A;A46-Dibalik Kisah
Karena aku sayang kalian, diusahain up ini walau padet banget waktunya
:(
jadi kalo boleh sih rame ya komen dan votenya biar semangat gitcuuu
▪
SEISI sekolah tengah sibuk kerja bakti hari ini. Bertepatan hari lusa adalah hari kemerdekaan Indonesia, untuk merayakannya setiap kelas diwajibkan mempercantik kelasnya masing-masing. Bukan cuma kelas saja yang diberi hiasan warna merah putih, di tengah lapangan juga ada panggung besar yang tengah dipersiapkan.
Dari kelas IPA yang berderet di lorong bawah, semua tampak berisik dan ramai. Termasuk kelas Avisha, yang seluruh anaknya saling bercanda, membuat bising.
"Hormat pada bendera merah putih!" Seolah tengah menjadi komandan upacara, Rafi hormat di depan tiang kayu bendera yang tersandar di pojok depan kelas.
Aldo yang tengah dipaksa menyapu oleh Yania dan berujung lari-larian memberantakkan meja-kursi yang telah dirapihkan berhenti di samping Rafi dan menoyor cowok itu. "Bego, lo masang benderanya kebalik. Itu kenapa putihnya di atas!"
"Eh," Rafi menurunkan tangan dari pelipis. Baru sadar.
"RAFI GOBLOK HAHAHAH!" Beni ketawa ngakak duduk di meja depan.
"WOY ALDO!" Yania berteriak di telinga Aldo sambil menjewer kupingnya. "Nyapu lo!"
"AAA! Aduh-duh!" Aldo meringis. "Sakit Ya! Makin caplang entar kuping gue!"
"Bagus dong, jadi kalo disuruh kuping lo gak pura-pura budek lagi!" Lalu dia menyodorkan sapu yang dibawanya pada Aldo. "Nih nyapu!"
"Yaya, masa cowok nyapu?! Pamali!"
Yania langsung mendelik. "Kata siapa! Lo gak liat orang yang kerja di mall, banyak cowok nyapu biar dapet duit. Ini sana nyapu!"
"Masalahnya gue tuh cita-citanya jadi pembisnis Ya, bukan jadi cleaning service."
"Banyak ngomong ya lo!" Yania semakin menarik kupingnya, membuat Aldo merintih kesakitan. "Nyapu! Atau gue buat makin caplang kuping lo!"
"Iya, iya, lepas dulu! Gue nyapu, gue nyapu!" Akhirnya Aldo menyerah. Yania tersenyum lebar, dengan santainya mendorong sapu di tangannya ke dada Aldo.
Avisha yang melihat hal itu cuma bisa tertawa. Siapa anak cowok yang berani melawan seorang Yania!
"Bunga-bunga terbang, pergi dan tak kembali."
Kegilaan bukan cuma ada di depan kelas, di belakang kelas dengan Avisha dan Ilona tengah menggunting-gunting kertas dikacaukan oleh Danar dan Idam.
Dua cowok itu menghamburkan-hamburkan kertas krep yang mereka siapkan untuk bahan dekorasi kelas ke atas kepala Yania dan Avisha. Jika Avisha ikutan bernyanyi tidak jelas bersama mereka. Ilona yang menarik napas berusaha menahan sabar.
"Dibawa angin dan jadi masuk angin." Avisha asal mengambil lirik.
"Dan kau malah berlari pada mantan brengsekmu."
Avisha dan Danar langsung menatap Idam bingung.
"Najis!" Danar ketawa. "Galau lo?!"
Idam tak peduli dan malah makin menaburkan sisa-sisa kertas di kepala Ilona. "Ini kuberikan kau sesajen agar kau kembali padaku."
"Habis gitu disembur sama dukunnya!" Avisha mengucapkan santai sambil menyusun beberapa kertas di meja.
"Lo ada air gak, Sha?" Danar bertanya. "Nih buat gue sembur Idam, biar setan-setan jeleknya ilang."
"Sialan lo!" Idam memelotot. "Na, lo ada air juga gak? Kalo ada entar kalo Danar nyembur gue, gue nyiram dia."
"Gimana kalo gue aja yang nyiram lo berdua!" Ilona tak tahan akhirnya. Mendelik kesal dan membuat kedua cowok itu merapat kaget. "Pergi aja sana! Ganggu banget, bukannya bantuin! Mau beneran gue siram?"
Kedua cowok itu tentu langsung meleset pergi diiringi tawa khas Avisha. Yang detik berikutnya terhenti sebab ponselnya bergetar. Ada sebuah chat masuk.
Manusia batu: Gue ada di ruang osis, istirahat nanti lo ke sini, makan bareng di kantin
Cuma karena sebuah pesan itu, senyum Avisha langsung mengembang.
"Siapa?" tanya Ilona sambil menggunting kertas. "Kok senyam-senyum lo?"
"Yang bikin Visha senyam-senyum selain kak Arven siapa lagi." Avisha kelewat jujur, membuat Ilona terkekeh walau detik berikutnya mendadak jadi diam.
"Sha."
"Mm."
Ilona sejenak berpikir. "Wajah babak belur Nata ... itu beneran karena ada preman yang jegat kalian di jalan kemarin?"
Kejadian kemarin, sebenarnya tidak Avisha ceritakan. Cuma saat Nata datang ke sekolah dengan wajah yang tentunya memancing keinginan-tahuan orang-orang, membuat Avisha terpaksa menjelaskan jika Nata ditonjok preman kemarin. Itu salah satu pilihan, Avisha tidak ingin Nata dikira berkelahi oleh anak sekolah lain.
"Iya, untungnya Nata gak kenapa-napa dan masih bisa sekolah hari ini."
"Preman itu ngambil apa, ngincer duit pasti ya?"
Dan bagian Avisha yang menjadi incaran preman itu sengaja tidak dia ceritakan.
"Mm iya."
"Lo ngerasa gak sih, Sha," Ilona tampak kurang enak membahas hal ini. "Sejak lo deket sama kak Arven, lo selalu kena masalah. Ini kayak ada orang yang gak suka sama lo." Ilona menyimpulkan ragu. Andai saja cewek tinggi itu tahu, jika itu bukan sekadar kesimpulan mengada-ada, memang kenyataannya ada yang tidak suka pada Avisha.
"Mending buat jaga-jaga, lo ... jangan deket-deket sama kak Arven." Secepat itu Avisha langsung menoleh. Ilona sontak tergagap. Tak bermaksud berbicara seperti itu. "Bentar, Sha ... bukannya apa-apa, gue cuma khawatir sama lo."
Avisha tersenyum mengusap bahu sahabatnya. "Lona tenang aja, selama Visha ada di samping kak Arven, gak akan ada yang berani lukain Visha. Itu janji kak Arven dan Visha percaya." Bertepatan dengan itu terdengar bel istirahat yang membuat anak kelas jadi heboh.
"WOI-WOI! INI BELOM RAPI ASTAGA! BALIK LO SEMUA!" Yania berteriak-teriak melihat anak cowok meletakkan sapunya ke lantai begitu saja lalu kabur keluar kelas.
"Lona, Visha duluan ya mau ke ruang osis," Avisha mengambil tongkat dan berdiri. Ilona tersenyum dan mengangguk. Membiarkan Avisha meninggalkan meja belakang kelas.
"Eh, Sha mau kemana lo?!"
Avisha menghentikan langkah dan menatap Yania. "Yaya jangan teriak-teriak mulu, kasian itu pita suaranya."
Yania mendengkus. "Gue teriak-teriak aja gak ada yang dengerin! Lo mau kemana?"
"Mau ke ruang osis, makan bareng sama kak Arven."
"Lo jadian ya?"
Sontak teman-teman ceweknya di kelas serempak menatap Avisha. Ditatap sedemikian itu membuat Avisha tergagap dengan pipi memerah.
"Ciee yang udah jadian!"
"Hebat deh lo, Sha bisa lelehin manusia kutub."
"Kasih tips dong, Sha. Biar gue juga bisa jadian sama gebetan gue."
"Asik cihuy, traktiran jangan lupa, Sha!"
"Apa sih!" pipi Avisha makin memanas. "Enggak-enggak, Visha gak jadian sama kak Arven. Yaya asal ngomong aja itu."
"Siapa yang asal ngomong, satu sekolah juga lagi heboh pada ngomongin!"
"Hah?" Avisha kaget. Menatap teman-teman cewek kelasnya yang mengiyakan ucapan Yania. "Kenapa heboh? Kan biasanya mereka juga liat Visha dateng sekolah bareng kak Arven."
"Makanya main sosmed biar tau!"
"Visha main kok, ya emang cuma line sama WA doang."
Yania tampak ingin menjitak kepalanya. Ilona di bangku belakang tertawa sambil merapihkan kertas-kertas sampahnya.
"Ih makanya kan gue bilang, main IG, Sha. Main IG!" Yania gregetan lalu mengambil ponselnya sambil menunjukkan layar ponselnya yang seketika itu membuat Avisha mengernyit. "Kak Arven ngeupload foto lo lagi makan es krim di IG!"
"HAH?!" Avisha makin terbelalak.
Apalagi saat Yania menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan fotonya yang tengah menyantap gelato di kafe kemarin. Avisha makin tercengang karena melihat jelas nama akun yang mengupload itu.
"Lo liat caption-nya," Yania menunjuk layar ponselnya. "'Lebih manis dari es krim' lo ngerti maksudnya hah?! Lo berdua jadian kan?!"
Di tempatnya berdiri, Avisha mendadak linglung. "Visha ... Visha mau ke kak Arven." Dia memutar tongkatnya menuju pintu.
"Jawab gue dulu, Sha!"
"Visha harus tau dulu maksud caption itu!"
"Ya masa lo gak ngerti!" Yania jadi kesal.
Avisha cuma melambaikan tangan pada Yania tak acuh. Baru juga keluar pintu, satu lorong menyorotnya langsung dengan berbagai tatapan. Seperti ada lampu yang terpasang di setiap langkahnya yang membuat semua orang menatapnya terang-terangan.
Beruntungnya, Avisha adalah manusia tidak pedulian!
•••
Rapat telah selesai setelah terdengar bel istirahat. Arven tengah merapihkan beberapa berkas saat sudut matanya menangkap siluet yang berdiri di sampingnya.
"Nyokap gue nanyain lo!"
Arven mendongak. Dengan wajah datarnya yang biasa, dia menemukan keberadaan Askar yang menatapnya malas. Karena fakta ruangan rapat osis telah sepi dan tersisa mereka berdua, Arven lebih bisa mengendalikan diri jika Askar akan memancing emosinya.
"Kenapa nyokap lo gak nanya langsung ke gue, gak biasanya?" Arven membalas tak acuh.
"Mungkin supaya gue sama lo akur," Kemudian Askar tergelak. "Padahal seharusnya dia tau, gue sama lo gak bakal pernah akur!"
"Kenapa gak? Dulu kita akur." Sambil memasukkan sebelah tangan di saku celana, Arven berdiri menghadap Askar.
"Itu dulu, gak sekarang!" ucap Askar sambil tersenyum kecut. "Lo harusnya paham hidup kita udah beda. Lo yang ngerusak semuanya!"
Seperti yang sudah-sudah, masa lalu tidak akan pernah berhenti memberikan dampaknya. Arven tersenyum sinis, seketika teringat ketegangan ini bermula darimana.
"Gue salah karena gak dengerin bokap gue," Askar tertawa pahit. "Gue salah karena percaya sama anak pembawa sial kayak lo!" Hinaan yang sering Arven dengar, mungkin dia masih bisa menganggap biasa jika orang lain yang menghina, tapi tidak keluarganya sendiri. "Orang tua lo mati karena lo! Dan ... adek lo mati juga karena lo! Hebat bukan? Lo tuh pembunuh!"
Cukup perkataan itu menggelapkan akal sehat Arven dan merusak habis pertahanan emosinya. Dia tidak lagi menghalau tangannya untuk mencengkeram kerah Askar kencang.
"Lo mau nonjok gue?" tanya Askar dengan nada meledek. "Silahkan tonjok, mau pipi kanan atau pipi kiri?"
Arven jelas berusaha kuat mengendalikan kembali emosinya agar menjauhkan tangannya dari kerah Askar. "Lucu, saat dulu gue selalu mati-matian nutupin hobi lo dari bokap lo, yang padahal ujungnya gue yang kena, dikurung di gudang sama kakek. Tapi apa, saat gue butuh, lo justru gak peduli!"
Emosi di raut Askar meredup seketika itu juga.
"Lo gak percaya sama gue?" Arven tersenyum miris. "Padahal kenyataannya lo ada di tempat yang sama saat kecelakaan adek gue. Lo liat, tapi depan kakek lo ngarang semuanya."
Tanpa peduli Askar yang tak lagi berkutik. Arven melangkah keluar ruangan osis sambil membawa jaketnya yang tersampir di kursi. Karena untuk saat ini yang Arven butuhkan hanya udara segar agar emosinya meluap dan hilang.
"Kak Arven!"
Selangkah keluar pintu Arven berhenti. Memutar tumitnya dan menemukan Avisha dengan cengiran khasnya. Cewek itu berdiri dari kursi panjang yang tergeletak di luar ruang osis lalu melangkah mendekatinya.
"Kak Arven Visha mau nanya—eh kak Arven kenapa?" Cewek itu jadi mengernyit. Sial! Tampaknya emosi yang membara di mata Arven terlalu mudah dilihat.
"Gue gak kenapa-napa," Arven menjawab tenang. Mengubah rautnya cepat.
"Masa sih, tapi muka singanya keliatan makin serem."
"Muka singa?" Arven mendelik.
Avisha menyengir lucu. "Iya, panggilan khusus," Lalu menambahkan. "Bentar, jangan marah dulu, singa yang ini beda, singanya Visha yang imut." Kemudian begitu entengnya Avisha menepuk-nepuk sebelah pipi Arven dengan senyum.
Sentuhan itu tentunya punya dampak besar untuk Arven. Yang selanjutnya dia mengambil tangan Avisha di pipinya tak mau berlanjut. "Berani nyentuh gue ya lo sekarang?"
"Berani dong, kan kak Arven juga suka." Dan seperti biasa tingkat percaya diri Avisha selalu melampaui batas.
"Kata siapa? Justru gue alergi," ucapnya tak sesuai fakta. Yang membuat cewek itu langsung memelotot dan mencibir. Ekspresi yang entah sejak kapan selalu menarik buatnya. Cuma wajah cemberut Avisha yang bisa mengembalikan kembali mood-nya.
"Udah, gak usah ditekuk gitu bibir lo, jadi ke kantin?"
"Jadi, cuma Visha mau nanya dulu, kenapa foto ..."
"Visha!"
Sekompak itu Arven dan Avisha langsung menoleh. Jika sekarang Avisha jadi melebar terkejut, beda dengan Arven yang secepat itu rautnya kembali berubah.
"Kak Askar?"
Dan melihat bagaimana ekspresi Avisha sekarang membuat alis Arven terangkat bingung.
"Ngapain di sini?"
Sebentar ... Arven tidak tahu jika mereka saling mengenal?
"Ah itu ... Visha ... Visha mau," Wajah kebingungan Avisha terlalu jelas Arven lihat. "Visha ..."
"Ketemu gue," Arven memotong, menatap Askar yang tampak terkejut. "Kenapa?"
"Ketemu lo?" Yang ini Askar tiba-tiba maju selangkah di depan Arven.
"Aduh Visha mendadak gugup gini berdiri di depan ketos sama waketos." Avisha bercanda sambil menyengir. Namun, hal itu tak juga membuat dua cowok depannya beralih dari saling melemparkan pandangan.
"Lo kenal dia?"
Arven mendengkus. Memangnya harus lagi dipertanyakan. "Emang kenapa kalo gue kenal dia?"
Dan dari perkataan itu seperti ada yang menyeret udara kelam yang membuat atmosfer terasa berbeda. Askar tiba-tiba tertawa, Avisha jadi kaget dan Arven yang menaikkan alis heran.
"Gue pun kenal dia, bukan cuma sekadar kenal."
Walau raut Arven tak berubah sedikit pun, tapi ucapan itu sangat mengejutkan buatnya.
"Ini lucu! Kayaknya takdir emang suka main-main." Askar mengangkat senyumnya. Senyum miring itu terlihat begitu jelas di mata Arven. "Buat kedua kalinya, kita terikat sama cewek yang sama."
Bagai dihantam batu besar, Arven merasa seluruh tubuhnya berubah kaku. Dia perlahan menoleh, menatap Avisha yang bingung melihat mereka.
"Tapi," Askar kembali bersuara. Suaranya lirih. "Gue gak akan ngalah kali ini!"
Arven masih terkunci di pijakan disaat Askar sudah beralih pada Avisha dan tersenyum pada cewek itu. "Gue duluan ya, Sha."
"I-iya, kak," Avisha kaku.
"Kalo gue chat nanti, balas yang cepet dong. Jangan biarin gue nunggu." Askar tertawa lalu dengan sengaja dia mengusap rambut Avisha pelan. Cewek itu tampak kaget walau mengiyakan saja setelahnya.
Askar pergi, tapi atmosfer kelam itu belum juga beranjak.
"Kak ..."
"Dimana lo kenal Askar?"
Avisha diam. "Kak Askar kan wakil ketua osis, ya masa Visha gak kenal."
"Dimana lo kenal Askar?" ulang Arven lalu maju selangkah sambil menatap Avisha lurus-lurus. Cewek itu jadi tergagap dan kebingungan sendiri. Menahan dada Arven yang semakin mendekat.
"Kak Askar itu ... yang jadi ketua perekrutan perkumpulan kelas sepuluh yang di hari sabtu," Penjelasan masuk akal. Arven hampir lupa jika Askar adalah ketua ekskul musik. "Terus ... Visha juga pernah ketemu dia di minimarket, terus ya kenalan aja gitu tiba-tiba."
Arven terdiam. "Tapi lo nyimpen nomornya."
"Karena dia yang nyuruh save."
"Kalo gitu blokir."
Avisha sontak terkejut luar biasa. "Blokir? Kak Arven ngaco nih! Dia kan kakak kelas, masa nomornya Visha blokir gak sopan dong! Lagian dia gak ganggu kok!"
"Oh berarti lo suka dichat sama dia?"
"Ya mending kak Askar. Dibanding kak Arven, chat Visha gak pernah dibales!" balasnya berani.
"Gue kadang bales."
"Tapi, singkat!" Avisha mendengkus.
"Ya emang buat apa chat dibales, kalo bisa ketemu. Gue bisa liat lo langsung bukan cuma tulisan." Setelahnya dengan santai Arven melangkah meninggalkannya yang mendadak beku di pijakan.
Sebentar ... ini kenapa Avisha langsung lemah cuma karena ucapan seperti itu. Cih!
•••
Sepanjang jalan di koridor semua mata memerhatikan mereka. Dan saat tiba di kantin Avisha ingin bernapas lega, tapi seharusnya dia paham seluruh populasi kantin justru lebih banyak dan tak segan menyorot dengan terang-terangan.
"Kak Arven!"
"Mm."
Arven meletakkan nampan berisi pesanannya. Sebelumnya memang cowok itu meninggalkannya sejenak untuk mengantri makanan.
"Kenapa ... kak Arven upload foto Visha di instagram kak Arven?"
Yang cowok cuma mendongak menatapnya dan tak acuh. "Kenapa emangnya? Gak boleh?"
"Pake nanya lagi!" Avisha mendelik. "Seharusnya kak Arven izin dulu sama Visha."
"Kenapa gue harus izin?" Arven menyesap jus jeruknya santai. "Itu akun gue dan yang kedua foto itu ada di handphone gue, jadi ya terserah gue."
Berdebat dengan Arven memang menguras tenaga. "Dih! Tapi kan tetep aja, kalo kak Arven mau ngeupload, tanya Visha dulu. Kan Visha jadi kaget saat temen-temen Visha bilang, Visha sama kak Arven ... jadian." Yang kata terakhi Avisha mencicit kecil
"Kenapa lo baper dikira kita jadian?"
Avisha kehabisan kata-kata sekarang.
"Tau ah! Males ngomong sama kak Arven." Dia tak mau melanjutkan perdebatan yang pastinya akan kalah. Dia menarik piring somay-nya dan mulai memakan diam.
Namun, menit berikutnya Avisha terkejut saat Arven mendorong ponselnya di meja ke arahnya, yang membuatnya bisa melihat layar cowok itu menampilkan akun instagram miliknya.
Dengan beribu akun yang mengikuti dan cuma dua puluh orang yang diikuti, Avisha bukan tertarik pada itu. Tapi, fakta foto yang cowok itu post cuma ada satu foto.
"Kenapa ... kenapa kak Arven cuma ngepost satu foto?" Avisha mendongak. "Cuma foto Visha?"
"Karena dari banyaknya foto pemandangan di handphone gue," Arven menunjuk layar ponselnya. Lebih tepatnya pada foto Avisha yang diambilnya diam-diam kemarin. "Cuma foto ini yang paling gue suka."
Sepertinya cuma seorang Arven yang berkata datar tapi begitu besar dampaknya bagi Avisha. Jantungnya jadi berdetak gila.
•••
Jadi model Arven sekarang ya, Sha?😌 Aduh penasaran jadinya isi hp Arven tuh ada apa aja :)))
Singa imutnya Visha😋😂
Lebih manis dari es krim😋
yhaaaa posenya sama2 lgi liat hp dunds😆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro