A;A40-Mengartikan Segalanya
Malam senin entah kenapa lebih horor dibanding malam jumat :(((
Biar semangat buat hari besok, sengaja aku up muehehehe
Vote-komen sayangkuh jangan lupa
▪
WAKTU penerbangan diperkirakan kurang dari jam delapan. Dan Arven akan menjemputnya kurang dari jam enam.
Dari pukul lima pagi, Avisha telah rapi. Duduk di depan cermin dan tersenyum. Hari ini dengan rok cokelat selutut, kaus berkancing tanpa lengan, rambut dicepol ke atas. Cukup dari itu saja Avisha sudah sangat puas pada penampilannya.
Terdengar suara dehaman. Perhatian Avisha teralihkan. Menoleh dan menemukan Darlan tengah menyandar di pilar pintu. Wajahnya sayu khas orang baru bangun tidur, walau lebih segar setelah mencuci muka.
"Yaelah gak usah cantik-cantik sih lo, makin-makin Arven entar."
Avisha tak mengerti maksud Darlan. "Makin-makin apa?"
Darlan berjalan masuk ke dalam kamarnya dan berdiri di belakangnya. "Ya masa lo gak ngerti, lo biasa aja Arven suka. Apalagi kalo liat lo sekarang."
Arven menyukainya? Astaga! Kesimpulan Darlan sungguh ingin membuatnya tertawa. "Bang Darlan ngaco ah, kak Arven gak suka sama Visha. Malahan nih ya, dia selalu bilang gak bakal suka Visha. Katanya, Visha tuh bawel, gak jelas, receh."
"Emang keliatan aneh sih kalo ada cowok yang naksir sama cewek kayak lo," Darlan tertawa. Rasanya Avisha gatal ingin mencubit pinggangnya. "Tapi, Sha, gue ini cowok. Dan gue jelas tau gimana perasaan Arven ke lo dari sikapnya."
Jauh di lubuk hati, Avisha berharap itu benar adanya. Walau akhirnya tertepis karena tidak ingin berharap tinggi. "Udah sih, bang Darlan kenapa bahas itu."
Darlan memegang pundaknya. Menatapnya lewat cermin. "Lo suka Arven?"
Siapa sangka Darlan akan melemparkan pertanyaan itu. Saking terkejutnya, Avisha tak mampu membalas dan justru tenggelam dalam detik yang panjang. Untuk kesekian kali, pertanyaan itu Avisha dapatkan. Bukan cuma dari teman-temannya, tapi sekarang kakaknya sendiri pun ikut andil.
Avisha tidak tahu pasti apa yang tengah dia rasakan. Rasa nyaman, rasa senang, rasa berdebar-debar, Avisha cukup tahu itulah yang dia rasakan saat ada di dekat Arven. Apalagi segala bentuk perhatian yang cowok itu berikan. Dari gesturnya yang dingin dan mulutnya yang tajam, selalu ada tindakan manis yang Arven lakukan. Yang mampu melipat gandakan debaran pada jantungnya.
"Visha gak tau," Sekadar itu jawaban Avisha. "Tapi, Visha selalu seneng deket kak Arven."
"Kayaknya, Arven bukan cuma harus janji ke Papa. Tapi juga ke gue buat jagain lo." Darlan mengusap bahu kirinya. "Kalo dia nyakitin lo, lo harus bilang ke gue oke? Karena gue orang pertama selain Papa yang bakal buat dia menderita."
Avisha tersenyum. Mengusap tangan kakaknya yang ada di bahunya. "Bang Darlan gak cocok tau, kalo sok galak gitu."
Darlan tertawa. Benar juga. Dia jarang menunjukkan perannya sebagai kakak. Yang ada setiap harinya antara mereka hanyalah pertengkaran. Ciri khas kakak beradik. Meski begitu, Darlan punya cara sendiri untuk melindungi adiknya dari apapun. Termasuk persoalan yang melibatkan perasaan.
"Soal Nata gimana?"
"Nata? Nata emang kenapa?"
Dari wajah Avisha yang bingung, Darlan langsung paham ketidakpekaan adiknya. Hal yang sering terjadi di lingkaran pertemanan. Terkadang yang di depan mata selalu tertutup dengan yang berada selangkah di depannya.
Darlan merasa miris dalam hati.
"Ayo gue bawa kopernya ke bawah," Darlan memilih tak memperpanjang topik. Mengambil kopernya di samping lemari. Avisha mengangguk kemudian berdiri ditopang tongkatnya. "Asik deh yang mau liburan, gue malah hari ini ada ulangan."
Avisha tertawa. Menjulurkan lidah meledek. Melangkah bersama keluar kamar. Darlan yang pertama menuruni tangga lalu menoleh. "Hati-hati."
"Bang Darlan nih, Visha udah sebulan pake tongkat, udah biasa sekarang. Tapi, masih aja takut Visha jatoh."
"Gue cuma jaga-jaga, Sha," ucap Darlan masa bodoh walau masih sesekali mengawasi cara Avisha melangkah turun.
Di ruang tamu, ternyata Arven sudah menunggu. Tampak tengah mengobrol lewat telepon.
"Iya, Tan, saya bakal jagain Avisha di sana. Tante gak perlu khawatir."
"Itu nyokap gue?" Darlan memotong pembicaraan. Arven sontak mendongak dan tiba-tiba terdiam. "Sini biar gue yang ngomong."
Meski tangannya terulur memberikan ponsel pada Darlan, tatapan Arven masih lekat menatap Avisha yang tersenyum menyapa.
Avisha mengacungkan salah satu ibu jarinya. "Kak Arven keren deh hari ini."
Andai Arven semudah cewek itu memberikan pujian. Mungkin sekarang Arven akan berkata hal yang sama; Avisha tampak luar biasa berbeda hari ini.
Pada Arven, dia mengenakan kaus putih dengan kemeja abu-abu yang dibiarkan terbuka. Kacamata hitam menggantung di kerah kausnya. Apalagi rambutnya yang diberikan gel hingga lebih tertata. Ah! Inikah alasannya cewek-cewek tergila-gila pada Arven. Mungkin mereka makin gila jika melihat Arven sekarang.
"Gue udah izin kemarin sama Mama lo."
Avisha menyeret tongkatnya dan duduk bersama Arven di sofa panjang. Tampaknya butuh banyak cara yang Arven kerahkan untuk mendapatkan izin dari mamanya.
"Kak Arven tenang aja, biasanya kalo Bang Darlan yang ngomong, pasti gak bakal ditolak." Darlan tadi pergi bersama ponsel Arven. Membicarakan kepergian Avisha hari ini dengan Arven pada mamanya.
"Tanpa abang lo, gue udah dapet izin."
"Oh gitu ya?" Avisha pikir Arven masih perlu membujuk Velin karena telepon tadi.
"Iya, Mama lo cuma mastiin kalo gue bakal jagain lo."
"Mama pasti percaya kak Arven. Sama kayak Visha." Dia tersenyum lebar. Cowok itu menatapnya lama, memiringkan sisi tubuhnya hingga menghadap ke arah Avisha.
"Rambut lo ..."
"Oh ini," Avisha memegang cepolan di atas kepalanya. "Bi Desi yang buat." Arven ikut menyentuhnya. "Lucu gak? Visha jadi keinget sama kondenya Jarjit."
"Lucuan lo sih dibanding Jarjit," komentarnya setelah terdiam beberapa detik. Avisha sontak kaget, walau makin terkejut saat Arven mendekat dan menghirup aroma di dekat lehernya. "Masih wangi vanilla ternyata."
"Iya, ka-karena Visha suka wanginya. Kayak bau es krim." Avisha mendadak gugup. Menatap Arven yang kini membalasnya tanpa ekspresi. "Kak Arven suka?"
"Kalo gue gak suka, gak mungkin gue ingat bukan?" Avisha tidak kuat oleh tatapan itu. Dampaknya sangat besar mengenai jantungnya. "Wangi ini yang selalu ngingetin gue sama lo."
Ya Tuhan! Kenapa pagi-pagi Arven harus bersikap seperti ini!
"Jantung lo masih suka lompat-lompat deket gue?"
"Ma-masih. Makanya kak Arven jangan deket-deket." Avisha mendorong dada Arven menjauh. Walau respon cowok itu setelahnya malah justru menganggetkan. Dia seperti bermimpi saat Arven mengusap cepol rambutnya pelan bertepatan dengan Darlan yang kembali dengan ponsel Arven di tangan.
"Nih," Darlan mengembalikan ponselnya. "Gue harap lo bisa jagain adek gue di sana."
"Tanpa lo minta, gue pasti jagain dia." Arven menariknya kemudian. Menyeret kopernya menuju luar, diikuti Darlan dari belakang. Setelah sekali lagi, Darlan memastikan semuanya. Yang Arven balas penuh ketegasan jika dia akan menjaganya.
Mobil pun berlalu, meninggalkan rumah Avisha.
•••
Setelah melakukan check in dan mendapatkan boarding pass, mereka langsung menuju ruang tunggu sesuai gate keberangkatan.
"Gue gak butuh supir," Arven sedang mengobrol dengan seseorang lewat telepon. "Lo cukup pastiin mobil gue sampe di bandara Lombok."
Dengan memeluk bantal kelincinya, Avisha duduk di salah satu kursi. Cuma memandang Arven yang berdiri di depannya.
"Ya, gampang entar gue suruh supir lo balik pake taksi." Arven mendengkus. Tampak kesal. "Gue bisa nyetir sendiri ke villa ... cih! Gue gak bakal jetlag ... udah pokoknya lo pastiin aja supir lo gak telat nganterin mobil gue."
Setelahnya Arven mematikan panggilan sepihak. Bertepatan dengan itu terdengar panggilan nomor penerbangan mereka.
"Ayo!" Arven menoleh sejenak padanya. Avisha tersenyum dan berdiri. Menyeret tongkatnya bersama Arven yang menyimbangi langkah di sampingnya.
Di dalam pesawat, setelah menemukan kursi, Arven meletakkan barang di atas kabin. Sementara Avisha duduk. Beruntung mereka mendapatkan kursi yang berada tepat di samping jendela, hingga bisa melihat pemandangan luar.
"Kak Arven," Cowok itu cuma bergumam sambil memasang sabuk pengamannya. Tindakan sederhana yang membuat Avisha menahan senyum sekarang. "Kenapa kak Aven gak bilang kalo kita bakal ke Lombok?"
"Gue gak bilang pun sekarang lo udah tau."
"Iya sih," Avisha membenarkan. Lalu memasang wajah antusias. "Terus kita bakal nginep dimana?"
Arven memasang sabuk pengaman untuk dirinya sendiri. "Nanti lo juga tau."
"Kenapa harus rahasia-rahasian sih. Kasih tau dong. Kan biar Visha gak mati kepo."
Pramugari di depan tampak memberikan beberapa petunjuk keselamatan sebelum lepas landas. Avisha sejenak menatap jendela. Melihat keadaan sekitar perlahan mengecil saat akhirnya pesawat meninggalkan bandara.
Belum ada jawaban. Avisha kembali menatap cowok di samping, yang tampak diam berpikir.
"Kak Arven ..."
"Mending waktu dua jamnya lo pake buat tidur, pas sampe gue bangunin." Arven seperti enggan membahas. Avisha pastinya tak bisa memaksa dan berujung mengikuti saja alur yang cowok itu buat.
"Jangan pas sampe dibanguninnya!" Jujur, Avisha masih ingin mempertanyakan hal barusan. "Visha mau makan."
"Oke," Arven mengangguk. "Lo tidur dulu, terus nanti gue bangunin pas dianterin makanannya."
"Siap kapten!" Avisha mengangkat tangan hormat. Kemudian mengulurkan sebelah tangannya. Arven memandangnya bingung, berbeda dengannya yang tersenyum.
"Apa?"
"Genggam tangan Visha selama tidur. Boleh?"
Sesaat Arven tertegun. Sebelum meraih tangannya dan menyelipkan setiap jemarinya di antara ruas tangan Avisha. "Lo bisa tidur sekarang?"
Senyum Avisha makin melebar. "Kalo gini Visha bisa." Yang kemudian membaringkan kepala di pundak Arven yang tentunya tak menduga dan jadi kaku secara tiba-tiba. "Boleh juga kan?"
Sepertinya Avisha tak perlu menunggu persetujuannya. Matanya justru mulai memejam dengan senyum mengembang.
Tak pelak, melihat raut polos Avisha tanpa sadar menggerakan sebelah tangannya untuk merapihkan poni cewek itu. Mengeratkan genggaman dan mengusap punggung tangan Avisha dengan ibu jarinya.
Karena untuk beberapa alasan, entah kenapa Arven selalu suka saat Avisha berada di sampingnya.
•••
Dua jam kemudian pesawat tiba di tempat tujuan. Di bandara Lombok, setelah mengambil koper di bagasi barang. Mereka berjalan menuju tempat penjemputan.
"Kak Arven gak pa-pa bawa koper Visha?" Avisha merasa tak enak melihat Arven yang menarik koper miliknya. Sementara cowok itu malah tidak membawa apapun, selain tas yang tersampir di sebelah bahu.
"Emang lo bawa apaan aja sampe harus bawa koper?"
"Ya pasti bajulah. Terus barang keperluan yang lain."
Arven berdecak. "Padahal lo gak perlu bawa baju sebanyak ini."
"Kenapa gitu?" Avisha menatap Arven yang melangkah di sampingnya bingung. "Entar misalkan Visha kurang bajunya di sana, mau pake baju siapa."
"Tinggal beli! Dibanding ribet bawa koper kayak gini."
Ya Tuhan! Segampang itukah mulut Arven memerintah. "Beli itu kan pake uang kak Arven. Masalahnya mubazir kalo uangnya dibuang-buang. Mending Visha beliin oleh-oleh buat Mama-Papa, bang Darlan, sama temen-temen Visha."
"Siapa bilang lo beli pake uang lo?"
Avisha makin bingung. "Emang kalo bukan pake uang Visha, pake uang siapa?"
"Harus banget ditanya ya, Sha?" Mereka telah tiba di area penjemputan. Jika sekarang Arven tampak memutar pandangan mencari keberadaan mobilnya. Sementara Avisha harus berpikir keras untuk mengerti maksud Arven sebelum akhirnya dia terbelalak tak percaya.
"Maksudnya kak Arven yang beliin?!"
Arven cuma menoleh padanya sejenak dan tak mengatakan apapun. Malah menyeretnya menuju sebuah mobil yang terparkir bersama seorang pria paruh baya yang tampak menunggu.
"Tuan!" Pria itu membungkuk. Sebelum menyerahkan kuncinya. Tampaknya ini adalah supir suruhan orang yang berbicara dengan Arven di telepon.
"Lo bisa naik taksi bukan?" Pria itu mengangguk. Kemudian Arven mengeluarkan beberapa lembar uang bewarna merah dan diserahkan padanya. Dibanding memerhatikan hal itu, Avisha justru ternganga kagum melihat mobil sport yang terparkir.
Dengan body-nya yang berukuran kecil dan bewarna putih. Mobil itu jadi tampak begitu elegan dan sporty. Cuma ada dua pintu di sisinya, yang tentunya cuma ada dua kursi di dalam. Seharusnya Avisha tak perlu sekaget ini, apartemen Arven saja sangat mewah. Sudah pasti segala yang cowok itu miliki adalah barang-barang kelas atas.
Usai memasukkan koper ke bagasi, sang supir membukakan pintu untuknya. Yang sementara Arven membuka pintunya sendiri.
Avisha bergumam terima kasih. Memasang seatbelt dan pada Arven, dia mulai menjalankan mobilnya meninggalkan bandara.
Sepanjang jalan ada saja ocehan Avisha. Mulai dari yang berfaedah sampai hal tak penting. Terkadang Arven membalasnya walau lebih banyak memilih tak peduli.
Sampai akhirnya cewek itu lelah sendiri.
Avisha menyandar miring. Boneka kelincinya berada di dekapan. Menatap si cowok yang tampak tenang di balik kemudi. Sejenak tatapannya jatuh pada plester luka yang tertempel di jari telunjuk dan tengah cowok itu. Penampakkan yang sering dia lihat.
"Kak Arven masih suka gigitin jarinya ya?"
Ini mata Avisha saja yang salah atau tubuh Arven memang terlihat kaku tiba-tiba.
"Kenapa emangnya?"
"Malah balik nanya!" Avisha suka kesal dengan kebiasan Arven yang satu ini. "Kalo digigit kan jadi luka jarinya. Kak Arven emang kenapa sih suka gigit-gigitin jari? Kayak kanibal aja."
"Bukan urusan lo!" Ketusnya seperti yang biasa.
"Tuhkan emang gak pernah bisa manis mulutnya!" Secara refleks Avisha menusuk-nusuk sudut bibir Arven. Tanpa tahu, itu cukup berakibat pada yang cowok. "Kak Arven jangan dibiasain. Itu kan gak bagus. Kata Mama, Visha juga punya kebiasan aneh dulu pas mau tidur. Suka mainin rambut Mama, tapi kebiasaan itu ilang setelah Mama nyuruh Visha tidur sendiri."
Ada jeda karena Avisha tersenyum. "Kak Arven juga harus gitu. Gak boleh jadiiin itu kebiasaan. Kan sakit kalo jarinya digigit. Sampe berdarah pula. Kak Arven harus berhenti ya?" pintanya sambil menusuk-nusuk pipi yang cowok.
Arven sejenak menoleh, sebelum mengambil jari Avisha yang berada di pipinya. "Jadi lo percaya kalo jari gue luka karena gue suka gigitin?"
Avisha diam. Melirik telunjuknya yang berada di genggaman Arven sebelum kembali memandang wajah cowok dari samping. "Kak Arven yang bilang gitu, ya pasti Visha percaya." Kemudian dia melepaskan jarinya dari genggaman Arven, sebelum diletakan pada bibirnya. "Kalo emang kak Arven suka gigit jari, gigitin jari Visha aja. Seenggaknya jari telunjuk sama tengah kak Arven gak makin luka."
Betapa lugunya cewek itu, yang akhirnya justru berarti sebuah perhatian sederhana. Dia mengorbankan jarinya hanya agar jari Arven tidak bertambah luka. Tak dapat dicegah, ada rasa hangat yang tak Arven tahu maknanya. Mengalir begitu tentram dan menyenangkan.
"Gak perlu," Dalam posisi menyetir dan tanpa menoleh, Arven mengambil jari Avisha untuk ditaruh di antara ruas tangannya. Digenggam kembali. "Jari lo lebih bagus ada di genggaman tangan gue."
Untuk menahan senyum Avisha tak butuh. Dia justru sengaja memperlihatkan senyumnya yang begitu lebar. "Kalo kak Arven suka wangi Visha, Visha suka pas tangan Visha digenggam gini sama kak Arven. Apalagi kalo pas mau tidur. Rasanya beda aja gitu."
Kejujuran itu jelas terdengar di nada bicaranya. Avisha bahkan tak perlu susah-susah untuk menutupi. Yang berhasil membuat Arven di sebelahnya diam-diam ingin tersenyum. "Beda gimana?"
"Mm gak tau sih, Visha juga gak ngerti." Kemudian sebelah tangannya mengucek mata. Merasa kantuk tiba-tiba menyerang. Astaga! Ini sangat merusak keadaan.
"Padahal Visha baru tidur tadi, kenapa udah ngantuk lagi ya," Avisha cemberut. "Kak Arven gak mau lepas tangan Visha? Entar kita kenapa-napa lagi di jalan karena kak Arven cuma nyetir pake satu tangan."
"Lo mau gue lepas tangan lo?" Arven menoleh sejenak.
"Sebenernya sih gak mau, tapi Visha lebih sayang nyawa sih."
Arven rasanya ingin tertawa. "Tapi masalahnya, sekalinya gue genggam tangan seseorang." Dia mengangkat tangan mereka yang bertautan. "Gue gak gampang buat lepasin."
Di waktu seperti ini, Avisha sangat suka menikmati irama jantungnya dan wajah Arven. "Jadi kak Arven gak bakal lepasin?"
"Kalo lo minta, gue gak bakal lepasin."
Avisha tersenyum. Memeluk bantal kelincinya dengan sebelah tangan lebih erat. "Oke, Visha minta jangan dilepasin."
•••
"Aku Icha. Nama kamu siapa?"
"Dino. Namaku Dino."
Secara tiba-tiba, pejaman mata Avisha terbuka. Menghancurkan sekelebat mimpi yang lewat dalam tidur. Untuk beberapa saat dia mencoba tenang, sebelum akhirnya kebingungan sendiri melihat sekeliling.
Seingatnya dia tertidur di mobil. Bukan di sebuah kamar dengan ranjang berukuran sedang seperti sekarang. Disaat dia tengah berpikir, suara yang sebelumnya membangunkannya dari tidur terdengar lagi.
Dia menoleh ke sisi kanan, yang untuk dibuat terbelalak melihat pemandangan luar dari kaca jendela di sekeliling kamar.
Pantai?!
Jadi yang membangunkan Avisha itu adalah suara ombak di luar?!
Tanpa bisa dihalau, Avisha memekik kesenangan. Mengambil tongkat yang menyandar di laci samping kiri. Dia tak memikirkan lagi rambut cepolnya yang sedikit berantakan, yang dipikirkannya sekarang hanya keluar kamar dan melihat keindahan itu secara langsung.
Sesaat setelah keluar kamar. Avisha jadi bingung. Bagaimana caranya dia menuju pintu keluar. Lihat saja, sekeliling yang luas dan semuanya membentang tanpa sekat. Dinding terbuat dari kayu. Beberapa barang ada yang termasuk peninggalan kuno. Termasuk lukisan dan beberapa bingkai foto.
Tujuan awal Avisha hilang begitu saja, sejenak setelah dia memandang bingkai besar yang terpasang di sana. Ada seorang wanita cantik dengan seorang pria berdiri di belakangnya sambil mengusap perut sang wanita yang tampak membesar.
Itu foto siapa?
Kalau ditelisik lebih dalam lagi, jelas-jelas wajah sang wanita tampak familiar. Mata biru kehijauannya dan rambutnya mengingatkan Avisha pada Arven. Yang membedakan cuma sorot lembut di sana. Sangat berbeda dengan Arven yang suka melemparkan tatapan tajam.
Apa itu orang tua Arven?
Kenapa bisa ada di sini fotonya? Atau ... jangan-jangan Avisha berada di villa milik orang tua Arven?!
"Lo udah bangun?"
Avisha terpekik kecil lalu menoleh. Melihat Arven berdiri di belakangnya sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai. Kaos putih dan celana bahan selutut.
"Kak Arven lucu deh nanyanya, kalo Visha belum bangun. Gak mungkin Visha di sini kan. Ya kali Visha tidur sambil jalan."
Arven tidak menghiraukan ucapannya. Justru melangkah mendekati dengan sebelah tangan tenggelam di saku.
"Itu foto orang tua kak Arven?"
Arven mengangkat wajah. Ikut mengamati bingkai besar yang terpasang itu. Ada banyak sorot yang terlukis di matanya, yang tak mampu Avisha baca dan mengerti.
Cuma gumaman yang Arven berikan.
"Jadi kita ada di Villa orang tua kak Arven?"
"Mm, punya bokap gue."
Kini sorot itu terlihat lebih jelas. Ada kerinduan sekaligus kesedihan yang terlukis begitu besar.
"Kenapa kak Arven bawa Visha ke sini?"
Arven terdiam beberapa saat. "Buat refreshing." Sekadar itu dan berniat berlalu.
"Di foto," langkah Arven tertahan. "Mama kak Arven perutnya besar, itu lagi hamil siapa?"
Punggung cowok itu tampak menegak kaku. Hening selama beberapa detik dan Avisha tidak berharap pertanyaan itu akan dijawab, bertepatan dengan Arven yang ternyata sudah mau buka suara.
"Adik gue."
"Oh ya?" Avisha berseru antusias. "Dimana foto adik kak Arven. Visha pengin lihat."
Yang cowok berbalik kali ini. "Gak perlu liat foto, cukup lo duduk di depan cermin."
"Hah?" Avisha bingung. "Maksudnya?"
"Bukannya gue udah pernah bilang," Sikap tenang Arven memang patut mendapatkan piala. "Kalo adik gue mirip lo. Persis kayak lo."
Avisha masih perlu jawaban atas pertanyaan yang berakar di otaknya. Tapi, Arven sudah langsung membelok topik.
"Mau ke pantai?"
•••
Pegangan teroooos :((
Agak gimana gitu ya Arven di sini .... wkwkwkkwkwk
Lanjut cepat gak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro