A;A47-Bayangan yang terlewat
CIAAAAA yang kangen yang kangen :)))
Boleh dong ya part ini rame komen dan vote :*
▪
PULANG sekolah Avisha harus menunggu Arven yang lagi-lagi sibuk rapat di ruang osis. Dia terduduk di koridor lapangan, mengamati diam panggung yang sudah berdiri tegak dan tinggal didekorasi untuk meramaikan hari kemerdekaan besok lusa.
Tak lupa banyak perlombaan yang akan diadakan. Mulai dari lomba makan kerupuk, joget balon, lomba balap karung, semangka koin, dan lain lagi. Dia tidak bisa menyebutnya satu-satu. Tapi, membayangkannya saja hatinya sudah senang, walau dia tidak ikut berpartisipasi. Teman-teman kelasnya sudah banyak yang dipilih menjadi perwakilan.
Sejujurnya, sejak Avisha duduk di sini, banyak anak yang hilir mudik sambil menatapnya, yang dia pilih tak pedulikan. Tampaknya Arven yang mengepost fotonya menjadi hal paling heboh bagi mereka.
"Sha!"
Teriakan itu membuat Avisha menengok ke arah kanan. Melihat Nata yang melambaikan tangan ceria sambil melangkah mendekatinya.
"Nata belom pulang?"
"Baru selesai latihan," jawab cowok dengan muka yang masih penuh lebam itu. Dia ikut duduk di sebelahnya. "Ngapain di sini? Ngelamun lagi, kesambet lo."
"Siapa yang lagi ngelamun, orang di sini Visha lagi nungguin kak Arven."
Wajah ceria Nata secepat itu langsung berubah. "Arven? Mau pulang bareng dia?"
Avisha mengangguk semangat. Tak memedulikan bagaimana raut Nata sekarang. "Iya, Visha mau ditraktir chicken wings sama kak Arven di rumah. Hari ini kebetulan jadwal Visha diterapi."
"Apa hubungan lo terapi sama chicken wings?"
Mendapat pertanyaan itu, Avisha tertawa. "Gak ada, cuma karena Visha pura-pura gak mau diterapi, kak Arven maksa dan ujungnya dia bilang bakal traktir Visha chicken wings kalo Visha mau diterapi."
Nata diam, mengangguk mengerti dan mengalihkan pandangan ke depan sambil menarik napas panjang.
"Nata masih sakit?"
"Mm, ada yang sakit."
"Apanya yang sakit?" Raut Avisha langsung berubah khawatir. "Luka lebamnya? Emang gak diobatin? Coba sini Visha liat," Avisha menangkup pipi Nata tanpa segan. Membuat Nata sontak terkaku. Wajah Avisha mendekat, mengecek lebam-lebam di mukanya. "Mana yang sakit? Kok Nata malah diam?"
"Bukan luka kemarin yang sakit, tapi ..."
"Terus apa yang sakit? Badan Nata? Kemarin badan Nata juga ditendangin habis-habisan kan?"
Masalahnya jarak dekat antara wajah mereka, dianggap santai oleh Avisha dan tentu berdampak beda pada Nata.
"Sha, jangan terlalu perhatian ginilah sama gue."
"Kenapa? Nata temen Visha, sebagai temen yang baik Visha harus selalu perhatian sama temen-temennya."
Nata tersenyum miris. "Tapi sikap lo yang kayak gini ngebuat gue ..."
"Gue nyariin dan lo di sini malah pacaran?"
Serentak kedua orang yang saling menatap itu mengalihkan pandangan. Melihat Arven berdiri sambil memasukkan tangan di saku celana, memandang tajam ke arah mereka berdua.
"Apa sih! Dateng-dateng marah-marah!" Avisha mendengkus.
Tanpa kata, Arven menarik Avisha dari kursi, yang membuatnya tertarik dan refleks mengambil tongkatnya yang menyandar di dinding.
"Gue suruh lo nunggu di depan ruang osis, bukan di sini!"
Memang hal itu harus dipermasalahkan ya? Avisha tidak menuruti permintaan Arven karena dia tidak mau bertemu Askar. Dia tidak mau kejadian canggung tadi pagi terulang lagi.
"Visha cuma lagi ngadem di sini," Avisha membela diri. "Kak Arven kelamaan!"
"Seharusnya jadi cowok, lo gak akan biarin cewek nunggu."
"Sorry?" Arven menoleh datar pada Nata yang membalasnya kalem.
"Lo cowok, tapi biarin cewek nunggu." Yang kemudian Nata mendengkus sinis.
"Lo ngomong gini, karena terlalu biasa nunggu. Iya kan?" Arven melempar balik bom, membuat Nata seketika terbungkam. "Gue cuma ngasih tau, mending lo berhenti, seharusnya lo sadar hal yang lo tunggu gak bakal lo dapetin." Kemudian dia menarik Avisha pergi. "Ayo, Sha!"
"Eh-eh bentar dulu!" Avisha memelotot. "Nata Visha duluan ya. Dadah!" Dia melambaikan tangan walau tangannya itu ditarik turun oleh Arven untuk dituntun menuju mobilnya di parkiran.
Avisha memasang seatbelt sambil menoleh pada Arven yang melakukan hal serupa. "Kak Arven kita jadi mesen chicken wings kan nanti?"
"Enggak."
"Hah? kok gitu?" Dia memelotot marah. "Ya udah kalo gitu Visha gak mau diterapi kakinya."
"Terserah."
Arvisha mendelik dan menyipit. "Oh jadi kak Arven kalo ngambek gini ya?"
"Ngambek?" Arven tertawa sinis. "Lo kali yang sering ngambek!"
"Ah masa?" Wajah Avisha menyebalkan dengan senyumnya. "Ngambek kan?"
"Lo mending diam, dibanding gue suruh turun!"
Hal itu bukannya membuat Avisha takut justru tergelak. "Lucu deh kak Arven kalo ngambek gitu." Dia masih saja tertawa, tak memedulikan mata elang cowok itu sudah setajam apa. "Kak Arven marah kenapa sih? Cuma karena Visha gak ngikutin yang kak Arven minta?"
"Gak ada yang lucu, Sha!"
"Uluh-uluh, sini-sini!" Avisha tertawa sambil menangkup kedua pipi Arven santai. Tanpa tahu hal itu sangat berakibat fatal pada yang cowok. "Kak Arven jangan ngambek dong. Makin serem itu muka singanya." Kemudian dia tak segan mengusap-usap pipinya. "Berhenti ngambeknya ya? Beliin Visha chicken wings! Iya, ya?"
Mata bulatnya berbinar harap dan senyumnya mengulas lebar. Yang tanpa disangka membuat Arven mendekatkan wajah cepat dan Avisha refleks mengangkat kedua tangan menutup wajah.
"Kak Arven mau ngapain?" tanya Avisha kaget dan sayangnya tak bisa melihat senyum Arven yang langsung mengulas karena tingkahnya.
Arven meniup telapak tangannya. Membuat Avisha perlahan menurunkannya dari wajah. Mengintip.
"Kalo gak mau gue nekat, makanya jangan mulai!" Arven menegakkan kembali tubuhnya dan pada Avisha, tangannya sudah turun sempurna dari wajah. Padahal AC mobil menyala, tapi Avisha merasa udara mendadak panas.
•••
Avisha telah sampai rumah sejam lalu dan kini tengah melakukan terapi dengan dokter Rafael yang berdiri di sisinya. Sementara Arven duduk di kursi yang tergeletak di latar belakang rumah sambil mengawasinya. Dan untuk mamanya dia tengah membuatkan makanan di dapur.
"Lepas sayang tongkatnya." Avisha sejenak menatap kakinya sebelum menoleh pada dokter Rafael. "Kamu gak perlu takut, ada Om El di sini."
"Gimana kalo Visha jatoh?" Sebenarnya terapi ini bukan sekali dua kali. Setiap minggu dia melakukan ini untuk menormalkan kembali kakinya yang cedera. Kata dokter Rafael atau Avisha lebih sering memanggilnya dengan Om El, terapi ini dilakukan agar otot-otot kaku kakinya kembali seperti semula.
Tapi, walau sering melakukannya Avisha masih saja takut jatuh.
"Minggu kemarin Visha ada perkembangan, dan mungkin juga minggu ini makin pesat perkembangannya." Rafael, teman papanya itu menyemangati. "Ayo sayang! Om El yakin Visha bisa! Kalo jatoh, Om El langsung pegangin kayak yang kemarin-kemarin."
Dia mengangguk mengerti. Begitu hati-hati melepaskan tongkatnya dan langsung menjaga keseimbangan karena dia harus berdiri di satu kaki.
Avisha berdiri kaku dan pada Rafael yang pelan-pelan menjaga jarak. "Dan jalanin kakinya. Gak usah buru-buru, cukup pelan-pelan."
Bersama jantungnya yang berdebar dan napasnya yang jadi memburu, Avisha menoleh pada Arven. Melihat cowok itu tak sedikit pun menatap ke arah lain selain ke arahnya.
"Chicken wings," Cuma itu, tapi Avisha tahu Arven bermaksud menyemangati.
"Tambah es krim?" Avisha menawar.
"Iya, dua bowl es krim."
Secepat itu senyum Avisha mengembang. Setelah satu tarikan panjang, dia mengangkat pelan kakinya yang cedera, membiarkannya melangkah dan menyentuh rerumputan taman belakang rumahnya.
"Angkat yang satu lagi."
Dan ini bagian yang susah. Saat dia mengangkat kaki kanannya, dia perlu bertumpu pada kakinya yang sakit. Nyerinya langsung terasa membuatnya tak tahan dan jadi oleng. Yang refleks membuat kedua orang di sana bergerak mendekat.
Tapi, yang Avisha tak sangka jika gerakan Rafael akan kalah dengan Arven yang duduk di latar. Avisha mendongak, menatap Arven yang napasnya tersengal.
"Refleks kamu berguna cepat sekali, kiddo!" Rafael tersenyum menggoda. Yang membuat Arven refleks menjauhkan tangannya dari tubuh Avisha pelan-pelan. Dia berdeham, kelihatan canggung.
"Kamu tenang saja, kalo pun Visha jatoh, itu hal yang biasa. Seperti saat kamu baru belajar berjalan ketika kecil, kamu pasti perlu jatuh berkali-kali bukan?" Kemudian lelaki paruh baya itu tersenyum. "Dan hal ini hampir serupa. Visha perlu jatuh untuk kembali bangkit."
Arven tampak diam dan cuma menatap Avisha yang juga balas menatapnya. "Ya udah kalo gitu, sekarang kamu gantiin Om." Arven langsung menoleh terkejut. "Pegang kedua tangan Avisha dan tuntun dia untuk berjalan." Setelahnya Rafael menarik kedua tangan Arven untuk mengenggam kedua tangan miliknya.
"Om, tapi ..."
"Kamu gak bakal buat Visha jatoh, liat aja tadi, gerakan kamu cepet banget." Rafael sengaja memotong kalimat Arven dan lagi-lagi dengan nada menggoda.
Avisha yang mendengarnya tertawa.
"Tuh liat, kayaknya Visha lebih seneng dipegangin kamu."
Sontak tawanya berhenti. "Apa sih Om El!" Dan merasa pipinya mulai memanas.
Rafael cuma tertawa sambil melangkah menjauhi mereka dan menempati tempat yang tadi Arven duduki sambil mengawasi dari jauh.
"Kak Arven gak akan jatohin Visha kan?"
"Lo inget ucapan gue dulu?" tanya Arven yang membuatnya jadi mengernyit. "Selama lo percayain semuanya ke gue, lo gak akan jatoh."
Avisha tersenyum. "Dan kak Arven juga tau Visha selalu percaya kak Arven."
"Bagus," Arven mengangguk. "Sekarang coba lo ngelangkah dan gue pegangin."
Melihat interaksi dua anak muda itu, Rafael cuma bisa tersenyum sambil menyesap kopinya di cangkir. Yang tak lama, Velin kembali dengan membawa beberapa makanan ringan.
"Itu ..." Velin tampak bingung melihat mereka. Terutama pada tawa Avisha yang terdengar sangat bahagia. Padahal selama proses terapi yang setiap minggu dilakukan cewek itu justru selalu ogah-ogahan.
"Bener bukan perkataanku," Velin menoleh, dan menemukan senyum Rafael yang mengembang. "Bukan dari terapis terbaik atau termahal untuk membuat Visha sembuh, tapi gimana caranya ngebuat Visha senang menjalani terapinya. Dan Arven yang paling cocok menjadi terapis Visha bukan?"
Velin diam. "Tapi kamu tau, dia bagian dari keluarga Gazkel."
"Mama!" Panggilan itu membuat Velin beralih ke depan. Avisha mengangkat tangan dadah, yang membuatnya hampir oleng lagi kalau bukan ada Arven yang menjaganya.
"Tapi dia yang terbaik," Velin kembali menatap sahabat sang suami. "Calon menantu idaman!" Yang ini Rafael sengaja berteriak, membuat Avisha memelotot marah.
"Om El!" Avisha cemberut, tapi pipinya memerah yang mengundang gelak tawa mereka. "Kak Arven gak usah ikut senyum-senyum gitu!"
Arven mengedikan bahu tak acuh dan malah mengangkat ujung bibirnya lebih lebar.
•••
Sesi terapi sudah selesai. Dokter Rafael juga sudah pulang. Ini saat-saat yang Avisha tunggu sejak tadi, ketika akhirnya mereka, dia dan Arven duduk di ruang keluarga dengan Arven memegang ponsel siap memesan makanan yang dia janjikan tadi.
"Yang spicy sama original." Avisha menjawab antusias sambil ikut menunduk, menatap ponsel Arven. Sementara cowok itu bergumam sambil mengetik di layar.
"Jangan lupa es krimnya kak Arven."
"Mm."
"Es krimnya jadi tiga kan, Visha dua kak Arven satu?"
Arven sekadar mengangguk.
"Tulis dideskripsinya, topping yang vanilla dibanyakin. Entar pas sampe ongkirnya bakal dilebihin."
"Siapa yang bakal lebihin?" Arven langsung menoleh padanya.
"Kak Arven-lah, masa Visha," jawabnya santai dan polos. "Kan ini kak Arven yang lagi traktir Visha."
Arven menarik napas panjang. Enggan memperpanjang lagi.
"Ih Visha penasaran deh tuh sama rasa strawberry smoothiesnya."
"Alergi!"
Avisha sontak mendengkus mendengar nada ketus itu. "Eh, eh kak Arven Visha mau dong yang burgernya. Itu variasi baru kan? Ih keliatan enak deh ..."
"Iklan suka nipu!"
"Gak pa-palah Visha mau satu," jawabnya masa bodoh, yang sontak membuat mata Arven beralih padanya.
"Sha, kita udah mesen chicken wings dua bucket."
"Ya terus?" Dia membalas tatapan Arven. "Gak boleh?"
Arven tak mengatakan apapun dan cuma memencet menu yang Avisha inginkan.
"Eh burgernya dua aja kali ya kak Arven ..."
"Anjir!" Bukan Arven yang mengumpat, melainkan Darlan yang tengah menuruni tangga. Tampak rapi dengan jaket abu-abunya. "Lo minta traktir, apa lagi morotin?"
Avisha mendelik pada abangnya itu. "Sirik aja manusia! Terserah Visha dong!"
Darlan cuma mendengkus. "Heran, makan banyak tapi badan gak gede-gede. Banyakkin protein sama kalsium, Sha biar tinggi."
"Pergi aja deh bang Darlan! Sana-sana! Hus-hus!"
"Gue emang mau pergi," balas Darlan sambil memakai jam tangan.
"Kemana?"
"Pergi sama cewek gue lah."
"Oh ..." Avisha beroh panjang. "Jadi udah jadian? Kok cepet?"
"Cepetlah, karena cewek gue gak oon kayak lo!" Setelahnya Darlan langsung tancap gas pergi. Meninggalkan Avisha yang hampir melemparkan bantal. Sementara Arven cuma tenang menatap layar ponsel.
"Kenapa kita gak jadi-jadian kak Arven?" Avisha bertanya polos tanpa peduli wajah Arven yang terkejut setengah mati.
"Apa?"
Avisha menyengir. "Bercanda." Lalu mendorong wajah Arven ke arah lain. "Udah gak usah natap Visha kayak gitu."
Cowok itu tak memperpanjang lagi, cuma menyelesaikan pesanan go-food mereka. Tapi, jujur Avisha penasaran isi kepala Arven setelah dia mengatakan kalimat barusan. Dia memang asal saja tadi, tapi sisi lain dia juga tidak bercanda.
Kurang lebih menunggu selama lima belas menit, pesanan mereka sampai. Yang diantarkan Mbak Tia yang kebetulan tengah menyapu halaman.
"Visha mau makan apa dulu ya?" Dia menatap binar meja ruang keluarga yang penuh oleh makanan.
"Es krimnya dulu, keburu meleleh."
"Yah, padahal Visha maunya es krimnya terakhir," ucapnya sambil mengambil salah satu cup es krim di meja. "Tapi gak pa-palah. Oh ya kak Arven itu rasa apa?"
Arven berhenti menyuapkan sendok es krim ke mulutnya. "Mau?"
Dan Avisha mengangguk cepat lalu saat Arven menyodorkan sendoknya dia sontak membuka mulut, yang detik berikutnya justru Arven belokkan ke mulutnya sendiri. Avisha tentunya mendelik langsung.
"Lo udah punya dua."
"Cih! Dasar pelit!"
"Pelit? Lo lupa ini semua makanan gue yang bayar."
Ujungnya Avisha cuma bisa mendengkus. Kalah debat. Dia mencicipi chicken wings yang spicy. "Kok pedes sih!"
"Yang manis noh es krim lo!" Arven membalas ketus.
"Manisan mana es krim sama Visha?" tanya Avisha sengaja menggoda. "Dari caption IG kak Arven sih, kak Arven bilang manisan Visha iya kan?"
Arven menoleh datar. "Nih ngomong sama ayam!" Sambil mengangkat chicken wings itu di depan Avisha malas.
"Dih!" Avisha mencibir. Kemudian menatap layar televisi sembari menikmati makanannya. "Ganti channel ya kak Arven. Visha mau nonton Sofia yang pertama."
Arven langsung menoleh bingung.
"Sofia the first," ucapnya menjelaskan.
"Kalo gitu gak usah terjemahin."
Avisha tertawa. "Kak Arven tau?"
"Tau."
"Serius?" Avisha kaget.
"Zion sering nonton."
"Hah?" Avisha makin kaget. "Visha kaget, tapi di sisi lain Visha gak kaget. Ngerti gak kak Arven?"
"Ya, karena lo berdua sama-sama punya otak setengah."
Avisha memukulnya walau sambil tertawa kencang.
Dari arah dapur, Velin berdiri mengamati mereka diam-diam. Tersenyum melihat Avisha yang semudah itu tersenyum dan tertawa. Sebagai seorang ibu, dia sangat paham segala tingkah Avisha yang penuh trauma dan berusaha ditutupi rapat-rapat.
Tak disangka jika Avisha bisa seterbuka itu dengan orang lain. Yang makin dia tak sangka jika orang itu bagian dari traumanya di masa lalu.
•••
Sore hampir menjelang maghrib Arven sudah pulang.
Avisha sudah mandi dan berpakaian piyama saat menuruni tangga untuk makan malam.
"Papa udah pulang, Ma?"
"Lagi di jalan." Velin terlihat tengah menyusun makanan di meja, dibantu Bi Desi dan Mbak Tia.
Avisha menarik kursi dan mendaratkan diri, bertepatan dengan matanya melirik kotak brownies di meja. "Itu brownies dari siapa, Ma?"
"Oh itu, dari Tante Diana."
Avisha mengerutkan dahi. "Kak Arven balik lagi?"
"Arven?" Mamanya malah bingung. "Kenapa jadi Arven?"
"Ih Mama! Yang bilang Tante Diana ini, Tantenya kak Arven kan?"
"Iya," mamanya mengangguk. "Tapi, bukan Arven yang nganterin browniesnya."
"Oh ... jadi Tante Diana langsung yang nganterin, kenapa Mama gak suruh Visha turun? Supaya Visha bisa kenal sama Tante Diana."
"Bukan Tante Diana yang nganterin, tapi anaknya." Mamanya duduk di kursi santai. Tanpa tahu, Avisha mendadak beku di kursi.
"Anak?" Dia speechlees. "Tante Diana punya anak?"
"Ya, punyalah sayang. Ganteng."
"Jadi ..." Mendadak otaknya jadi kosong. "Kak Arven punya sepupu?"
"Iya, kenapa kamu kayak kaget gitu. Arven gak cerita emangnya?"
Avisha menggeleng kaku. Cuma hal sekecil itu saja, Avisha tidak tahu. Sepertinya dia terlalu terlena setelah mendengarkan cerita masa lalu Arven, berpikir jika dia termasuk orang penting bagi Arven. Nyatanya tidak semua rahasia Arven dia ketahui.
•••
Bisa gak ya komennya sampe seratus? wkwk. Kalo sampe langsung up ...
Anjaaaaaay
WKWKWKWK tau banget gak bakal nyampe, sengaja biar bisa up lama :*
Luv pokoknya yang masih setia nunggu <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro