Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A33-Penasaran berujung

Gercep aja deh ya up-nya. Mumpung lagi lancar nih ide wkwk

Sip-sip! Liat dulu ah rame gak nih, auto langsung gas up lagi kalo rame


TERNYATA selain berat memikirkan permasalahan Arven, Avisha juga diberatkan oleh permintaan Bu Feni. Belum juga Avisha menyetujui, di hari sabtunya saat pertemuan musik kelas sepuluh, lagi dan lagi Avisha mendapatkan sebuah permintaan untuk tampil dikhalayak ramai.

Bu Santi yang memintanya untuk tampil di acara ke tujuh belasan nanti.

Avisha tidak bisa, bukan, bukan karena Avisha grogi atau gugup di depan orang. Hanya saja, tampil di panggung sambil memainkan biola, mengingatkan Avisha pada sesuatu memori yang tidak ingin dia ingat-ingat lagi.

Beruntung kepala Avisha bisa sedikit dijernihkan ketika berkumpul bersama ketiga sahabatnya di kantin. Obrolan serta tawa yang mereka bagi, memulihkan isi kepalanya yang terasa penuh.

"Sekarang huruf L," Yania menyeruput jus apelnya. "Hewan yang huruf L. Gue lebah."

"Laba-laba." Ilona menjawab antusias.

"Lalat penganggu." Nata menunjuk Yania dengan sendoknya. Yang tentunya membuat Yania memelintir kepalanya.

"Lo Sha!" Avisha seperti baru ditarik alam bawah sadar. Dia kebingungan.

"Apa?"

"Lo bengong?" Ilona menaikkan alis.

"Ayo jawab cepet, Sha!" Nata menyemangati. "Hewan yang depannya huruf L. Cepet! Sebelum dapet hukuman."

"Gue itung sampe tiga, satu ..."

"Lumba-lumba." Belum di detik kedua Yania menghitung, dia cepat-cepat menjawab.

"Tumben tuh otak bisa kerja," ledek Yania. Avisha cuma menepuk dada bangga.

"Sekarang huruf, M. Nama-nama buah." Ilona menyuap mienya ke mulut. "Gue mangga."

"Kulit manggis kini ada ekstraknya ..." Nata malah nyanyi. Yania memelotot.

"Melon." Ini jawaban Yania.

Avisha terdiam lama. Disaat kepala padat, sepertinya bermain ABCD itu pilihan salah. Kepalanya makin terasa pusing karena disuruh bekerja.

"Markisa."

"Good!" Nata mengacungkan jempol.

"Huruf N nih, masih buah-buahan ya," Ilona terdiam untuk sesaat. "Nangka."

Dalam keadaan mulut penuh, Nata menjawab. "Pineapple."

"Hah?" Yania bengong. "Itu P."

"Aduh Yaya, lo tau arti pineapple gak sih?" Nata gregetan. "Itu artinya nanas."

"Gue tau!" Yania kesal. "Ini kita lagi di Indonesia, jadi gak usah sok Inggris lo!"

"Yee bilang aja lo gak ngerti!"

"Nat," Tensi Yania mulai naik. "Lo gak mau kepala lo gue pelintir lagi kan?"

Nata mengatupkan tangan buru-buru. "Ampun kanjeng ratu adudu."

"NATA!" Yania hampir saja menjambaknya.

Nata yang duduk di sebelah Ilona buru-buru berkelit. "AMPUN, YAYA!"

Avisha dan Ilona cuma bisa menghela napas.

Yania berusaha sabar. "Gue buah naga."

"Emang naga buah? Bukannya hewan?"

Yania langsung mendelik. Nata mengangkat telunjuk dan jari tengah membentuk huruf v.

"Lo berdua jadian aja sana!" Ilona kesal.

"Iya setuju Visha tuh."

Semua kompak menatap Avisha. Terutama Nata.

"Mending lo yang jadian sama gue, Sha." Intonasi Nata bercanda.

Tidak ada yang tertawa, kecuali Avisha. "Apa sih, Nata!"

"Udahlah," Ilona memecah keadaan tak mengenakan itu. "Sha, lo apa?"

Avisha terdiam. Berpikir sebentar. "Emang ada lagi buah yang depannya huruf N?"

"Pikirlah, gue itung nih sampe tiga." Yania mulai mengabsen angka. Avisha berusaha keras untuk berpikir dan sia-sia, karena tidak mendapat jawabannya. "Habis waktunya, Sha. Lo dapet hukuman."

"Ih orang gak ada lagi buah yang depannya huruf N."

"Masih ada, Sha. Cuma emang susah sih nyebutinnya." Ilona mengedikan bahu.

"Bodo, yang penting lo tetep dapet hukumannya, Sha." Yania seperti sudah punya rencana di balik ini. Senyum penuh artinya membuat Avisha gugup setengah mati. "Lo harus telepon kak Arven, terus bilang sayang."

"GILA!" Ilona dan Nata kompak.

Berbeda dengan Avisha yang ternganga.

"Apa dah Ya, kenapa hukumannya kayak gitu!" Nata menggeleng. "Gak, gak, jangan lakuin, Sha."

"Itu harus!" Yania memelotot pada Nata. "Udah jadi konsekuensi kalo gak bisa jawab."

"Tapi ..."

"Lo gak bisa nolak, Sha." Yania memotong kalimatnya. "Kayak perjanjian awal. Kalah dapet hukuman."

•••

Jadwal Arven cukup padat hari ini. Selesai pada urusan praktek kimia di laboratorium. Kini giliran menyelesaikan tugas osisnya. Rapat telah diadakan beberapa saat lalu. Setelah mendapatkan titik terang untuk tema persiapan ketujuh belasan, nyatanya tugasnya belum selesai. Masih ada beberapa berkas yang harus disusun dan ditanda tangani kepala sekolah.

"Lo pengin ada yang diubah gak, Ven?"

Ruangan rapat yang awalnya penuh oleh para anggota. Kini tersisa cuma beberapa. Termasuk Askar yang telah pergi. Ketidakadaan cowok itu membuat pikiran Arven sedikit tenang karena tak perlu ada adu mulut berujung emosi.

"Gak perlu." Tanpa menatap Veron yang duduk di sisi kiri, Arven terfokus pada daftar persiapan yang tengah dia baca.

"Lo yakin gak perlu diubah? Lo setuju sama pendapat Askar?" Ghea, salah satu anggota osis angkat suara. Nadanya ragu.

"Kalo emang pendapatnya bagus, kenapa gue harus nolak." Ketenangan Arven membuat empat anggota di sana merasa janggal. Bagaimana tidak, Askar dan Arven selalu bertolak belakang. Perbedaan pendapat yang memancing api pada diri masing-masing. Walau mereka tahu, apapun pertengkaran yang terjadi selalu Askar yang menjadi pemicu.

"Ven," anggota lain yang bernama Ojan ikut bersuara. "Sebenarnya lo punya masalah apa sih sama Askar?"

Veron yang duduk di sebelah Ojan menyenggol bahunya. Dari raut Arven yang kaku, sekiranya sudah bisa ditebak jika pembahasan ini tak Arven sukai.

"Apa dah," Ojan tak mengerti kode Veron. "Gue cuma bingung aja sih, Ven. Masa cuma karena kalah osis, Askar sampe segitunya sama lo."

Arven terdiam lama. Pertanyaan ini selalu berusaha dia jauhi. Bukan tidak ada jawaban, melainkan ada ingatan yang kembali menyeruak dan membuat Arven seketika membenci diri sendiri.

"Kita gak ada masalah apapun," Lagi dan lagi Arven menghindarinya.

"Tapi,"

"Kepo banget lo, Jan!" Dara, anggota yang duduk depan Ojan, memotong kalimatnya. "Udahlah itu urusan mereka."

"Emang lo!" Veron ikutan. Termasuk Ghea.

Ojan akhirnya menyerah. Dan meninggalkan Arven yang masih bergelut pada pikiran. Sejenak dia menghela napas hanya untuk menjernihkan isi kepalanya, sebelum tahu-tahu ponselnya bergetar.

Dia mengernyit saat melihat 'aneh is calling' terpampang di layar. Usai menggeser dan menekan loudspeaker, karena Arven berpikir jika Avisha cuma akan menanyakan dia ada dimana dan ...

"Halo, kak Arven! Visha sayang kak Arven."

Ternyata perkiraannya jauh dari kata benar.

Empat orang yang ada di ruangan kompak memberikan perhatian padanya. Arven mendadak kaku. Merasa perlu terjun bebas karena malu pun tak cukup untuk mendeskripsikan keadaannya sekarang. Wibawanya seperti dijatuhkan dalam waktu cepat, yang diperparah oleh tatapan ledekkan Veron.

"Apa? Tuh si kecil ngomong apa? Kayak ada kata-kata ..." Veron makin meledek.

Arven menekan tombol pause sejenak. Menetralkan tenggorokannya yang tercekat dan menaikkan dagu tenang menatap anggota yang memberi tatapan-tatapan sulit diartikan.

"Gue ... angkat telepon dulu." Kemudian seperti ingin berlari dari tempatnya, dia melangkah pergi buru-buru. Saat sudah berada cukup jauh dan menemukan ruang sepi, Arven kembali menempelkan ponsel di telinga.

"Ngomong apa lo tadi?" Arven berharap dia salah mendengar. Walau jelas tidak ada yang salah dengan telinganya.

"Bentar-bentar kak Arven," Nada Avisha terdengar ketakutan. "Kak Arven jangan marah ya, itu ... tadi,"

"Gue butuh penjelasan, kenapa lo ngomong kayak gitu tadi."

"Ini Visha mau jelasin. Kak Arven jangan marah dulu tapi!"

Arven tidak ingin memarahinya. Hanya bingung kenapa cewek itu mengatakan hal itu. Apalagi di waktu tak tepat seperti tadi. Dia terkejut dan malu secara bersamaan.

"Gue gak marah, jadi jelasin sekarang."

"Itu," Avisha tampaknya tengah merangkai cerita lebih dulu. "Visha kan main ABCD. Terus Visha kalah dan dapet hukuman. Visha disuruh nelpon kak Arven dan bilang ... sayang. Itu idenya Yaya. Kak Arven jangan marah sama Visha! Marahin Yaya aja!"

"Jadi itu cuma game?" Arven duduk di sofa yang berada di pojok ruang osis.

"Iya."

Arven menghela napas dan menyandarkan kepalanya.

"Kak Arven gak marah nih?"

"Enggak," Arven tidak marah. Cuma ada sesuatu lain yang dirasakan sekarang. "Mungkin cuma pengin nyekek lo kalo lo ada di sini."

"Ih jangan dong!" Bisa Arven bayangkan jika Avisha tengah memberengutkan bibir sekarang. Ekspresi lucu yang mampu membangkitkan kesenangan Arven tanpa disadari.

"Kak Arven ada dimana?"

"Ruang osis."

Cewek itu beroh panjang.

"Udah gue matiin."

"Bentar dulu," Avisha menahannya yang ingin memutuskan sambungan. "Kak Arven gak mau bales ucapan Visha gitu?"

"Ucapan yang mana?" Arven tahu maksudnya.

"Ih yang tadi."

"Yang tadi? Jelasin lebih rinci." Godaan untuk bermain-main dengan Avisha cukup besar Arven rasakan.

"Yang itu loh, masa Visha harus ngulang dua kali."

"Emang harus."

Avisha sepertinya sangat kesal di seberang sana. "Ucapan yang Visha bilang kalo Visha sayang kak Arven!" Andai Avisha di sini, pasti senyum yang terukir di bibir Arven mendapat ledekkan cewek itu. "Kak Arven gak mau bales?"

Arven terdiam. Membiarkan cewek itu menunggu hanya untuk jawaban ini. "Enggak. Gue matiin ya ..."

"Kak Arven—"

Sambungan Arven putus kemudian. Dalam ponsel di genggaman, Arven perlu mengumpati bibirnya yang tak bisa berhenti tersenyum.

•••

Arven yang terlalu fokus pada tugas osisnya sampai lupa pada tugas lain. Seharusnya sejak lima menit lalu dia menjemput Avisha, tapi fakta pada kelasnya yang telah sepi saat Arven datang ke sana. Membuat Arven kewalahan. Belum lagi panggilannya yang tak diangkat-angkat oleh cewek itu.

Dia berjalan di lorong sambil memerhatikan layar ponselnya. Berharap ada balasan dari cewek itu atas pesannya beberapa detik lalu. Ketika berbelok sambil menggeser layar, bahunya menabrak seseorang, yang disusul suara debum jatuh dan suara pekikkan.

Perhatiannya beralih pada seorang cewek yang meringis kesakitan di lantai. Saat mendongak, cewek itu tampak terkejut dan Arven tentunya tak asing dengan wajah itu.

Arven tak mau membuang waktu cuma untuk urusan seperti ini. Hingga berniat memilih berlalu. Yang tertahan oleh panggilan cewek itu.

"Kak Arven gak mau bantuin saya setelah nabrak tadi?"

Arven memutar badan, memandang cewek tinggi, yang Arven yakini salah satu temannya Avisha.

"Kaki lo masih bisa berdiri, terus kenapa perlu bantuan gue?"

Cewek itu tampak kaget oleh kalimat ketusnya. Sebelum di detik berikutnya, dia berdiri susah payah. "Kak ..."

"Lo temen Avisha kan?" Arven memotong kalimatnya. "Dimana dia?"

"Kakak gak mau minta maaf sama saya?"

Arven menaikkan alis. Memandang kaki jenjang yang tak ada lecet sedikit pun. "Itu gak penting, yang penting sekarang gue harus tau Avisha dimana. Lo tau apa enggak?"

Dia tampak seperti tengah berpikir. Lalu mendengkus. "Dia ada di ruang musik."

"Oke," Arven melirik bet namanya. "Thanks dan sori, Ilona."

Tanpa peduli oleh Ilona yang ternganga mendengar nada datarnya, Arven sudah berlalu pergi lebih dulu.

Setelah mendapatkan informasi keberadaan Avisha, tentunya Arven tak perlu mengulur waktu. Dia bergegas ke ruang musik. Belum juga langkahnya memasuki ruangan, pintu yang sedikit terbuka membuat Arven bisa melihat Avisha dan Bu Santi tampak tengah mengobrol serius.

"Ibu harap kamu memikirkannya lagi, Avisha. Permainan biola kamu bagus dan lebih bagus lagi kalau satu sekolah tahu bakat kamu itu."

"Tapi, Bu ..." Ada nada memohon yang bisa Arven tangkap di sana. "Visha gak bisa."

"Kenapa?" Bu Santi tentunya butuh alasan jelas. "Ini cuma acara tujuh belasan. Banyak anak yang tampil di panggung, bukan cuma kamu aja. Jadi gak perlu malu."

"Visha bukannya malu, Bu ..." Seperti ada rasa frustasi pada diri Avisha sekarang. "Cuma ..."

"Cuma apa?" Bu Santi memotong. "Ibu harap kamu pikirkan ulang keputusan kamu."

Selain fakta Bu Santi yang sudah berlalu dan tak melihatnya, ada hal lain yang lebih menarik baginya. Dari cara penolakkan Avisha, dia jadi teringat pada hari kemarin saat Avisha juga tampak kesulitan menolak ucapan Bu Feni

Sebenarnya ada apa yang membuat Avisha ragu?

Bukan sekadar malu, tapi Arven sangat tahu ada rasa lain yang cewek itu sembunyikan dari siapapun.

Ketakutan yang Arven baca dan membuatnya teringat cerita setengah cewek itu saat menonton film bersama.

"Waktu selesai tampil di panggung. Tiba-tiba lampunya mati. Semuanya jadi gelap, Visha gak bisa ngeliat apa-apa, terus ..."

Bagai puzzle, Arven mengaitkan semua kepingannya. Walau cukup kesimpulan samar, tapi Arven yakin ada cerita usang cewek itu yang menimbulkan trauma.

Melangkah masuk ke dalam ruangan, dia melihat Avisha yang terduduk di kursi panjang sambil merenung. Semakin tipis jarak semakin jelas jika ada yang dipikirkan cewek itu sekarang.

"Sha," panggilannya menarik Avisha dari pusat bisunya. Tampak kaget saat mendongak.

"Kak Arven? Kenapa di sini?" Dan bakat akting cewek itu pantas dapat penghargaan. Karena raut kagetnya berubah jadi senyuman. "Oh Visha tau, kak Arven nyariin Visha ya? Ciee yang udah gak bisa jauh-jauh dari Visha."

Arven menekuk sebelah kakinya. Jadi seperti terlihat bersimpuh di depan Avisha. "Kenapa lo nolak tawaran itu?"

"Apa?" Avisha tampak tercengang.

"Gue udah denger tadi."

"Kak Arven nguping?" Avisha membelalak. "Hati-hati loh kak Arven orang yang suka nguping kadang kupingnya berubah jadi antena. Kayak adudu."

Delikan Arven dibalas Avisha dengan cengiran. "Canda Visha tuh. Pis!" Mengangkat telunjuk dan jari tengahnya. "Kak Arven kenapa ke sini?"

"Niatnya gue mau langsung pulang ninggalin lo, tapi sayangnya gue masih punya rasa kasian."

Avisha mendengkus. "Kasian atau emang kak Arven emang gak bisa ninggalin Visha sendirian?"

"Pede banget lo!"

Cewek itu terkekeh. "Ya udah ayo kita pulang!"

Baru juga membungkuk, hendak mengambil tongkatnya di bawah kursi, Arven menggeser tongkatnya menjauh dari jangkauan.

"Kak Arven ih, katanya mau pulang!" Arven tak mengatakan apapun dan malah merogoh tas. Sebuah kantong plastik berisi es krim mangkuk di dalamnya sudah pasti tak Avisha duga sebelumnya.

Apalagi saat disodorkan padanya. "Ini buat Visha?"

Arven mengangguk.

"Kok tumben?" Dahi cewek itu berkerut. Walau detik berikutnya dia masa bodoh dan mulai membuka tutup kertas es krimnya. Sendoknya belum menyentuh bibir saat Arven membuka mulut.

"Itu gak gratis."

Avisha batal memakannya. Memandang Arven kesal. "Selalu kayak gitu. Apa kali ini?"

"Cukup jawab pertanyaan awal gue."

Avisha terdiam. Bukan diam biasa yang menimbang jawaban. Tapi, diam yang tak dapat Arven artikan.

"Kalo gitu maaf," Avisha menyerahkan mangkuk es krimnya. "Visha gak bisa."

Sepertinya benar dugaannya jika ada sesuatu hal yang Avisha sembunyikan. Awalnya dia sekadar memancing. Kalau masalah biasa pasti cewek itu langsung saja bercerita apalagi setelah diberikan makanan kesukaannya.

Berbeda, karena Avisha lebih memilih mengembalikan es krim gratis pemberiannya dan menutup rapat-rapat ceritanya itu.

Arven menyuapkan sendok itu, yang diterima Avisha kaget. "Kalo emang gak mau jawab, ya gak usah jawab." Di kursinya, Avisha masih tak percaya saat Arven mendorong mangkuknya menjauh. "Dimakan aja es krimnya."

Ketika mengemut sendok di bibirnya, Avisha menimang sesuatu. "Kenapa kak Arven pengin tau?"

Arven tak bisa mengartikan hal yang dirasakannya. "Gak tau, penasaran aja mungkin."

Hal di luar dugaan, jika Avisha malah tertawa. "Penasaran?" Dia masih tertawa setelah menelan es krimnya.

"Gak ada yang lucu."

"Lucu, karena kak Arven sendiri yang bilang kalo penasaran itu bahaya. Dan gak sadar, kak Arven juga ngelakuin itu." Avisha tersenyum lebar. Tampak menahan tawa.

Tahukah Avisha jika rasa penasaran bukanlah hal tepat yang mendeskripsikan Arven sekarang. Ada rasa yang tak dimengerti, seperti sesuatu yang ingin diketahui agar mudah dia melindungi.

Lebih tepatnya agar dia mudah melindungi Avisha dari apapun jika dia tahu rahasia cewek itu.

"Kalo itu gue udah tau konsekuensinya," Arven membenarkan posisi kakinya yang bertumpu. "Gue sendiri yang bilang bukan, penasaran itu bahaya."

Avisha mengangguk. "Bahanyanya kak Arven jadi gak bisa lepas dari Visha."

"Gak masalah," Arven membersihkan jejak es krim yang tersisa di sudut bibirnya. Membuat yang cewek terkejut. "Selama lo orangnya."

•••

Udahlah ya sama-sama gak bisa lepas. Ntar iket aja pake tali tambang biar nempel terus *apadah* wkwkwkkwkw

Jangan bosen-bosen yaw :)

Dizoom dong  :')))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro