Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A39-Hati mulai berbicara

Big thanks yang selalu support cerita ini. Luv-luv buat kalian :*

Makin rame, makin seru iyakan? Jangan lupa vote dan komennya

:)))

KALAU ada polisi yang berjaga, mungkin sekarang Arven akan kena tilang karena melanggar peraturan. Mobilnya memacu di luar batas normal. Bahkan konyolnya dia tak peduli dan tetap mempertahankan kecepatan mobilnya yang memancing beberapa kalimat kasar pengguna jalan yang lain.

Ini salahkan pada pemilik rumah tujuan Arven sekarang. Setelah mendapatkan telepon yang menganggu waktu belajarnya, dia mengemudikan mobilnya seperti orang kerasukan. Bahkan begitu saja dia meninggalkan tugas sekolahnya yang baru dikerjakan setengah.

Oh demi apapun! Arven tidak pernah menyepelekan tugas cuma karena kekhawatiran tak jelas ini.

Decit rem beradu saat Arven harus menghentikan paksa mobilnya di luar area gerbang rumah Avisha. Itu karena mobil yang juga berhenti di depannya sekarang. Dia keluar, bersamaan dengan Darlan keluar dari mobil itu.

"Lo di sini?" Darlan tampak terkejut. Mungkin bingung siangnya Arven sudah ke sini dan sore menjelang malam dia sudah berada di sini lagi.

"Gue di sini karena harus ngasih pelajaran ke orang bego yang ninggalin adiknya sendirian!" Kalimatnya mungkin tenang, namun sorot tajam Arven tidak bisa berbohong.

Darlan tidak berusaha membela diri. "Gue tau gue salah. Tapi, gue terpaksa ninggalin ..."

"Karena temen?" Mudah untuk Arven menebak. Apalagi Darlan tak menepisnya. "Jadi menurut lo temen lebih penting dibanding adek lo sendiri?"

Keduanya berdiri sejajar. Darlan mungkin lebih muda darinya setahun, tapi tubuhnya cukup tinggi dan membuat keduanya cuma berbeda beberapa senti.

"Apa sebelum lo mutusin pergi, lo gak liat muka adek lo yang pucet? Dia sakit. Mungkin dia gak bilang ke gue atau ke lo. Tapi, gue aja bisa ngeliat dan sengaja pura-pura gak tau. Tapi lo ..."

"Terus kenapa lo gak coba nolak pas gue suruh pulang?"

"Karena gue pikir lo becus sebagai kakak!"

Itu lebih dari cukup untuk menohok Darlan. Setelahnya Arven berlalu pergi. Meninggalkan Darlan yang mengepalkan tangan. Mengakui jika sepenuhnya kesalahan memang ada padanya.

"Dimana Avisha Bi?"

Di dalam Arven langsung bertemu Bi Desi bersama nampan makanan yang kosong. "Non ada di atas, Den. Masih belum bangun. Cuma tadi udah diperiksa dokter. Terus tadi saya baru aja naruh mangkuk bubur dan teh hangat, biar pas bangun Non bisa makan dan langsung minum obat."

Arven mengangguk. "Bi Desi bisa panggilin Mbak Tia."

Bi Desi mengiyakan. Yang kemudian berlalu pergi ke dapur. Darlan menyusul di detik berikutnya.

"Ada kotak ..."

"Gue tau." Karena ituah tujuannya meminta Bi Desi memanggilkan Mbak Tia.

"Itu terror? Karena Mbak Tia bilang setelah liat kotak itu adek gue kayak ketakutan."

Arven baru ingin bersuara saat orang yang dimintanya sudah datang bersama kotak hitam itu. "Ini Den kotaknya." Arven menerimanya. Tatapannya dan Darlan jelas tertuju pada kotak berukuran sedang ini. "Saya belum buka Den, tapi kayaknya Non Visha takut banget sama kotak itu."

Setelah menggumam berterima kasih. Mbak Tia mengangguk dan berlalu pergi menuju dapur. Menyelesaikan tugasnya yang sempat tertunda.

Arven membukanya langsung. Menemukan secarik kertas berisi kalimat ancaman. Darlan sempat membacanya dan terbelalak tak menyangka.

Keinginan Arven cuma satu, selain menghancurkan kertas di kepalannya sekarang. Dia juga ingin melihat kehancuran orang yang melakukan hal busuk ini.

"Jadi bener ada yang neror adek gue?" Darlan seperti ingin melenyapkan orang. "Dan lo gak bilang apapun ke gue?!"

"Karena itu yang adek lo mau."

Darlan mendengkus marah. Tangannya mengepal. "Lo gak bisa asal nurutin permintaan dia. Lo harusnya ngasih tau gue! Gue harus telepon bokap sama nyokap sekarang!"

"Berarti lo harus siap nerima kemarahan adek lo." Belum sempat Darlan berlalu mengambil ponselnya di mobil, kalimat Arven mengunci langkahnya di pijakan. "Avisha gak mau sampe orang tua lo tau. Dia gak mau ngebuat mama-papanya khawatir."

"Tapi ini gak bisa disepelein. Gimana kalo orang itu nekat dan makin ngelakuin hal gila!"

Andai Darlan tahu. Orang itu memang sudah melakukan hal gila kemarin!

"Makanya gue udah nyuruh orang buat cari tau. Lo tenang aja, ini semua jadi urusan gue."

Darlan terdiam penuh kali ini. Arven berniat meninggalkan. Namun, Darlan kembali buka suara.

"Apa karena ini ..." Arven berhenti melangkah lalu menoleh. "Alasan adek gue lebih minta Mbak Tia nelpon lo dibanding gue abangnya?" Darlan tersenyum kecut. "Ternyata kalian udah sedeket ini ya."

Arven sekadar diam sambil memasukkan sebelah tangan di saku celana.

"Oke kalo gitu ... kalo emang adek gue percaya sama lo. Gue juga harus gitu bukan?"

"Gue ngelakuin ini karena udah janji sama dia. Dan ... itu emang tugas gue dari bokap lo."

Alis Darlan terangkat. "Lo yakin itu cuma karena tugas dari bokap gue? Gak ngelibatin perasaan?"

Arven berdecih. "Lo gak usah sok tau!"

Darlan maju selangkah. Begitu berani menepuk pundak Arven. "Kalo emang iya, bukan ada bagusnya sekarang lo baik-baikkin gue. Secara lo harus minta restu dari gue ... kak Arven." Setelahnya dia tertawa dan berjalan menuju kamar Avisha.

•••

Arven dan Darlan bergantian masuk ke kamar Avisha. Setelah Darlan puas melihat keadaan adiknya, kini giliran Arven memasuki kamar Avisha yang didominasi warna biru dan putih. Ada banyak pernak-pernik lucu yang berbentuk es krim dan kelinci. Dari boneka, hiasan dinding, seprai, selimut dan ...

"Kak Arven dateng juga ternyata."

Cewek itu yang sudah membuka mata. Senyumnya tampak di wajahnya yang pucat.

"Lo udah bangun?"

"Gak sih Visha masih merem," Dan disaat tubuhnya yang lemas dan terlihat tak bertenaga, Avisha bisa-bisanya bercanda. "Tadi sih Visha masih tidur, eh bang Darlan berisik banget buat Visha bangun. Terus bukannya khawatir bang Darlan malah omel-omelin Visha karena gak nelpon dia dan malah nelpon kak Arven."

"Kenapa orang pertama yang lo telpon gue?" Arven berjalan mendekat hingga berada di sisi ranjang Avisha."

"Mm," Avisha tampak berpikir. "Gak tau, Visha cuma langsung keinget kak Arven aja." Dan begitulah Avisha dengan kejujurannya. Lalu dia menepuk pelan sisi ranjangnya. "Sini kak Arven duduk samping Visha."

"Lo sakit beneran?"

"Beneran kok," Avisha tersinggung. "Kepala Visha pusing kayak habis naik wahana dufan. Nih kalo gak percaya pegang aja dahi Visha." Yang berikutnya menarik tangan Arven begitu saja dan menempelkannya di dahi. "Panas kan?"

Arven terdiam lama dan perlahan mulai mendaratkan diri sebelah Avisha sambil mengusap kening cewek itu yang memang terasa panas. Arven jelas tahu cewek itu tengah sakit. Cuma heran disaat seperti ini Avisha masih saja berusaha terlihat ceria.

Peluh yang tertinggal di sana, tanpa sadar membuat Arven mengusapnya.

"Buat apa Visha pura-pura sakit. Apalagi leher Visha, pegang deh lebih panas lagi." Dan begitu saja cewek itu memindahkan tangan Arven di lehernya. "Bener gak? Visha sakit tau," ucapnya sambil mengerutkan bibir.

Arven terdiam. Tak bisa mengelak saat telapak tangannya merasakan betapa lembut kulit leher cewek itu. "Eh tangan kak Arven dingin deh." Avisha justru semakin memperparah dampak yang Arven rasakan dengan menahan tangannya tetap di leher panas itu. "Jadi enak gitu rasanya."

Jelas ada sensasi yang mati-matian berusaha Arven tahan. Dan justru makin besar saat dia malah mengikuti kemauan hasratnya dengan menggerakan telapak tangannya di atas kulit lembut Avisha.

Avisha terkekeh geli. "Kak Arven jangan digerakkin gitu tangannya. Visha jadi geli."

Perjuangan kuat buat Arven menarik tangannya menjauh. Dia membuang muka. Merasakan jantungnya berdetak melebihi ritme yang biasa. Belum lagi, napasnya yang memburu. Sial! Dan mata bulat polos itu justru memperburuk akal Arven yang nyaris hilang.

"Itu ada bubur buatan Bi Desi. Lo makan terus minum obat." Arven berusaha mengalihkan.

Avisha beringsut bangun dengan perlahan. Melirik nakas dan mendengkus malas. "Visha males makan."

Yang cowok langsung mendelik padanya. "Lo harus makan!"

"Ihh Visha gak mau makan bubur. Lembek-lembek gitu. Gak suka ah!" Avisha cemberut. Kemudian mengulurkan tangan. "Langsung minum obatnya aja sini."

"Bubur ya lembek. Mau keras? Makan batu sana!" Arven memukul pelan tangan Avisha. "Lagian obatnya diminum sesudah makan di resepnya."

Avisha menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Menolak sepenuhnya. "Masalahnya Visha gak suka bubur."

"Emang kalo sakit lo biasanya makan apa?"

"Makan sup buatan Mama. Kadang bubur sih, cuma itu kepaksa."

Arven mengambil mangkuk buburnya. Menarik paksa tangan Avisha terlepas dari mulutnya dan meletakkan mangkuknya di sana. "Jadi sekarang juga dipaksa. Lo harus makan."

"Visha gak mau!" Avisha keras kepala. Mengembalikan mangkuknya ke tangan Arven. "Pokoknya sekali Visha bilang gak mau. Ya gak mau!"

"Gitu?" Avisha mengangguk tegas. "Oke," Arven meletakkan kembali mangkuknya di atas nakas. Bangkit berdiri. Avisha terbelalak. "Kalo gitu gue balik aja."

Belum juga selangkah, Avisha sudah menarik ujung jaketnya. "Tega banget kak Arven ninggalin Visha!" Dia cemberut. "Visha mau makan, tapi jangan bubur."

"Di sini adanya bubur," Arven menjauhkan jemari Avisha dari jaketnya. "Jadi makan apa yang ada!"

"Kak Arven ngerti gak sih, kalo Visha tuh suka mau muntah kalo makan bubur. Gak suka lembek, encer!"

"Terserah, kalo emang gak mau sembuh, gue batalin aja tiket yang gue pesen tadi." Arven lagi-lagi beranjak dan Avisha sontak menahannya terkejut.

"Hah? Tiket?" Avisha bengong.

"Mm," Arven mengangguk malas. "Tiket liburan."

Avisha jadi makin syok. "Kak Arven mau ngajak Visha liburan?"

"Niatnya, tapi lo malah sakit dan keliatan gak mau sembuh," jelasnya tak acuh. "Kayaknya emang terpaksa dibatalin."

"Ini seriusan?!" Wajah pucat Avisha langsung berubah cerah.

"Emang tampang gue ada bercanda?" Arven memasang muka serius. "Besok libur."

"Emang kak Arven juga libur? Besok kan ada rapat?" tanyanya bingung. "Kak Arven bukannya jadi panitia?"

"Yang jadi panitia, anggota osis baru. Tugas gue cuma buat acara tujuh belasan nanti dan habis itu tugas gue selesai jadi osis."

Avisha beroh panjang. "Oke karena terpaksa," Dia tersenyum cerah. "Kalo gitu Visha mau makan buburnya biar cepet sembuh."

"Itu bagus," Arven memuji datar. Mengambil mangkuknya yang diletakan di atas nakas.

"Tapi Visha mau disuapin."

Arven langsung mendelik. "Lo punya tangan. Makan sendiri!"

"Tangan Visha lemes." Avisha memelas. "Suapin ya kak Arven? Ya ya ya?" Dia memasang muka imut yang dibuat-buat. Membuat Arven mendorong wajahnya dengan telapak tangan.

"Gak usah sok imut lo!"

"Visha emang imut sih. Makasih." Dia menyengir. "Lagian ya ini kan jadi timbal balik. Waktu kak Arven sakit Visha suapin dan sekarang Visha sakit kak Arven yang suapin."

"Jadi lo gak ikhlas?"

"Bukan gitu, kan kita jadi saling ngebantu gitu loh. Kak Arven ..."

"Bawel!" Arven memotong langsung. Sedikit menyendokkan buburnya sebelum diarahkan ke mulut Avisha. Yang cewek itu terima dengan senyuman lebar. Walau detik berikutnya cewek itu seperti menahan muntah.

"Ih gak enak!"

Arven tak peduli dan kembali duduk di sisi ranjangnya sambil menyodorkan sendok ke arahnya lagi.

"Eh gak papa deh gak enak, yang penting kan Visha disuapin kak Arven. Aduh kayaknya Visha harus buat status nih. Biar yang lain tau kalo Visha punya baby sitter ganteng ..."

"Lo mau bubur ini gue tumpahin ke muka lo?" Wajah Arven langsung berubah garang.

"Ih becanda kak Arven." Avisha tertawa. "Jangan ngambek gitu sih, kak Arven jadi tambah ganteng tau."

"Sha!" Nada Arven penuh peringatan.

"Iya-iya," Dia berhenti menjailinya dan kembali menerima suapan. "Emang kak Arven mau ngajak Visha kemana?"

"Besok juga lo tau," Apa-apaan itu pakai rahasia-rahasian. Avisha mendengkus sebal. "Kapan mama-papa lo pulang?"

"Lusa."

"Mm oke ... kalo gitu gampang, entar gue tinggal minta izin lewat telepon ke mama lo."

Avisha mengangguk. Senyumnya terangkat sangat lebar. "Kak Arven moodbooster banget sih!"

Arven terdiam, yang kemudian cuma menarik pelan poninya. Avisha cuma tertawa dan kembali menerima suapan. Yang pada akhirnya membuatnya lupa kalau dia bilang tidak suka bubur.

•••

Sore hari Arven mengirimkan chat pada Regha. Dan pukul tujuh malam tepat, cowok itu sudah tiba di apartemennya. Penculikan dua hari lalu masih belum menemukan titik terang. Tentu saja Arven harus bisa menyelesaikan masalah Avisha cepat-cepat. Dia hanya tidak ingin ketakutan Avisha berlanjut dan mungkin bisa membuat cewek itu mengalami depresi berat.

Apalagi sekarang Arven tahu alasan dari semua ketakutan Avisha. Ini karena masa lalu. Ketakutan dari cerita usang, yang sepatutnya sudah ditinggalkan. Avisha punya trauma. Dan Arven tahu bagaimana rasanya.

Rasanya ... terkadang ada masa dimana ketakutan itu mengalahkan akal sehat dan membuatnya merasa seolah-olah dia kembali pada peristiwa mengerikan itu. Membuatnya nyaris gila dan gemetaran luar biasa.

"Supir taksi itu bukan orang suruhan, Ven." Arven mengerutkan dahi. Antara mau percaya atau tidak pada sebagian informasi yang diberikan Regha.

"Lo yakin?"

"Seratus persen yakin, orang-orang gue udah introgasi dia. Malahan dia juga korban, Ven." Regha kemudian mengasurkan ponselnya. Terdapat sebuah video di sana. "Lo liat, dia kira orang-orang gue itu bagian dari orang yang nyulik Avisha. Dia ketakutan, bukan takut ketauan, tapi dia keliatan takut kalo orang-orang gue bakal ngabisin dia."

Arven mengamati videonya dengan saksama. Menyimpulkan hal yang sama dengan Regha.

"Beneran mas-mas, saya gak tau menahu sama orang kemarin, justru saya kemarin bingung. Mau nyelamatin si eneng, tapi saya sendiri kena tonjok abis-abisan." Di dalam video, bisa Arven lihat wajah supir taksi yang mengantar Avisha dua hari lalu itu penuh lebam. "Kalo mas-mas gak percaya, cek aja, taksi saya emang mogok beneran. Ini aja belom selesai di service. Malahan ..."

Arven langsung mematikan videonya dan mengembalikan ponselnya pada Regha.

"Benerkan? Dia bukan orang suruhan."

Kini rasanya tangan Arven begitu gatal ingin menonjok apapun.

"Terus soal CCTV udah selesai?"

Regha menghela napas. Menyandar pada sofa. "Belom," Bukan jawaban itu yang Arven inginkan. "Lo tau sistem keamanan sekolah kita, Ven. Gak segampang itu ngambil rekamannya."

"Tapi masalahnya, cuma itu satu-satunya cara biar gue tau siapa orang yang neror Avisha."

Regha tampak tengah berpikir. "Menurut lo terror itu berkaitan sama orang yang nyulik Avisha?"

"Udah pasti." Arven tidak mungkin salah perkiraan.

"Tapi gak mungkin mereka orang yang sama kan?" Alis Arven terangkat. Sementara Regha berusaha menjelaskan. "Begini, orang yang nerror Avisha bisa dipastiin cewek. Sedangkan yang nyulik Avisha itu cowok-cowok berbadan gede. Kayak bodyguard. Terus jumlahnya gak satu. Gue yakin dibalik ini semua, ada 'dalang'nya, yang jadi boss mereka."

Arven memang tidak salah mengikutsertakan Regha pada hal seperti ini. Senyum sinisnya terangkat, karena pada kesimpulan Regha, itu juga yang terpikirkan olehnya.

"Dan mungkin juga kecelakaan Avisha itu boss-nya yang nyuruh." Arven berkata santai sambil mengambil kaleng sodanya di meja. Meneguknya perlahan.

Arven juga sangat yakin jika orang gila aka boss mereka itu pasti berkaitan dengan masa lalu Avisha. Orang yang Avisha sebut dengan 'om jahat'. Entah benar atau tidak, tapi Arven akan pastikan itu.

Ini jelas di luar perkiraan. Tampaknya masalah ini lebih besar dibanding yang sempat Arven pikirkan.

Terdengar helaan napas berlebihan Regha. Membuat Arven kembali menatap sahabatnya itu. "Sumpah! Masalah ini lebih rumit dibanding soal matematika. Kayaknya kita cocok jadi dektektif." Dia tertawa. Sementara Arven, sekadar diam karena masih banyak hal yang dia pikirkan. "Oh ya ... gimana kondisi Visha?"

"Dia sempat sakit, tapi udah mendingan. Kebetulan ... besok gue juga mau ngajak dia jalan. Mumpung libur."

Regha sedikit tertarik dengan ini. "Kemana?"

Sesaat tak ada yang Arven ucapkan, baru di detik kelima dia mengatakan. "Villa bokap gue di Lombok."

Beberapa detik Regha tampak tak percaya. "Jadi ... Avisha udah dapet kartu VVIP." Arven tak mengerti. Regha justru tersenyum sempurna. "Cewek pertama yang lo ajak ke sana selain keluarga lo."

"Gue cuma pengin buat dia lupain kejadian kemarin."

"Mungkin bukan cuma karena itu, tapi karena emang lo gak suka liat dia sedih. Dia happy, lo happy."

Dan untuk kali pertama, Arven tak bisa menyangkalnya.

•••

Kalo Visha sedih, Arven ikut sedih. Maksudnya gitu ya, Gha? Hm :))))))

Part besok khusus mereka dong. Jalan-jalan dulu biar santai

Weh gak santuy itu tatapan :(

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro