A;A4-Biola
❝Jika boleh aku berharap pada masa lalu, yang hanya kuingin ingat itu kamu. Sayangnya, jejakmu hilang ditelan waktu.❞
•°•°•
DARI langkah Askar memasuki apartemen, bisa ditebak jika cowok itu tengah dikungkung emosi. Jadi Valdi, sang pemilik dinding apartemen yang tengah ditinju oleh Askar, tampak tak acuh. Dan justru santai menyesap rokok di bibirnya.
"Biar gue tebak?" Valdi senyum miring. "Arven?"
Setelah puas melampiaskan seluruh emosi yang membakar habis, Askar melangkah mendekati Valdi yang terduduk di sofa. "Lo tau, semua kemarahan gue selalu bercongkol sama nama itu!"
"Gue tau banget, bro," Valdi menyesap dalam rokoknya. Membuang asapnya perlahan. "Jadi sekarang apalagi masalahnya?"
Askar membanting diri di sofa depannya. Mengacak-acak rambutnya frustasi. "Gue cuma nyuruh semua anak baru itu bawa balon. Emang gue salah?"
Valdi tergelak. Askar memelotot, sama sekali tidak ada yang lucu. "Wajar sih dia marah, lo tau balon buat penyambutan itu dapet dari sekolah. Udah gak jaman penindasan lewat mos, Kar!"
"Gue gak nindas! Gue cuma minta mereka bawa balon!" Askar masih berusaha mempertahankan pendapatnya.
"Nah itu masalahnya!" Valdi sudah menjadi temannya sejak SMP. Jadi tidak heran jika Askar begitu keras kepala. "Dari sekolah gak ada perintah buat bawa perlengkapan selain name tag sama alat tulis, pasti guru-guru bakal nyalahin anggota osis. Terutama Arven!"
Askar berdecih. Mengambil bungkus rokok sekaligus korek gas di meja. Menyulutnya dengan api, hingga dia ikut menyesapnya. Ini usaha yang cukup untuk menjernihkan pikiran.
"Pak waketos kalo Pak ketos tau lo ngerokok, bukannya lo bakal habis sama dia?" Valdi senyum mengejek.
"Gue gak pernah peduli sama dia!"
"Heran gue," Valdi geleng-geleng kepala. "Lo berdua sepupu? Tapi gak pernah akur."
Sungguh kalimat Valdi menghancurkan mood-nya hingga batas akhir. "Sepupu?!" Matanya nyalang, yang malah direspon Valdi santai. "Gak ada sepupu, yang ngehancurin sepupunya sendiri!"
•••
Di kamar bernuasansa serba putih dan biru itu, menjadi saksi Yania menceritakan seluruh kejadian saat Avisha terjatuh pingsan di lapangan. Padahal saat itu Yania tengah menganggumi makhluk ciptaan Tuhan yang begitu indah di atas panggung itu. Sosoknya sangat sempurna, sampai Yania tidak sadar sahabatnya yang terjatuh pingsan di depannya.
Disaat seperti itu Nata bisa-bisanya mencari kesempatan untuk menggendong Avisha ke UKS, tapi langsung Yania tahan. Enak saja! Disituasi begini, Nata malah modus pada sahabatnya! Mereka berdebat panjang hingga tiba ketua osis tampan itu turun panggung dan bertanya dengan wajah datar.
"Dia kenapa?"
Yania masih ingat jelas bagaimana suaranya yang membekukkan. Begitu dingin tapi merdu di telinga. Saking terpesonanya, Yania tak mampu menjawab. Ilona yang justru menjelaskan, jika Avisha tiba-tiba saja pingsan.
Tentunya di lapangan jadi kacau. Para peserta berisik sana sini. Tapi suasana makin ribut saat lelaki setengah wujud dewa itu mengangkat Avisha dari lapangan. Menggendongnya dengan gaya yang cukup membuat para cewek memekik iri.
"Gila, Sha! Lo pake susuk apaan sampe seberuntung itu! Kemarin di kafe juga ditolongin sama cowok!" Yania heboh sendiri. "Coba aja gue yang pingsan, ya ampun gue kan juga pengin digendong sama pangeran, biar kayak drakor-drakor gitu!"
Yania tanpa sadar menggigit bantal kelincinya.
"Ih Yaya, jangan digigit bantal kesayangan Visha!" omelnya.
Yania tak peduli. "Baru kali ini, Sha. Gue iri sama lo. Ah gue pengen!"
Avisha mencibir. Kalau dibayangkan memang romantis. Tapi ... Yania tidak tahu saja kronologi akibat dia yang mendadak pingsan. Kalau diingat alasan sebenarnya justru terasa memalukan. Membuatnya ingin mengubur diri hidup-hidup.
Jadi untuk itulah setelah Yania selesai bercerita, Avisha menceritakan seluruh kejadian di taman itu. Diceritakan sedetail-detailnya, tanpa tertinggal sedikit pun termasuk Avisha yang hampir terpeleset di toilet.
"Lo jadi nampar dia? Ketua osis lo tampar?!" Dari seluruh cerita, Yania cuma fokus sama hal itu. "YA TUHAN Visha! Kok bisa-bisaan cowok seganteng itu lo tampar cuma karena mecahin balon lo! Seharusnya tuh ya ... jangan lo tampar, tapi elus-elus pipinya, modus dikit gitu!"
Avisha tak tahan untuk tidak memukul paha Yania. "Yaya! Kenapa belain dia terus sih! Dia tuh yang salah! Seharusnya belain Visha dong!"
"Pangeran tampan itu emang pantes buat dibela, Sha!"
"Bukan pangeran tampan, pangeran iblis iya!" Avisha mendengkus sebal.
"Yaelah, Sha! Jangan kesel mulu sih sama dia. Udah ditolongin juga. Inget! Karena dia lo gak dihukum!"
Avisha mengerutkan bibir. "Iya ... iya tenang aja kapasitas otak Avisha masih penuh kalo buat inget!
Giliran Yania yang mendengkus malas. "Inget Sha, misalkan Tuhan sayang banget sama lo dengan ngasih momen-momen bareng ketua osis itu lagi, lo harus keluarin jurus pemikat hati. Apa perlu gue ajarin lo taktik-taktik modus ke cogan?"
"Ih Avisha gak mau berurusan lagi sama dia, matanya serem!" Avisha membayangkan tatapan cowok itu yang tajam dan beku, lalu menggeleng ngeri. Saat teringat sesuatu, dia mendadak diam. "Tapi, Ya ... entah kenapa mata dia tuh familiar buat Visha."
•••
MOS hari kedua cukup membosankan buat Avisha. Bagaimana tidak, sudah lebih dari setengah jam kakinya diajak berkeliling bersama rombongan anak lain. Memutari seluruh ruangan yang ada di sekolah, dengan tiga anggota osis yang menjadi pemandu di depan.
Avisha heran, kakak kelasnya itu tidak lelah berbicara terus tanpa jeda. Memperkenalkan setiap ruangan lalu memberikan penjelasan. Avisha yang disuruh mendengar saja mulai tak tahan dan ingin kegiatan ini cepat berakhir.
"Lona Visha capek!" Selama mos Avisha terpaksa berpisah dengan Yania karena beda kelas. Beruntung ada Ilona, setidaknya ada satu orang yang dia kenal di kelas. Avisha berharap saat diacak kelas penentuan, Avisha akan sekelas lagi dengan Ilona sekaligus Yania.
Oh jangan lupakan Nata de coco!
Semoga saja mereka berempat bisa sekelas seperti saat SMP.
Ilona cuma geleng-geleng kepala. "Bentar lagi juga selesai, Sha!"
"Lona mah enak, kakinya panjang jadi kuat kalo dipake jalan lama. Kalo Visha, kan Lona tau sendiri, jalan ke minimarket depan komplek aja, udah capek!"
Ilona tertawa. "Kaki panjang atau pendek, gak ada hubungannya sama kuat jalan, Sha!" Dia geleng-geleng kepala, terkadang heran dengan tingkah sahabatnya itu yang ajaib. Bukan saja tingkahnya, setiap omongannya pun bisa membuat orang-orang gregetan.
Ingin menjitak otaknya, biar normal!
Tapi Ilona akui ... Avisha selalu bisa meramaikan suasana. Sikapnya yang ceria dan didominasi oleh senyum membuat dia mudah berbaur di tengah banyak orang. Walau terkadang bikin mengumpat kesal, Avisha punya cara agar sekitarnya tertawa dan tersenyum lebar.
Sekarang mereka memasuki lagi sebuah ruangan. Ternyata ruang musik. Cukup dari luar pintu, Avisha sudah tersenyum sangat lebar, menampakkan gigi kelincinya. Apalagi saat sang kakak kelas pemandu membuka pintunya dan mereka bisa masuk ke dalam ruangan.
Dibanding mendengar perkataan kakak kelasnya, Avisha justru lebih memilih memandang sekeliling dengan binar senang. Tidak seperti ruang lain, yang membuat Avisha menahan kantuk, kini matanya malah membuka lebar.
Sepertinya dari raut bahagia Avisha, pasti bisa disimpulkan jika Avisha menyukai musik. Tidak juga, dia hanya menyukai ...
biola.
Saat melihat biola di dekat jejeran gitar, Avisha tidak sadar melangkah mendekat. Ilona yang melihatnya sontak menahan tangannya.
"Mau ngapain lo, Sha?"
Bagai anak kecil yang menemukan mainan baru, Avisha menunjuk tas biola itu dengan antusias. "Biola, Na. Ada biola!"
"Namanya ruang musik pasti ada biola, Sha!" Ilona menyeret Avisha untuk keluar, saat melihat rombongannya melangkah keluar ruangan karena telah selesai memperkenalkan seisi ruang. "Ayo ... Sha keluar, yang lain pada udah keluar!"
Dengan wajah menekuk, Avisha membiarkan Ilona menyeretnya ke pintu. Bergabung dengan rombongan.
Tidak lebih dari tujuh langkah, Avisha tiba-tiba mengangkat tangan. "Kak boleh izin ke toilet?"
Ilona memutar matanya malas. Bisa menebak jalan pikiran Avisha sekarang.
Kakak kelasnya itu tampak berpikir sejenak. "Boleh," ucapnya kemudian. "Tapi jangan lama-lama!"
Senyum Avisha melebar seketika. "Siaaaap Bu boss!" dia terkekeh, melambaikan tangan pada Ilona yang cuma bisa menghela napas, tak habis pikir dengan jalan pikiran Avisha.
Tentu saja tujuan Avisha ruang musik.
Dia melangkah ke dalam ruangan yang sempat diinjak beberapa detik lalu. Dari langkahnya yang mendekati pojok ruang, tempat biola diletakkan, Avisha tampak begitu tidak sabar untuk mencoba memainkan.
Dia mengeluarkan biola dari dalam tas. Sebenarnya tindakan Avisha ini sangat berani. Anak baru saja sudah berani mencoba-coba memainkan alat musik sekolah barunya. Kalau ada yang menangkap basah, Avisha akan diomeli atau diceramahi.
Tapi ... siapa peduli.
Selain es krim, biola adalah candu buat Avisha.
Seperti sekarang, Avisha tak bisa menahan lagi saat memiringkan kepala dan meletakan ekor biola di leher. Kemudian menekannya dengan rahang bawah telinga. Sebelum meletakan busur di antara senar, Avisha menarik napas panjang.
Di detik berikutnya, dia mulai menggesek dan membuat melodi yang mengalun merdu.
Nadanya mengambang di kesunyiaan.
Begitu terasa mendamaikan dan membuat Avisha tidak sadar memejamkan mata, menikmati setiap melodinya.
•••
Saat keluar ruangan osis dan tengah berjalan-jalan mengelilingi sekolah, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Arven berhenti melangkah di depan ruang musik. Mengernyit ketika menangkap alunan merdu biola.
Dia mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka. Tidak dapat mencegah langkahnya saat masuk ke dalam ruangan dan menemukan seorang perempuan yang tampak menikmati gesekkan nada biola yang dia buat sendiri.
Dibanding memberi teguran, Arven justru terdiam. Memasukkan kedua tangan di saku sambil memerhatikan bagaimana senyum cewek itu yang tersungging sempurna. Seakan biola yang dimainkan itu adalah teman untuk membunuh sepinya.
Begitu indah.
Begitu menenangkan.
Dan ... begitu besar dampak yang ditimbulkan.
Suaranya mengambang di telinga Arven, menusuk dan membawa segelintir memori yang dia benci. Memori menyenangkan yang kini justru jadi menyakitkan jika diingat.
Arven memejamkan mata, usaha yang cukup untuk menepis ingatan di kepala. Bersamaan dengan cewek itu selesai memainkan biola. Dia tampak puas, bertepuk tangan berkali-kali seolah bangga dengan diri sendiri.
"Cewek kayak lo ternyata bisa main biola?" Sayangnya, Arven merusak kesenangan cewek itu. Dia berjengit kaget lalu menoleh dan matanya terbelalak sempurna seolah Arven adalah orang yang paling dia hindari.
"Kak ... kak Arven," Dia tergagap. "Ngapain di sini?"
Arven menaikkan sebelah alis. "Bukannya seharusnya gue yang nanya, ngapain lo di sini?"
Cewek itu menyengir lucu. Menunjukkan dua gigi yang tampak paling menonjol di deretan giginya. Sepertinya walau wajah hampir serupa, memiliki kemampuan yang sama, jelas mereka punya pembeda.
Gigi kelinci itu?
Arven berusaha mengendalikan diri, agar tak tampak bodoh di depan gadis bernama Avisha itu. Si gadis yang pernah menamparnya cuma karena balon.
Bagaimana mungkin Arven bisa melupakan itu.
"Itu ... itu Avisha ..." Dia tampak memikirkan alasan yang pantas untuk diberikan. Arven menunggu, melangkah mendekat dan berhenti di depannya yang makin kelagapan.
"Avisha tuh tadi cuma pengin ..."
"Bukan seharusnya lo ikut rombongan anak kelas lo?"
"Mm?" Avisha mendongak. Mata bulat polosnya menatap Arven, yang membuatnya tanpa sadar makin merapat untuk melihat lebih jelas, aroma vanilla yang familiar memasuki penciuman, sejenak dia mengernyit.
Avisha yang kaget melihat tipisnya jarak sontak mengangkat tangan, menahan dada Arven. "Kak Arven jangan deket-deket, Avisha gak bisa napas!"
"Gak bisa napas?" Sumpah pertanyaan Arven kenapa jadi ambigu!
"Maksudnya tuh, kalo deket gini kan udara sekitar Visha keambil sama Kak Arven yang tinggi. Jaga jarak dong, Visha kan kecil jadi susah ngambil oksigen!"
Arven melangkah mundur, menuruti permintaannya. "Itu bukan karena lo pendek, tapi karena hidung lo terlalu mini!"
Yang dihina tentunya memelotot. "Cukup badan Visha yang dicela ya, hidung Visha gak usah ikut-ikutan!"
"Tapi itu emang kenyataan," tandasnya cuek.
Cewek mungil itu makin memberengkutkan bibir. "Kak Arven dendam ya sama Visha? Visha kan udah minta maaf karena nampar kak Arven kemarin."
Arven melangkah mundur, untuk merentangkan jarak lebih jauh. "Mending sekarang lo balik ke rombongan lo, sebelum lo ketauan pura-pura izin ke toilet."
Avisha seperti terkejut luar biasa. "Kak Arven tau Visha bohong izin ke toilet, biar bisa ke ruangan ini?"
Sebagai respon, Arven senyum kecut. "Gue udah bisa nebak akal cewek nekat kayak lo!" Kemudian Arven berniat melangkah keluar, jika bukan karena suara Avisha terdengar lagi.
"Kak Arven, Visha boleh nanya?"
Arven menoleh, memandang Avisha yang sudah memasukkan biolanya ke dalam tas. Meletakan ke tempat semula. Kemudian berjalan mendekatinya.
"Lo mau nanya apa?" Arven memandang Avisha yang kini tampak lebih santai menyikapi wajah datarnya.
"Kita pernah ketemu sebelumnya?" Avisha langsung melempar ke inti. "Mata biru kehijauan Kak Arven gak asing buat Visha?"
Yang cowok terdiam untuk beberapa saat. "Mungkin lo pernah liat gue di Televisi, atau di internet."
"Ha-ha," Avisha tertawa garing. "Ngelawak kak Arven!"
"Gue gak ngelawak!" Wajah Arven datar dan tak ada senyum sama sekali.
Avisha manyun. "Serius ih, Visha bener-bener gak asing sama mata Kak Arven!"
"Itu berarti lo ketemu gue di mimpi!" Arven menjawab asal.
"Geer! Ngapain Avisha mimpiin kak Arven?!"
Selanjutnya, Avisha sontak memundurkan kepala saat Arven menunduk untuk mensejajarkan tingginya. "Karena lo suka sama gue mungkin."
Yang cewek terbelalak. Walau tampak terkejut, Arven bisa lihat pipinya merona. Kemudian tanpa perdebatan, Avisha melangkah pergi dengan hentakkan kesal.
•••
Arven dan Askar ternyata sepupu hmmm ...
Penasaran lanjutannya?
Bener kata Arven, Sha, mini banget itu idung sampe merosot kacamatanya :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro