Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A30-Masa lalu yang terikat

Biar gak suram hari seninnya wkwk

Semoga suka, vote dan komen jangan lupa beibeh :*

TEMPAT itu gelap, cuma ada beberapa lampu di pojok, menciptakan suasana remang dan terasa mengerikan. Orang-orang bertopeng itu berjaga, mengelilingi seolah dirinya buronan yang tak boleh dibiarkan lari.

Tangannya berusaha lepas dari ikatan kencang di tiang belakangnya. Menjerit pun itu sia-sia karena mulutnya dibekap kain panjang. Apalagi air matanya, tak mengundang apapun rasa iba. Semua orang itu justru tertawa.

Lalu orang-orang bertopeng itu membelah membentuk jalan. Tak lama, muncul seorang pria paruh baya dengan sorot santai tapi tampak begitu menyeramkan.

Apalagi saat dia tersenyum ...

Setelahnya ada pusaran hitam yang menariknya keluar.

Untuk entah ke berapa kalinya, Avisha terbangun dengan napas tersengal. Banjir keringat. Dan ... sorotnya ketakutan saat menatap sekeliling.

Dia menarik napas panjang, berusaha menetralkan pikirannya yang kacau sekaligus detak jantungnya yang berpacu lebih cepat.

Saat semuanya sudah bisa dijernihkan, Avisha lega. Dia memandang jendela kamar. Pagi sudah datang. Kegelapan malam telah hilang, jadi Avisha tidak perlu takut. Avisha tidak perlu tenggelam dalam mimpi buruk yang selalu datang setiap kali tidur.

Sepertinya, kejadian terror beruntun yang terjadi beberapa hari ini membawa rasa takut Avisha hingga mimpi sialan yang adalah kejadian nyata itu terus-terusan menyelinap tanpa henti. Peristiwa itu selalu datang menganggu, biasanya cuma saat Avisha jatuh tertidur, tapi kali ini saat melamun pun, memori menyeramkan itu menyelinap tanpa perintah.

Dia turun dari ranjang, bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Jika tidak memiliki kewajiban mengikuti perkumpulan musik kelas sepuluh, Avisha rasanya ingin di rumah saja, bermain-main bersama kelincinya.

Menyebalkan bukan, saat sebagian temannya libur, justru dia tergabung di kegiatan itu.

Saat selesai berpakaian, mobil Arven sudah terparkir di halaman, Avisha bergegas turun dan pamit pada orang tuanya.

Selama perjalanan, Avisha sekadar diam. Memandang hiruk-pikuk sabtu pagi yang cukup ramai. Nyatanya tak semudahnya lupa, mimpi pagi tadi masih terngiang-ngiang di kepala. Avisha tak ingin memikirkan, tapi seputar peristiwa terror yang bergilir membuat otaknya dipaksa bekerja. Menebak-nebak siapa dalang dari ini semua.

Saking larut dalam lamunan sendiri, dia sampai tidak sadar mobil Arven sudah berhenti di parkiran sekolah. Menunggunya yang sejak tadi terpekur pada kebisuan.

"Lo gak mau turun?"

"Eh," Avisha menoleh kaget. Seolah pertanyaan Arven baru saja mendobrak telinganya. "Udah sampe ya?"

"Kebetulan belom, lagi lampu merah makanya berhenti." Kalimat sarkas itu membuat Avisha jadi malu sendiri. Dia mengambil tongkatnya di bangku belakang dan bersiap-siap turun.

"Ya udah, Visha turun. Makasih kak Arven." Pintu belum juga Avisha buka, tangannya sudah ditahan oleh cowok kaku itu.

"Apa?"

"Ada yang lo pikirin?" Arven menebak tepat sasaran. Tapi, Avisha memilih untuk menggeleng sebagai jawaban.

"Visha gak mikirin apa-apa, cuma lagi mikirin gimana kaki seribu pake sepatu."

Alis si cowok terangkat, tampak tak terpengaruh oleh candaannya yang garing. "Gue udah ngasih les private sama lo kemarin, jadi gue minta bayarannya sekarang." Perkataan itu sudah bisa ditebak alurnya kemana. "Lo harus jujur sama gue."

"Kalo Visha gak mau gimana?" Dia sengaja menantang. "Emang kak Arven bener-bener bakal ngasih Visha hukuman?" Dia bertanya polos. Kini, tatapan cowok itu tak dapat diartikan. "Hukuman apa? Visha penasaran."

"Lo yakin mau tau?"

Dia mengangguk. Tentu dia ingin tahu.

"Yakin di sini?" Nada Arven terdengar aneh.

Avisha memandang luar jendela. Arena parkir sekolah sangatlah sepi, mengingat ini hari libur. "Emang gak boleh di sini?"

Seharusnya Avisha selalu ingat menantang Arven itu bahaya. Cukup dari wajah yang mendekat sekaligus tangan yang terulur memegang pipinya, Avisha tersentak luar biasa. Mendadak kaku di kursi. Apalagi saat wajah Arven semakin memotong jarak, sontak napasnya tertahan.

Ketika hidung mereka bertemu, Avisha tak dapat menahan matanya untuk memejam. Detik berikutnya, dia justru memekik merasakan telinganya ditarik kencang. Dia memelotot pada Arven yang memandangnya dengan sorot geli.

"Kok kak Arven malah jewer Visha?" Avisha mengusap telinga bekas jeweran.

"Emang lo pikir gue mau ngapain?" Arven seperti sedang menahan tawa.

Avisha membuang muka. Merasa malu tanpa alasan. "Ya gak tau ... tapi kalo hukumannya jewer telinga gak usah deket-deket juga. Bilang aja kak Arven emang mau deket-deket Visha. Tapi pake segala ..."

Arven menarik poninya. Yang cewek langsung melotot. "Bawel! Sekarang kasih tau gue, lo mikirin apa?"

Avisha menunduk. Menggembungkan pipi. Bingung mau menjawab apa. Menyimpan ketakutannya ini tentu pilihan yang lebih baik. Dia sudah terbiasa melakukannya.

"Sha," panggilan Arven terdengar tegas. Terpaksa, dengan sangat rasa berat, Avisha mendongak kembali. Memandang cowok yang tengah menunggunya berbicara.

"Visha ..." Dia ragu. "Cuma ... cuma takut."

"Takut?"

Di luar kesadaran, Avisha menggigit bibirnya, setiap kali mengingat terror-terror yang datang belakangan ini. Apalagi dampak dari itu membawa memori menyeramkan yang berusaha Avisha kubur sendirian. "Visha takut kalo orang yang neror itu ..."

"Dia gak akan ngapain-ngapain lo, selama lo ada di samping gue." Arven memotong dengan raut serius.

"Emang kak Arven bisa jamin itu?" Avisha ikut serius. "Gak mungkin setiap waktu kak Arven selalu ada di samping Visha kan? Kak Arven pasti punya urusan sendiri."

"Gue emang gak bisa jamin, tapi kalo lo minta, gue bakal usahain." Ini seperti bukan diri Arven. Dia berikrar tanpa sebuah ikatan. Wajar jika, Avisha bingung ingin mempercayai atau menganggapnya cuma omong kosong. Tapi sorot serius sekaligus tegas yang terpancar di iris biru kehijauan itu membawa ketenangan yang tak bisa Avisha jelaskan.

"Kenapa?" Avisha ingin tahu kenapa Arven begitu baik melakukan ini semua.

"Pertanyaan ditolak, gue gak suka ditanya," ujar cowok itu seperti biasa. Avisha tidak kesal dan justru terkekeh.

"Ya udah, Visha turun ..."

"Gue anterin lo sampe ruangannya."

Sekejap Avisha langsung menahan tangan Arven yang hendak turun. Dia menggeleng. "Gak usah, gak usah!" tolaknya yang membuat si cowok melayangkan tatapan curiga. Avisha meringis, menyadari kesalahan yang telah dia perbuat.

Dia cuma tidak ingin Arven bertemu Askar.

Nanti kalau ada perang, siapa yang akan direpotkan. Pasti dirinya.

"Visha bisa sendiri kok kak Arven, kan kak Arven sendiri yang bilang. Kalo Visha yang minta, baru kak Arven ada di samping Visha."

"Tapi lo tau juga gue gak bisa ditolak. Lagian, inget ayah lo ngasih tugas aneh ini." Arven mengucapkan kalimat tak terbantah. "Jadi gue ikut turun."

"Gak usah kak Arven!" Butuh usaha keras Avisha membujuk cowok kepala batu itu. "Ya, ya, ya gak usah?"

"Lo kenapa sih?"

"Pokoknya gak usah," Avisha tidak mungkin menjelaskan alasannya. Secara refleks memegang pipi Arven, yang tentunya tak pernah cowok sangka-sangka. "Kak Arven di sini aja. Oke?"

Arven langsung menepis tangannya. Merasa tidak nyaman oleh sentuhan itu. "Oke, tapi gak usah pegang-pegang pipi gue."

"Kenapa?"

"Kena rabies gue entar." Avisha memelotot. Seharusnya dia ingat sikap manis Arven itu cuma bertahan sebentar. Pasti dia akan kembali di mode singanya. "Udah turun sana!" ketusnya.

Avisha mendengkus. "Iya-iya ini turun."

•••

Di ruang luas itu, terdengar beragam alunan musik yang merdu di telinga. Setiap anak bergiliran menunjukkan bakat terpendamnya dia panggung kecil yang berada di dalam ruangan. Setelahnya, penilaian yang mereka dapatkan dari Bu Santi.

Giliran Avisha sudah sebelumnya. Dia sekarang tengah menikmati persembahan dari anak kelas lain. Sambil mendengarkan, nada harpa yang salah satu teman grupnya mainkan, Avisha terbawa dalam lamunan.

"Kayaknya bengong itu jadi kesukaan lo ya?"

Kepala Avisha seperti dibentur mendengar suara itu. Lamunannya buyar. Menoleh hanya untuk disambut wajah ramah Askar yang dipenuhi senyum.

"Mikirin apa?"

Avisha menggeleng. "Gak ada."

"Cewek banget sih," Nada Askar seperti meledek. "Bilangnya gak ada, tapi ternyata ada."

"Kak Askar sok tau!" Avisha mendengkus dan membuang muka.

"Lo haus?" Avisha dipaksa menoleh lagi. Melihat sekotak susu terpegang di jemari Askar. Terulur ke arahnya.

"Itu buat Visha?"

"Sebenernya sih ini buat gue, tapi kata orang, ngelamun itu butuh energi banyak." Cara Askar menunjukkan sikap ramah, membuat banyak orang mudah dekat dengannya. Termasuk Avisha. "Jadi ini buat lo aja. Ambil."

Avisha tidak mungkin menolak lagi. "Makasih kak Askar. Kemarin es krim, sekarang susu." Dia menerimanya dengan senang hati. "Kak Askar baik deh."

"Lo doang yang muji gue baik," Askar terdiam lama. Avisha merasa ada yang salah. "Kebanyakan cewek muji gue ganteng."

"Yeeee!" Avisha berkoor panjang. Lalu menusuk sedotannya di kotak susunya.

"Oh ya," Suara Askar terdengar. "Lo keren pas main biola tadi."

Avisha tersenyum bersama sedotan di bibirnya. "Visha gak butuh pujian lagi, emang udah keren," ujarnya percaya diri.

Askar tertawa. "Kalo ada lomba di sekolah lo mau ..."

"Visha gak mau ikut lomba." Buru-buru Avisha memotong.

"Kenapa?" Cowok itu heran. "Gak usah malu kali, tadi aja lo jelas keliatan berani. Gue yakin lo bisa ..."

"Visha gak mau." Lagi-lagi dia memotong. Cukup tekanan dari Bu Fina yang memintanya ikut perlombaan, Avisha tidak ingin ada tekanan lagi dari orang lain.

"Lo ada masalah selain karena malu?"

Avisha menggeleng. "Gak, Visha cuma gak mau aja."

Beruntung pembicaraan ini teralihkan saat terdengar dua cewek yang duduk di depannya mengobrol. Topik obrolan yang menarik perhatian Askar maupun Avisha.

"Lo tau gue ketemu kak Arven di parkiran tadi."

"Iya gue juga liat. Ganteng banget njir!"

"Makanya, itu cuma pake kaos doang sama jaket. Gue gak kebayang sih kalo dia pake jas! Siap banget dah gue dibawa ke pelaminan."

"Najis! Tapi serius deh, kenapa dia seganteng itu ya? Padahal gak senyum, gimana kalo ..."

"Penting banget ya lo berdua ngobrol disaat orang lagi tampil?" Avisha terkejut. Pun dua orang itu saat mendengar suara Askar yang santai tapi tajam.

"Iya kak ... ma-maaf." Mereka berdua langsung pura-pura fokus ke depan. Menghentikan obrolan tadi.

Avisha memandang wajah Askar, sedikit ada yang berubah di sana. Keramahan Askar menghilang, sorotnya tak dapat diartikan. Ini yang mengherankan untuknya, membuatnya menduga-duga sekaligus bertanya-tanya. Sebenarnya ada permasalahan apa di antara mereka berdua.

"Kak Askar," Avisha ingin mendapatkan clue sedikit saja. "Kak Askar kenal kak Arven kan?"

Alis cowok itu terangkat. "Kenalah, dia atasan gue." Raut wajah itu tak bisa Avisha mengerti. "Kenapa? Lo kenal dia juga kan?"

"Kenal," Avisha jujur. "Dia kan ketos. Masa Visha gak kenal."

"Cuma kenal aja, gak kenal deket?" Kali ini Avisha merasa suara Askar terdengar berbeda.

Avisha mengangguk saja. Tak mengatakan apapun lagi.

"Hati-hati sama dia." Secepat itu Avisha mendongak untuk melihat senyum Askar yang tampak aneh.

•••

Isi kepala Arven layaknya benang yang tak dapat diuraikan. Kacau dan berserakan.

Untuk beberapa hari ini memang banyak yang Arven pikirkan. Bukan cuma masa lalu yang selalu meneror. Bukan cuma penuntutan sang kakek yang terasa memuakkan. Arven juga dituntut untuk memikirkan permasalahan yang terjadi pada Avisha.

Intimidasi dari orang yang tak dikenal itu membuat Arven penasaran setengah mati.

Arven terlalu fokus pada masalah itu dan nyaris melupakan tugasnya sebagai ketua osis. Makanya untuk seharian penuh ini waktunya dihabiskan di ruang osis. Mengadakan rapat. Menyusun berkas-berkas yang diperlukan untuk acara tujuh belasan nanti.

"Gue udah buat struktur acaranya." Veron membuka suara setelah sebelumnya Arven bertanya mengenai persiapan apa saja yang tersisa untuk memperingati hari kemerdekaan.

"Coba gue liat." Arven mengulurkan tangan, yang langsung sigap Veron berikan berkas yang tengah mereka bicarakan.

"Acaranya tinggal dua minggu lagi, Ven. Lo harus cepet-cepet ngambil keputusan." Salah satu anggota yang mengelilingi meja rapat angkat bicara.

"Iya gue paham." Arven mengangguk.

"Andai aja lo gak kebanyakan batalin rapat secara sepihak," Arven langsung mengangkat wajah dari berkas yang tengah dia baca. Memandang Askar yang duduk di seberangnya tampak malas. "Mungkin persiapannya udah selesai dari kemarin-kemarin."

"Sebelum batalin rapat, gue udah minta izin. Jadi sebelum lo ngomong ..."

"Dan karena izin gak jelas lo itu, kita semua yang jadi kerepotan." Askar memotong tajam. "Lo terlalu fokus sama diri lo sendiri."

"Tugas gue bukan cuma di osis." Raut Arven berubah drastis. Pembahasan ini memicu ingatan usang. Ingatan yang sampai kapanpun Arven akan selalu disalahkan.

"Tapi, seharusnya lo ingat jadi osis itu berat. Kalo gak siap, gak usah nyalonin diri!" Jelas perkataan ini mengundang perang. Lagi dan lagi, para anggota tak ingin ikut terlibat, membiarkan hening yang terasa makin kelam.

Sudut bibir Arven terangkat. Menambah aura gelap yang mengitarinya. "Tapi lo juga seharusnya inget, gue gak nyalonin diri tapi dipilih."

Mungkin dulu Arven mudah dijatuhkan. Sosok yang mudah mengalah dan membiarkan dirinya kalah. Arven ingat, bagaimana orang-orang menginjak-injaknya cuma karena kesalahan yang tak pernah dia perbuat. Bagaimana dia yang selalu memilih tak memperdebatkan apapun dan mau-mau saja menjadi pihak yang disalahkan.

Arven bukan lagi sosok itu.

"Lo lagi menyombongkan diri sekarang?" Askar tak bisa santai lagi. Sikapnya berubah seperti sosok yang jarang dikenal orang.

"Kalo kesombongan bisa buat lo gak gampang dijatohin, kenapa enggak?" Arven sepenuhnya mengalahkan Askar. Sepupunya itu terbungkam. Membuat Arven berada di garis kemenangan.

Beberapa menit setelahnya, rapat diselesaikan. Yang sebenarnya terpaksa dibubarkan.

"Besok kita lanjut lagi." Cukup kalimat itu semua mengangguk patuh. Bergantian keluar ruangan hingga tersisa Arven dan Askar. Beberapa map di meja, Arven susun untuk dibawa pulang dan diteliti lebih lanjut. Belum juga langkahnya terayun, terdengar pertanyaan yang Askar lempar.

"Gue denger lo lagi deket cewek sekarang?" Sosok Askar sudah kembali menjadi sosoknya yang biasa. Santai dan penuh senyum.

"Dan itu jadi urusan lo?" Arven berbalik. Memandangnya dingin.

"Emang bukan, gue cuma penasaran, siapa sosok cewek yang udah ngebuat sepupu terbaik gue move on." Dia melangkah mendekat, memutari tubuh Arven yang berubah kaku.

Sepertinya, Askar tidak terima dikalahkan saat orang-orang menonton perdebatan tadi. Hingga dia punya bensin untuk memicu api di diri Arven.

Tentu, bensin yang mampu membakar Arven seluruhnya.

"Gue yakin dia cewek hebat," Askar terdiam sesaat. Sebelum senyum kemenangannya tampak. "Jarang-jarang bukan, pikiran seorang Arvendino teralih dari ... seorang Ashilla."

•••

Haiya-hiya wkwk

Ashilla???????? 

Positif thinking aja, mungkin itu temen TK-nya Arven *lah🙈🙈

Arven pulang nak :(((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro