengernyit tak mengerti. "Terus apa hubungannya sama Visha Bu?"
"Karena Vio sakit, dia tidak akan bisa tampil bersama biolanya besok," Dan untuk ini perasaan Avisha mendadak tak enak. "Dari semua kandidat di kotak biola, jelas kamu dan Vio yang paling berbakat. Ibu sangat berharap ..."
"Kalo Ibu berharap Visha menggantikan Vio, maaf Bu Visha gak bisa." Karena jelas Avisha sudah bisa menebak ujungnya.
"Visha dengerin Ibu—"
"Maaf Bu, sekali lagi Visha gak bisa. Maaf," tolaknya langsung. Sungguh, hal seperti ini yang Avisha benci, saat orang-orang memintanya untuk tampil di khalayak ramai. Bukan orang-orang yang menontonnya nanti yang menakutkan, tapi ingatannya jauh lebih menyeramkan dibanding apapun.
"Tapi, cuma kamu yang bisa menggantikan Vio. Ibu mohon, Visha!"
Di sisi kanan Avisha, Arven cuma diam tak ikut andil. Namun, dia tentu tahu sekeras apa Bu Santi jika sudah mengambil keputusan. Tidak akan mudah buat Avisha menolak.
"Banyak yang lebih bagus main biolanya dibanding Visha, Bu." Cewek itu tampak berusaha keras mempertahankan keinginannya.
"Begini aja, Bu," Arven langsung menyela saat dilihatnya Bu Santi ingin buka suara. "Gimana kalo Ibu memberi Avisha waktu buat memutuskan. Mungkin ini terlalu mendadak. Jadinya Avisha gak gampang buat nerima."
Avisha tampak ingin protes. "Kak Arven tau, Visha ..."
Arven tak peduli pada protesannya dan malah menanyai pendapat Bu Santi. "Gimana Bu?"
Bu Santi terdiam lama. Sebelum akhirnya melepas napas panjang. "Cuma sampai malam ini. Kamu tau Arven, acaranya dimulai besok, jadi Ibu gak mau menunggu lama dan Ibu harap akan mendapatkan keputusan bagus dari kamu Visha."
Dua detik berikutnya, Bu Santi melangkah meninggalkan ruangan. Menyisakan senyap untuk beberapa jenak.
"Kenapa kak Arven ngomong gitu?"
"Sha ..."
"Kak Arven tau Visha gak mungkin berpikir ulang buat keputusan Visha. Sekalinya Visha bilang gak mau ya gak mau!" Ini bukan lagi kesal, Avisha ingin marah. Marah semarah-marahnya karena Arven semena itu mengambil hak keputusannya. Apa cowok itu lupa pada traumanya. Apa cowok itu lupa pada hal yang ditakutinya.
"Sha, gue cuma ..."
"Seharusnya kak Arven gak ngomong gitu!" Avisha berseru marah. Membuat dadanya tiba-tiba sesak dan berusaha mati-matian dia menahan air matanya di pelupuk. "Visha takut, Visha punya trauma, kak Arven tau itu!"
Arven maju mendekat dan Avisha langsung membuang muka sambil mengusap air matanya yang meleleh di pipi.
"Mau sampai kapan?"
Avisha kembali menoleh dengan matanya yang memerah.
"Sha, gue ngerti ketakutan lo karena gue juga ngerasain. Tapi lo gak bisa gini terus," Avisha menunduk, menghindari kontak mata dengan Arven. "Lo sama aja ngebiarin ketakutan lo menang."
Saat Arven menangkup kedua pipinya dan mengangkatnya, Avisha tak kuasa menahan air matanya yang mengalir. "Cara terbaik buat ketakutan itu kalah. Dilawan, Sha. Lo harus ngadepin, bukan malah lari dan sembunyi."
Avisha tak bisa berkata apapun, karena jauh di lubuk hatinya, semua yang Arven katakan benar adanya. Seharusnya Avisha bisa berdamai pada masa lalu, menghadapi dan bukan malah berusaha keras untuk melupakan dan bersembunyi.
Dia terlalu larut pada cara agar dia berhenti memikirkan. Padahal kenyataannya itu cara terbodoh yang dia lakukan selama bertahun-tahun.
"Gue gak akan minta lo janji sama gue," Arven menghapus air mata di pipinya. "Gue cuma minta lo janji ke diri lo sendiri. Janji kalo lo bakal berhenti takut dan lari." Kemudian jemari Arven beralih pada anak poninya dan merapihkannya pelan. "Dan selama lo itu, gue akan selalu di samping lo. Kalo-kalo ingatan buruk itu dateng, lo cukup liat gue."
•••
Perkataan Arven menyentilnya begitu dalam. Bertahun-tahun, Avisha terkurung pada bayang mengerikan itu, membuatnya selalu berusaha keras untuk menghindar, karena yang dia pikir cuma dengan cara itu hidupnya jadi tenang.
Yang selalu dia pikir benar jelas adalah kesalahan fatal.
Dia harusnya paham masa lalu itu bagian dari hidupnya yang sampai kapan pun tak akan pernah pergi. Mengikuti seperti bayangan. Sentiasa menempel dalam ingatan. Dan ... akan selalu muncul tanpa diduga.
Seharian ini Avisha sudah berpikir. Memutuskan hal yang entah bisa menjadi sesuatu yang baik atau justru sebaliknya. Apapun itu hasilnya nanti, bagian yang terpenting adalah Avisha sudah berusaha keluar dari lingkup ketakutannya.
Tepat saat sore, Avisha mengirimkan Arven sebuah chat.
Arven yang baru selesai mandi keluar dengan lilitan handuk di pinggang sambil mengusak rambutnya yang basah. Dan saat membuka ponsel, gerakan tangannya di atas kepala terhenti, membaca pesan itu lamat-lamat.
Bawel: Kak Arven mungkin Visha bisa nurutin permintaan Bu Santi buat tampil besok
Lantas tak perlu menunggu lama untuk Arven mengulas senyum kecilnya.
Besok harinya. Persiapan sudah selesai seluruhnya. Sekolah sudah diubahnya penuh oleh dekorasi bewarna merah putih. Bahkan panggung besar yang berdiri di tengah lapangan begitu tampak ramai oleh hiasan lampu, tali-tali, balon angka sesuai tahun Indonesia setelah merdeka.
Sebelum berbagai lomba dimulai, pertama seluruh murid diwajibkan untuk upacara peringatan hari kemerdekaan. Waktu berlalu cepat, saat akhirnya upacara terlaksana dengan khidmat.
"Lo yakin mau tampil?"
Yania sekali lagi memastikan cemas. Kelasnya ramai sekaligus berisik. Anak-anak cowok heboh bermain tali tambang. Yang kata mereka buat siap-siap lomba nanti. Anak cewek kelasnya pun jadi ikutan heboh, melihat para cowok membagi kelompok dan saling berusaha menarik-narik tali tambang.
Dan mungkin, cuma dia dan Yania saja yang cuma duduk memojok.
"Visha yakin."
"Tapi, Sha, lo takut?" Nada Yania ragu. Dia yang sangat tahu betapa mengerikannya masa lalunya itu. Betapa dia tahu dampak trauma yang ditimbulkannya itu. Yania sangat tahu. Ini mungkin karena mereka yang sudah berteman sejak kecil, sejak mereka masih di kandungan. Batin mereka sudah saling menyatu. Tanpa bercerita saja, mereka seolah bisa tahu isi hati masing-masing.
"Visha emang takut," dia jujur. "Tapi, kalo Visha selalu ngehindar, gak bagus juga kan? Visha gak mau ketakutan itu ganggu terus. Visha capek."
Yania menatapnya lama. Seperti menebak isi kepalanya. Yang kemudian dia cuma bisa menghela napas. "Terserah, kalo emang itu keputusan lo, gue gak bisa ngelakuin apa-apa selain doain yang terbaik." Yania tersenyum membuatnya melakukan hal serupa. "Gue tau betapa kerennya lo main biola, mungkin ini saatnya lo tunjukkin ke semua orang."
"Yaya keren deh ngomong gitu. Visha terhura. Peluk gak nih?" Avisha merentangkan tangan, membuat Yania langsung menepisnya jijik.
"Apa dah lo alay!" Yania mendengkus. Avisha cuma tertawa. "Tapi kalo dipikir kata-kata gue tadi, gue jadi jijik sendiri." Dan Avisha makin tergelak mendengarnya.
"Seneng banget nih kayaknya yang mau tampil," Ilona tiba-tiba menyalip datang dan duduk di kursinya sambil menghadap ke belakang. Ke arah mereka berdua. "Sumpah, Sha! Gue gak sabar ngeliat lo di panggung nanti, keren banget pasti. Inget ya, gue yang bakal make up-in nanti."
Avisha mengangguk. "Siapa lagi kalo bukan Lona yang dandanin Visha, kalo Yaya, aduh enggak deh. Entar Visha jadi kayak ondel-ondel."
Yania langsung mendelik. "Eh enak aja! Kayak tau aja lo sama make up! Yang lo tau kan cuma bedak pigeon."
"Visha emang gak bisa make up, tapi kan mending gitu, dibanding Yaya yang sok-sokan ngerti dan akhirnya salah." Avisha balas dendam.
Dan mendengar itu Ilona langsung tertawa keras sambil memukul meja. "Anjir, Sha! Gue langsung keinget dong!" Yania menatap Ilona tajam, tapi cewek itu malah makin tergelak. "Waktu Yaya salah bedain concelear sama bb cream. Kan bego!"
"Apalagi pas dia make eyeliner sampe item matanya." Ilona makin menjadi. "Dan begonya lagi pas, dia malah cuci muka, luntur udah semuanya, mukanya jadi item."
Avisha ikutan tertawa, walau tak mengerti eyeliner itu apa, tapi dia sangat ingat jelas saat wajah Yania berubah hitam dimana-mana.
"Ya terus aja, terus, terus ledek gue!" Yania mendengkus kesal.
"Lagian lo, bukannya nanya dulu, asal make aja."
"Itu salahin Nata, tuh cowok nantang gue terus buat make up. Ngatain gue cupulah karena gak bisa. Ngatain cewek setengah cowok!" Dia merengut bibir. "Apa banget tuh orang, jelas gue cewek."
Ilona dan Avisha masih saja tertawa.
"Eh ada yang mau tampil tau nanti!" Rafi tiba-tiba berteriak menyeruak di antara mereka. "Ciee, biji ketumbar yang mau manggung."
"Entar main biolanya versi dangdut ya, Sha." Beni nimbrung bego. Yang membuat Yania menendang kakinya.
"Heh Beni si sapi! Lo pikir biola itu gendang!"
"Mainin lagu jaran goyang, Sha, biar pada goyang yang nonton nanti." Aldo ikutan bobrok. "Tenang, entar gue sawer deh. Gopean koin."
Dan satu-persatu anak-anak kelasnya mulai mengerubungi mejanya. Entah mengucapkan kata-kata semangat atau cuma menyeletuk tak berfaedah.
"Sha, entar pas naik sebut nama gue tiga kali, Sha."
"Kayak Jin dong." Yang Avisha balas dan membuat semuanya tertawa.
"Selesai tampil, lo bilang, Sha kalo babang Aldo yang ngajarin." Aldo menepuk dada bangga dan langsung mendapat toyoran di kepala oleh Yania.
"Pokoknya tenang aja semuanya," Avisha menenangkan teman-temannya yang ramai berebut meminta namanya Avisha sebut atau merequest lagu yang ingin dia mainkan. "Visha entar main biola versi kucing."
"HAH?!" Semua kompak ternganga kaget.
"Iya, biar meong-meong aja gitu."
Dan teman-temannya langsung serentak mendengkus lelah.
"Receh banget, Sha."
"Gak lucu, Sha. Gak lucu!"
"Ini anaknya siapa sih? Kenapa gak suruh pulang aja!"
"Capek gue sama lo, Sha. Lelah babang Aldo teh."
"Gini nih kalo pas kecil gak dikasih imunisasi. Otaknya jadi kurang vitamin."
Mendengar setiap ledekkan bukannya marah, Avisha malah tertawa sendiri. Sampai suara ketukan di pintu menarik seluruh perhatian teman kelasnya. Termasuk dirinya. Dan saat tahu siapa yang berdiri di sana, senyumnya lantas terangkat.
"Yah ini dia, ratu kurcaci kita udah dijemput pangeran berkudanya." Aldo kurang ajar yang membuat Avisha mengetuk tongkatnya di kaki cowok itu. Tanpa acuh pada umpatannya, Avisha melangkah ke arah Arven setelah berdadah ria pada teman-temannya.
Arven tak mengatakan apapun, cuma berjalan di sebelahnya sambil melangkah entah kemana. Avisha cuma mengikuti dengan tongkatnya sampai mereka berhenti di balkon lantai dua.
Ada sebuah bangku yang diseret mendekati pembatas balkon dan saat duduk di sana mereka bisa melihat semua persiapan yang ada di lapangan.
"Kenapa kak Arven ngajak Visha ke sini?" Dia melongok ke bawah saat terdengar lomba akan dimulai dari pengeras suara.
"Biar gampang mantau semuanya." Avisha mengangguk mengerti. Lomba pertama yang akan dimulai itu koin semangka dan makan kerupuk. Dari beberapa perwakilan kelas Avisha bisa melihat Beni dan Rafi.
"Beni, Pipi! Visha di sini!" Dia berteriak keras membuat yang dipanggil sontak mengangkat kepala, tak terkecuali beberapa orang-orang di dekatnya. Bahkan Avisha tak malu saat melambaikan tangan pada mereka, yang dibalas mereka sama gilanya.
Avisha sedikit kaget saat tiba-tiba tangannya ditarik turun oleh Arven. Mau tak mau dia menoleh dan mengernyit bingung.
"Lo bisa diam gak sih?" tanyanya dengan raut yang datar itu. "Diliatin orang dari tadi. Gak malu?"
"Kenapa harus malu? Kalo mereka liatin, itu berarti mereka ngefans sama Visha," sahutnya santai sambil menarik tangannya dari genggaman Arven.
Arven diam kali ini. Rautnya tampak serius. Ya walaupun bentuk wajah Arven memang terbiasa seperti itu. Tapi, entah kenapa ditatap sedemikian rupa membuatnya jadi gugup tanpa alasan. "Kenapa tiba-tiba?"
"Hah?" Avisha jadi bingung.
"Kenapa lo tiba-tiba setuju sama permintaan Bu Santi?" Arven menjelaskan pertanyaannya lebih rinci.
"Karena, kak Arven." Dia menatap Arven tepat. "Visha keinget terus sama perkataan kak Arven kemarin. Visha mau ngecoba ... buat ngelawan ketakutan Visha."
Arven juga menatapnya lama seolah tengah menggali sesuatu dari matanya. "Bagus kalo gitu."
"Kak Arven bakal ada di dekat Visha kan? Pas Visha tampil di atas panggung nanti?" Ini jelas lebih mengarah pada kepastian dibanding permintaan. "Visha cuma takut tiba-tiba Visha keinget kejadian dulu dan akhirnya Visha gak bisa ngelanjutin permainan biola Visha."
"Pas di panggung nanti lo cukup liat di sudut lapangan bagian kiri, pasti ada gue di sana." Tatapan tajam itu seperti menenggelamkannya. "Ngeliatin lo."
Avisha tak bisa menahan senyum lebarnya sekarang. "Sebelum Visha tampil, kak Arven dateng ke belakang panggung ya, Visha mau didandanin sama Lona."
Di lapangan tampak ramai, berisik oleh suara sorak-sorak. Namun, Avisha merasa hening saat Arven menyentuh poni di dahinya pelan. "Jangan cantik-cantik."
"Kenapa emangnya?" tanyanya bingung sekaligus gugup di waktu yang sama. Apalagi detak jantungnya yang berdetak sangat keras. "Kalo Visha cantik bukannya bagus, nanti banyak yang naksir Visha."
"Masalahnya," Arven menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Lo lagi terikat sama gue. Jadi, gak ada yang boleh ngeliat lo sama kayak saat gue ngeliat lo." Avisha mendadak kaku di tempatnya. Beda dengan Arven yang santainya malah berdiri.
"Gue tinggal sebentar, lo di sini aja." Dia menunduk dan membuatnya tanpa sadar jadi mendongak. "Inget kata-kata gue," Dia lalu mendekatkan bibir ke telinganya. Berbisik. "Cuma gue yang boleh ngeliat lo."
•••
Lumayan panjanglah ya haha
cuma Arven yg boleh liat, berarti mukanya Visha harus ditutup karung kayaknya😆
gaya imut cekrek😋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro