A;A45-Senyum Berarti
Kayaknya butuh asupan semangat nih :((
Takut aku susah buat update, bakal update sih, cuma kayaknya bisa seminggu sekali karena gak punya waktu :(
Makanya minta vote, komen boleh dong :)
▪
PADA boncengan Nata, Avisha cuma bisa mencengkeram jaket denim yang cowok itu kenakan, seolah hal itu bisa menyelamatkannya dari tiga manusia yang berdiri menghalangi jalan.
"Gimana nih Nata?" Avisha berbisik pelan di samping telinga Nata yang tertutup helm. Yang cowok membuka helm yang dipakainya, sebelum menoleh padanya dengan raut yang Avisha sangat tahu diusahakan tenang.
"Gue pernah jadi anggota karate pas SD sama SMP, kalo lo lupa, Sha. Jadi tenang aja."
"Ya Visha tau," dibalik kepala Nata, Avisha mengintip takut tiga orang di sana. Penampakkannya bisa dibilang sangat menakutkan dengan celana sobek, hidung bertindik, dan salah satu di antaranya tangannya dipenuhi tato abstrak. "Tapi, kan Nata bukan lawan satu preman. Ini tiga preman!"
"WOY!" Preman yang bertindik di hidung memukul aspal dengan sebuah kayu yang dibawanya. Sepertinya nyawa mereka memang tergantung pada keberuntangan sekarang. "Turun lo berdua dari atas motor! Malah rapat!"
"Nata, kayaknya ... kayaknya kita bakal abis di sini," cicit Avisha gemeteran. "Nanti kalo kita death, mayat kita gimana Nata? Gak mungkin kan tiga premannya bawa mayat kita pulang buat dikuburin. Pasti mereka bakal buang mayat kita ke kali. Ih serem!"
"Sha," Nata memasang muka lelah. "Ini situasinya lagi kayak gini, lo malah bercanda."
"Dih! Siapa yang lagi bercanda. Visha serius ... mereka orang jahat dan otaknya pasti ..."
"TURUN LO!" Sekali lagi terdengar pukulan kayu kencang di aspal. Mereka berdua berjengit.
"Lo gak usah turun," Nata menstandarkan miring motornya. "Biar gue aja." Dia kemudian menurunkan diri dari atas motornya, berjalan ke tengah di depan para preman yang seolah siap menghilangkan nyawa mereka.
"Mau apa, bang?" tanya Nata mencoba santai.
"Kenapa cewek lo gak turun?!" Preman bertato mengunyah permen karet dalam mulutnya. "Suruh turun!"
"Dia bukan urusan lo bang, di sini lo cuma berurusan sama gue." Jika sudah begini, entah kenapa Nata jadi terlihat dua kali lipat lebih keren. "Biar cepat kelar, lo bertiga mau apa?"
"Suruh turun cewek lo!" Kali ini preman yang paling pendek maju mencengkeram kerah seragam Nata.
"Enggak!" Nata menggeleng. "Dia gak akan terlibat di sini!"
"WOY TURUN LO!" Lelaki bertato membuang preman karetnya sekaligus meludah. Membuat Avisha jijik bercampur ngeri melihat mukanya. "Turun! Atau cowok lo bakal abis!"
"Bentar ya bang," jujur Avisha sedari tadi gatal ingin berkomentar. "Pertama, berhenti manggil Visha tuh cewek Nata, kita gak pacaran! Dan kedua, itu ..." Avisha menunjuk bekas permen karet dengan raut jijik. "Permen karet gak bisa dibuang sembarangan, bang. Misalkan ada orang lewat, terus keinjek. Ew, jorok banget sih!"
"LO BERANI HAH!" Si tato itu hendak melangkah mendekati. Avisha refleks mengangkat tongkatnya. Tapi, Nata sudah lebih dulu merentangkan sebelah tangan, menghalangi jalan si preman.
"Kalo lo sentuh dia seujung jari pun, gue gak bisa santai lagi bang," Nata tak peduli pada kerahnya yang semakin ditarik, membuat lehernya terasa tercekik.
"Kayaknya gue juga udah gak bisa santai," Si tato menyeringai. Menambah daftar Avisha untuk menghina muka jeleknya. "Lo, habisin dia," Bagai bos, dia memerintah si preman pendek, "dan lo, tarik ceweknya." Kemudian menunjuk preman bertindik.
Avisha terbelalak. Apalagi Nata yang hendak melawan, malah mendapat tonjokkan di wajahnya.
"ANJING!!" Nata mengumpat dan secara naluriah Avisha hendak mengomel, tapi malah dikejutkan saat tubuh Nata dilempar ke aspal.
Bersamaan dengan itu preman bertindik menghampirinya, yang membuatnya refleks mengangkat tongkat. "Jauh-jauh ya, bang! Kalau gak mau kepalanya dicium sama tongkat Visha!"
Ancaman Avisha malah dianggap lucu sama si preman, dia tersenyum dan mengangkat tubuhnya tiba-tiba ke bahu besarnya. Avisha terkejut dan sontak memukul-mukul punggung preman dengan tongkatnya.
Namun, yang dilakukannya tidak membuat si preman kesakitan dan melepaskannya. "Turunin Visha! Turunin! Abang preman jelek mau mati yang sama tongkat Visha! Turunin sekarang!"
"Turunin dia bangsat!" Teriakkan Nata setelahnya teredam oleh suara kulit beradu tulang. Avisha meringis mendengarnya, sangat tahu jika Nata sekarang tengah dipukuli habis-habisan.
Avisha meronta, kakinya yang sehat menendang-nendang tubuh preman. Dia terus berteriak meminta diturunkan bersamaan dengan Nata yang selalu berusaha membalas tonjokkan, walau malah mendapatkan tonjokkan yang lebih banyak dari dua preman depannya.
Kekesalannya Avisha tentunya semakin meningkat, apalagi melihat Nata yang tergeletak tak berdaya dengan wajah babak belur mengeluarkan darah.
Dengan mengandalkan sisa terakhir tenaga, Avisha mencakar kencang punggung preman dengan kukunya. Membuat yang preman memekik kaget dan kesakitan, dia refleks menjatuhkan tubuh Avisha ke atas aspal.
Avisha meringis kesakitan.
"SIALAN!!"
"Itu cuma satu cakaran ya bang, Visha bisa nyakar muka abang biar makin jelek dan gak ada cewek yang mau!"
"LO!" preman bertindik menudingkan telunjuk di depannya. Wajahnya sudah seperti kerbau kurang asupan. "Kalo bukan karena boss gue," Dan untuk itu Avisha mendadak kaku. "Gue gak segan-segan ngabisin lo, walau lo cewek."
Nata di sana kembali berdiri dan kembali melakukan perlawanan. Dan bukan itu yang menarik perhatian Avisha melainkan kata-kata yang preman itu ucapkan.
"Lo Avisha Pratista bukan? Anak Devin Kayden? Boss gue nyuruh bawa lo!"
Seolah tenaga luruh seluruh-luruhnya, dia tak bisa melawan lagi saat preman itu mengangkatnya kembali di atas bahu.
"Sha, Sha!" Nata berteriak-teriak memanggilnya saat dirinya justru cuma diam saat dibawa ke arah motor mereka.
Dan seolah semuanya belum berakhir, Avisha kembali disadarkan dan dikejutkan di waktu bersamaan saat salah satu preman terpental oleh sebuah tonjokkan kencang.
Avisha tidak tahu yang terjadi karena posisinya tergantung di punggung preman dan membelakangi.
"Turunin dia!" Cuma kalimat itu, tapi mampu membuat Avisha beku.
"Kak Arven?"
"Siapa lagi lo?!"
"Gak perlu tau siapa gue," suara dinginnya seolah membekukkan. "Turunin dia, dan lo semua gak bakal kenapa-napa."
Di sini, Avisha mati-matian mencerna. Kenapa ... kenapa cowok itu bisa ada di sini?
"Cih! Anak kencur aja belagu lo!" preman bertato merendahkan. "Lo mau abis kayak anak itu." Dia menunjuk Nata. "Jangan dah mending, kasian muka ganteng lo entar ancur." Kemudian mereka semua tergelak.
Apanya yang lucu!
"Sayangnya, kayaknya lo yang harus sedih muka lo makin jelek nanti bang." Yang detik berikutnya terdengar umpatan kasar dari preman bertato karena serangan tiba-tiba.
Perkelahian langsung terlibat di sini. Sebenarnya Avisha penasaran bagaimana cara Arven berkelahi. Tapi, dari suara preman yang makin mendesis seperti banteng mengamuk dan suara Arven yang tak terdengar sedikit pun, Avisha bisa menebak jika Arven berada di atas mereka.
Preman yang menggendongnya terpaksa menurunkannya kasar. Avisha sontak hendak mengomel karena bokongnya jadi sakit. Tapi, malah ternganga melihat dua preman lain berbadan besar itu tergeletak babak belur.
"ANJING BANGET LO!" Preman tampak murka melihat dua temannya dihabisi di tangan Arven begitu saja. Avisha di sini ternganga tak percaya. Apalagi melihat wajah Arven cuma beberapa yang lebam dan sisanya malah penuh pada wajah preman.
"Gue udah bilang," Avisha seperti harus dibuat kagum oleh cara santai Arven memasukkan tangan ke kantong celana seperti sekarang. "Mending lo turunin cewek itu, dibanding jadi kayak gini."
"BANGSAT!" Sedetik lagi tonjokkan si preman mengenai wajah Arven, saat justru dengan cepatnya cowok itu tangkap dengan sebelah tangan.
"Ini yang gue benci dari berantem. Orang yang suka berantem lebih pake emosi, dibanding otaknya." Setelahnya Arven memelintirkan tangan si preman membuat si preman mengaduh kesakitan, yang kemudian menyentaknya jatuh ke aspal.
"Lo tanya gue siapa?" Arven menginjak perut si preman, membuat Avisha hampir refleks memekik. "Gue Arvendino Gazkel, mungkin kenal nama belakang gue?"
Mata yang preman seolah ingin loncat keluar meresponnya. Terbelalak luar biasa. Beringsut menjauh dengan ketakutan. Bahkan dia perlu membangunkan kedua temannya cepat-cepat.
Melihat hal itu, Avisha kebingungan sendiri. Dia masih diam saat ketiga preman tertatih-tatih pergi dari sini.
"Lo gak pa-pa?" Avisha langsung mendongak saat ada bayangan berdiri di depannya. Cowok itu, Arven mengulurkan tongkatnya, yang Avisha terima dengan wajah masih kebingungan.
"Kak Arven kenapa ..."
"ARGH!" Mendengar suara rintihan Nata, mengalihkan Avisha ke cowok itu yang susah payah berdiri. Membuatnya sontak ikut berdiri dengan tongkatnya dan tak memedulikan Arven.
"Nata gak kenapa-napa?" Dia mengecek seluruh lebam di wajah dan tubuh Nata.
"Gue gak kenapa-napa," Dia tersenyum mengulurkan tangannya menyentuh pipi Avisha. "Lo gak pa-pa kan?"
"Kenapa Nata malah nanyain Visha, jelas Nata yang kesakitan di sini!" Melihat wajah Nata yang penuh luka membuat Avisha tanpa sadar merasa sakit dan matanya mendadak perih. "Nata kayak gini karena Visha."
"Sha, gue gak kenapa-napa." Nata tertawa mengusap kepalanya.
"Tapi tetep aja ..."
Terdengar deheman kencang yang memutus ucapannya begitu saja. Avisha langsung mendelik pada Arven.
"Lo gak denger dia ngomong apa. Harus banget diulang ya, dia tuh gak kenapa-napa!"
Ingatkan Avisha jika dia masih kesal pada Arven. "Kak Arven tuh gak liat ya, badan dan muka Nata babak belur kayak gitu! Dan gak mungkin itu baik-baik aja!"
"Lo gak liat muka gue?" Arven menaikkan alis.
"Cih! Itu mah gak bisa dibilang luka, lebam di muka kak Arven bisa dihitung, beda sama Nata!"
"Sama aja, gue juga ngelawan preman tadi!"
"Ya terus?"
"Sha, udah gue gak kenapa-napa!" Nata memegang keningnya. Entah merasa sakit atau pusing melihat perdebatan mereka.
"Tuh lo denger, dia gak kenapa-napa. Jadi, mending lo pulang barenga gue, biar aman."
"Dih gak mau!" Avisha menepis tangan Arven yang hendak menjangkau tangannya. "Nata itu lukanya harus diobatin dulu, Visha gak mau tinggalin Nata gitu aja."
"Ini gampang, Sha. Gue bisa diobatin sama kakak gue." Avisha mau protes, saat tangan Nata mengusap pipinya sekali lagi. "Udah ya, Sha. Lo sama orang ini aja, biar aman. Gue takutnya preman tadi masih penasaran ngincer lo."
"Gak, gak!" Avisha cemberut. "Visha gak mau, Visha mau ngobatin Nata." Dia memegang tangan Nata di pipinya.
Arven di sebelahnya mendengkus. "Terserah, kalo preman balik lagi dan Nata gak bisa jagain lo. Gue gak bisa cegah buat yang kedua kali," ucap Arven dan hendak berlalu, saat Avisha menahan lengannya.
"Ini Nata beneran gak pa-pa?" Avisha bertanya, yang dijawab Nata anggukan sambil meringis.
"Ya udah," Avisha balik menghadap Arven. "Terpaksa, Visha balik bareng kak Arven. Ini juga karena Visha gak mau preman tadi nonjok Nata lagi."
•••
Pemandangan luar jendela seolah lebih menarik dibanding cowok sebelahnya, Avisha cuma diam sepanjang jalan, mengabaikan Arven. Meski dari sudut mata dia sangat tahu cowok itu selalu melirik-lirik ke arahnya.
"Mau sampe kapan lo sok ngambek sama gue?"
Avisha mendengkus dan malahan bergeser semakin pojok di bangkunya sambil melipat kedua tangan.
"Gak usah jutek gitu muka lo, jadi makin aneh."
Masa bodoh!
"Cemberut, cemberut sok imut lo!"
Buat yang ini Avisha langsung memutar tubuh menghadap Arven, bertepatan dengan mobilnya berhenti karena lampu merah.
"Kak Arven ngerti gak sih, kalo Visha tuh lagi kesel sama kak Arven. Sekesel-keselnya jadi kesel dan kesel!"
Arven menoleh dan menaikkan sebelah alis. Ekspresi menyebalkan yang membuat Avisha ingin sekali memukul muka sok ganteng itu!
"Kenapa kak Arven bisa ada di sana?"
"Gak sengaja lewat situ."
"Ha-ha," Avisha ketawa garing. "Gak usah bohong!"
"Siapa yang bohong."
"Gak mungkin itu cuma kebetulan, kak Arven pasti ngestalk Visha kan?" tudingnya curiga.
"Geer banget lo!" Arven kembali menarik perseneling dan menginjak pedal gas. "Gue emang kebetulan aja lewat."
"Ya, ya, ya, ngeles aja terus!" Avisha mencibir kesal.
Arven langsung menatapnya tajam. Hal yang biasa Avisha terima, jadinya tak sedikit pun ciut cuma karena tatapan itu.
"Lo harusnya berterima kasih sama gue." Arven membelok setir ke kiri. "Kalo gak ada gue mungkin lo dibawa tiga preman tadi."
Avisha mendadak terdiam. Teringat kalimat preman yang bertindik ucapkan.
"Lo Avisha Pratista bukan? Anak Devin Kayden? Boss gue nyuruh bawa lo!"
Tanpa sadar, Avisha meremas rok seragam selututnya gelisah. Bagaimana ... bagaimana kalau orang itu ... orang yang pernah menculiknya sepuluh tahun lalu?! Dia memejamkan mata, menyingkirkan pikiran negatif yang menganggu.
"Kenapa diam?"
Avisha tersentak dan buru-buru mengubah rautnya. "Makasih," ucapnya datar atas permintaan Arven diawal. "Tapi, tetep aja gak seharusnya kak Arven tega ninggalin Nata di sana. Dia kesakitan, wajahnya babak belur. Kenapa dia gak ikut kita naik mobilnya kak Arven aja?!"
"Dia bawa motor, lo mau motornya ditinggalin di sana?"
Benar juga, tapi ...
"Tapi, gimana kalo premannya balik lagi dan nyerang Nata. Dia sendirian, gak mungkin bisa ngelawan."
"Preman tadi gak mungkin balik lagi. Lo tenang aja."
"Kenapa kak Arven seyakin itu?!" tanyanya kesal. Meski setengah jawabannya Avisha sangat tahu. Saat Arven menyebutkan nama lengkapnya, tiga preman itu seperti berhadapan dengan malaikat maut. Mereka pergi begitu saja dan menerima kekalahan.
"Setelah tau siapa gue, mereka gak akan berani berurusan sama orang-orang yang dekat sama gue. Jadi, kalo lo mau aman, mending di samping gue. Paham?"
Avisha mendengkus malas. "Tapi Visha masih kesel sama kak Arven. Jadi gak usah deket-deket sama Visha."
"Kalo gitu kenapa gak turun?"
"Hah?" Avisha kebingungan.
"Kenapa gak turun dari mobil gue? Katanya gak mau deket-deket?"
Avisha langsung mendelik. "Kak Arven lupa ya, kalo kak Arven yang maksa Visha naik mobil kak Arven!" Setelahnya dia membuang muka malas sekaligus kesal. Tanpa tahu, yang cowok tersenyum samar melihat tingkahnya.
"Mau es krim?" Lampu merah lagi. Mobil kembali berhenti.
"Kak Arven gak usah nyogok Visha!"
"Siapa yang nyogok," Arven menumpukkan kepalanya pada tangan di atas setir dan menoleh pada Avisha yang masih memasang muka masam. "Itu di seberang ada kedai gelato yang pernah kita makan. Mau gak?"
Dari sudut mata, Avisha tahu kedai yang Arven maksud. Tapi, dia malah menjawab. "Gak, Visha kenyang abis makan martabak."
Jual mahal sedikit tidak apa-apa bukan?
"Yakin?"
"Yakin!" jawabnya tak tergoda.
"Padahal ada rasa baru, katanya sih cheese vanilla campur matcha." Oh sial! Cuma disebutkan saja, Avisha sudah membayang betapa indahnya rasa es krim itu. "Kesukaan lo kan? Mau gak? Kalo mau gue belok buat puter balik."
Avisha masih menimangnya dalam hati.
"Lampu merahnya tinggal tujuh detik. Satu, dua ..."
"Oke, Visha mau!" ucapnya langsung membuat Arven tersenyum geli. "Dibayarin kan? Eh kak Arven ngetawain Visha ya?"
Dengan senyumnya, Arven menoleh. Avisha yang melihatnya terkejut. "Gue bayarin," ucapnya sambil mengusap poninya. "Asal berhenti ngambek gak jelas ke gue."
•••
Semangkuk isi gelato yang dipesannya beberapa menit lalu kini tampak bersih. Avisha mendorongnya ke depan Arven yang cuma diam memerhatikannya.
Avisha berdeham. Bergumam lama. Hal yang membuat Arven menaikkan alis heran.
"Mm ... kayaknya ... Visha kurang," ucapnya tanpa menatap Arven dan malah sibuk mengamati keadaan kedai yang ramai oleh anak-anak muda.
"Bukan katanya kenyang?" Arven bertanya, walau dalam hati menahan senyum melihat Avisha yang sok jual mahal.
"Perut bagian kirinya belum keisi." Avisha berusaha untuk tidak tampak memalukan. "Lagian ya kak Arven sendiri yang bilang mau traktir Visha biar berhenti ngambek."
"Mm," Arven mengangguk. "Tinggal pesen. Gue gak ngelarang."
Mata Avisha langsung berbinar dan tersenyum lebar. Memanggil seorang pelayan untuk memesan menu yang sama dengan yang sebelumnya dia pesan. "Tapi, waffle-nya tambahin ya?"
Pelayan yang mengenakan topi berenda lucu itu mengangguk dan berlalu setelah memastikan sekali lagi pesanan Avisha. Di kursinya, Arven tak dapat menahan senyumnya lagi. Entah kenapa lucu melihat Avisha yang awalnya sok menolak, malah sekarang merusak citranya sendiri.
"Jadi udah selesai ngambeknya?"
"Ya udah lha ya," Avisha mengangguk malas. "Karena kak Arven udah baik hati traktir Visha es krim, kita gak musuhan lagi."
Arven berdecak dalam senyumnya. Avisha yang melihatnya menyipitkan mata, yang detik berikutnya mendengkus. "Heran Visha sama kak Arven, giliran disuruh susah banget senyumnya. Ini malah senyum!"
"Gue senyum ya karena pengen. Beda sama lo yang emang suka ngumbar senyum."
"Karena Visha ini penganut senyum itu ibadah. Kak Arven seharusnya juga kayak gitu."
Arven langsung mengubah rautnya saat sang pelayan mengantarkan pesanan Avisha yang kedua. Perhatian cewek itu teralihkan sesaat.
"Kalo gue cuma pengin senyum depan lo gimana?"
Sendok suapannya menggantung begitu saja. Avisha justru ternganga mendengar yang Arven katakan.
"A-apa?"
"Gue gak gampang senyum, Sha. Kalo gue senyum berarti lo emang sepenting itu." Arven mengambil sendok di tangannya. Avisha masih diam saat Arven menyuapkan es krim ke mulutnya. "Jadi berhenti nyuruh gue senyum. Kalo lo mau liat senyum gue, gampang. Cukup lo di samping gue."
Sepertinya bukan es krim di mulut Avisha yang langsung meleleh. Karena ada sesuatu di bagian tubuhnya yang seolah ditembak langsung dan membuatnya tak mampu berkata-kata.
•••
Lawan Arven tuh ada dua, Nata ... Askar wkwkwkwk.
Oh ya buat yang nanya Askar, dia aku kurung dulu buat nyiapin amunisi. Nanti dikeluarin pas waktu tepat, ditunggu aja :v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro