A;A28-Harapan tak sesuai
Ampun dah kemarin, mati lampu lama banget ya wkwk.
Tapi, gapapa yang penting udah kembali sehat lagi lampunya. Mudah-mudahan sih gak sakit lagi hmm :)))
Boleh dunds vote dan komennya luv :*
▪
JIKA dua hari kemarin Arven terlalu sibuk pada urusan osisnya. Namun, tidak untuk hari ini. Lewat chat singkat yang dia kirimkan, Avisha senang karena akhirnya cowok itu punya waktu untuk menemaninya ke kantin.
Terpaksa, Avisha jadi membatalkan janji makan bersama ketiga sahabatnya. Awalnya Nata protes, yang langsung Yania bungkam dengan kalimat sadis. Dan seharusnya Avisha tahu kalau keputusannya ini salah.
Bayangkan, Avisha seolah cuma dianggap pot hiasan. Keberadaannya tak diacuhkan sama sekali. Sambil, menunggu pesanan diantarkan, Arven justru tenggelam pada kertas yang tergenggam di tangan.
Cih! Demi rambutnya Upin yang cuma sehelai, Avisha sangat menyesali pilihannya. Lihat, orang-orang di kantin, semuanya tampak asik mengobrol. Sementara Avisha? Oh tak perlu ditanya!
"Kak Arven!"
"Mm."
Cuma gumaman? Kekesalan Avisha tentunya meningkat. Dia refleks memukul meja, yang sejenak mengambil perhatian Arven sebelum cowok itu kembali membaca makalah.
"Males ah, dari tadi Visha cuma disuruh diam doang. Emang gak bosen. Mending Visha makan bareng Yaya, Lona sama Nata!" Dia mengambil tongkat yang bersandar di kursi sampingnya. Menopang tubuhnya berdiri.
Belum sempat beranjak, tangannya sudah tercekal.
"Duduk!" titah cowok itu dingin.
Avisha menatap Arven kesal. "Gak mau! Emang kak Arven pikir Visha gak bosen, ngeliatin kak Arven dari tadi mandang kertas. Berasa jadi nyamuk Visha tuh."
"Duduk, Sha!" ulang Arven penuh penekanan.
Ini kekalahan telak. Avisha tidak bisa tak lebih kesal karena dirinya tunduk mengikuti perintah Arven untuk duduk kembali di kursi.
"Kalo gitu," Jeda sejenak, Avisha mengambil kertas dari tangan Arven begitu saja. Membuat tatapan tajam itu melayang ke arahnya. "Kak Arven berhenti ngeliatin kertas dan dengerin Visha cerita. Visha gak mau ya diem-dieman kayak lagi belasungkawa."
Arven mengulurkan telapak tangannya. Wajahnya begitu dingin saat meminta, "Sini kertas gue."
Avisha menggeleng. "Kalo kak Arven mau Visha tetep duduk di sini, kak Arven gak boleh nyuekin Visha."
"Sha!"
"Lagian ya gak ada sejarahnya princess itu diabaikan."
Sikap pede cewek itu yang di luar batas normal membuatnya mendengkus. "Dan gak ada sejarahnya princess itu pendek!"
Avisha langsung memelotot. "Visha nih bukan pendek, tapi imut. Kak Arven nih seharusnya berterima kasih sama orang pendek. Kalo gak ada orang pendek, gak mungkin ada orang tinggi."
Ya Tuhan! Baru kali ini Arven kehabisan kata saat berdebat.
"Terserah lo," Arven masih mempertahankan ulurannya. "Balikkin kertas gue."
Dengan bibir menekuk sebal, Avisha menyerahkan kertasnya kembali. Yang segera Arven ambil. "Kak Arven ngerti gak sih, sekarang tuh berasa bukan kak Arven yang nemenin Visha, tapi sebaliknya. Visha berasa lagi nemenin pacar yang sibuk sama urusan sendiri."
"Sayangnya gue bukan cowok lo!" Begitu singkat sekaligus menohok.
"Yee kak Arven pikir Visha mau pacaran sama kak Arven. Udah mati bosen Visha pasti. Jarang ngomong sekalinya ngomong pedes banget. Kebanyakan makan sambel kak Arven ya?"
"Gimana kalo mulut lo aja yang gue sambelin?" Arven memandangnya kali ini. "Biar itu mulut berhenti ngoceh kayak beo."
Kalau dideskripsikan kepala Avisha seperti sudah meletuskan api saking kesalnya. Dia menarik mangkuk sambal dan mengaduk-ngaduknya sadis. Membayangkan jika itu adalah muka Arven. "Cih! Males kalo gini, seharusnya Visha tuh sekarang udah ketawa-ketiwi, ngerumpi, bareng Yaya, Lona, ama Nata. Bercanda gak jelas. Apalagi kalo Nata udah ..."
Ucapannya terhenti. Itu berkat Arven yang tiba-tiba menarik sendok di tangannya, meletakkan kembali di mangkuk dan menggesernya menjauh.
"Sebenarnya lo mau apa?" tanya cowok itu sambil menatapnya.
"Visha maunya kak Arven ngomong, dengerin Visha cerita, jangan cuma fokus sama kertas. Visha gak suka ya dianggap ayam lagi ngeremin telur. Diam aja udah." Avisha cemberut.
"Oke," Arven meletakkan kertasnya dan kini fokusnya sepenuhnya untuk Avisha. "Sekarang gue dengerin lo cerita. Ayo cerita."
Ditatap sedemikian rupa, membuat Avisha terdiam. Masalahnya seluruh cerita yang ingin dia ceritakan hilang cuma karena tatapan tajam itu.
"Kok lo malah diam?"
"Ya iya, tapi kak Arven gak usah natap Visha kayak gitu!"
Alis Arven terangkat heran. Masih terus menatapnya. Avisha kesal, karena tatapan itu berdampak besar bagi jantungnya dan dia tidak suka. Dengan sengaja, dia mendorong pipi Arven pelan ke sisi lain. "Kak Arven natap sana aja."
Arven mengambil tangan Avisha yang menempel di pipinya. Membawanya turun ke meja. "Emang kenapa sama tatapan gue?"
Avisha sontak menarik tangannya dari genggaman Arven untuk menutupi wajahnya yang perlahan merona. "Ih! Pokoknya jangan liatin Visha. Pipi Visha jadi panas!"
Begitu polos Avisha mengatakan, membuat Arven di depannya butuh perjuangan untuk tidak tersenyum karena ternyata cewek aneh itu bisa juga salah tingkah.
Sepertinya bermain-bermain dengan Avisha cukup menyenangkan. Sengaja Arven menarik kedua tangan Avisha dari wajahnya. Tentunya mata bulat itu langsung terpancang membalas tatapannya.
"Tapi, gimana kalo gue suka natap lo kayak gini?"
Mata keduanya terfokus satu sama lain. "Awas lho kak Arven jatuh cinta sama Visha."
"Gak masalah," Arven meraup jarak keduanya. Nyaris membuat hidung mereka bersentuhan. "Asalkan gue buat lo jatuh cinta duluan sama gue."
Avisha menatapnya seperti tengah berpikir. Senyumnya melebar kemudian. Dalam raut polosnya, dia menepuk-nepuk pipi Arven, yang pastinya membuat Arven merasa tidak baik-baik saja.
"Visha gak tau rasanya jatuh cinta, tapi Visha seneng deket sama kak Arven."
Panahnya seperti melempar balik. Arven yang terbungkam sekarang.
Beruntung bertepatan dengan itu makanan mereka diantarkan. Memusnahkan suasana beku yang sempat mengurung. Perlahan pasti, Arven bisa mengontrol diri sambil menegakkan tubuh kembali.
"Kak Arven nanti bisa anterin Visha ke tempat les?" Avisha bertanya setelah menyedot jus melon-nya.
Sekarang karena sering makan bersama di kantin, Avisha jadi tahu jus kesukaan Arven. Jus jeruk. Sering kali Avisha melihat Arven memesan jus itu.
"Mm," jawab Arven sambil menyereput minumannya.
"Mm apa?" Avisha kesal. Lagi-lagi Arven cuma menjawab gumaman. "Mm iya? Mm enggak?"
"Iya."
"Nah gitu dong, yang jelas ngomongnya."
"Bawel!" ketusnya sambil mendorong mangkuk berisi soto yang telah dipesan tadi. "Tuh makan!"
"Iya-iya ini dimakan." Avisha mengambil mangkuk miliknya. Sementara Arven mengambil piring mie gorengnya. "Heran, galaknya gak pernah hilang-hilang."
"Ngomong apa lo?"
Ya ampun! Itu telinga tajam banget kayak telinga serigala!
"Gak," Avisha menggeleng. "Visha cuma lagi ngehafalin huruf hijaiyah versi Jawa."
Arven mendengkus. Masa bodoh mendengar ucapannya yang tidak jelas.
"Gak usah banyak-banyak sambelnya." Gerakan Avisha terhenti. Belum juga sendoknya menyentuh sambal, terdengar celetukkan tajam Arven. Avisha mau protes tapi kalah duluan. "Perut lo sakit entar."
"Kak Arven tuh kalo niat mau perhatian sama Visha ngomongnya jangan kasar bisa gak sih? Kan bisa lembut dikit."
"Gue lagi gak perhatian sama lo, kalo lo sakit gue juga yang repot."
Avisha mencibir. "Ya, ya, ya, ngeles aja terus." Arven langsung menatapnya penuh laser. Avisha membalas sama tajamnya. Tak menciut sama sekali.
Terpaksa Avisha cuma menggunakan sedikit sambal saja. Mengaduk-ngaduk agar semuanya merata. Namun, saat matanya melihat sesuatu di mangkuk, dia memekik langsung. Arven terlonjak. Pun seluruh populasi di kantin sontak menoleh penasaran.
"Apa sih, Sha?" Arven mendesis kesal.
"Itu, itu di mangkuknya ..." Avisha tak dapat berbicara. Menutup matanya ngeri. Tak perlu berpikir lagi, Arven menarik mangkuk itu, melihat isinya dan dibuat terkejut kemudian. Dia menyendok benda yang berenang di sana. Dan meyakinkan diri jika benda itu benar adalah seekor laba-laba asli bukan mainan.
"Visha takut laba-laba," gumamnya.
Sepertinya dari ketakutan yang jelas Avisha tunjukkan, sudah jadi alasan pantas Arven langsung berdiri dari kursi sambil membawa mangkuk itu menuju stan soto berada. Tatapan orang-orang memburunya, yang tak Arven pedulikan sedikit pun.
Di stan soto antrian cukup panjang. Seperti punya magnet tersendiri, keberadaan Arven membuat kerumunan itu membelah membentuk jalan. Avisha melihat Arven berjalan tenang, sebelum menaruh mangkuk itu di atas meja dengan sekali hentakkan.
Semua terlonjak. Termasuk Avisha dan Mang Jaja, penjual soto.
"Eh bos ketos, kenapa nih ada yang kurang di sotonya?" Dari raut Arven yang tak terbaca, tentunya Mang Jaja kebingungan. Avisha mengambil tongkat lalu berjalan menyusul. Dia takut akan terjadi hal yang tak diinginkan.
"Saya mau nanya Mang, sejak kapan Mang Jaja punya kreasi baru di sotonya?"
"Hah?" Mang Jaja makin bingung. "Bos ketos teh ngomong apa? Mang Jaja gak ngerti."
Arven mengambil sendok di mangkuk milik Avisha. Menunjukkan laba-laba berukuran sedang yang ada di sana. Sebagian murid yang melihat terbelalak syok. Apalagi Mang Jaja sendiri. "Sekarang soto ayam-nya berubah jadi soto laba-laba ya Mang?"
Mang Jaja tak mampu berkata-kata saking syoknya.
Avisha menarik ujung seragam Arven. "Kak Arven mungkin Mang Jaja gak tau ada laba-laba di situ, kan bisa aja jatoh laba-labanya. Kak Arven jangan asal nyalahin Mang Jaja."
Arven menoleh, menatap Avisha. "Kalo cuma laba-laba kecil yang jatoh itu mungkin masuk akal, Sha. Lo gak liat laba-laba-nya seukuran apa?"
"Sumpah, Bos ketos!" Mang Jaja sungguh tidak tahu menahu soal itu. "Saya gak tau kenapa bisa ada laba-laba disitu."
"Kak Arven," Avisha berbisik. Merasa tidak tega melihat Mang Jaja yang merasa tersudutkan. "Udah dong, jangan disalahin Mang Jaja-nya. Kak Arven kualat loh nanti kalo gituin orang yang lebih tua."
"Bos ketos tau saya udah lama jualan soto di sini. Jadi, gak mungkin saya sengaja taroh laba-laba itu."
Arven kali ini memandang Mang Jaja yang keliatan bingung. "Saya tau, Mang." Karena tentunya Arven tidak mungkin punya pikiran buruk pada orang tua itu. Ada alasan lain dari tindakan yang dia lakukan sekarang.
Kemudian, dia memutar tubuhnya. Memandang seluruh orang-orang di kantin yang sudah menjadikan hal ini tontonan.
"Gue gak tau pasti ini hal disengaja atau gak," Atmosfer sekitar terasa berubah. Sorot dingin itu membekukkan. Begitu detail menjelajahi satu persatu manusia di sana. "Tapi, kalo benar ada orang yang sengaja iseng sama cewek pendek ini," dia menunjuk Avisha yang berdiri di sampingnya. "Mungkin dia harus siap-siap dari sekarang."
Jika yang lain tak ada yang berani angkat suara karena aura Arven. Avisha justru terlalu syok sampai tak mampu berkata-kata.
"Karena setelah ini, siapapun 'dia' harus berurusan sama gue. Paham lo semua?" Arven kemudian kembali menghadap Mang Jaja. "Lain kali, jangan sampe teledor lagi ya Mang."
Arven meletakkan selembar uang warna merah, yang selanjutnya menarik Avisha keluar kantin. Keluar dari sorotan orang-orang.
•••
Di luar jendela mobil, langit sore tampak gelap, sinar mentari terhalang, angin melambai terasa menyejukkan. Dari pemandangan itu seharusnya sudah cukup menarik perhatian Avisha. Sayangnya tidak, perhatian Avisha justru terpusat pada cowok yang tampak tenang menyetir di sebelahnya.
Raut dingin, bibir menekuk garis lurus, tatapan tajam itu, entah apa yang bagus dari sana, yang bisa Avisha jadikan alasan suka menatapnya lama-lama. Cuma satu hal yang terpikirkan, tragedi di kantin pagi tadi, berhasil membuat Avisha senang luar biasa.
Arven melayangkan ancaman hanya untuk menjaganya. Cowok itu melakukan itu semua untuk melindunginya.
Ya ampun! Andai kesimpulan yang dia pikirkan benar, mungkin senyumnya yang terlukis sekarang jadi tak tampak bodoh.
Seluruh lamunan Avisha buyar saat poninya tertarik. Dia memelotot pada tersangka yang kini menatap jalan.
"Ngapain lo ngeliatin gue terus?" Mulut Arven memang tidak bisa bermanis-manis. Avisha mencibir. Melihat lampu lalu lintas berubah merah, menghentikan semua laju kendaraan. Termasuk mobil Arven.
"Kak Arven kenapa manisnya bentar-bentar doang sih?" Avisha kesal. Menatap Arven yang menoleh kali ini. "Padahal kak Arven pas ngomong di kantin itu, keliatan jadi manis lho. Tambah ganteng gitu."
Sekali lagi, Arven menarik poninya—kegiatan yang jadi sering dia lakukan. Avisha memelotot, memukul-mukul tangan cowok itu.
"Telat kalo lo baru sadar gue ganteng. Tapi, sori, lo terlalu pede kalo mikir gue ngelakuin itu cuma karena ngebelain lo."
"Ah masa!" Wajah Avisha jadi beribu menyebalkan sekarang. "Kak Arven harus sering-sering manis kayak gitu ke Visha ya?"
Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa harus?"
"Harus-lah, biar Visha gak bingung milih suka sama kak Arven apa enggak."
Arven tampak diam untuk sesaat. "Tapi, masalahnya gue gak peduli lo bakal suka sama gue atau enggak. Karena gue ... gak suka sama lo."
Seharusnya kalimat itu menohok Avisha. Namun, tingkat percaya diri cewek itu sudah overdosis. "Kak Arven emang gak suka sama Visha, karena sebenarnya kak Arven itu udah sayang sama Visha."
Arven membeku sepenuhnya. Memandang mata bulat itu berbinar. Wajah kecilnya menunjukkan kegembiraan. Mudah bagi Arven untuk mengatakan balik perkataan yang pastinya menjatuhkan. Namun, dia tak melakukan, cuma sekadar menarik poni cewek itu untuk ketiga kali.
Tentunya Avisha kesal bukan main. "Kak Arven suka banget sih narik poni Visha. Ini kan susah dirapihinnya!"
"Ribet! Tinggal lo tata ulang. Selesai!" Arven masa bodoh. Menginjak pedal gas setelah lampu kembali berubah warna.
"Yee ... kak Arven gak tau sih ini poni ..."
"Poni apaan emangnya?" Arven memotong."Poni legendaris."
"Bukan."
"Poni khatulistiwa?"
"Itu mah jambul badainya yang nyanyi undur-undur cantik. Eh, bener gak sih itu judulnya."
Arven mengedikan bahu tak acuh. Berusaha keras menahan senyum sekarang. "Atau mungkin itu poni arwana?"
"Emang ikan arwana punya poni?" Avisha yang lugu.
"Punya, entar gue pakain poni palsu."
"Apa sih kak Arven!" Avisha tergelak. "Garing!"
"Garing! Tapi lo ketawa!"
Avisha masih saja tertawa. "Visha kasian aja gitu kak Arven udah ngelawak, Visha-nya cuma diam."
"Gue gak ngelawak." Wajah itu datar.
"Ya emang enggak, mana ada pelawak ganteng kayak kak Arven. Kebanyakan pelawak mukanya suka buat Visha nyebut astagfirullah."
Dari wajah Arven, Avisha berhasil menangkap kejadian langka. Dia terbelalak melihat sudut bibir Arven terangkat menjadi senyum. Bukan senyum sinis yang biasanya Avisha lihat. Meski samar, itu beneran senyum. Refleks Avisha memekik.
"Kak Arven senyum ya?!"
Sadar telah melakukan kesalahan, Arven langsung merubah raut wajahnya secepat mungkin. "Gak," ucapnya mati-matian untuk tenang.
"Bohong!" seru Avisha heboh. "Kata Mama Visha, bohong dosa loh, kak."
"Emang ada yang bilang bohong dapet pahala?" Arven sengaja berucap ketus.
"Visha yakin tadi kak Arven senyum!"
"Gue gak senyum!"
"Senyum!"
"Gak!"
"Senyum tadi!"
"Gue bilang enggak, ya enggak."
"Okelah, anggap aja Visha percaya, tapi mulai sekarang ..." Dia menggantungkan kata, menusuk pipi Arven dengan telunjuknya. Tingkah yang membuat Arven tersentak tak menduga. "Visha pastiin kak Arven bakal senyum di depan Visha."
Oh tentu tak semudah itu.
•••
Sebelum berangkat ke tempat les, Avisha berganti seragam lebih dulu di rumah. Lalu sejam setelahnya, Arven kembali datang menjemput. Di salah satu sela parkiran Arven memarkirkan mobilnya.
Saat ingin turun, Avisha hendak mengambil tas biolanya di kursi belakang, jika tidak terdengar suara Arven yang menghentikannya.
"Biar gue aja yang bawa."
"Tuhkan! Kalo gini kan kak Arven jadi keliatan manis banget gitu." Arven langsung mendelik. Avisha cuma tersenyum lebar, yang kemudian membuka pintu mobil.
Dengan tongkatnya dia menopang berdiri dan melangkah keluar. Arven mengikuti sambil membawa tas biola miliknya.
Berjalan di lorong gedung les yang senyap, Avisha menoleh pada Arven. Jika digali lagi, dia jadi teringat Arven pernah ke sini. Pertemuan mereka di luar sekolah untuk pertama kali. Jangan pikir, Avisha melupakan itu, beribu pertanyaan yang tertinggal di kepalanya saja masih dia ingat.
Termasuk pertanyaan; kenapa Arven bisa mengenal Bu Feni, guru les musiknya?
Tiba di ruangan, Bu Feni menyapa, sebelum rautnya berubah syok melihat cowok yang melangkah di belakang Avisha.
"Arven? Kalian ..."
"Kita satu sekolah, Bu." Arven yang menjelaskan.
Bu Feni terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk paham. "Kalian satu sekolah? Kebetulan yang luar biasa." Avisha melirik Arven yang tak mengatakan apapun. Selagi Bu Feni mendekat, Avisha berjalan ke kursi di sana. Pura-pura sibuk membuka biolanya. Padahal Avisha tengah mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Kamu apa kabar?" Bu Feni melangkah mendekat.
"Seharusnya Bu Feni tau kabar saya kayak gimana. Baru sebulan lalu saya ke sini."
Bu Feni terkekeh seakan sudah biasa oleh perkataan dingin Arven. "Jadi kamu ke sini untuk mengantar Avisha?"
Cowok itu sekadar mengangguk.
"Kalian ada hubungan?"
Entah kenapa pertanyaan itu membuat Avisha tersedak tiba-tiba. Serentak keduanya menoleh bingung.
"Saya cuma dapet tugas dari papanya untuk menjaga Avisha." Bu Feni menatap Arven kembali.
"Ini karena kondisi kakinya?"
Arven mengangguk.
"Oh Ibu paham sekarang, kebetulan Pak Devin sudah menceritakan sebagian tentang kalian." Bu Feni tersenyum. "Padahal awalnya Ibu pikir kamu ke sini untuk ingin mengambil ..."
Arven menggeleng. Satu tindakan yang berhasil membuat Bu Feni menghentikan ucapan. Hal itu tentunya menjengkelkan, karena Avisha jadi tidak bisa mendengar perkataan lengkap guru musiknya itu.
Di duduknya, Avisha sudah bisa mencium ketidaknyamanan Arven. Cowok itu seperti enggan membahas hal tadi.
Tak pelak, beruntun pertanyaan makin datang menyerbu, Avisha jadi penasaran tingkat dewa.
Astaga!
"Saya menunggu di luar saja, Bu," pamit Arven tiba-tiba. "Sha!" Avisha mendongak saat namanya dipanggil. "Gue tunggu di luar," ucap cowok itu kemudian berlalu ke keluar ruangan.
Bu Feni menatap punggung Arven yang hilang di balik pintu sebelum melangkah mendekatinya. "Kita mulai?"
"Bentar Bu Feni, Visha boleh nanya?"
"Kalo kamu mau ikut lomba, Ibu perbolehkan."
"Bu Feni!" Avisha cemberut. Guru les musiknya itu tertawa. Ternyata bercandaannya dianggap serius oleh muridnya.
"Emang kamu mau bertanya apa?"
Avisha memangku biolanya di atas paha. Bergumam ragu. Kesempatan ini tak baik kalau Avisha sia-siakan.
"Bu Feni ... kenal kak Arven dimana?"
"Di sini."
"Ih, Visha serius, Bu."
Bu Feni terkekeh. "Tapi, ibu emang serius."
Avisha merasa tak percaya. "Di sini?" Guru lesnya itu mengangguk. "Kapan?"
"Sudah lama. Mungkin hampir di waktu bersamaan Ibu mengenal kamu."
"Jadi," Avisha malah kebingungan sendiri. "Kak Arven pernah les di sini juga?"
Meski samar, Avisha berhasil menangkap garis kesedihan yang terpampang di wajah gurunya itu. "Bukan Arven yang pernah les di sini, tapi ... adiknya."
•••
Kreasi soto laba-laba. Oh boleh juga tuh, Ven . Entar yang jadi ambassadornya spiderman yess?
Wkwkwkwkwk
Ternyata eh ternyata Arven punya adik?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro