A;A41-Keindahan yang diutarakan
Selalu semangat deh kalo liat komen-komennya hmm :)))
Ayo ramein lagi, vote dan komen jangan lupa luv :*
▪
SEBELUM Avisha merapihkan rambut dan berganti pakaian. Ada seorang wanita paruh baya yang Arven perkenalkan. Namanya Bi Uda. Dia yang bekerja di sini. Yang bertugas merapihkan villa setiap hari dan yang akan menyiapkan keperluan mereka selama berada di sini.
Bi Uda cuma berada di Villa pada pagi sampai sore hari. Karena setelah menyelesaikan pekerjaannya di sini, dia akan pulang ke rumahnya yang berada di pemukiman tidak jauh dari villa.
Kebetulan, Bi Uda juga yang membantu Avisha memakai celana pendek yang dipakainya sekarang.
Avisha melangkah keluar kamar dan tampak Arven sudah menunggu di ruang tamu sambil memainkan ponsel.
Tiba saat mereka keluar pintu villa, Avisha tak menyangka. Ada jembatan penghubung yang perlu mereka lewati. Terbuat dari susunan kayu. Yang di bagian ujung ada dua undakan tangga turun. Di kanan-kiri dipakaikan pembatas yang dibuat dari untaian ranting dan dedaunan.
Dari atas jembatan saja, Avisha bisa melihat hamparan laut di sana. Pasir putih yang membentang indah. Beberapa pohon kelapa yang berjejer di pinggir. Ditambah cahaya matahari yang bersinar di singgasana. Jujur, Avisha tak menemukan lagi kata-kata untuk mendeskripsikannya.
Avisha begitu antusias untuk cepat-cepat ke sana. Namun, belum juga menyeret tongkat, tangan sebelahnya dicekal oleh Arven.
"Sebelum ke sana, pake ini."
Avisha menatap benda yang ada di tangan Arven. Dan akhirnya menepuk dahi karena dia melupakan hal lain saking senangnya. "Sunblock. Untung kak Arven ingetin."
"Sebenernya di telepon tadi, Mama lo ngingetin soal ini."
Tentu saja dia sangat mengenal sang mama. Melebihi apapun, Velin lebih tahu kebutuhannya dibanding dirinya sendiri. "Iya, kalo gak pake itu, kulit Visha langsung merah-merah kena matahari dan ujungnya jadi gatel-gatel."
"Kayak kulit bayi?"
Avisha tergelak. "Bayi sama Visha kayaknya imutan Visha iya kan?" Alisnya naik turun percaya diri. Arven mendengkus, memilih tak peduli.
"Gue pakein?"
Setelah mendapat anggukan Avisha, Arven melangkah maju. Menjulang begitu tinggi di depannya. Saat cowok itu menuangkan lotion sunblock di tangan, Avisha sontak mengulurkan tangannya seperti anak kecil, yang langsung Arven bubuhi lotion di sana.
Selesai pada tangan, kini giliran wajah dan leher. Entah kenapa, Avisha tak bisa menolak apapun saat jemari lelaki itu mulai menyentuh wajahnya, mengusap dahi, pipi, kelopak mata dan terakhir pada lehernya.
Dan untuk saat ini, Avisha terlalu lama menahan napas. Merasa merinding tanpa alasan cuma karena usapan pelan itu.
Lalu dia terbelalak saat tahu-tahu Arven berjongkok di depannya. Refleks Avisha menahan tangan Arven yang hendak menyentuh daerah kakinya.
"Visha bisa sendiri."
Karena sepertinya Avisha sudah sangat cukup merasakan dampak dari sentuhan Arven. Jika dia merasakan lagi tentu itu tidak baik bagi kerja jantungnya.
Avisha membungkuk, dan cowok itu membiarkan.
Sebenarnya ini sangat menyulitkan. Bayangkan, Avisha berdiri mengandalkan tongkat, sementara tubuhnya disuruh membungkuk untuk membubuhi lotion di kaki. Mungkin di pahanya yang terbuka itu mudah, tapi bagaimana ujung kakinya yang susah di raih tangannya.
"Bisa?"
Avisha menyerah. Untuk berulang kali melakukannya pun, dia tetap tidak bisa.
"Kak Arven aja deh yang gituin." Avisha memberikan sisa lotion di telapak tangannya, yang sempat terbuang sia-sia.
"Gue bilang apa." Arven mendengkus. Melakukan hal yang sempat tertunda. Baru juga jemari itu sedikit menyentuh kaki bawah dengkulnya, Avisha merasa seperti disengat. Secara refleks sebelah tangannya menyentuh bahu Arven.
Kakinya yang sakit cuma satu, tapi Avisha rasa kedua kakinya tak mampu menopang tubuhnya karena berubah jelly.
"Selesai." Pada suara serak Arven itu, perutnya terasa melilit.
"Oke, let's go!" Avisha mengubah raut dan suaranya. Tampak begitu antusias menyeret tongkatnya menuju tangga turun. Sementara Arven cuma memastikan langkah cewek itu dari belakang. Walau kulit lembut Avisha masih terlalu jelas terasa di telapak tangannya.
•••
Dibanding peduli oleh tatapan beberapa bule yang berlalu lalang, tatapan Arven justru lebih peduli pada Avisha yang berdiri di pinggir pantai. Bagaimana wajah Avisha yang terus dipenuhi senyum. Sesekali tertawa saat ombak menyentuh kakinya. Membentangkan sebelah tangan. Memejamkan mata menikmati embusan angin yang menerpa.
Dan dari semua pemandangan indah yang terpampang di depan mata, bagi Arven cuma pemandangan itu yang menariknya untuk mengabadikan di kamera.
Sambil menatap hasil jepretan kameranya di atas kursi pantai, diam-diam sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Kak Arven!" panggilan nyaring itu menarik perhatian Arven ke asal suara. "Sini dong!" Avisha melambaikan tangan. Isyarat untuknya ikut bermain air di sana. "Masa Visha sendiri. Ayo sini!"
Arven menggeleng dan wajah itu langsung berubah menekuk cemberut. Penampakkan yang begitu sialan ingin dia simpan dalam memori kepalanya.
"Sha!"
"APA?!" Cewek itu jadi kesal.
"Ngehadap gue, mau gue foto."
Cewek itu tampak terbengong untuk sesaat. Begitu terkejut oleh ucapannya yang tak tertuga. Beri saja umpatan pada keinginan gila Arven ini, sejak tadi dia hanya memotret Avisha diam-diam dan cuma bagian belakang dan sampingnya yang terkena jepretan. Jadi, jelas dia ingin wajah penuh Avisha ada di kameranya.
"Kak Arven mau foto Visha?" Dia tak percaya. "Oke, Visha mau!" Dia berubah antusias. "Visha harus gaya gimana?"
"Terserah, gak perlu yang lebay, cukup lo yang apa adanya."
"Ah, kalo kak Arven ngomong manis gitu, Visha jadi pengin meluk kak Arven." Avisha tertawa. Tak peduli oleh ucapannya yang begitu frontal dan jelas sikap Avisha yang itu punya daya tarik sendiri buat Arven.
"Tapi kak Arven yakin mau foto Visha?"
Arven sudah berdiri karena ingin mengambil pose Avisha dari dekat. "Kenapa emangnya?"
"Ya gak apa-apa. Cuma ... kan ada banyak bule mending kak Arven foto mereka. Jelas mereka cantik-cantik, kalo Visha kan biasa aja." Lalu sejenak mata bulat itu melirik tongkatnya. "Apalagi gak ada sejarahnya model itu pake tongkat."
Arven berhenti mengatur tombol kameranya. Mendongak dan melihat raut ceria itu sedikit pudar. Meski tampaknya Avisha berusaha mempertahankan senyumnya.
"Kata siapa?" Arven beringsut dari kursi. Melangkah maju hingga mereka berdiri sejajar. Dan sangat terpaksa ucapan itu menarik kepalanya untuk mendongak. "Ada beberapa model luar catwalk pake tongkat."
"Oh ya?" Avisha tidak tahu soal itu. "Mereka pasti cantik."
"Lo juga cantik."
Cewek itu tampak tercengang, sebelum berusaha terkekeh untuk mencairkan suasana. "Kak Arven baru aja bilang Visha cantik? Kak Arven kurang aqua?"
"Kalo lo gak cantik," Arven tidak tahu yang terjadi sekarang. Apalagi saat tangannya terulur menyentuh pipi tembam Avisha. Mengusapnya dan membiarkan cewek itu terbelalak tak menduga. "Gak mungkin kan gue suka natap wajah lo lama-lama kayak sekarang."
Avisha menyentuh tangan Arven di pipinya. Merasa hangat tanpa alasan, dan seperti ada sesuatu yang bergerak di perutnya.
"Seharusnya Visha rekam pas kak Arven ngomong gitu. Biar orang-orang tau galaknya Arvendino ketua osis itu sebenarnya cuma topeng." Kali ini Avisha tergelak sendiri. "Tapi kak Arven kan, gak ada model pendek."
"Emang gak ada, Tapi," Ada jeda di sana karena Arven menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Lo gak perlu jadi model orang, cukup jadi objek foto gue dan biar cuma gue aja yang bisa ngeliat foto lo setiap hari."
Melebihi apapun, ucapan Arven cukup berakibat fatal pada jantungnya. Avisha tak dapat lagi menjelaskan bagaimana rasanya. Yang dia tahu adalah saat dia melepaskan tongkatnya dan langsung berpegangan di leher Arven.
Tindakan yang secara refleks membuat Arven memeluk pinggangnya.
"Kak Arven sengaja kan ngomong manis gitu, supaya Visha peluk?" Dia memeluknya walau terpaksa berjinjit.
"Tapi, lo yang meluk gue."
"Iya karena Visha gak tahan lagi, kak Arven manis banget," bisik Avisha pelan di telinganya.
•••
Antrian di depannya cukup panjang. Arven sesekali melirik jam hitam yang melingkar di tangan. Memastikan jika masih ada sisa waktu untuknya membawa Avisha ke salah satu tempat yang ingin dia tunjukkan.
Menyebalkan karena sekarang justru dia terjebak dalam antrian di kedai. Ini semua sebab Avisha yang merengek tak jelas meminta untuk dibelikan es krim. Yang membuatnya terpaksa membelikannya di salah satu kedai yang berada di pinggir pantai.
Bertepatan Arven membayar belanjaannya di kasir. Ponselnya berdering. Arven sejenak menepi, membiarkan orang di belakangnya mendapat giliran.
Ketika melihat nama yang terpampang di layar, seperti ada api yang memercik di dada Arven. Menimbulkan emosi yang butuh dia halau dengan mengepalkan tangan.
Di antara memilih menolak atau menerima. Dua-duanya punya konsekuensi dan jelas menolak panggilan lebih besar konsekuensinya.
Dengan rasa bercampur aduk, Arven memilih opsi pertama.
"Dimana kamu Arven?"
Seperti biasa, tidak ada basa-basi di kamus kakeknya.
"Apa itu jadi urusan kakek?" Arven melangkah keluar kedai.
"Tentu saja itu urusan kakek, kamu lupa kakek yang bertanggung jawab atas seluruh kehidupanmu?"
Rasanya lidah Arven terlalu gatal ingin berdecih. "Bertanggung jawab?" Dia mendengkus. "Arven pikir kakek selama ini cuma menganggap Arven robot percobaan di dunia gelap kakek itu."
"Apa kamu akan selalu menganggap bisnis itu mengerikan Arven?" Dari sini saja Arven bisa merasakan nada dingin dari sang kakek.
"Emang kenyataannya begitu bukan, karena dunia itu Mama-papa ..."
"Mau sampai kapan kamu berpikir orang tuamu dan adikmu meninggal karena kamuflase?! Sudah sangat jelas itu karena kecelakaan. Seharusnya kamu berhenti bersikap bodoh seperti itu!"
Seperti yang sudah-sudah. Kakeknya tidak akan pernah mempercayainya. Sekalipun Arven berusaha keras untuk menjelaskan, semuanya tak akan berarti. Itu hanya akan dianggap khayalan, karangan, karena Arven yang belum bisa menerima fakta orang tuanya meninggal.
Mungkin sepuluh tahun lalu, walau dia sangat tahu orang tuanya meninggal karena sebuah tipuan dan kesengajaan. Arven berusaha keras untuk tetap diam. Tak lagi berusaha menjelaskan, menerima saja cap pembawa sial di belakang punggung, dan menuruti segala yang orang tua itu perintahkan.
Namun, Arven tak bisa lagi diam saat kecelakaan adiknya empat tahun lalu. Dia sangat tahu ada yang salah. Dia sangat tahu ada akar kesengajaan di sana.
Arven tidak sebodoh itu!
"Arven lagi gak mau debat apapun kek," Karena hatinya sudah terlalu lelah. Apalagi dia tidak ingin merusak suasana menyenangkan hari ini.
"Kamu yang selalu memancing perdebatan Arven." Kakeknya mendengkus di sana. "Dan hari ini seharusnya kamu fokus belajar untuk ujianmu nanti, bukan malah bermain-main!"
"Arven gak pernah main-main, kek!"
"Oh ya? Lalu kenapa kamu membuang waktu dua hari libur sekolahmu dengan pergi jalan-jalan ke villa?" Arven tentu tidak mungkin tidak terkejut. Kakeknya tahu? "Dan membawa seorang perempuan. Ini yang kamu sebut tidak main-main?"
"Kakek ..."
"Bagaimana kakek tau? Seharusnya kamu cukup tau banyak mata-mata kakek di sana!"
Begitu saja, panggilan itu Arven putus sepihak. Untuk sesaat dia tak dapat berpikir apapun, selain memikirkan cewek yang ditinggalinya barusan.
Avisha!
Kakinya bekerja dua kali lipat dibanding pikirannya sekarang. Saat dia kembali di tempat dimana dia menyuruh Avisha menunggu, embusan napas lega tak tertahankan. Walau kakinya langsung bergerak tergesa melihat Avisha tengah mengobrol dengan seseorang.
"Sorry, Dude!" Orang bule itu tampak terkejut, pun Avisha. Tapi, tanpa memberi lagi sapaan atau ucapan lain, Arven sudah menarik Avisha menjauh dari lelaki itu.
"Kak Arven ..." Avisha mengikutinya tergopoh-gopoh.
"Seharusnya lo gak segampang itu ngobrol sama orang asing!" ucapnya menahan emosi.
"Kok kak Arven jadi marah? Visha kan cuma ngejalanin hakikat kesopanan. Ditegur ya balas. Kalo orang minta baik-baik buat kenalan ya Visha ..."
"Lo terima dengan gampangnya?" Arven mendesis kesal. "Sha, dunia ini luas. Banyak orang cuma pake topeng. Lo gak akan pernah tau kapan dan dimana orang-orang kayak gitu cari kesempatan!"
"Visha gak sebodoh itu! Visha tau kok mana orang baik, mana ..."
"Apa dengan berpikir orang itu baik, itu berarti dia emang baik?!"
Avisha kehabisan kata. "Visha heran kenapa kak Arven jadi marah-marah gini cuma karena Visha sama ngobrol kakak bule tadi! Dia cuma ngajak Visha ngobrol dan selama itu dia gak pernah ngapa-ngapain Visha!"
Cewek itu jadi ikut terseret kesal. Menarik kantung belanjaan di tangan Arven. Dan memutar tongkatnya hendak berlalu.
"Gue cuma khawatir sama lo!"
Avisha pias. Langkahnya terhenti.
"Gue gak mau lo kenapa-napa." Karena setelah mendengar ucapan sang kakek, perasaan Arven mulai tak enak. Arven sangat tahu tabiat kakeknya. Apalagi orang-orang suruhannya itu.
Cewek berbalik menghadapnya. Memandangnya bingung. "Kak Arven khawatirin Visha?"
"Gue harus ngulang ucapan gue?"
Yang cewek menggeleng. Dan kekesalannya pudar berganti senyum di sana. "Seharusnya kak Arven gak usah marah-marah, Visha kan jadi ikut kesel. Biar kak Arven jadi adem, kita makan es krim yuk."
"Ikut gue?"
"Hah? Kemana?"
"Dikit lagi sunset. Mungkin lo bakal suka."
"Visha selalu suka apapun, selama itu sama kak Arven." Dengan senyum Avisha yang begitu lebar, efeknya luar biasa mengenai Arven. Mematikan emosi yang sempat membakar dadanya.
•••
Bagaimana caranya agar mudah Avisha menjelaskan alasan mulutnya yang ternganga lebar sekarang. Sesekali dia mengerjapkan mata, menguceknya, memukul kepalanya dan tetap saja pemandangan yang ada di depannya ini bukanlah imajinasinya.
Begini akan Avisha jelaskan. Dia ada di dermaga belakang villa milik keluarga Arven. Dan sepertinya semua orang harus tahu, kalau alasan Avisha tercengang luar biasa sekarang, itu tidak lain karena sebuah yacht boat berukuran mini yang terikat di kayu ujung dermaga. Terparkir begitu indahnya.
Ya ampun! Ya ampun! Avisha terakhir kali melihat benda itu adalah saat menonton sebuah drama bersama Yania. Itu saja Avisha terpaksa karena sama sekali tidak mengerti alur ceritanya. Dan jangan lupakan foto prewed papa-mamanya.
"Itu ..." Avisha tak mampu berkata-kata. "Itu ... punya kak Arven?"
"Gak penting punya siapa, lo tinggal naik."
"Kak Arven gak habis nyolong punya orang kan?" Avisha terkejut menyimpulkan. "Balikkin kak Arven, misalkan nanti ada yang nyari, kita yang bakal ..."
Avisha menghentikan ucapannya begitu saja karena tahu-tahu Arven menekan kedua pipinya. "Lo tinggal naik, gak usah bawel."
"Visha harus bawel dong, ini kan demi keselamatan hidup Visha. Visha gak mau ya masuk penjara sebelum ..."
"Gak mau naik gue tinggal."
"Eh-eh," Avisha refleks menahan tangan Arven yang hendak naik. "Masa Visha ditinggal. Kasih tau dulu sih ini punya siapa."
Arven langsung melemparkan lasernya yang mematikan. Avisha meringis. "Oke-oke, Visha naik. Pokoknya dosa-dosa Visha kak Arven yang nanggung."
Kemudian dengan Arven yang melangkah masuk lebih dulu, Avisha baru ingin mengangkat kakinya ke atas kapal saat justru dia menariknya lagi.
"Sekarang apa?!" Arven jelas kesal.
"Bentar-bentar, kak Arven tau gak sih, Visha deg-degan gitu loh, kayak langsung ngebayang naik kapal terus kena angin sepoi-sepoi. Duh ... kok jadi merinding!"
Arven memutar mata malas. Mengulurkan tangan. "Naik sekarang!"
"Iya-iya naik!" Avisha menerima tangannya. "Galak banget sih! Seharusnya nih kak Arven bersikap manis sambil bilang 'ayo tuan putri kita naik kapal bersama' kayak yang disney-disney kerajaan gitu."
"Kebanyakan ngehayal lo!" ketusnya sambil membantu Avisha naik ke atas kapal. Sementara Avisha cuma bisa mencibir. Sikap Arven itu memang suka berubah-ubah seperti bunglon. Kadang manis kebangetan. Dan tak jarang pula mulutnya seperti baru diberi bubuk cabe.
"Oh ya kak Arven, siapa yang bakal nyetir kapalnya?" Avisha masuk ke dalam ruang kemudi dan melihat Arven berdiri di belakang setir.
"Menurut lo siapa lagi!"
"Jangan bilang kak Arven yang bakal ..." Avisha menampilkan raut berlebihan. Ternganga sambil menangkup pipi. Sungguh kenapa raut itu jadi begitu menyebalkan. "Kak Arven kita gak bakal ngulang titanic part dua kan?"
"Lo pikir gue bakal nabrakin yacht milik gue sendiri?"
"Ya Visha kan cuma mencegah hal yang enggak-enggak."
"Cebong, mending lo diem aja oke?" Arven sudah sangat lelah meladeninya.
"Cebong?! Kak Arven tuh ..."
Dari belakang, Arven langsung membekap mulut Avisha. Membuat yang cewek meronta.
"Berisik banget sih lo!"
Dia menjauhkan tangan Arven dari mulutnya dan mendongak ke belakang. "Kak Arven bekep Visha dari belakang. Tapi, sadar gak sih, itu jadi kayak ..." Kemudian dia berbisik di telinganya. "Kak Arven meluk Visha dari belakang."
Seharusnya Arven sadar sikap Avisha memang selalu frontal. Dan baru sadar posisi yang tak baik dipertahankan. Dia buru-buru menjauh. Sedangkan Avisha justru tertawa geli dan dengan santainya menepuk-nepuk pipi Arven. Yang tentunya membuat Arven merasa tak baik-baik saja.
Selama yacht mini Arven membelah lautan, Avisha menikmati pemandangan indah sekitar. Termasuk angin yang membelai pipi sekaligus membawa rambutnya berhamburan.
Persis seperti iklan shampo yang sering lewat di layar televisi. Rambutnya terkibas-kibas. Yang beda karena di sini tidak ada kamera, yang membuat Avisha bisa bergaya-gaya.
Dia berdiri di lantai kapal bagian depan dengan besi pembatas yang tertancap sebatas pinggang. Sesekali membentangkan sebelah tangan. Berlagak ala-ala film titanic. Walau, terkadang. Avisha juga membalik badan. Menghadap Arven di ruang kemudi. Tatapan mereka bertemu dan jika Arven menaikkan alis, sementara dirinya tertawa.
Tak lama, ada sesuatu yang menarik pandangannya. Dia sontak terbelalak sambil berseru heboh.
"Kak Arven! Kak Arven!" teriaknya bersemangat. Namun, Arven cuma meresponnya malas. "Ih kak Arven itu ... itu!"
Dia kehebohan sendiri. Bagaimana tidak heboh, lihatlah ada kawanan lumba-lumba yang bergerak di sekitar kapal mereka. Apalagi suara khas mereka begitu merdu di telinganya.
"Kak Arven ada lumba-lumba!"
"Gue liat, Sha!" Arven balas teriak.
"Kak Arven liat mereka! Ya ampun! Mereka lucu-lucu banget kayak Visha!"
Sambil mencondongkan tubuh, sebelah tangan Avisha berpegangan pada pembatas. Melihat bagaimana kelucuan lumba-lumba di sana, tanpa sadar menggerakan tangannya secara naluriah. Terulur keluar teralis.
Dan saat itu ... tongkatnya oleng ke depan.
Avisha hampir meleset jatuh ke bawah dan jelas air sedalam ribuan kaki akan menyambutnya. Namun, sebelum itu terjadi, pinggangnya sudah lebih dulu ditahan dari belakang.
Avisha merasa jantungnya terjun ke dasar.
"Kebiasaan lo gak pernah berubah ya! Ceroboh!" Suara tajam itu mendesis di telinganya. "Kalo lo jatoh emang lo bisa berenang hah?!" Lalu tubuhnya diputar dan melihat kemarahan itu tercetak di wajah Arven.
Avisha cuma bisa cemberut dan menunduk dalam. "Ya maaf ... Visha tadi kan cuma mau nyentuh lumba-lumbanya."
"Lo seharusnya ..."
"Bentar kak Arven," Avisha mengangkat sebelah tangan. Teringat sesuatu. "Kalo kak Arven di sini, siapa ... siapa yang ngendarain kapalnya?!" Kemudian Avisha menoleh ke dalam ruang kemudi. Terbelalak tentu saja. Melihat tidak ada seorang pun yang berdiri di sana. "Kak Arven entar kita nabrak loh!"
Jika Avisha panik. Arven justru tampak santai dengan menarik poninya. "Lo gak sadar kalo yacht gue udah berhenti? Kita udah sampe."
"Hah?!"
"Kita udah sampe, Sha!" ulang Arven dan tak membuat Avisha mengerti sama sekali. Bagaimana bisa mengerti, mereka berhenti di tengah-tengah lautan. Avisha ulangi tengah lautan! Lalu Arven bilang sudah sampai!
"Kita ada di tengah laut kak Arven! Lagian katanya mau liat sunset!"
"Justru itu," Arven bergerak ke belakang kapal. Entah melakukan apa. Lalu kembali lagi. "Di sini, tempat yang paling bagus buat liat sunset."
Cowok itu memutar tubuh Avisha menghadap barat. Menyuruh kepalanya mendongak dan detik berikutnya Avisha luar biasa terbelalak.
•••
Panjang banget part ini :((( Padahal udah sengaja dibagi dua gitu
Kalo kata Visha, gak frontal gak seru wkwk
Arven untungnya udah biasa hmm
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro