Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A31-Khawatir bermakna

Besok ultah RI dong ya :)))

Tapi aku up sekarang aja deh ya, vote dan komen jangan lupa kawan-kawan :*


LANGIT seperti tengah menertawakan. Pagi ini cerah. Matahari bersinar bahagia. Sayang, hal itu berbanding terbalik dengan wajah Avisha yang mendung menghiasinya.

Selama perjalanan menuju sekolah, wajahnya tertekuk sebal. Tingkah yang tentunya jarang dia tunjukkan. Sopir ayahnya sampai beberapa kali melirik kaca, memastikan jika di kursi penumpang benarlah anak majikannya yang selalu ceria dan banyak bicara.

"Non," Avisha tak bodoh jika Pak Ihsan, supirnya itu sejak tadi merasa aneh dengan dirinya. "Non udah sarapan kan?"

"Udah!" Singkat dan jelas. Sesuatu yang sangat langka.

"Sarapan pake apa Non?" Pak Ihsan berbasa-basi lagi.

"Permen cupi-cupi." Avisha asal saja.

Pak Ihsan meringis. "Non ..."

"Pak Ihsan ih, Visha lagi gak mau ngomong. Jangan diajak ngomong terus dong!" Avisha memotong langsung. Mungkin biasanya cuma dari nama Pak Ihsan Avisha bisa tertawa, karena teringat nama teman salah satu serial kartun anak kembar itu. Tapi, pagi ini moodnya sedang anjlok.

Tingkah anehnya ini punya alasan. Semua ini sebab Arven yang menghilang sejak semalam. Sudah beratus kali Avisha mencoba menghubungi Arven. Hal yang sia-sia saja tentunya. Jangankan diangkat, yang menjawab itu malah mbak-mbak operator.

Menyebalkan sekali!

Minimal Avisha ingin Arven menelpon atau mengirimkan pesan jika dia tidak bisa datang menjemput. Biasanya juga begitu dan Avisha tak memperpanjang lagi, ujungnya dia akan diantarkan supir, papanya, atau Darlan.

Malasnya sejak semalam Avisha tak dapat kabar apapun. Teleponnya diabaikan. Chatnya tak dibalas.

Avisha jadi kesal. Kesal karena Arven lagi-lagi mencuekinya dan kesal karena ... tidak ada kabarnya dari cowok itu membawa rasa tak enak di hati. Rasa yang pernah Avisha rasakan cuma sekali saat kecelakaan Darlan di pertandingan futsalnya.

Rasa yang biasa disebut khawatir.

Setibanya di sekolah, Avisha langsung bergegas ke kelas. Duduk termenung di kursi. Mengabaikan berisiknya anak cowok yang menyapa atau meledeknya.

"Sha, tumben gak berangkat bareng pangeran lo?"

Yang Avisha jawab, "Iya nih, pangerannya lagi berenang sama kecebong."

"Cieee yang sekarang dateng sendiri?"

"Hehe, gak papa kok sendiri. Malahan kalo berdua, ketiganya setan."

"Kak Arven udah capek kali sama kebawelan lo, Sha."

"Bukannya kebalik ya, Visha yang capek ngomong sama batu."

Setiap komentar teman-temannya Avisha jawab asal. Papan tulis depannya lebih menarik dibanding sekitarnya yang makin ramai nyinyir. Lama-kelamaan keramaian kelas justru mengantarkan Avisha pada lamunan.

"Sha!" Suara cempreng itu menyentak Avisha dari segala pertanyaan yang membumbung di kepalanya tentang Arven. Dia memutar kepala ke samping, menemukan Yania dan Ilona.

"Gak biasanya lo dateng pagi banget." Yania heran. Duduk di kursinya. Begitu pun Ilona yang memutar kursi untuk menghadap ke meja mereka.

"Visha dianter sopir."

"Kak Arven gak nganterin lo?" tanya Ilona.

Avisha terdiam sejenak. Menghela napas. "Kak Arven gak ngehubungin Visha dari malem."

"Kok bisa?" Yania saja heran. Apalagi Avisha. Dia lebih heran lagi. Karena tidak biasanya Arven seperti ini.

"Gue gak kaget sih," Ilona bersuara. "Cowok kayak kak Arven, bertanggung jawab diawal doang, ujungnya ninggalin juga."

"Kok kata-kata lo kayak curhat gitu ya, Na." Suara Yania justru meledek. Membuat tangan Ilona gatal mendorong bahunya.

"Visha yakin kak Arven gak gitu orangnya, dia selalu nepatin apapun yang dia omongin." Avisha tidak bisa dibohongi. Segala sikap teratur dan disiplin Arven, dia sudah bisa melihatnya sejak awal. "Visha sekarang malah takut ada apa-apa sama kak Arven."

"Lo khawatirin kak Arven?" Ilona menaikkan kedua alis bingung. "Kayaknya kedekatan lo berdua udah agak jauh ya?"

"Visha khawatirin kak Arven karena dia udah baik sama Visha."

"Yakin cuma karena itu?" Yania menggoda. Avisha justru tak mengerti. "Tapi, kalo lo emang khawatir, nanti istirahat lo cek aja di kelasnya."

•••

Avisha mengikuti saran Yania. Pada dering pertama bel istirahat, dia bergegas mengecek Arven di kelasnya dan Avisha sudah berharap tinggi jika dia akan menemukan cowok itu.

Tapi fakta yang dia dapatkan justru tak mengenakan.

"Arven gak masuk, katanya sih sakit." Itu jawaban dari salah satu teman cewek kelas Arven, yang Avisha tanya.

"Sakit?" gumamnya saat teman cewek itu berlalu pergi.

Avisha menyeret tongkatnya menuju tangga turun. Mengabaikan berbagai tatapan yang mengejarnya di satu waktu. Manusia-manusia itu tak penting. Yang penting baginya sekarang adalah fakta yang diterimanya barusan.

Arven sakit?

Siapa sangka, di balik wajah dingin, tak mau dibantah, keras kepala dan suka memerintah, Arven bisa sakit juga. Jelas saja, Arven manusia, yang bisa berada di garis lelah. Walau dia tidak pernah menunjukkannya, Avisha sudah bisa melihatnya sendiri.

Bagaimana dia yang mengatur waktu untuk urusan osis dan pribadi. Ditambah Avisha yang kini membebani. Avisha jadi merasa tak enak hati. Mungkin saja, dibalik sikap ketus Arven, ada keinginan untuk berhenti melakukan pertanggung jawaban konyol ini.

Ketika berbelok, Avisha menabrak dagu seseorang, hampir terhuyung jatuh bersamaan dengan suara yang mengumpat kasar. Beruntung dia bisa menjaga keseimbangan lalu mendongak untuk menemukan tatapan tajam melayang ke arahnya.

"Selain pake tongkat, mata lo juga sedikit cacat ya?"

Itu Jessy yang tampak seperti banteng mengamuk. Fakta cewek itu tengah bersama kedua temannya tak membuat Avisha ciut sama sekali.

"Hehe, maaf kak," Avisha tersenyum. Sadar diri jika salah. Melamun saat jalan tentu tak dibenarkan.

"Kalo permintaan maaf gampang diterima, gak ada penjahat yang masuk penjara!" Jessy tampaknya masih dendam pada Avisha mengingat 'kejadian' tempo hari yang berakibat pada harga dirinya dijatuhkan.

"Jess, dia cewek yang lagi deket sama Arven itu bukan sih?" Cewek sebelah kiri Jessy berbisik. Dari bet nama yang tertempel, Avisha jadi tahu nama cewek itu. Cindy.

"Lo gak nyangka kan Cin kalo Jessy kalah sama cewek kayak gini?" Di sisi lainnya juga angkat bicara. Nada bicaranya merendahkan.

Api di diri Jessy makin berkobar tinggi. Dia menarik dagu Avisha dengan sentakkan keras. Hal yang tak Avisha sangka sebelumnya.

"Jujur, gue benci dikalahin, apalagi sama cewek sok imut kayak lo." Dia berdecak. Avisha berusaha menjauhkan tangannya, yang justru membuat pegangan itu menguat di dagunya. "Tapi, gue juga gak mau Arven makin nuduh gue yang enggak-enggak. Nuduh kalo gue yang neror lo? Gue mau ketawa dengernya."

Kemudian dia tertawa angkuh. Dengan sama angkuhnya dia menyentak dagu Avisha. Membuat kepalanya terhuyung ke belakang.

"Inget cewek kecil, lo tuh gak pantes buat jadi saingan gue." Lalu dia menendang tongkatnya membuatnya sedikit oleng. Kedua temannya tertawa. "Jadi minggir, tongkat lo ngehalangin jalan."

"Segede apa kaki kak Jessy sampe tongkat Visha ngehalangin jalan?" Avisha diam bukan karena takut. Tapi, keributan adalah hal terakhir yang dia inginkan.

Jessy menaikkan alis. Tampak tertarik oleh keberaniannya. Berbeda dengan kedua temannya yang terbengong sesaat.

"Lo ngomong apa?!"

"Kak Jessy telinganya jarang dibersihin ya?" Jika Avisha menatapnya polos. Justru telinga Jessy seperti mengacung layaknya serigala. "Visha bilang kenapa tongkat Visha ngehalangin jalan, padahal kan jalanannya lebar. Tuh-tuh," Avisha minggir. "Kak Jessy bisa jalan."

"Lo berani kurang ajar sama gue?!" Jessy tampak seperti ingin menelannya hidup-hidup.

"Visha gak kurang ajar, Visha cuma ngomong sesuai kenyataan."

"LO!" Kesabaran Jessy habis. Tangannya nyaris merenggut rambut Avisha disaat ada suara yang bagaikan penyelamat Avisha dari kematian.

"Jauh-jauh dia!" Serempak semua menoleh ke belakang. Termasuk Avisha yang merasa matanya ingin meloncat keluar melihat Nata yang berjalan cepat-cepat ke arahnya.

"Siapa lo?"

"Siapa gue gak penting, mungkin lo mau ngobrol sama Arven lewat telepon." Dengan santai, Nata menyodorkan ponselnya. Di sini, Avisha melongo luar biasa. Sebentar. Sejak kapan Nata memiliki nomor Arven?

Ancaman itu ampuh sepenuhnya. Tanpa susah-susah melirik layar ponsel milik Nata, Jessy bersama kedua temannya melangkah mundur. Sebelumnya, Avisha mendengar salah satu teman Jessy yang bernama Cindy membisiki sesuatu.

"Jess jangan dilanjutin, Arven tau. Kita habis."

Avisha masih tidak percaya melihat punggung ketiga orang kakak kelasnya kini berangsur menjauh.

"Ngapain lo ke sini?" Pertanyaan Nata membawa Avisha menginjak bumi. Dia menatap sahabatnya yang kini memandang datar.

"Nata emang punya nomor kak Arven? Dapet darimana?" Avisha justru membelok topik.

"Nggak ada kerjaan banget gue nyimpen nomornya manusia itu." Nata mendengkus.

"Jadi ... Nata sebenarnya gak punya nomor kak Arven. Itu cuma ancaman boongan doang?" cicit Avisha terperangah.

"Gue cuma ngancem basa-basi tadi, eh ternyata trio macan itu beneran takut." Nata mengedikan bahu tak acuh. "Udah ketebak sih, trio macan gitu pasti takut sama rajanya."

Avisha terkekeh setelah keluar dari kebengongannya. "Denger nama kak Arven aja mereka takut, hehe. Visha heran. Kak Arven pake jimat apaan?"

Binar di mata Avisha menjadi alasan kekesalan Nata jadi berlipat ganda. Cukup tadi dia mendengar dari Ilona jika Avisha tengah ke lantai atas mencari Arven. Apalagi barusan hampir saja dia melihat Avisha jadi korban cacian kakak kelas sintingnya.

Nata jelas tidak suka.

"Sha," panggilnya yang membuat mata bulat itu menatapnya. "Ikut gue ke kantin. Lo belom makan kan?"

Sekali lagi, Nata menekan egonya hanya untuk mengkhawatirkan Avisha. Dibanding meratapi perasaannya yang nelangsa.

•••

Makanan yang telah Nata pesankan tidak menarik bagi Avisha. Memikirkan Arven berakibat perutnya kenyang duluan.

Tangannya yang disentuh pelan membuat matanya mengerjap sadar. Terhalang meja, Nata menatapnya serius. "Lo mikirin apa sih?" tanyanya. "Masih soal Arven?"

Avisha diam sejenak. "Kak Arven sakit, wajar bukan kalo Visha mikirin," gumamnya pelan.

"Karena lo udah tau, lo jengukin dia aja pulang sekolah." Yania memberi saran. Jika Avisha dalam hati membenarkan. Ilona dan Nata justru berkebalikan.

"Jangan jenguk dia!" Nata mendengkus tak suka. "Belom tentu kedatangan lo diterima."

"Gue setuju sama Nata," Ilona sependapat. "Lagian lo gak tau apart kak Arven dimana. Ya kan?"

"Kalo itu mah gampang," Cuma Yania saja yang santai. "Tinggal tanya temennya."

"Gak," Nata menolak. Yania menatapnya kesal. "Lo gak perlu jenguk manusia kaku itu. Apalagi dia tinggal di apart. Bisa-bisa dia macem-macem sama lo di sana."

"Apa banget sih lo!" Yania kesal pendapatnya terus ditolak. "Gak ada salahnya ya, Visha jenguk kak Arven. Malah emang udah jadi kewajiban. Selama ini kak Arven yang nemenin Visha. Nganterin Visha. Jadi pantes dong sekarang gantian?"

"Bukannya gitu, Sha." Ilona tidak ada maksud ke sana. "Kita cuma mencegah terjadi hal yang enggak-enggak sama Visha."

"Na," Yania tampak serius sekarang. "Gue pikir lo cukup bijak buat gak nilai orang dari luarnya."

Ilona terbungkam kali ini.

"Udah dong," Avisha melerai. "Kalian malah jadi ribut." Lalu perhatiannya teralihkan ke pintu masuk kantin. Secara refleks dia mengambil tongkatnya, menumpunya berdiri untuk berjalan ke sana.

"Apa sih, Yon jijik gue dengernya."

"Dih, lagi pengin romantis juga gue."

"Maaf, kak," Avisha menghentikan muda-mudi itu yang sibuk berdebat. Zion bersama pacarnya, yang sekarang Avisha ketahui bernama Linzy itu berhenti di depannya. Tampak kaget sejenak, sebelum seeringai jahil itu tercetak di wajah cowok.

"Hai, biji kuaci!" Dia menyodorkan tangan untuk berhigh five. Tapi, tentunya tak dia balas. Karena ada yang lebih penting dibanding tos-tosan tak jelas.

"Kak Zion tau letak apartemen-nya kak Arven?"

"Gue harus jawab? Lo aja nolak tosan sama gue." Zion menurunkan tangan malas.

Avisha cemberut. Wajah yang diam-diam membuat Linzy menahan pekikan karena betapa imutnya wajah itu. "Yah kak Zion jangan gitu dong, Visha mau jenguk kak Arven."

"Lo tau Arven sakit?" Alis Zion terangkat. Avisha menjawab dengan anggukan.

"Kak Zion ngasih tau Visha ya. Plis." Dia menangkup tangan di depan dada. Mata bulatnya menatap penuh harap. Bagaikan anak kecil, tangan Linzy gatal ingin mencubit pipi tembam itu.

"Lo jangan masang muka kayak gitu, gue aja bisa kepincut. Apa lagi cowok gue." Linzy bercanda sambil senyum.

"Eh," Avisha kaget. Dibanding wajah Retta yang ramah, wajah Linzy itu dominan jutek dan jarang tersenyum. Jadi untuk berbaur dengan cewek itu Avisha agak sulit dan takut salah ucap. Begitu pula dengan kedekatan mereka yang cuma sebatas saling kenal.

"Udahlah Yon pas pulang sekolah anterin dia aja ke sana."

"Lo mau cowok lo mati sebelum umurnya?" Zion memelotot.

"Ya gak mungkin juga Arven bakal ngapa-ngapain lo."

"Ya ampun Yank, lo gak tau Arven tuh kayak apa. Gak ah, gue masih sayang nyawa."

"Kak Zion, boleh dong." Avisha menatapnya penuh harap.

"Yon," tatapan Linzy mengancam. "Anterin!" ucapnya penuh penekanan.

Zion mendengkus parah. "Iya! Iya! Entar gue anterin lo ke apartnya Arven." Avisha hampir refleks memekik kesenangan mendengarnya. Sementara Zion menatap ceweknya yang tersenyum sekarang. "Inget, Zi. Kalo gue gak nelpon-nelpon sampe malem, lo langsung nelpon ambulan."

Linzy tergelak. "Oke dan gue kayaknya harus siap-siap cari gandengan baru."

"Oh ya, berarti lo juga harus siap gue gentayangin tiap malem." Zion tersenyum manis. Linzy memukul pipinya. Lalu mereka tergelak bersama.

Oleh Avisha, entah kenapa dia suka gaya pacaran kedua kakak kelasnya itu. Tampak santai dan jarang bersikap romantis. Dan itulah daya tarik yang membuat siapapun iri.

"Ya udah ya kak Zion makasih, kak Linzy juga." Avisha sadar diri untuk tidak berlama-lama dekat mereka. "Visha mau balik ke temen-temen Visha."

Setelah dapat anggukan dari kedua orang itu, Avisha berbalik dengan tongkatnya.

"Sejak awal ngeliat dia, gue gak tahan mau bilang kalo dia imut banget." Linzy menatap punggung Avisha yang menjauh.

"Gak ah masih imutan lo." Zion mengedipkan sebelah mata. Linzy memukul bahunya kencang sebelum berjalan meninggalkannya karena salah tingkah.

•••

Setelah dekat Arven, Avisha jadi mengenal sifat teman-teman cowok itu. Salah satunya Zion. Sifat mereka sangat mirip. Ramai dan suka bercanda. Saat orang yang bertemu dengan orang yang memiliki watak serupa, pastinya ada saja obrolan yang datang tanpa diterka. Walau kebanyakan tak jelas. Seperti ini contohnya.

"Menurut lo, Sha. Kenapa badut harus selalu pake wig keriting?"

"Soalnya kalo pake wig lurus dikira waria."

"Kalo ayam kenapa suka nyeker?"

"Kak Zion tanya ayamnya aja, kenapa gak pake sepatu sneaker."

"Yaudah ntar gue tanya ayamnya. Suruh pake wedges."

"Tanggung ah, mending sekalian pake sepatu balet."

Sepanjang perjalanan Zion tergelak. Siapa sangka wajah imut itu cuma topeng. Aslinya Avisha adalah manusia paling absurd yang pernah Zion kenal. Jarang-jarang, seorang cewek bisa nyambung mengobrol dengannya.

Linzy saja kadang suka memilih diam dibanding meladeni tingkah tidak jelasnya. Tapi, Avisha, dia punya jawaban di setiap lelucon yang Zion buat. Jawabannya pun selalu aneh.

Sebenarnya Zion sengaja membuka obrolan tak berfaedah ini. Bagaimana wajah Avisha yang merenung, tampak banyak pikiran, membuat Zion sudah sewajarnya mengeluarkan jurus handal untuk meramaikan suasana.

Sampai akhirnya mereka tiba di tujuan. Diparkirkan mobilnya di basement.

Dalam lift, Avisha meremas kedua tangannya. Antara tak sabar dan gugup tak terelakan. Apalagi ketika langkah keduanya sudah berhenti di depan pintu apartemen, yang Avisha yakini adalah milik Arven.

"Pencet belnya kak Zion?" Pertanyaan Avisha justru berkebalikan dengan yang Zion lakukan. Dia malah menekan password apartemen tersebut. Avisha tentunya terbelalak.

"Kok kak Zion ..."

"Pencet bel gak bakal dibuka sama dia. Buang-buang waktu, mending langsung masukkin password aja."

"Tapi kak Zion, nanti kak Arven marah." Amukkan Arven sudah membayang di pikiran Avisha.

"Seharusnya sebelum ke sini, lo udah siap sama konsekuensinya."

Kemudian terdengar suara denting. Pintu sudah terbuka. Avisha makin syok.

"Silahkan masuk."

"Kak Zion gak masuk?"

Zion menggeleng. "Nyawa gue cuma satu. Jadi gue belom siap ngorbanin nyawa gue."

"Masa Visha masuk sendiri, kalo kak Arven makin ngamuk gimana?"

Avisha tak salah lihat bukan? Jika Zion malah tersenyum. "Dia gak bakal ngamuk kalo tau lo yang masuk. Yang paling gigit doang." Mata Avisha membulat. "Tenang aja, gigitnya juga gigit manja kok. Gigit bikin nagih."

Ini memang Avisha yang tak mengerti atau memang ucapan Zion bermakna lain. Avisha masih terbengong bodoh di luar pintu. Memandang Zion yang melangkah meninggalkan dengan lambaian tangan.

Perlu berjuang ekstra Avisha mengatur detak jantungnya yang tiba-tiba saja bergerak tak beraturan. Gugup setengah ampun. Tangannya sampai gemetaran mendorong pintunya terbuka. Setelah menarik satu tarikan napas, dia menyeret tongkatnya masuk ke dalam.

Avisha tidak akan di penjara bukan karena masuk ke apartemen orang tanpa izin?

"Visha pulang aja kali ya."

Baru juga dia ingin memutar kakinya berbalik pergi. Pemandangan yang terpampang di depannya justru menyeret kakinya masuk lebih dalam.

Segala penjuru dia jelajahi dan tak ada kata-kata yang bisa dia utarakan. Selain satu kata. Sempurna.

Apartemen ini begitu mewah dan luas.

Seluruh dinding bewarna abu-abu tanpa ada benda yang tertempel di sana. Tidak ada sekat apapun. Cuma dapur dan ruang makan dibatasi dinding. Tangga yang menjulang ke atas. Sepertinya untuk menuju kamar. Lalu yang lainnya, bisa Avisha tatap dalam sekejap.

Termasuk sosok lelaki yang tengah berbaring di atas sofa depan televisi plasma. Melihat cowok yang memenuhi pikirannya seharian ini ada di depannya sekarang, kakinya secara naluriah bergerak mendekat.

Perhatiannya lalu beralih pada kertas yang berserakan di meja. Buku-buku yang dibiarkan terbuka. Hal itu sudah jadi bukti kuat Avisha menyimpulkan jika Arven sakit karena cowok itu membiarkan otaknya terus bekerja.

Saat dia ingin membereskan buku-buku itu. Lidahnya mendadak kelu dengan jantung yang rasanya berhenti berpacu.

Noda merah yang mengotori kertas dalam buku tentu bukan pemandangan yang sepantasnya ada.

"Darah?" gumamnya bingung. Dia melirik jemari Arven. Plester membungkus jari tengah dan telunjuk cowok itu. "Kak Arven luka jarinya?"

Gue suka buat tangan gue berdarah-darah

Avisha jadi teringat dengan perkataan yang pernah cowok itu katakan. Pun pada rasa penasaran yang jadi semakin kuat meminta jawaban.

Tidak! Avisha tidak boleh memikirkan egonya saja. Ditepisnya segala pertanyaan di kepala. Ada yang lebih baik untuk dia lakukan sekarang.

Dia merendahkan punggungnya untuk menarik naik selimut Arven yang turun. Membenarkan posisinya sedikit, disaat tangannya tersentak merasa suhu tubuh cowok itu yang sangat panas.

"Tau Demam, tapi AC dihidupin!" Avisha mendengkus. Mengatur ulang volume AC di remote control.

Terdengar erangan yang mengalihkan perhatian Avisha pada wajah Arven yang memejam.

"Kak Arven," panggilnya mulai khawatir. Tidak ada sahutan, selain cowok itu yang bergerak gelisah. Keringat dingin mulai bermunculan di dahi, membuatnya berspekulasi jika cowok itu tengah bermimpi buruk.

Avisha duduk di ujung sofa dekat Arven. Mengguncang pelan bahu cowok itu. Bermaksud membangunkan. Namun, justru cowok itu menggenggam tangannya kuat. Begitu erat seolah tak ingin dilepaskan.

"Kak Arven," panggilnya sekali lagi. Mengusap keringat di dahinya. Sekadar pelan, tapi mata Arven meresponnya terbuka. Avisha membeku, apalagi sorot ketakutan yang tampak nyata itu.

Tatapan mereka lama bertemu sampai detik berikutnya Arven menariknya ke dalam pelukan.

Avisha terkejut luar biasa.

Merasakan dada cowok itu yang bergerak tak beraturan. Napasnya tersengal seakan baru saja lomba berlari. Pun tubuhnya yang terasa gemetar.

Kak Arven kenapa?

•••

Bukan kena omel tuh, Sha. Malah kena peluk hm :))))

Ciee ada Zion-Linzy ekhem. Kangen mereka gak nih?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro