A;A32-Pertanyaan beruntun
Entah kenapa mood lagi anjlok banget ini :(
Butuh asupan semangat akutuh, vote dan komen boleh dunds :)))
▪
SETIAP orang punya cara untuk bertahan. Berbeda-beda menunjukkannya depan orang. Entah menutupi dengan kebohongan, senyuman, atau berpura-pura tuli dan lupa. Yang terakhir yang paling tepat bagi Arven. Pura-pura lupa, walau seharusnya dia tahu ingatan itu tak mungkin sirna, karena jejaknya selalu mengikuti di setiap langkah.
Bagaimana kegelapan yang mendominasi. Pepohonan yang mengitari. Aroma lembab tanah. Arven tahu jelas ini mimpi. Apalagi darah yang mengotori kepala, itu sudah dipastikan jika Arven sekali lagi jatuh pada ingatannya di masa lalu.
Ini cuma mimpi.
Arven yakin.
Apalagi saat Arven kecil berusaha membangunkan orang tuanya di dalam mobil.
"Lari nak, lari!"
Ketakutan itu terlalu kuat mengurungnya. Dia menggeleng sambil menangis. Menolak permintaan itu.
"Kalo Dino sayang Mama-Papa, Dino lari sekarang. Inget, adik kamu. Dino harus jagain ..."
Bagai dibawa pusaran hitam, Arven terseret setelahnya. Matanya sekejap terbuka. Ketika melihat orang pertama yang dia lihat Avisha, pikirannya belum bekerja maksimal hingga dia menarik cewek itu ke dalam kurungan tangannya.
Apalagi aroma vanilla yang menguar membuat Arven semakin menarik Avisha erat. Rasanya menenangkan. Entah kenapa dia ingin berlama-lama, tapi tangan kurus itu sudah lebih dulu mendorongnya menjauh.
"Kak Arven kenapa? Mimpi buruk?" Cewek itu tampak khawatir.
Buat kali ini kesadaran Arven sepenuhnya kembali.
Tenggorokannya sakit dan dia berupaya bertanya, "Kenapa lo ..."
"Bentar sebelum kak Arven ngomel-ngomel, ini bisa gak sih lepas dulu pelukannya?" Avisha melirik tangan yang masih melingkari tubuhnya. "Visha gak bisa napas kalo gini."
Tak perlu berpikir dua kali, Arven lantas menarik tangan menjauh.
"Jawab pertanyaan gue, kenapa lo bisa ..." Ucapannya terhenti berkat jemari kecil Avisha yang membungkam mulutnya.
"Kak Arven tanyanya entar-entar aja ya," Dia kemudian menjauhkan tangannya dan mendorong bahu Arven. "Visha mau ngambil kompresan dulu biar demam kak Arven sedikit turun."
Kali ini Arven tak mampu menolak. Tubuhnya lemas. Kepalanya pusing. Apalagi telinganya terasa mendengung dan itu menyakitkan. Hingga dia menurut saja. Berbaring di sofa.
Avisha berlalu dan kembali lagi dengan wadah air bersama handuk kecil di dalamnya. Sedikit kesusahan sebenarnya cewek itu memegang tongkat dan juga wadah di waktu bersamaan. Tapi, senyum tulus yang terukir membawa rasa tentram untuk pikiran Arven yang cukup berat sejak kemarin.
Bagaimana kepalanya yang terasa terbelah oleh tugas osis yang menggunung. Tidak cukup itu saja, sikap otoriter sang kakek yang selalu mendesaknya. Dafa, yang tak pernah absen menambah perkara. Jangan lupakan juga anaknya yang berlaku sama.
Arven nyaris gila!
Pikirannya yang kelelahan membuat badannya tak mampu memikul sendirian. Dia jatuh sakit, tanpa ada siapapun yang peduli.
"Kak Arven udah minum obat?"
Avisha meletakkan kompresan di dahinya. Tidak ada yang pernah melakukan itu untuk Arven, kecuali Diana, tantenya. Itu pun tidak selalu, karena terkadang saat sakit, Arven terpaksa harus mengobati dirinya sendiri.
"Gue gak butuh obat." Karena sakit yang Arven rasakan tidak bisa disembuhkan dengan apapun.
"Kok kak Arven ngomong gitu?" Avisha membenarkan posisi kepalanya. Tindakan yang Arven tak sangka karena cewek kecil ini ternyata bisa juga bersikap dewasa. "Kak Arven harus minum obat. Biar sembuh."
"Gak perlu obat, entar juga sembuh sendiri." Arven menangkup mata dengan tangannya. Meredakan nyeri pusing yang membuat kepalanya berputar.
"Obat itu perlu, seenggaknya bisa ngebantu proses penyembuhannya."
"Cih! Sok pinter lo!"
"Dih, Visha emang pinter sih." Dia memuji diri sendiri. "Ayolah kak Arven minum obat, entar kalo kak Arven makin sakit kan kasian ..."
"Siapa yang kasian?" Arven menurunkan tangannya dari mata. Menatap Avisha lurus-lurus. "Orang tua? Orang tua gue udah meninggal. Saudara? Gue udah gak punya saudara."
"Tapi kak Arven punya, Om, Tante, kakek ..."
"Kakek? Tante? Om?" Lagi-lagi Arven memotong. Topik ini menyentilnya begitu dalam. "Kalaupun gue mati, mereka gak akan peduli. Gue gak punya siapa-siapa."
Sejak orang tuanya meninggal, Arven memikul bebannya sendirian. Mulai dari menerima ketidakpercayaan sang kakek. Sikapnya yang sulit dibantah dan suka memerintah. Tuduhan orang-orang. Belum lagi, menerima cap 'pembawa sial' yang melekat sejak kecelakaan itu.
Berusaha ribuan kali menjelaskan pun, tidak ada artinya, karena apapun yang keluar dari mulutnya cuma dianggap karangan dan khayalan.
Memiliki keluarga cuma sekadar nama belakang bagi Arven. Nyatanya tidak ada garis keluarga di hidupnya. Justru seseorang yang tak memiliki hubungan darah, kadang lebih ada rasa kepedulian.
"Kenapa kak Arven ngomong gitu?" Avisha bingung. Jelas karena dia tidak tahu apapun mengenai keluarganya. Kalau pun cewek itu tahu, Arven tak yakin dia akan mengatakan kalimat yang sama.
"Lupain," ucapnya sambil memejamkan mata. Keheningan ini membuat Arven peka suara. Termasuk gerak-gerik Avisha yang tengah mengambil handuk kompresan di dahinya. Merendamnya. Setelah diperas, diletakan kembali di dahinya.
"Kak Arven kalo ngantuk tidur aja lagi." Bagaimana rupa Avisha saat mengatakan ini, Arven tidak tahu. Tapi, ketulusan sangat jelas terasa. "Visha bakal nungguin di sini."
Avisha tidak tahu saja. Keberadaan cewek itu setidaknya cukup membawa ketenangan yang rasanya telah lama hilang. Kesadaran Arven lenyap berganti tidur yang terasa menyenangkan.
•••
Hal yang sama masih Arven rasakan ketika membuka mata. Masih dengan kepala yang berat, dia menemukan Avisha yang duduk di dekatnya. Yang berbeda adalah langit yang mulai menghitam menandakan malam telah tiba.
"Lo masih di sini?"
"Visha kan udah bilang bakal nungguin kak Arven." Avisha mengambil mangkuk sup yang tersaji di meja. "Oh ya, Visha tadi order sup di restoran deket sini, kak Arven makan ya, terus minum obat."
Arven baru mau berbicara, Avisha langsung memotongnya. "Tenang aja, Visha yang bayar kok. Kak Arven tinggal makan aja. Ikhlas Visha tuh, ini gak Visha anggap utang." Lalu dia menyodorkan sendoknya ke arah mulut Arven. "Aaa kak Arven ..."
Sungguh makan adalah terakhir yang Arven ingin sekarang. Dia mendorong sendok itu. "Lo mending pulang udah malem."
"Sebelum kak Arven makan dan minum obat, Visha gak akan pulang." Gadis yang keras kepala.
"Mama lo sama abang lo bakal nyariin dan mereka bakal telepon Papa lo. Terus pasti gue yang jadi sasarannya."
Avisha mengaduk supnya. "Kak Arven gak usah takut soal itu, Visha udah telepon Mama kalo Visha terpaksa nemenin kak Arven karena lagi sakit. Terus juga nanti bang Darlan yang jemput."
"Apa lo juga bilang nemenin gue di apart yang isinya cuma ada kita berdua?"
Cewek itu terdiam lama, yang kemudian menggeleng.
"Sha ..."
Tak disangka jika Avisha berani menutup bibirnya dengan telunjuk kecilnya. "Kak Arven kok jadi bawel sih! Pokoknya Visha bakal pulang kalo kak Arven udah makan dan minum obat."
Tentunya kebatuan Avisha tidak bisa Arven lunakkan. "Oke gue makan," dia menyerah.
Cukup ucapan itu, senyum Avisha melebar sempurna. "Ya udah, aaa..."
"Dan gue mau makan sendiri." Arven baru mau bangkit duduk, disaat kepalanya seperti ditusuk ribuan jarum. Dia merintih memegang kepala, yang membuat Avisha sigap membantunya menyandar pada bantal.
"Tuhkan! Kak Arven batu banget sih, biarin aja Visha suapin." Avisha tidak sadar itu kalimat juga cocok dengannya.
"Gue gak butuh bantuan siapapun. Gue bisa sendiri." Walau di keadaan lemah sekali pun, Arven tidak ingin membebani orang lain.
"Tapi, masalahnya kak Arven gak bisa ngelakuin apa-apa sekarang dan Visha siap ngebantu," sahutnya tegas. "Jadi kak Arven gak boleh nolak bantuan Visha."
Lalu dia kembali menyuapkan bubur sup ke mulut Arven, yang kali ini tak ada tolakkan.
Arven mengunyah perlahan makanan di mulut, diiringi ingatan yang menghantam kepala.
"Gue gak pernah disuapin kayak gini selama sakit," ucapnya tanpa ditanya. Memandang gerakan mengaduk Avisha terhenti. Cewek itu menoleh, memandangnya penuh tanya.
"Selama sakit, gue gak pernah minta bantuan orang lain. Entah minta diambilin obat, buatin makanan, atau minta ditemenin. Gue gak pernah minta itu semua, gue istirahat di kamar beberapa hari dan besoknya gue sembuh. Gue cuma ngelakuin itu selama sepuluh tahun hidup gue."
"Kak Arven ..."
Entah apa yang terjadi padanya hingga dia berani membuka sebagian lukanya.
"Kayak yang lo bilang, gue punya kakek, Om, dan Tante. Tapi dibanding peduli, mereka lebih mentingin diri sendiri. Mungkin gue beruntung Tante gue gak sekejam mereka, tapi tetep aja di dunia ini gue gak punya siapa-siapa."
Arven tahu tidak seharusnya dia mengatakan ini pada Avisha. Orang yang bahkan belum genap dua bulan dia mengenalinya. Tapi, ada dorongan aneh yang membuat lidah Arven begitu lancar merangkai kata dibanding di depan sahabat-sahabatnya.
"Kata siapa kak Arven gak punya siapa-siapa," Avisha meletakan mangkuk di tangan dan menggantikan untuk menggenggam tangannya. Arven terkejut sesaat, tak percaya pada tangan mungil yang kini tampak kuat mengenggamnya. "Ada Visha di sini. Kak Arven punya Visha."
Itu sederhana.Tapi, Arven merasa ada buncahan besar yang tak dia mengerti maknanya. Sesuatu emosi lain yang membuatnya ikut mengenggam tangan Avisha kuat. "Kenapa?"
Kali ini senyum tulus tampak di wajah mungilnya. "Karena Visha tau, kak Arven orang baik."
"Lo yakin gue baik, padahal banyak yang bilang gue arti dari keburukan!"
Banyak bilang Arven adalah dalang dari kesialan. Keburukan selalu mengikutinya di belakang. Dan apapun yang dia lakukan akan selalu timbul kesalahan.
"Visha yakin kak Arven orang baik, kalo kak Arven bukan orang baik gak mungkin kak Arven mau bertanggung jawab pada hal yang gak Arven lakuin. Kak Arven mau nurutin kata Papa, padahal bukan salah kak Arven."
Dari senyum dan mata, Arven bisa melihat ketulusan itu ada. Tanpa dicegah, dia membiarkan tangannya terulur menyentuh pipi Avisha. Tindakan yang menganggetkan cewek itu tentu saja.
"Eh kak Arven," Avisha melirik jari telunjuk dan tengahnya yang tertutup plester. "Visha baru mau nanya, jari tangan kak Arven kenapa? Digigit lagi sama kak Arven?"
"Itu gak penting. Yang penting itu kenapa lo masuk apartemen gue tanpa izin?"
Topik berganti jauh. Hal yang Avisha tak sangka karena dia hampir lupa pada itu. Dan mencoba menjelaskan.
"Gak perlu lo jelasin, lo cukup tau kalo lo udah ngelanggar batas privasi orang," Arven menjelaskan tenang. Berbeda dengan Avisha yang terbelalak luar biasa. "Jadi karena lo udah masuk tanpa izin ..."
"Kak Arven, Visha bisa jelasin kok. Kalo ..."
"Kalo lo mau gue maafin, lo harus turutin perintah gue," Avisha tak mampu berkata saat Arven makin mendekatkan wajahnya sambil mengusap sisi pipinya perlahan. Degup jantungnya tentu tak bisa sinkron disaat begini. "Lo gak boleh jauh-jauh dari gue."
•••
Bersama biola kadang membuat Avisha lupa segalanya. Dan ini jelas aneh karena setiap rinci cerita Arven justru membuatnya lupa pada biola. Itu mungkin cuma sebagian cerita, tapi Avisha sudah bisa menyimpulkan jika ada masalah pelik dalam keluarga cowok itu.
Entah apa, tapi Avisha yakin ini menimbulkan sakit yang berkepanjangan. Menciptakan sosok Arven yang penyendiri dan jarang berbicara. Tidak bisa Avisha bayangkan, Arven kecil yang melakukan apapun sendiri dan tak pernah melibatkan orang lain pada kehidupannya.
Belum selesai soal adik. Sekarang Avisha harus menambah daftar pertanyaannya tentang Arven. Menyebalkan bukan? Seharusnya dia cukup fokus pada misinya sendiri, sayang takdir tak berpihak, misinya hancur sejak kenyamanan asing itu datang dan membawa Avisha yang justru tak ingin lepas dari Arven.
"Kamu kenapa Avisha?"
Kepalanya yang diajak berpikir sejak tadi seolah ditarik paksa untuk kembali ke kenyataan. Dengan tangan berhenti menggesek biola, dia memandang Bu Fina, guru les musiknya yang kini menatapnya penuh pertanyaan.
"Apa, Bu?" Tidak jelas dia mendengar pertanyaan Bu Feni.
"Kamu melamun?" Bu Feni mengusap rambutnya yang kini dikepang layaknya putri Elsa. "Mikirin apa?"
"Visha gak melamun kok." Lalu dia memandang sekeliling yang sepi. "Kok sepi? Udah selesai latihannya ya?"
Pengalih perhatian yang gagal karena Bu Feni adalah orang yang tak mudah dibohongi.
"Sudah lima menit kelas dibubarkan. Dan kamu melamun." Avisha ingin membantah, tapi guru lesnya mendahului. "Keliatan kalo kamu berbeda hari ini. Gak biasanya kamu gak fokus memainkan biola. Ada yang mengganggu pikiran kamu?"
Setelah menjauhkan biola dari leher dan memangkunya, dia memandang Bu Feni. Avisha tak bisa berkelit. Menyimpan banyak pertanyaan ini tanpa jawaban terasa sangat memusingkan. Membuat Avisha butuh jawaban yang ingin sangat dia ketahui.
"Bu Feni, kenal kak Arven dari kapan?"
"Dari lama. Dia dulu sering nganter adiknya ke sini."
Kalau soal itu, Bu Feni sudah bercerita. "Visha udah tau, Bu. Maksudnya Visha tuh, mungkin ada hal lain yang Bu Feni kenal dari kak Arven?"
"Ibu gak mengenal dia secara dekat. Dia pendiam dan jarang berbicara. Sekadar mengantar adiknya ke tempat les, mendengarkan adiknya bermain biola ..."
"Adiknya bisa bermain biola?" Avisha tidak tahu mengenai itu.
"Ibu pikir kamu sudah tahu."
"Visha cuma tau kalo adiknya les di sini."
"Adiknya les di sini untuk memperdalam bakat biolanya," Bu Feni tersenyum. "Seperti kamu."
"Dia masih les di sini?" tanyanya yang membekukkan Bu Feni di pijakan.
"Mungkin, kalau saja empat tahun lalu dia tidak ..."
"Udah selesai nanya-nanya tentang gue?" Pertanyaan dingin itu membuat keadaan sekitar menjadi suram. Dia dan Bu Feni kompak menoleh dan dikejutkan oleh kedatangan tamu tanpa diundang.
"Kak Arven?" Avisha kehilangan kata karena sosok yang jadi topik pembicaraan kini berjalan mendekat ke arahnya dengan tenang.
"Bukan lebih bagus kalo lo nanya langsung ke orangnya kalo penasaran?"
"Kak Arven kok di sini sih?" Avisha masih syok. Melihat Arven yang kini berdiri di depan kursinya. "Kak Arven kan masih sakit?"
"Gue udah sembuh," ada jeda sejenak. "Berkat lo." Walau kalimat itu datar, Avisha merasa senang tanpa alasan. "Gak usah ngalihin topik, kenapa lo nanya-nanya tentang gue ke Bu Feni?"
Karena Avisha sudah hafal betul tabiat Arven. "Emang kalo Visha nanya ke kak Arven, kak Arven bakal jawab?"
"Sepertinya Ibu harus pamit," Perhatian mereka kompak teralihkan pada Bu Feni. "Lanjutkan obrolan kalian." Setelah mengusap kepala Avisha penuh sayang, guru musiknya melangkahkan kakinya pergi. Di ambang pintu beliau berhenti. "Avisha, dua bulan dari sekarang ada perlombaan lagi. Boleh Ibu berharap kamu ikut kali ini?"
Belum juga jawaban dia berikan, Bu Feni berlalu menutup pintu. Membuat sedikit fokus Avisha hilang pada permintaan—yang lagi-lagi tentang itu.
"Kalo lo mau nanya, gue bolehin lo." Avisha langsung memandang Arven cepat. "Satu pertanyaan. Satu permintaan. Dan waktunya lima belas detik."
"Hah?" Avisha tak percaya dengan indra pendengarannya.
"Dimulai dari sekarang." Arven mengatakan santai. Tanpa tahu, Avisha terbelalak dan buru-buru menyiapkan pertanyaan. "Satu ... dua ..."
"Kak Arven punya adik?"
"Hm," jawabnya santai sambil menghitung dalam hati.
"Dimana dia?"
"Udah bahagia di surga." Senyum penuh ironi tampak di ujung bibirnya.
Untuk jawaban itu, Avisha mendadak kaku. Dia cukup tahu jika orang tua Arven meninggal sepuluh tahun lalu dan tak pernah menebak kalau ternyata adiknya juga sudah meninggal.
"Kak Arven, Visha ..."
"Gak usah dipikirin, lanjutin aja pertanyaan lo."
"Kenapa dia ..."
"Kecelakaan empat tahun lalu."
Avisha tak menyangka Arven akan mengerti maksud pertanyaannya. Tapi lebih tak menyangka dengan jawaban pendek itu. Seperti ditampar sesuatu, Avisha tak bisa berkata apapun.
"Waktunya habis. Tiga pertanyaan, Tiga permintaan." Arven mengangkat bahu tak acuh. Avisha siap melayangkan protes. "Permintaan pertama ..." Dia menundukkan kepala, suaranya rendah saat berbisik. "Lo mainin biola buat gue."
Permintaan yang mudah Avisha sanggupi.
"Setiap hari."
Atau tidak.
"Kak Arven becanda ya?" Dia memelotot tak percaya. Bagaimana bisa lelaki itu memintanya memainkan biola setiap hari. Mungkin mudah kalau hanya dia sendiri, tapi kalau depan orang, lebih lagi ini Arven. Avisha entah kenapa tak mampu membayangkan.
"Lo tau gue selalu serius orangnya." Arven berkata cuek. Beda dengan Avisha yang ingin sekali protes. Yang langsung dipotong. "Pertanyaan lo gak gratis dan lo cukup turutin tiga permintaan gue. Tanpa protes."
Jika diperdebatkan tentu Avisha tidak akan menang. Selain mengikuti permainan lelaki itu, Avisha tak bisa apa-apa.
"Oke Visha setuju."
"Gue mau lo mainin sekarang."
Avisha lagi-lagi ternganga. Selalu saja dia tak pernah mengerti jalan pikiran Arven. Dan ... yang menyebalkan nada perintah di sana. Apa-apaan itu!
"Sekarang?"
"Gue gak harus ngulang ucapan gue kan?"
Ya ampun! Avisha rasanya hampir berkata kasar. Menyebalkan sekali manusia batu ini!
"Oke," Avisha mengangguk. Meletakkan biola di antara dagu dan leher, disusul busur di atas senar. Siap-siap memainkan di bawah tatapan dingin Arven yang terasa menusuk jiwanya. "Tapi, kak Arven jangan salahin Visha kalo Visha lupain kak Arven di sini. Karena kadang kalo udah main biola, Visha lupa sekitar."
Meski sudah duduk di kursi tinggi, Avisha masih perlu mendongak, mengamati Arven yang terdiam sejenak.
"Gue pastiin selama lo main itu fokus lo bakal tetep ke gue."
Avisha mengerutkan dahi. "Kenapa fokusnya sama kak Arven, Visha pasti fokus sama ..."
Ibu jari Arven bergerak menutup bibirnya tanpa aba-aba. Menghentikan ucapan yang belum terselesaikan. "Mainin aja."
Avisha mendadak tak punya nyali selain mengangguk. Tak mau mempeributkan lagi. Mulai menggesek busurnya pada senar disusul hening yang dipecahkan oleh suara alunan. Semuanya menyatu dalam melodi. Termasuk pikiran Avisha kini.
Hanya saja itu bertahan beberapa menit. Ketika kedua tangan Arven bertumpu pada sisi kursinya, fokus Avisha sedikit buyar. Masih dengan menggesek senarnya, dia mendongak, yang untuk menemukan kedekatan wajah Arven di depannya.
Mata mereka bertemu. Lama dan tak mampu Avisha artikan. Mati-matian dia berusaha fokus pada biolanya. Walau pikirannya seolah terbagi dua pada jantungnya yang kini menggema begitu keras.
"Adik gue ..." Avisha memelankan gesekkannya di senar. "Suka main biola kayak lo. Persis kayak lo."
Fokus Avisha sepenuhnya hilang sekarang. Dia memangku biolanya di atas paha.Lebih tertarik pada topik ini.
"Visha udah tau itu."
Ada kilatan yang di mata Arven yang tak bisa Avisha baca. "Berapa banyak pertanyaan lo yang kejawab sama Bu Feni?"
"Gak semuanya. Cuma beberapa." Avisha mengamati seluruh wajah Arven yang entah kenapa terasa menyenangkan.
"Gue udah bilang bukan, jangan penasaran sama gue."
Ini udara yang menipis atau Avisha yang kebanyakan menahan napas karena Arven yang memotong kembali jaraknya.
"Kak Arven telat bilangnya, Visha udah penasaran sama kak Arven sejak awal."
"Jadi lo bakal terus penasaran?"
Avisha mengangguk sebagai jawaban.
Mendung di luar membuat cahaya kesulitan menembus kaca sekeliling ruang. Menyisakan remang, yang tak bisa menipu Avisha untuk melihat sudut bibir Arven terangkat meski samar. "Lo tau penasaran itu bahaya?
"Bahaya kenapa?"
"Bahaya karena saat lo penasaran sama orang," Avisha benar-benar kehabisan napas saat dilihatnya Arven membelokkan wajah ke sisi telinganya. Embusan cowok itu terasa, pipi cowok itu menempel pada pipinya. "Lo gak bisa lepas dari dia. Gak akan pernah bisa."
•••
Gak bisa lepas gimana, Ven. Tolong jelaskan? Ambigu gitu masa
Satu permintaan udah kepake. Tenang, Ven masih ada dua. Siap-siap ya Visha sayang :))
Senyum aja Visha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro