A;A29-Teror tak berhenti
Maaf banget deh ya kalo up-nya lama, lagi sibuk banget soalnya huhu
Biar semangat akunya, vote dan komen boleh dunds
▪
BAGAI kaset yang diputar terus-menerus. Avisha tak bisa tak berhenti kepikiran. Pembicaraannya bersama Bu Feni saat di ruang les musik sore tadi masih terngiang-ngiang.
Lebih tepatnya pada pengakhir obrolan yang sampai sekarang sulit Avisha percayai.
Adik?
Arven memiliki adik?
Informasi Arven tentunya tak banyak Avisha ketahui. Dia sebatas tahu orang tua Arven yang telah meninggal. Memiliki seorang Om, Tante, sekaligus seorang kakek. Dan juga Arven yang memilih tinggal sendiri di apartemen.
Awalnya Avisha sekadar penasaran oleh wajah Arven yang tak asing buatnya. Tapi, rencana itu sudah melenceng jauh sebelum Avisha tahu atas jawaban itu semua. Malahan sekarang ada lebih banyak lagi pertanyaan yang membuat Avisha mati penasaran.
Kalau bertanya pada Arven, Avisha dikira manusia kepo—ya walau itu kenyataan. Lagi pun belum tentu jawaban yang dia dapatkan, bisa saja kalimat pedas yang terlontar. Oh, tentu saja Avisha belum siap untuk itu.
Saking terlena memikirkan Arven, Avisha sampai melupakan hal paling penting. Pagi-pagi dia datang ke sekolah, diantar supir, karena kebetulan Arven lagi-lagi sibuk di ruang osis. Belum juga sampai mendarat di kursi, Avisha bisa melihat teman-temannya bolak-balik sibuk sambil membawa buku.
Sejenak, Avisha merasa ada ingatan yang berkurang di kepala. Tapi, apa?
"Sha!" Yania memanggil. Avisha sontak melangkah dengan tongkat menuju kursinya.
"Yaya tumben rajin?" Agak kurang ajar memang ucapan ini, tapi apa boleh buat. Avisha tahu Yania itu paling malas belajar. Apalagi soal pelajaran matematika. Tapi, yang mengherankan, hari ini dia justru tengah memegang buku itu sambil menghafal rumus.
Seharusnya Avisha sadar bukan Yania saja, Ilona, pun seluruh teman kelasnya yang sudah datang tengah sibuk dengan lembaran soal sekaligus rumus di tangan.
"Dih, kalo gak ulangan juga nggak bakal gue serajin ini!"
Yania mengucapkan santai. Tanpa tahu, itu seperti terompet kematian untuknya.
"Ulangan?" Nyawanya seperti hilang sebagian.
"Lah, tampang lo kenapa gitu?" Yania mengernyit sebelum matanya membola syok. "Jangan bilang lo lupa hari ini ada ulangan matematika?!"
"Lo belum belajar, Sha?" Ilona menoleh dari bangkunya.
Avisha meringis. "Gimana belajar, Visha aja lupa."
"Dih gimana bisa, emang lo gak inget ada ulangan?!" Yania meradang kesal.
"Yaya, orang lupa pasti gak inget." Avisha membela diri.
Tatapan Yania menghunus seolah ingin membunuh. Avisha terkekeh, mengangkat jari telunjuk dan tengah membentuk salam damai.
"Ya udah duduk, Sha." Ilona menyuruh. "Terus buka buku belajar."
Avisha menuruti. Mendarat di kursi sebelah Yania dan mulai mengambil bukunya di dalam tas. "Yaya udah hafal rumusnya?"
Kali ini Yania menoleh dengan cengiran. "Orang gue juga baru belajar subuh-subuh tadi."
Ilona dan Avisha kompak terbelalak. Baru belajar? Dan barusan Yania mengomelinya habis-habisan seolah orang yang paling benar. Cih! Kalau tidak ingat teman, Avisha ingin membalas omelannya tadi.
Ilona yang paling heran. "Lah gimana! Lo kan udah gue ingetin dari tadi malem kalo ada ulangan."
"Masalahnya Oppa gue tadi malem lagi ganteng-gantengnya, Na. Ya masa gue lewatin."
"Jadi Oppa-Oppa lo lebih penting dibanding ulangan?" Ilona sudah seperti Ibu tirinya.
Yania meringis. "Kan sebelum belajar butuh refreshing, Na. Dan Oppa-Oppa gue itu penawar stress gue."
"Terserah lo aja deh, Ya." Ilona memutar mata malas. Menatap bukunya lagi.
"Lona ngingetin Yaya kalo ada ulangan. Terus kenapa gak ingetin Visha?"
Ilona mengangkat wajahnya dari buku dan kembali menoleh ke belakang. "Gue udah coba nelpon lo tadi malem, tapi gak diangkat."
Avisha terdiam lama. Lalu menepuk keningnya karena ternyata hari ini sudah dua hal Avisha lupakan. "Hehe, iya, Visha lupa handphone Visha kebawa sama kak Arven."
Topik yang ini membuat Yania melupakan rumusnya begitu saja. Menoleh antusias. "Ponsel lo kebawa kak Arven. Kenapa bisa?" Lalu senyum penuh artinya mengulas. "Oh ... jangan bilang kalian tukaran handphone gitu? Aduh kenapa sweet gitu bayanginnya."
"Dih, Yaya, Kak Arven mana mau tuker-tambah handphone mahalnya sama handphone Visha."
Ekspresi Yania berubah langsung. Seolah ingin menelan Avisha hidup-hidup. "Visha sayang, maksud gue tuh bukan tukar-tambah!" Yania menggertakan gigi, menahan kesal. "Tapi, kalian tukeran hp kayak orang pacaran. IH KESEL GUE!"
Avisha beroh panjang. Lalu terdiam. "Tapi, kan Visha sama kak Arven gak pacaran."
"Ya emang enggak, tapi lo sama kak Arven lagi di masa pendekatan." Yania gregetan. "Benar gak, Na?"
Ilona tampak serius belajar. Menjawab malas-malasan. "Ikut aja gue."
"Enggah ah, Kak Arven galak."
"Gampang sih, lo jinakkin aja." Yania asal saja.
"Jinakkin anak singa lebih gampang, dibanding jinakkin kak Arven." Avisha sangat yakin itu.
Lalu getar ponsel Yania, mengalihkan ketiganya dari pembicaraan itu. Yania mengambil ponselnya dan terbelalak. Dia meletakkan benda itu di meja, sehingga Avisha dan Ilona bisa melongok ke layar ponsel.
Temen laknat: Ponsel lo sama gue. Ntar pulang skolah, tunggu di kelas.
Jangan salah fokus pada namanya, Yania sengaja menamai kontak Avisha begitu. Kalau itu pesan dari Avisha, berarti Arven yang mengirimkannya bukan? Karena kebetulan Avisha tidak pernah memakai kata sandi pada ponselnya.
Ketiganya saling lirik. Hening. Sebelum pecah oleh pekikkan Yania.
"Tuhkan! Gue bilang apa!" Dia tergelak. "Kayaknya lo gak perlu lagi jinakkin kak Arven, Sha. Kak Arven udah jinak duluan." Avisha mengernyit. Sementara Yania masih heboh.
"Ini mah mulut singa, tapi hatinya kayak kucing. Manis banget."
•••
Ulangan hari ini dan dinilai hari ini juga. Siapa yang tidak makin berdebar-debar mendengarnya. Kertas satu persatu dibagikan setelah dinilai. Aisha merafal doa, walau dia sudah menduga pasti nilai-nya sangat rendah. Dapat enam juga Avisha sudah sujud syukur.
Dan benar saja, nilanya bahkan kurang dari enam. Avisha menatap nelangsa nilainya. Bahkan Yania di sebelahnya mencak-mencak cuma karena nilainya kurang nol koma sekian dari Avisha.
Jangan sampai papanya melihat nilai ini. Apalagi Darlan. Astaga! Avisha tidak siap untuk ledekkan-ledekkan abangnya yang sangat sadis. Beruntung minggu depan ada remedial yang bisa diambil bagi anak-anak yang mendapatkan nilai kurang dari standar.
Bel pulang sudah bergema. Kelasnya sudah sepi, tinggal Avisha saja seorang diri. Beberapa menit lalu ada Yania yang menemani, tapi karena mamanya sudah lebih dulu datang menjemput, jadi sahabatnya itu terpaksa meninggalkannya.
Avisha berjalan keluar kelas. Sepertinya ada baiknya dia meletakkan kertas ulangannya di loker. Dia tidak ingin membawa pulang dan ketahuan menyembunyikan nilai ulangannya di dalam tas.
Beradu besi terdengar ketika Avisha memutar kunci lokernya dan ... detik berikutnya rasa-rasanya dia hampir terjungkal ke belakang, kalau saja dia tidak cepat menjaga keseimbangan tongkatnya.
Matanya terbelalak.
Tubuhnya mendadak kaku.
Dengan tangan gemetaran, dia menarik kertas yang tertempel di belakang pintu lokernya. Jantungnya serasa terjun merasakan tulisan yang tercetak di sana. Bewarna merah dan baunya menyengat.
Itu bukan merah cat.
Tapi ...
Darah?
Jauh-jauh dari Arven bitch!
Tulisan itu ... lagi-lagi ancaman. Hingga sekarang Avisha bingung dengan niat orang yang mengerjainya beberapa hari ini. Jika dia memang tidak menyukai Avisha dekat dengan Arven, bukan ada baiknya dia bicara langsung, mengobrol empat mata.
Jangan dengan cara belakang, yang membuat Avisha jadi ketakutan dan merasa tersudut.
Perhatiannya teralihkan saat mendengar suara ketukan sepatu yang mendekat, Avisha menoleh, melihat Arven yang berjalan ke arahnya dengan langkah tenang dan raut datar. Secara refleks Avisha cepat-cepat menutup loker dan menyembunyikan kertas itu di belakang punggung.
Kalau sampai Arven melihatnya, cowok itu pasti akan memperpanjang dan menyibukan diri pada permasalahannya, melupakan kesibukan, yang Avisha ketahui sudah sangat padat. Tentunya Avisha tidak ingin menambahi beban Arven.
"Hai kak Arven," Avisha menyapa sambil meremas kertasnya di belakang punggung. "Lama banget sih jemputnya? Untung gak sampe lumutan Visha nunggu di kelas."
Arven menaikkan alis. "Apaan di belakang punggung lo?"
Astaga! Bukan cuma tajam dalam berkata dan prestasi, penglihatan Arven pun tak kalah tajam.
"Ah itu ..." Avisha mencari alasan. "Ini ... nilai ulangan Visha."
Bagus! Sepertinya Avisha sudah berbakat untuk jadi pembohong. Jelas-jelas kertas ulangannya masih berada di dalam tas.
"Bagus nilainya?"
"Kalo bagus gak mungkin Visha sembunyiin kan?" Avisha menyengir. Menunjukkan dua gigi kelincinya.
Arven terdiam, sebelum mengulurkan telapak tangan tiba-tiba. "Coba gue liat."
"Hah?!" Bodohnya Avisha tak dapat mengontrol ekspresi kagetnya. Membuat alis Arven terangkat lebih tinggi. "Jangan diliatlah malu Visha."
"Lo punya malu?" Suara Arven seperti meledek.
"Punya-lah, Visha kan manusia."
"Oh ya," Wajah Arven tampak menyebalkan. "Gue pikir lo jelmaan ..."
"Bidadari?" Avisha menyerobot langsung. "Visha tau kok. Makasih loh kak Arven."
Arven terbengong untuk sesaat sebelum mendengkus mendengar tingkat percaya diri cewek itu.
"Berapa nilai lo?" Arven berganti topik.
"Hmm pokoknya sih bukan telor ceplok, bebek, atau pun kursi terbalik, tenang masih di atas itu."
"Enam?"
Avisha menyengir. "Di bawahnya."
Arven tak tampak kaget sama sekali. "Lo harus banyak belajar."
"Tau," Avisha mengangguk. "Nanti Visha belajar."
"Gak nanti, tapi sekarang." Suara Arven terdengar serius. "Orang-orang yang suka nunda-nunda waktu, gak akan pernah berhasil." Seperti sebuah tamparan, Avisha langsung bungkam. "Itu yang selalu bokap gue bilang."
Setelahnya, Arven berjalan mendahului Avisha. Membuatnya mengerjap sadar dan refleks bergegas mengikuti.
"Ya udah hari ini Visha bakal belajar."
"Bagus," komentar Arven singkat.
"Tapi kak Arven yang ngajarin."
Arven menoleh, menatap senyum lebar Avisha. "Belajar private sama gue mahal."
"Tenang aja, Visha bisa bayar kok. Pake makanan." Avisha makin lebar mengangkat ujung bibirnya.
"Gue gak mood kalo makanan."
Baru kali ini ada orang yang dibayar makanan nolak. Avisha mendengkus sebal. Arven memang aneh.
"Ya udah," Avisha menarik pelan hoodie yang Arven pakai, membuat kakinya berhenti di tempat. Keduanya saling berhadapan. "Kalo gitu, Visha bisa bayar pake senyuman setiap hari." Dia sengaja mendekat hingga ujung sepatu mereka beradu. "Gimana?"
Di wajah penuh senyum Avisha, menarik Arven untuk menunduk mensejajarakan wajah. Tindakan yang tentunya membuat yang cewek menahan napas karena itu terlalu tiba-tiba.
"Jangan mancing, Sha. Gue yakin lo gak bakal suka akhirnya." Sejenak, sudut mata Arven turun pada bibir tipis Avisha. Sebelum berbalik menjauh.
•••
Kedekatan yang tak disangka ini membuat Avisha tanpa sadar mengenal sikap Arven yang sering bertolak belakang. Mulutnya suka melempar kalimat tajam, tapi tindakannya justru berbalik apa yang telah dia katakan. Salah satunya pembahasan barusan di koridor.
Perkataan Arven tadi jelas terang-terangan menolak permintaan Avisha untuk diajarkan. Tapi, tindakannya yang mengantarkan Avisha dan ikut turun ke dalam rumahnya, tentu membuat Avisha mengernyit dan sontak bertanya.
"Kak Arven kok ikut turun?"
Yang Arven jawab dengan balik melemparkan pertanyaan.
"Bukannya lo minta diajarin?"
Tuhkan! Itu juga kebiasaan yang sudah sangat Avisha hafal.
"Kak Arven bilang gak mau?"
Mereka berjalan ke ruang tamu yang sepi. Di waktu sore, keluarganya memang punya kesibukkan masing-masing. Devin ada di kantornya, Velin sibuk di butiknya dan terakhir Darlan yang pastinya tengah berkumpul bersama teman sekolahnya.
"Siapa yang bilang gak mau, gue bakal ngajarin lo, asal ada bayarannya." Seolah sudah biasa datang, Arven mendaratkan diri di sofa tanpa diperkenankan lebih dulu.
Avisha ikut duduk di sebelah Arven yang mendarat di sofa panjang. Dia menoleh, memandang Arven yang balik menatapnya. "Jadi kak Arven mau Visha bayar pake makanan."
"Bukannya gue udah bilang, gue gak mood makanan?" Alis Arven terangkat. Membuat wajah menyebalkannya makin menjadi.
"Bentar, jadi ... kak Arven," Avisha mengolah lagi kata-kata yang dia sempat katakan sebelumnya. "Kak Arven mau Visha bayar pake senyum aja?" Dia tak percaya dengan ucapannya sendiri.
Gelengan Arven membuat Avisha bengong. "Terus?"
"Bayarannya ..." Ada jeda di sana. "Lo cukup jujur sama gue." Avisha makin bengong sebelum tersentak tak percaya melihat kertas yang Arven angkat tepat di depan wajahnya.
"Kertas itu ..." Avisha bingung bagaimana kertas ancaman itu berada di tangan Arven.
"Kertas ini jatoh di mobil tadi." Arven seperti sudah menebak isi kepalanya.
"Kak Arven Visha bisa ..."
"Kenapa lo gak bilang ke gue?" Arven mendekatkan duduknya hingga bahu mereka bersentuhan. Dengan kepala menunduk menghindar, cowok itu justru sengaja mengulurkan tangan mengangkat kepalanya untuk berhadapan dengan wajah dingin itu.
"Sha, gue udah bilang ..."
"Visha gak mau ngerepotin kak Arven," Sengaja dia memotong cepat. "Visha tau kak Arven lagi sibuk ngurusin persiapan acara buat tujuh belasan. Kak Arven lagi ngurus persiapan buat pergantian ketua osis. Belum lagi, kak Arven harus ngurus masalah-masalah yang ada ..."
"Itu urusan gue," Kali ini Arven yang memotong. Memandang serius wajah Avisha yang cuma berjarak sejengkal. "Dan selamanya bakal jadi urusan gue, lo gak perlu mikirin itu. Beda lagi, kalo lo ada masalah, apapun masalah lo, itu jadi urusan gue. Ngerti, Sha?"
"Kak Arven ..." Avisha kehabisan kata saat Arven menutup bibirnya dengan ibu jari cowok itu.
"Lo tau gue gak suka dibantah," Walau pelan, Avisha sangat jelas merasakan usapan lembut Arven di bibirnya. "Hari ini lo gue ampunin, tapi kalo nanti keulang lagi, lo harus dapet hukuman."
•••
Regha jarang ke apartemen Arven di hari biasa. Cuma di akhir pekan atau saat liburan sekolah, itu juga sengaja tanpa pemberitahuan lebih dulu, karena Arven tentunya tidak bisa menolak kedatangannya yang tiba-tiba.
Jika Regha datang di hari biasa, apalagi pada malam hari, pastinya itu adalah hal penting. Undangan Arven lewat chat, sudah bisa ditebak kalau ada pembahasan yang tak bisa cowok itu tunda untuk dibicarakan.
"Jadi lo ada masalah apa?"
Regha duduk di salah satu sofa di ruang tamu apartemen Arven yang terbilang sangat luas hanya untuk ditinggali seorang diri.
"Ini tentang Avisha."
Telinga Regha seperti salah mendengar ucapan itu. Dia terdiam untuk beberapa detik. "Ternyata lo sama Avisha udah sejauh ini."
Alis Arven terangkat tak mengerti. "Maksud lo?"
Sudut bibir sahabatnya terangkat sebelah. Menunjukkan lesung pipinya. "Lo pasti paham maksud gue," Nada Regha seperti meledek. "Jarang seorang Arven ngebuang waktu cuma buat cewek. Apalagi sampe ngurusin masalahnya."
Arven mendengkus. "Lo tau ini karena tanggung jawab konyol itu." Seperti yang sudah-sudah, Arven punya alasan kenapa dia melakukan tindakan di luar sikapnya. "Kalo gue gak bertanggung jawab atas semua tentang Avisha. Mana mungkin gue ngelakuin ini."
Regha tampak ingin tertawa. Walau akhirnya mengangguk saja seolah percaya.
"Jadi, tentang masalah Avisha ini, lo mau gue ngapain?"
"Gue mau lo liat rekaman CCTV sekolah dan luar jalan sekolah."
Kali ini sebelah alis Regha terangkat. "Tumben gak nyuruh Veron?"
Jika bukan karena sudah ketahuan mengakses CCTV kemarin saat ingin melihat rekaman tragedi pot, Arven tentunya akan meminta bantuan Veron sekali lagi. "Lo tau dia ketauan akses cctv kemarin karena bantuin gue."
"Dan lo juga tau, karena temen lo itu, rekaman CCTV susah buat diakses. Semuanya udah diblokir."
"Gue gak bego, Gha," ucapnya serius. "Gue udah tau itu, tapi gue juga tau lo. Lo pasti bisa ngakses itu semua. Suruh orang-orang lo itu."
"Gue bingung, kenapa lo pengin banget ngeliat rekaman CCTV?" Ini yang sejak awal mengganggu Regha. "Emang masalah Avisha tuh apa?"
"Ada yang ganggu dia," Arven seperti tengah berpikir. "Entah itu orang gak suka sama kedekatan gue sama Avisha. Atau ada hal lain. Yang pasti gue mau lo cari tau."
Setelahnya Arven menceritakan seluruh masalah. Dari meja Avisha yang dicoret dengan membawa namanya, batu yang sengaja dilempar, seekor laba-laba di kuah soto lalu surat menjijikan di loker.
"Dan ... satu lagi, lo tau kecelakan Avisha disengaja. Gak perlu dipikir lagi kan, mereka pasti orang yang sama."
•••
Mulut singa hati kucing? Yania bisa ae wkwkwkw
Aduh-duh kalo diulang lagi Visha dapet hukuman dari Arven. Nahloh hukumannya emang apa bang? :v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro