A;A42-Ketakutan berkala
Susah ya emang vote atau komen gitu?
Aku cuma minta itu aja kok buat penyemangat :((
Silent readersnya soalnya makin bikin sesak napas wkwkwkwk
▪
ENTAH kata apa yang pantas untuk Avisha katakan pada langit jingga yang mengukir di atasnya.
"Itu ..."
Avisha speechless. Itu terlalu indah. Terlalu memesona. Sampai Avisha seperti terbuai dan lupa pada apapun di sekitar.
Termasuk Arven yang berdiri di belakangnya dan masih memegang kedua sisi lengannya.
"Sisa setengah jam."
"Visha pikir kita bakal nonton sunset di dermaga lain. Tapi ... ternyata," Avisha menoleh memandang Arven di belakang. "Visha gak nyangka kak Arven bakal ngajak Visha nonton sunset di atas kapal."
Cowok itu tak mengatakan apapun, cuma menarik tubuhnya untuk duduk di atas lantai yacht miliknya.
"Biar beda." Arven menopangkan tubuhnya pada kedua tangan di belakang. Sementara kepalanya terdongak ke atas.
"Biar beda?" Avisha tersenyum. "Biar keliatan romantis kali maksudnya." Kemudian dia tertawa. "Tapi aneh sih singa ternyata bisa romantis."
"Kayaknya lo kurang baca buku, justru singa hewan paling romantis sama orang yang dia sayang."
Avisha mendadak linglung. "Jadi ... Kak Arven sayang Visha?"
"Bukan kita lagi ngomongin singa?" Alis Arven terangkat menyebalkan. Membuat Avisha mendengkus, karena sudah berharap pada hal tak penting.
Dia kembali mendongak ke atas. "Jujur ya, Visha cuma pernah liat ini pas di film-film yang Yaya suka tonton. Visha gak pernah liat langsung."
"Lo gak pernah liat sunset?"
"Sering," Avisha kemudian tersenyum. "Tapi gak pernah yang seindah ini." Matanya seperti menerawang. "Papa-Mama sering ngajak Visha jalan-jalan keluar kota atau keluar negeri. Tapi, ya ujung-ujungnya cuma di hotel atau belanja di mall-nya. Jarang banget mereka ajak Visha liburan ke wisata alam. Apalagi ngeliat hal indah kayak gini."
"Kadang, orang tua emang terlalu fokus sama kebutuhan anaknya. Tanpa nanya, sebenarnya apa yang anaknya mau."
Avisha menatap lagi Arven dan terdiam.
Bagaimana Avisha menjelaskan yang dia rasakan sekarang. Terlalu sulit dijabarkan kata. Namun, hati seolah memberitahu semua. Saat semua yang ada di lelaki itu begitu membuatnya senang. Walau memang mulut cabenya suka terlontar menyakitkan.
"Eh-eh itu ada burung!" Avisha berseru saat melihat langit. Dan membuat yang cowok ikut mendongak. Di antara langit jingga yang memukau mata, ada kawanan burung yang terbang melintasinya.
"Liat burung laut, Visha jadi keinget nama kak Arven yang punya arti burung elang." Avisha menatapnya bersama senyum. Dan tak menyadari sorot mata Arven yang berubah. "Pasti orang tua kak Arven punya filosofi tentang nama itu. Kira-kira kak Arven tau?"
Cowok itu diam.
"Nih kalo Visha, Mama pikir anak kedua Mama itu bakal cowok lagi. Makanya dia nyiapin nama Avisha. Tapi, ternyata Mama ngelahirin anak cewek." Avisha tertawa. "Mama gak mau ganti atau buat nama baru, karena bukan jenis kelamin atau apapun. Mama emang suka arti namanya. Avisha yang berarti hadiah dari Tuhan."
Avisha menoleh. "Kalo kak Arven ..."
"Arven," Cowok itu bergumam. "Itu bokap gue yang buat. Katanya supaya gue kayak elang yang pemberani. Elang yang gak takut apapun. Dan elang yang selalu terdepan."
"Itu berarti cocok buat kak Arven. Elang yang ditakutin siapapun. Semua yang di sekolah, takut sama kak Arven." Avisha bermaksud bercanda. Namun, iris hijau itu makin menyimpan ribuan luka.
"Kenapa mereka harus takut sama gue. Mereka seharusnya gak perlu takut sama burung elang yang justru punya ketakutan sendiri. Elang yang pengecut. Elang yang sampe kapanpun cuma ke kunci di kandang."
Perkataan Arven sedikitpun tak mampu Avisha mengerti. Mungkin memang otaknya lama mencerna. Namun, itu juga karena ucapan Arven yang terlalu berteka-teki.
"Elang yang selamanya cuma jadi objek oteriter kakeknya."
"Kak Arven kenapa ..."
"Kayak lo, Sha ..." Arven menatapnya kali ini. Bersama duka yang tersembunyi begitu apik di mata tajamnya. "Gue punya trauma. Punya ketakutan. Tapi, yang beda mungkin orang tua lo paham ketakutan lo. Beda dengan keluarga gue yang justru nganggep gue gila. Mereka gak percaya dan gak akan pernah percaya."
"Kalo gitu itu bukan keluarga namanya kak Arven!" Entah kenapa Avisha jadi ingin marah. Walau bertanya-tanya masalah apa yang tengah mereka perbincangkan. "Salah satu pedoman keluarga itu ya harus saling percaya."
"Tapi, kadang kalo lo mau buat semua orang percaya. Lo perlu bukti."
"Gak perlu kok. Cukup liat matanya aja, karena mata gak bisa bohongin siapapun." Avisha terdiam sesaat. "Sebenarnya kita lagi ngomongin apa sih kak Arven?"
Andai saja cewek itu tahu. Di sini, Arven berusaha keras menahan senyumnya.
"Lo bilang semua manusia di sekolah takut sama gue. Terus kenapa lo gak?" Arven justru membawa topik lain.
"Itu karena disaat semua orang takut deket kak Arven," Avisha menjawab bersama senyum. "Visha justru suka deket kak Arven."
Jika diufuk barat, matahari perlahan tumbang. Sama halnya pertahanan Arven yang hampir runtuh. Sangat nyaris senyum itu terangkat di bibirnya.
"Kak Arven mau senyum ya?" Ketahuan ternyata. "Ayo dong senyum! Nih kayak gini." Cewek itu antusias. Memeragakan senyum lebar di wajahnya. "Gampang tau, angkat aja bibirnya."
Avisha refleks menyentuh kedua ujung bibir Arven. Mulai gregetan. Tingkah yang pastinya membuat yang cowok tanggap memegang tangannya.
"Ada dua hal yang harus lo tau," Arven mencekal tangannya kuat. Bukan cekalan yang membuat Avisha kesakitan. Namun, begitu lembut tapi sulit dilepaskan. Bersama matahari yang perlahan tenggelam di tempat peristirahatan.
"Kalo gue senyum tanpa ditahan, itu berarti lo orang penting buat gue. Kalo lo buat gue ketawa bebas. Lo yang paling spesial. Dan gak semudah itu lo jadi yang keduanya."
•••
"Mama ... Dino takut!"
"Tenang sayang, tenang ..."
Mamanya berusaha menenangkan. Namun, suara tembakkan di luar mobil membuat mamanya refleks memekik kaget dan menunduk cepat. Sementara sang papa, di balik setirnya, dia berusaha menghindari dari luncuran peluru pistol di luar.
Tidak sekali. Tembakkan peluru itu bertubi-tubi. Suaranya mendengung. Memekakan dan semakin membuat lelaki kecil berusia tujuh tahun itu meringkuk di pojok kursi belakang setir.
"Dino, takut. Dino takut, Ma, Pa!"
"Dino, dengerin Papa nak," Papanya bukan saja berusaha fokus pada jalan dan menghindari tembakkan itu. Tapi, dia juga berusaha untuk tidak menampakkan muka paniknya. "Dino itu anak pemberani. Raja elang. Burung yang ditakutin siapapun dan gak seharusnya Dino nangis sekarang."
"Tapi, Dino takut, Pa," anak kecil itu kembali menangis. Mama dan papanya saling pandang sejenak. Ada ekspresi sedih di sana. "Mereka siapa? Kenapa mereka ngejar-ngejar kita? Kenapa mereka jahat main-main pistol polisi kayak gitu?"
Tampak dari jendela ada empat mobil yang mengejar mereka. Mengapit di kanan kiri dan dua lainnya di belakang. Berusaha menyamakan kecepatan sambil mengeluarkan senapan panjang keluar kaca yang terbuka. Memuntahkan isi pelurunya ke arah mobil mereka yang sejak tadi berusaha menghindar.
Bayangkan, bagaimana keadaan ini tidak terasa mengerikan. Papanya menjalankan mobilnya di luar batas normal. Apalagi keadaan sudah malam dan makin pelik karena mobil mereka berada di antara pepohonan yang menjulang.
"Tangan Dino sini, Mama genggam. Biar Dino gak takut lagi." Walau juga gemetaran. Mamanya berusaha terlihat kuat. Mengulurkan tangan yang membuatnya langsung menaruh telapak tangan kecilnya ke sana.
Mereka sama-sama menyalurkan kekuatan di antara ketakutan yang menjebak di setiap sisi.
Sampai salah satu peluru mematikan itu menembus kaca mobil bagian kiri papanya. Secara refleks papanya menunduk dan membuang setir ke kanan dan ... mimpi buruk itu datang.
Mobilnya berguling ke tanah yang curam ...
Secepat itu matanya terbuka nyalang bersama napas tersengal. Detak jantungnya berpacu tak beraturan. Menggema begitu keras di telinga. Pikiran Arven masih perlu dijernihkan saat sebuah telapak tangan mengusap keringat yang bercucuran di dahinya.
"Kak Arven kenapa?"
Dia menoleh dan sedikit terkejut saat melihat Avisha. Untuk kedua kalinya, dia terbangun dari mimpi dan menemukan cewek itu di sisinya. Ini seperti de javu, apalagi keadaannya persis sama. Dia ketiduran di sofa.
"Gue ..." Arven masih butuh mengatur napasnya yang tak sinkron. "Gue gak pa-pa."
"Kak Arven gak bisa bohong sama Visha." Cewek itu terlihat sangat panik sekaligus khawatir. Namun, Arven sendiri belum siap untuk membuka 'masa lalu'-nya pada orang lain.
"Kenapa lo belom tidur?" Dia beringsut menurunkan kakinya ke atas karpet. Duduk berselebahan dengan Avisha yang masih terus menatapnya.
"Visha tadi mau ngambil minum, eh terus ngeliat kak Arven tidur di sofa. Nginggau ketakutan gak jelas." Avisha memiringkan kepala menghadapnya dan saat sekali lagi dia mengusap keringat di wajahnya, Arven agak tersentak.
"Kak Arven kenapa tidur sini? Terus tadi kenapa? Kak Arven mimpi buruk lagi?"
Arven menyingkirkan tangan mungil itu. Dan bukannya melepaskan, dia malah menggenggamnya. Seolah memang dia butuh pegangan saat ini. "Mending lo tidur, udah malem, Sha."
Avisha melirik genggaman mereka. "Visha gak bakal maksa kak Arven cerita. Tapi, boleh ya Visha nemenin kak Arven di sini?"
Betapa kalimat itu diucapkan tulus dengan tatapan polosnya. Seolah memanah Arven tepat dan lagi-lagi irama jantungnya bergerak ganjal.
"Kak Arven bilang kak Arven punya ketakutan kayak Visha. Mungkin karena itu kak Arven juga sering mimpi buruk. Kita punya kesamaan berarti." Avisha tersenyum. Mengetukan jari tangan lain di genggaman mereka. "Jadi, Visha pengin ngelakuin yang pernah kak Arven lakuin ke Visha. Visha bakal nemenin kak Arven tidur, biar gak mimpi buruk lagi."
Walau ruang tamu remang karena lampu sudah dimatikan dan cuma mengandalkan sinar bulan dari luar, Arven sangat jelas melihat rona merah di pipi Avisha. Mengucapkan kalimat sebelumnya dengan malu-malu.
Ekspresi yang cukup menggemaskan dan membuat pikiran kacaunya perlahan memudar berganti gelenyar asing. Secara tak terduga, dia menarik cewek berpiyama kartun itu ke dalam pelukan.
Tanpa peduli Avisha yang kaget, Arven justru menikmati aroma bedak bercampur vanilla yang ada pada cewek itu. Entah sejak kapan, wangi ini yang selalu Arven rindukan.
"Kenapa kak Arven jadi meluk Visha?" kalimat Avisha agak samar di dadanya.
"Lo bilang lo mau nemenin gue," Sepertinya Avisha ingin protes saat Arven kembali melanjutkan ucapannya. "Jadi lo di sini, sama gue, gak boleh kemana-mana."
•••
Sinar mentari merambat di kaca jendela. Menyilaukan pandangan yang membuat pejaman matanya perlahan terbuka. Avisha menyipitkan mata, semuanya masih tampak samar. Lalu ketika dia ingin menggerakan tangan, ada sesuatu yang menahan tubuhnya dalam kurungan.
Secepat itu dia sadar. Matanya membulat syok. Memandang Arven yang memejamkan mata di sebelahnya. Sementara kedua lengannya memeluk Avisha dengan sangat erat.
Ya ampun! Jangan bilang mereka ketiduran di sofa dalam posisi pelukan semalam?
Avisha tanpa sadar kaku dan tak bisa menggerakan seinci tubuhnya. Cuma bisa menatap Arven yang sangat damai memejamkan mata. Begitu dekat jarak antara mereka. Bahkan hidung Arven berada di bawah dagunya.
Ini gila! GILA! Selain Darlan dan papanya, Avisha tidak pernah tidur berduaan dengan lelaki dengan jarak sedekat ini!
"Kak Arven ..." Avisha bergumam pelan dan membuat yang cowok justru menggeliat sekaligus menariknya makin mendekat. Dia tentu jadi meneguk ludah. Melihat bibir Arven hampir mengenai dagu atasnya.
Sebentar-sebentar! Fokus Avisha justru teralih pada wajah polos Arven ketika tertidur. Tidak ada raut dingin di sana, muka sok ketus, dan wajah garang. Semuanya tentram seperti bayi imut yang tampak menggemaskan.
Ini kenapa wajah Arven jadi mendorong keinginan Avisha untuk menatapnya lama-lama. Rasanya dia ingin terus menikmati wajah polos itu disaat detik berikutnya kelopak itu mengerjap beberapa kali. Membuat Avisha makin kaku di sofa.
Dia refleks memejamkan mata dan mengintip takut-takut. Melihat Arven perlahan membuka mata.
Avisha tidak tahu yang cowok lakukan karena matanya tertutup rapat. Namun, dari gerak-gerik Arven, dia cukup sadar Arven terkejut menyadari posisi mereka.
Avisha pikir Arven akan melepaskan.
Namun, saat cowok itu justru merapihkan anak rambut dan poninya dia sedikit kaget walau berusaha tenang seolah memang benar-benar masih tertidur.
HAHA HEBAT! Sepertinya Avisha bisa dapat piala Oscar berkat akting tidurnya ini.
Ini kapan Arven bangunnya? Avisha butuh bernapas! Iya! Sejak tadi dia menahan napas. Itu juga karena Arven yang setelah merapihkan rambutnya kini malah mengusap sisi wajahnya. Begitu pelan dan lembut.
Sumpah demi cangkang tuan krab, Avisha sudah tidak kuat.
"Siapa sangka muka imut polos kayak gini, ternyata bawelnya minta ampun." Avisha jelas mendengar gumaman Arven itu. Lalu dia hampir refleks membuka mata saat Arven mengusap bibirnya pelan. Lama dan terasa menghancurkan rongga dadanya.
Yang setelahnya cowok itu malah mengumpat kasar, entah karena apa. Dan dari gerak-geriknya, Avisha sangat tahu Arven beringsut bangun dan pergi.
Barulah setelah merasa aman, Avisha membuka mata, yang kemudian jadi mengusap bibirnya sendiri.
•••
Pukul sembilan pagi, mereka pergi ke destinasi lain di Lombok. Entah kemana. Avisha tidak bisa bertanya. Maksudnya itu, Avisha malu ingin bertanya. Yang terjadi pagi ini masih menempel erat di ingatannya.
Bukan cuma wajah polos Arven, embusan teratur cowok itu, dan pelukan hangatnya. Jelas yang paling dia ingat saat sentuhan di bibirnya itu.
Avisha mengigit bibirnya tanpa sadar. Menoleh pada Arven yang sudah rapi dengan kaus hitam, celana jeans selutut, dan jangan lupa kacamata yang menggantung di hidung mancungnya. Mungkin cewek-cewek akan tepar di jalan melihatnya. Apalagi Arven kini tampak fokus menyetir dan tatapannya lurus ke depan.
"Kenapa ngeliatin gue terus?" Cowok itu tiba-tiba bersuara. Menganggetkannya tentu saja. Refleks dia membuang muka. Merutuk dalam hati malu sendiri.
"Dih geer! Orang Visha lagi ngeliat jalan sih."
Ini menyebalkan bukan? Saat dia mati-matian berusaha lupa pada kejadian pagi tadi dan semalam. Arven justru tampak biasa. Seolah masih menjadi Arven yang tenang, ketus tak pedulian.
Bukan cuma kejadian pagi ini, melihat sorot ketakutan Arven semalam, juga menjadi hal yang menganggunya.
Entah mimpi apa Arven semalam, yang cukup dia tahu jika mungkin itu berhubungan dengan masa lalu dan ketakutan yang masih perlu dipertanyakan itu.
Avisha melamun sepanjang perjalanan. Cukup merasa bosan karena tidak ada obrolan dan cuma terdengar lagu dari tape mobil. Pemandangan luar tentu lebih menarik buatnya. Di sisi kanan-kiri jalan pohon banyak menjulang. Begitu tinggi dan membuat suasana sedikit redup dan tentram.
Saat mobil akhirnya berhenti. Dahinya lantas mengerut. "Kok kita berhenti di sini?"
Avisha kebingungan dan menyebalkan karena Arven malah mendorong pintu keluar mobil. Dia jadi kesal pastinya. Seharusnya yang Arven lakukan itu menjelaskan. Kenapa mobil mereka berhenti di sebuah pantai.
Dia ulangi pantai!
"Kak Arven kenapa kita jauh-jauh dari Villa cuma mau ke pantai?!" Avisha menyusul keluar. Melihat Arven mengambil tas kameranya di bangku belakang.
"Siapa bilang mau ke pantai?"
"Hah?" Avisha jadi bengong. Jelas-jelas mobil mereka berhenti di lahan parkir wisata yang bertuliskan pantai senggigi.
"Lo gak usah banyak nanya, ikut aja!" Lihat sikap singanya kembali keluar. Avisha mendengkus. Masih pagi dan tidak baik jika mereka jadi berdebat tidak jelas.
Avisha sengaja melangkah di depan. Meninggalkan Arven yang sibuk pada kameranya. Terkadang memotret sekitar pantai atau langit biru yang membentang. Mengabaikan dirinya sepenuhnya. Sampai saat Arven menariknya menuju undakan tangga.
"Bisa naik kan?"
"Kak Arven pikir, Visha jalan ngesot sampe gak bisa naik tangga!" balasnya sewot.
"Kenapa lo jadi kesel?" Alis Arven terangkat sok cool.
Avisha mendengkus. Cowok itu malah bertanya. Memang dia tidak sadar mencuekinya dari tadi. Malasnya lagi, para bule di sekitar yang mencuri lihat ke arah Arven. Apa-apaan! Avisha jadi makin kesal.
Tanpa menjawab, Avisha menaiki undakkan tangga yang cukup banyak itu. Mencoba mengabaikan Arven. Masa bodoh! Kalau Arven saja bisa, kenapa dia tidak!
Di entah undakkan tangga ke berapa, sepertinya sudah cukup jauh, Avisha menghentikan langkahnya. Membuat yang cowok ikutan dan mengernyit.
"Ini sebenarnya mau kemana sih?!"
"Nanti lo juga tau! Lo kenapa? Capek?"
"Enggak!" jawabnya menutupi kenyataan. Ya tak perlu ditanya, dia memakai tongkat. Jalan pun jadi agak ribet dan menyusahkan. Apalagi energinya seolah terkuras karena dia mendumel di dalam hati.
"Beneran?" Intonasi Arven berubah kali ini. Membuatnya diam seketika.
"Iya!" ucapnya tegas menutupi gugup. Itu sebab tatapan Arven yang berbeda. "Visha masih kuat. Kan gak mungkin wonder woman kecapean cuma karena naik tangga."
Arven menghela napas. Cowok itu diam sejenak. "Seharusnya gue ngelakuin ini dari tadi."
"Ngelakuin ap-ARGHH!" Avisha syok saat Arven mengangkatnya dengan kedua tangan berada di bawah punggung dan lututnya. Itu sangat tiba-tiba. Avisha refleks memeluk leher Arven bersama tongkatnya. Jantungnya serasa merosot. "Kak Arven kalo mau gendong Visha bilang-bilang dong. Kan kaget!"
Sudah bisa dipastikan mereka jadi sorot perhatian sekarang.
"Aduh, Visha jadi malu!" Dia menenggalamkan kepalanya di dada Arven.
"Kenapa malu?"
"Dih kak Arven malah pake nanya, diliatin orang-orang tuh. Kak Arven gak liat! Malu-lah Visha!"
"Malu sampe pipi lo merah gitu ya?" Ada nada menggoda yang jelas terdengar di sana. Membuat dia menatap Arven dengan pipi makin memanas menciptakan rona. Diam-diam yang hampir mendobrak pertahanan Arven untuk tersenyum.
"Kak Arven mau senyum ya?"
"Sok tau lo!" ketusnya merubah kembali rautnya.
"Dih! Visha bisa baca pikiran loh kak Arven. Jujur aja, sebenarnya kak Arven tuh mau senyum kan?" Arven mendelik. Avisha tertawa. "Senyum aja sih, Visha gak ketawain kok. Malah Visha penasaran senyum kak Arven kayak gimana. Pasti kak Arven tambah ganteng kalo senyum."
"Lo mau gue jatohin, Sha?!"
"Ngancemnya itu mulu!" Avisha mencibir.
"Beneran gue jatohin nih!"
"Ih jangan dong!" Avisha makin mengeratkan pelukan. Hal yang membuat Arven mengangkat senyum kecil membuang arah.
Setibanya di undakan terakhir, mereka berjalan di sebuah jembatan yang bisa menonton pemandangan sekitar pantai dari atas. Sepertinya, kelelahan saat menaiki undakan tangga tadi terbayar langsung oleh keindahan dari sini. Penampakkan bawah seperti sebuah lukisan yang maha cantik dan patut untuk diabadikan.
"Ini namanya bukit Malimbu." Arven kembali sambil menyodorkan sebotol air padanya. Memang sebelumnya cowok itu meninggalkannya sebentar untuk membeli minum. Dan sekarang mereka tengah duduk di atas rerumputan dekat pembatas yang tertancap di setiap pinggir setapak jalan.
Avisha menerima botol airnya sambil melihat ke bawah. "Kak Arven pasti haus karena gendong Visha naik tangga. Capek gak?"
"Gak, badan lo tulang semua."
Avisha tertawa. Mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas selempang. "Mau Visha yang ngelap-in keringet kak Arven. Apa sendiri?"
"Lo tau gue capek gendong lo, gak usah ditanya lagi kan?"
"Katanya gak capek?" cibirnya ketawa. Walau dia tetap membersihkan peluh di dahi cowok. Sementara Arven menerimanya sambil meneguk air dari botol. Namun, tangannya terhenti saat melihat beberapa air mengalir dari bibir Arven melewati dagu dan mendarat ke leher.
Seperti serangan tiba-tiba, Avisha jadi teringat dengan kejadian semalam. Ini memang tidak cocok dengan keadaan sekarang. Hanya saja dia sangat penasaran. Ingin mengetahui apa yang sebenarnya ketakutan yang menganggu Arven.
"Jangan mancing, Sha."
"Hah?" Avisha mengerjap kaget. Melihat Arven yang sudah menoleh menatapnya. "Apa?"
"Lo kenapa ngeliatin kayak gitu?"
"Visha emang ngeliatin apa?" Avisha tadi lagi melamun dan jelas dia tidak sadar melihat ke arah mana.
"Lo ngeliatin bibir gue dari tadi."
"Ya terus kenapa?"
"Lo mancing kalo gitu!"
"Mancing apa sih? Lagian gak ada kail pancing di sini ..."
"Cih! Lupain!" ucap Arven membuang muka.
Hening.
Avisha mengigit bibirnya ragu. "Kak Arven, Visha ..."
Terdengar helaan panjang di sebelahnya. Menghentikan begitu saja kalimat yang ingin dia ucapkan.
"Lo tau, Sha kenapa gue bawa lo ke sini?" Arven tiba-tiba bersuara. Termasuk rautnya yang berubah secepat itu. Avisha terdiam. Sangat tahu di balik wajah dingin itu ada kesedihan yang cowok sembunyikan. "Gue dulu sering ke sini sama orang tua dan adek gue."
Avisha mendadak kaku.
"Gue tau di otak lo nyimpen banyak pertanyaan karena yang terjadi semalam." Sudut bibir Arven terangkat. Senyum ironi itu bukanlah yang Avisha harapkan. "Tenang, lo bakal dapet jawaban hari ini. Semuanya."
•••
Eh siapa itu yang ngajarin bobo bareng di sofa?
'Jangan mancing, Sha', maksudnya tuh apa ya Ven, padahal Visha gak suka mancing ikan. Tolong dijelaskan biar gak ambigu(?)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro