Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A36-Pembuka Ketakutan

Suka sedih gitu aku kalo liat silent readers-nya :(

Makanya buat part ini mau liat dulu vote sama komennya


SETELAH turun panggung segalanya masih tampak begitu bahagia. Dan semua sekejap berubah saat lampu mendadak padam. Gadis berusia lima tahun itu terbelalak. Terkejut dan panik di waktu bersamaan.

Langsung telinganya menangkap suara gaduh di luar. Orang-orang berteriak, grasak-grusuk menciptakan langkah kaki yang membuatnya makin ketakutan.

"PAPA!" Dia mengulurkan tangan. Mengandalkan indra peraba, dia mencoba berjalan di kegelapan yang ada. Meski ini menyulitkan. Ditambah rasa panik yang menjalar, membuatnya terburu-buru dan menabrak benda-benda sekitar. "MAMA!"

"Papa-Mama dimana?! Icha takut!" Teriakannya teredam di antara kekacauan yang tecipta. Banyak teriakan yang bersahutan sana-sini. Bahunya menabrak orang-orang yang berlalu lalang ikut panik.

Sampai di detik, kegelapan benar-benar menguasainya. Ketika tanpa diperkirakan, ada sebuah tangan yang membekapnya dari arah belakang. Matanya membulat penuh dan perlahan pasti, aroma yang menyengat dari kain yang menutupnya, menarik seluruh kesadaran yang dia punya.

Tak ada yang diingat. Cuma saat membuka mata hal pertama yang dia lihat kondisi remang dengan barang-barang rongsokkan yang tergeletak tak beraturan di pojok. Aroma debu, kayu lapuk, dinding berjamur, dan asap rokok yang berterbangan.

Dia terbelalak melihat dirinya berada dalam gudang kosong dengan tangan dan kaki terikat. Apalagi mulutnya tertutup kain yang menahan jeritan. Avisha menggeleng berusaha, melepaskan saat justru gerakannya ditahan seseorang.

Avisha makin takut luar biasa melihat orang-orang berbaju hitam dengan topeng di wajah berdiri mengelilingi.

Siapa mereka?

Dimana Papa-mamanya?

"Lepas! Lepasin Icha!" Itu yang Avisha teriakkan. Walau sia-sia karena tak ada suara yang keluar dari bibirnya. "LEPAS! KALIAN SIAPA?! MANA PAPA-MAMA ICHA?!"

Darahnya seperti mengucur deras oleh ketakutan dan kepanikkannya. Avisha tanpa sadar menangis. Membiarkan air mata yang justru mengundang gelak tawa. Dia meronta, ingin melepaskan diri dari tali yang mengikatnya kencang.

Ketika orang-orang bertopeng itu minggir ke kanan dan kiri, membentuk sebuah jalan. Tak lama, muncul seorang pria paruh baya dengan sorot santai tapi tampak begitu bengis.

"Avisha Pratista, anak Devin Kayden," Dia tersenyum. Senyum yang terlihat menyeramkan. "Kalo bukan ayahmu, kamu gak akan di sini, nak. Kamu harus dilenyapkan karena kesalahan ayahmu."

•••

Ini hari yang melelahkan. Tentu saja. Setelah kekalutan mencari Avisha seharian dan menemukan cewek itu ada di gedung kosong tengah ketakutan, Arven seharusnya bisa sedikit lebih tenang. Seharusnya bisa beristirahat untuk mendapatkan kembali energinya yang terkuras.

Cewek itu sudah ada di sini, di kamar depannya. Mungkin tengah tertidur sambil bermimpi indah. Arven tak perlu kalut atau memikirkan apapun itu rasa yang menganggunya sekarang.

Namun, nyatanya sorot ketakutan dan tubuh gemetar Avisha sudah menganggu jam tidurnya. Ini sudah pukul jam satu pagi. Matanya tak bisa diajak memejam, terus terbuka bersama pikiran yang terasa menusuk kepala. Sangat jelas masih dia rasakan, bagaimana ketakutan yang cewek kecil itu tunjukkan.

Ekspresi yang persis sama saat tragedi speaker dan mendengar suara sirine.

Perkiraannya sudah pasti benar. Jika ada trauma besar yang Avisha simpan. Yang cewek itu memilih untuk tak diumbar dan menutupinya dengan kecerian sekaligus senyuman.

Arven memejamkan mata sejenak. Perlahan memijat keningnya yang mungkin saja bisa membelah saking penuhnya. Terkadang masalah sendiri saja membuat Arven nyaris gila. Apalagi sekarang, entah kenapa dia tidak bisa menyingkirkan permasalahan yang terjadi pada Avisha begitu saja.

Meminum air mungkin bisa menjernihkan kepalanya. Arven memutuskan turun dari ranjang dan berjalan keluar pintu.

Baru juga menutup pintu, suara yang berasal dari pintu seberangnya menarik perhatian.

"Lepasin Visha. Lepas!" Terdengar teriakkan Avisha di dalam. "Visha mohon, lepas! Jangan dibakar, jangan!"

Di luar kendali, Arven langsung mendorong pintunya. Sedikit terkejut melihat Avisha yang meronta-ronta di atas ranjang. Bergerak-gerak dengan keringat yang bercucuran.

"Sha!" Arven bergegas duduk di pinggir ranjang. Menepuk-nepuk pipinya."Sha!"

"Om jahat!" teriaknya belum sadar. "Kenapa Om lakuin ini? Salah Papa Visha apa?!"

"SHA!" Usaha Arven sampai menarik tubuh Avisha agar cewek itu terbangun dari tidurnya. Meski Avisha justru makin bergerak tak bisa diam seolah meminta dilepaskan. "SHA! AVISHA!"

Panggilan terakhir berhasil. Avisha membuka mata bersama tatapan—yang lagi-lagi penuh ketakutan. Arven kehilangan kata, cuma beberapa saat karena detik berikutnya dia sedikit terkejut berkat Avisha memeluknya erat.

"Sha lo gak pa-pa?"

"Visha takut," gumam cewek itu di bahunya. "Visha takut!"

Arven yang bertugas membalas pelukannya lebih erat. "Ada gue, Sha. Lo gak perlu takut."

"Gimana ... gimana kalo orang itu nyulik Visha lagi. Dia ..."

Arven sedikit memberi ruang antara mereka. "Lo cuma lagi mimpi buruk."

Bersama matanya yang bergerak panik, Avisha menggeleng. "Gak, orang itu emang ada. Om jahat itu ada di sini. Dia mungkin bakal ngelakuin ...."

"Sha," Arven menangkup pipinya. "Harus berapa kali gue bilang. Selama lo di samping gue, lo aman. Gak akan ada yang berani nyentuh lo. Lo harus percaya."

Avisha terdiam. Mengatur napasnya yang tak beraturan, yang kemudian mengangguk. Walau jelas ketakutan itu masih terpancar di mata bulatnya. "Visha percaya kak Arven."

"Bagus," Arven mengusap keringat yang mengotori wajahnya. "Sekarang tidur lagi. Oke?"

Arven melepaskan pelukan, berniat keluar, andai bukan tangannya dicekal pelan. "Kak Arven jangan ninggalin Visha. Visha gak mau sendirian."

"Kalo lo butuh apa-apa, gue ada di sebelah ..."

"Visha gak mau sendirian." Ungkap Avisha jujur. Bukan berasal dari mimpi saja, tragedi yang baru saja terjadi memperparah traumanya. "Kak Arven di sini," Dia bergeser sedikit ke sisi kiri, memberi ruang lebih. "Kak Arven bisa tidur di samping Visha."

Arven tak dapat mengontrol ekspersi terkejutnya. Apalagi menatap Avisha yang meminta dengan wajah merona malu, namun tampak sangat serius.

"Ini udah malem. Lo jangan main-main, Sha." Gila saja bukan jika mereka tidur di satu ranjang yang sama.

"Visha serius!" ucapnya yakin.

"Sha ..."

"Biasanya kalo abis mimpi buruk, Visha ke kamar Mama karena gak bisa tidur sendiri." Sisi kepala Avisha turun. Menyembunyikan tangisan yang ingin tumpah.

Di sini, Arven jelas tak bisa asal mengambil keputusan. Dia bimbang memilih di antara pilihan itu. Di satu sisi, dia tidak tega meninggalkan Avisha sendirian. Dan sisi yang lain, permintaan Avisha tak bisa Arven wujudkan.

Saat memilih ini, katakan Arven sudah gila. "Oke. Geser!"

Avisha terbengong sesaat. "Kak Arven mau?"

"Geser, Sha."

Tak dapat lagi Avisha sembunyikan senyum di bibirnya. Awalnya mungkin dia takut dan malu meminta hal itu, tapi seperti ada dorongan yang membuat keberaniannya mengalahkan rasa malunya.

Setelah Avisha menggeser tubuh, Arven berjalan ke arah lemari. Mengambil beberapa bantal sekaligus guling. Sesaat Avisha ingin bertanya untuk apa. Namun, detik berikutnya, dia langsung mengerti. Ketika Arven menyusun beberapa bantal dan guling itu di tengah-tengah.

"Jangan sampe disenggol garis batasnya. Paham?" Arven melongokkan kepala di atas pembatas. Menatap Avisha yang berbaring sudah menganggukan kepala mengerti.

Avisha di sisi kanan dan Arven tertidur di sisi kiri.

"Apa lagi yang Mama lo lakuin kalo lo ketakutan?"

"Setelah Visha bilang kalo Visha mimpi buruk dan pengin tidur di samping Mama, Mama bakal genggam tangan Visha." Karena terkadang Avisha butuh pegangan untuk melawan ketakutannya.

"Mana tangan lo?"

Avisha terkejut. Selain susunan bantal guling, Avisha tidak bisa melihat apapun. Apalagi bagaimana raut Arven sekarang. Cuma tangan cowok itu yang terulur di atas area pembatas itu.

Pelan namun pasti, ada kendali sendiri yang dia rasakan saat mengangkat tangan dan meletakkan di atas telapak tangan Arven, yang langsung cowok itu genggam penuh kehangatan.

"Sekarang lo bisa tidur."

Untuk keheningan yang tercipta, detik jarum jam yang berdetak, dan jantung Avisha yang bergerak tak beraturan. Avisha mulai memejamkan mata, senyumnya mengulas. Karena pada genggaman yang Arven berikan, Avisha merasa aman.

•••

Dalam mata yang masih memejam, Avisha berbaring menghadap kanan. Bersama guling yang dia dekap, sinar matahari menghantam wajah. Terasa menyilaukan, yang membuat matanya mengerjap terbuka.

Sesaat pupilnya berusaha menyesuaikan. Dengan tangan yang memayungi, Avisha bisa melihat hari telah pagi.

Perlahan, dia menarik diri dari berbaringan. Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan angka delapan. Matanya sontak membulat penuh.

Senyenyak itukah tidurnya?

Dia memandang sekeliling yang senyap. Lalu melongok ke pembatas yang masih tersusun kokoh dan tak menemukan keberadaan Arven.

Hari ini hari sabtu. Seharusnya Avisha datang ke perkumpulan musik kelas sepuluh di sekolah. Tapi, masa bodohlah, sehari tidak datang tidak masalah bukan.

Dia ingin turun dari ranjang. Tapi tongkatnya ...

Baru juga mengingat tongkatnya yang hilang kemarin, justru pemandangan yang ada di sisi kanan membuatnya tak percaya. Di nakas samping tempat tidur, sebuah tongkat tengah menyandar terbungkus plastik.

Itu tongkat baru!

Dia mengambilnya langsung. Melepaskan plastik yang membungkusnya dengan hati senang. Meski tak ayal dia kebingungan.

Arven yang membelikannya?

Sepertinya Avisha akan bertanya setelah membersihkan diri. Dengan bertumpu pada tongkat, Avisha turun dari ranjang dan tanpa sempat dia lihat, di bawah kakinya ada kaos sekaligus celana pendek. Tanpa sadar, senyum Avisha mengulas, bisa menebak siapa yang telah mempersiapkan itu.

Setengah jam Avisha menghabiskan waktu di kamar mandi, setelahnya dia keluar kamar. Berusaha pelan menuruni tangga. Tampaknya suara ketukan tongkatnya menarik perhatian Arven di dapur hingga cowok itu menghampirinya terburu-buru dengan apron yang melekat di tubuh.

"Bisa?"

Itu pertanyaan datar dari Arven. Dan bukannya menjawab. Avisha menghentikan langkah di undakan tangga. Bagaimana cowok itu memakai kaos hitam dan celana abri selutut, ditambah apron yang digunakan. Jujur Avisha bisa bilang Arven begitu luar biasa memesona sekarang.

Ekspresi Avisha sepertinya terbaca oleh Arven sampai cowok itu tampak berusaha menahan senyum. "Bisa turun?"

Ya Tuhan! Dan bisa-bisanya di situasi ini, Avisha jadi mengingat kejadian semalam. Saat mereka tidur di satu ranjang yang sama. Meski terhalang susunan bantal, tangan mereka tergenggam satu sama lain. Pipinya terasa panas dan dia buru-buru menggeleng, menghentikan kepalanya yang tak berhenti membayangkan.

"Bisa," ucapnya. Tiba saat melangkah, tongkatnya justru oleng dan hampir menghilangkan keseimbangannya jika tidak karena Arven yang tahu-tahu ada di depannya menahan.

Arven berdecak. "Kebiasaan!"

Avisha cuma menyengir.

"Kayaknya tongkatnya belum perlu sekarang," Dahinya bingung. Kemudian terbelalak saat cowok itu malah menyingkirkan tongkatnya begitu saja. Yang sontak dia jadi memegang bahu Arven.

"Kak Arven mau—ARGHH!" Avisha terkejut setengah mati saat Arven justru mengangkat tubuhnya tiba-tiba. Kali ini refleks dia memeluk leher Arven. Merasa de javu, Avisha jadi teringat Arven yang menggendongnya kemarin. Posisi yang benar-benar sama.

"Buat ngehindar lo jatoh, ada bagusnya gue gendong lo bukan?" Alis cowok itu terangkat menyebalkan.

"Yee bilang aja kak Arven emang suka gendong Visha."

"Mau gue jatohin?"

"Eh! Jangan!" Sontak Avisha mengeratkan pelukan sambil menenggelamkan kepala di dada Arven. Sayangnya, detik ini, Avisha tidak dapat melihat senyum Arven yang mengembang sedikit lebih lebar.

Seraya membawanya dalam kedua tangan, Arven santai menuruni tangga dan berjalan menuju belakang dapur. Kemudian mendudukkannya di atas kitchen set. Berdampingan dengan wastafel dan lemari es dua pintu.

"Tongkatnya kak Arven yang beli?"

"Kalo bukan gue siapa lagi?" jawab Arven sambil memunggunginya.

Avisha mengedarkan mata. Menatap pemandangan yang menimbulkan kernyitan heran. Bukan cuma ada bahan-bahan masakkan, ada beberapa sayuran yang masih belum terpotong. Toples-toples kecil berisi bumbu. Dan pisau set yang tersusun rapi.

"Kak Arven mau masak?" Avisha memandang punggung Arven yang tengah mengaduk sesuatu di panci.

"Lo pikir gue pake apron gini mau ngapain? Main voli?"

Ditanya saja, sudah langsung darah tinggi.

"Ih Visha kan cuma nanya." Kemudian dia menunjuk pancinya. "Itu sup apa kak Arven?"

"Ribollita."

Sesaat Avisha mencerna, sebelum akhirnya ternganga. "Masakkan Italy?"

"Lo tau?" Arven berbalik heran.

"Tau dong. Papa sering aja Visha ke restoran Italy," ucapnya. "Enak-enak sih, cuma kadang Visha gak kenyang karena porsinya dikit. Mending makan di warteg. Murah dan banyak."

Bagaimana cara Avisha yang bahagia. Tampak begitu sederhana dan apa adanya. Cewek itu tak berusaha melebih-lebihkan atau berusaha untuk terlihat berbeda. Justru Arven yang melihat cewek itu dengan cara berbeda. Senyum dan wajah cerianya entah kenapa tak pernah lupa untuk Arven simpan di memori kepalanya.

"Kak Arven orang Italy?" Suara ceria Avisha menyentaknya. Dia memutar tubuh untuk mematikan kompor. Supnya sudah matang. Dan itu juga usaha untuknya mengalihkan pikiran yang terasa aneh akhir-akhir ini.

"Bukan," Arven menjawab.

"Tapi mata kak Arven kayak orang luar gitu, terus kak Arven bisa buat masakkan Italy, Visha pikir kak Arven orang Italy." Sebenarnya Avisha ingin bertanya ini sejak awal. Cuma dia terlalu fokus pada misinya, memikirkan orang yang memiliki mata yang sama, tanpa berkeinginan untuk bertanya darimana mata Arven berasal.

"Mama gue orang Jerman."

"OH YA?!" Avisha tak dapat menahan nada takjubnya. "Wah berarti kak Arven jago bahasa Jerman dong."

"Gak dibilang jago, tapi bisa."

"Terus Papanya kak Arven orang Indonesia?"

Arven mengangguk seadanya.

"Kalo kakek yang asuh kak Arven sekarang itu ..." Punggung Arven mendadak kaku, tapi Avisha sudah di kepala tanggung jika tak melanjutkan ucapannya. "Orang tua siapa? Mama atau Papa kak Arven?"

"Bokap gue."

Avisha memutuskan tak ingin melanjutkan pembicaaran. Topik ini begitu berat, perkiraan Avisha mungkin tak salah, jika ada masalah besar yang terjadi di keluarga mereka.

"Lo tau arti nama gue?" Arven memutar tubuh sekaligus menumpukkan tangan di pinggir meja bar.

"Gak tau."

"Arven, dari bahasa Jerman, artinya raja elang."

"Oh pantes, mulut sama mata kak Arven selalu tajem." Avisha mencoba bergurau. Mengusir rasa tak mengenakan yang tiba-tiba ada. Bagusnya dia punya pengalihan. "Kak Arven mau dibantu gak?"

Arven mengambil talenan dan beberapa potong ayam mentah. "Potong ayamnya jadi bentuk dadu. Bisa?"

"Kalo itu mah gampang. Sini." Avisha mengulurkan tangan.

Arven mendekat dan meletakkan benda yang dipegangnya di samping paha Avisha.

"Cuci tangan lo dulu."

Wastafel berada di dekatnya. Avisha jadi tidak perlu berdiri untuk membersihkan tangan.

"Udah!" Dia menunjukkan tangannya yang telah bersih.

Yang cowok mengangguk tak acuh sambil menyandar di pinggir wastafel.

Avisha tersenyum. Kitchen set yang dia duduki ini berukuran besar. Itu menjadi nilai tambah karena dia jadi bisa sedikit mencari posisi nyaman. "Kak Arven emang mau masak apa lagi?"

Tak ada yang Arven lakukan selain mengamati Avisha yang begitu telaten memotong. "Pasta."

"WOAH!" Decakkan kagum Avisha tak ditutup-tutupi. "Kayaknya pas gede nanti, kita bisa buka restoran bareng-bareng kak Arven. Visha bisa masak. Kak Arven apalagi."

Avisha berhenti memotong saat tangannya dipegang pelan. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Arven yang berdiri di sampingnya. "Jadi maksud lo, lo mau terus terikat sama gue?"

"EH!" Maksud ucapannya bukan itu. Tapi kalau dipikir ulang, ucapannya memang menjurus ke sana. "Bukan, maksud Visha kan kita bisa kerja sama pas gede nanti. Jadi temen bisnis."

Arven menatapnya lama. Seperti ada yang tengah dipikirkan.

Saat ini, ada baiknya Avisha fokus pada tugasnya tadi. Tak ingin memperpanjang urusan. Rambutnya yang tergerai, menganggunya memotong daging. Sesekali dia menyingkirkan. Apalagi poninya yang rasanya ingin dia jepit.

Lalu makin menyebalkan saat rambutnya terjatuh ke depan dan menghalangi pemandangannya.

"Ih rambutnya buat Visha kesel! Kenapa ..."

Begitu saja kekesalannya redam. Justru kini terkaku bodoh saat tangan Arven mendadak meraih rambutnya dan diselipkan ke belakang telinga.

"Lo tau mau masak, tapi rambut gak dikuncir."

"Ini kan tadi basah." Avisha membela diri.

"Pisaunya taruh dulu."

Avisha tak membantah ucapan itu. Setelah meletakkan pisau, dia duduk menghadap Arven yang menjulang di depannya. Diawal dia tidak tahu Arven ingin melakukan apa ketika membuka kabinet di atas kepalanya.

Namun, jawaban itu terjawab setelah ada karet gelang di tangan Arven, disusul si cowok mengambil seluruh rambutnya menjadi satu dan mengikatnya di belakang kepala.

Dalam jarak yang cuma berjarak sejengkal. Arven tampak santai. Avisha justru merasa berbeda. Tubuhnya seolah terkunci, pun matanya yang memandang Arven lurus-lurus. Yang menyebalkan situasi ini, jantungnya berdetak tak karuan. Menggema begitu keras tanpa alasan.

"Kak Arven ..."

"Selesai, keliatan lebih rapi kan?" Arven memotong ucapannya. Padahal Avisha berharap berikutnya Arven memberikan jarak untuknya bisa bernapas. Bukan malah menumpukkan tangan di pinggir kitchen set. Tubuh Arven sedikit membungkuk, membuat posisi mata mereka tertancap satu sama lain.

"Kak Arven mundur dikit dong," pintanya sambil memundurkan wajah. Sayang, kepalanya tertahan kabinet di atas.

"Kenapa?" Cowok itu malah bertanya.

"Itu ..." Bagaimana caranya Avisha mengatakan. "Jantung Visha ... dia ... jadi lompat-lompat gitu."

Alis Arven terangkat. Merasa tertarik. "Bisa ulang?"

"Ih kak Arven masa gak ngerti," Avisha memegang bahunya dan mendorong pelan. "Kak Arven jangan deket-deket ... Visha deg-degan."

Arven mengambil salah satu tangannya di bahu. Diturunkan dari sana, yang kemudian digenggam di atas pangkuan Avisha. "Lo ngomong kayak gitu udah ke berapa cowok?"

"Hah? Gak pernah. Ini ... baru pertama kalinya," jujur Avisha dengan wajah polosnya.

"Bagus," Arven mengangguk dan sepertinya jarak tipis itu belum memuaskan Arven. Hingga dia kembali mendekat. Kaki mereka makin melekat dan napas Arven jelas terasa menerpa wajahnya. "Lo gak boleh ngomong kayak gitu, selain ke gue. Paham?"

Bagai terhipnotis, Avisha cuma mengangguk.

Andai Avisha bisa membaca pikiran, cewek itu mungkin akan tahu kalau Arven tengah mati-matian menahan senyum. "Good girl!" ucapnya sambil mengusap kepala Avisha. "Sekarang lanjutin motongnya."

•••

Avisha telah menceritakan seluruh kejadian kemarin. Mulai dari dia yang pulang naik taksi dan di tengah perjalanan, taksinya mendadak mogok. Disitulah awal mengerikan dimulai. Keributan si supir taksi dengan orang tak dikenal memancing Avisha turun dan langsung dibekap dari belakang.

"Kenapa gue ngerasa kalo itu kayak direncana."

Pendapat Arven hampir mirip dengan kesimpulan di kepalanya. Ini sebenarnya tidak dibenarkan. Avisha tidak seharusnya berpikiran buruk. Hanya saja ini sedikit rancu jika cuma sekadar kebetulan. Bisa saja semua ini memang sudah direncanakan.

Avisha menyandar di sofa. Menghela napas lelah. Piring pasta di pangkuannya pun tak mengunggah selera. Selesai masak di dapur, mereka memutuskan makan di ruang tamu. Televisi yang menyala saja terabaikan begitu saja.

"Lo gak usah mikirin apapun, gue yang bakal selesain semuanya." Avisha menoleh, memandang Arven yang membalas tatapannya. "Tugas lo sekarang cuma makan."

Jika Arven sudah menatap depan, Avisha tak mengalihkan pandangan. Di tengah antara pikirannya yang terasa berantakkan. Dia seperti menemukan titik terang. Dan seolah yang menyalakan sinarnya itu Arven. Mengeluarkannya dari kegelapan.

"Kak Arven."

"Mm."

"Visha mau cerita semuanya. Boleh?"

Arven menoleh kali ini. "Bukan lo udah cerita semuanya."

"Iya kalo yang kemaren. Tapi gak kejadian sepuluh tahun lalu." Arven tampak tak menyangka Avisha mengangkat topik ini. "Kak Arven yang bilang kalo Visha siap, Visha boleh cerita ke kak Arven kapan pun. Dan ... sekarang Visha siap."

"Sha ..."

"Visha mau cerita semuanya ke kak Arven," Menceritakan masa lalu itu tak mudah. Apalagi ini berkaitan dengan masa kelamnya. Avisha sangat tahu. Cuma dia merasa dia telah menemukan malaikatnya. "Karena Visha percaya kak Arven."

Bukan sekadar percaya, Avisha bisa dibilang telah menjatuhkan seluruh kepercayaannya pada Arven. Orang asing pertama, orang luar selain Yania, yang Avisha anggap peran dalam hidupnya begitu istimewa.

•••

Tidur satu ranjang, ampun untung gak khilaf kalian tuh -_-

Udah dipercaya tuh Ven sama Avisha. Yaiyalah orang udah dibuat dugun-dugun wkwk

Mirip ya gayanya, jangan-jangan jo .... 

jodoh orang :(((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro