A;A26-Dimulainya Permainan
Duhilah nih part panjang bener. Semoga gak jenuh deh ya wkwk
Ayo ramein vote sama komennya muehehehhe
▪
DENGAN si dokter yang memeriksa dua kelincinya, Avisha terlihat sangat akrab. Ketika awal datang, dokter yang berperawakan sipit dengan kacamata yang menggantung itu, membalas sapaan Avisha dengan senyum dan pelukan. Seolah mereka adalah dua anak yang lama tak dipertemukan.
Alasannya mungkin tidak jauh-jauh karena Avisha sering datang memeriksakan kesehatan hewan peliharaannya. Hanya saja yang mengherankan untuk Arven adalah wajah si dokter yang terasa familiar.
Karena malas memperpanjang hal itu. Arven memilih melupakan.
Usai Avisha menceritakan masalah yang terjadi pada kelincinya, dokter sipit itu langsung melakukan tindakan.
Arven tak terlalu memerhatikan yang dilakukan sang dokter, lebih fokus pada Avisha di sebelahnya yang menutup mata dengan sebelah tangan. Sesekali mengintip di sela jari untuk melihat salah satu kelincinya tengah disuntik.
Ada dorongan yang tak bisa dicegah saat tangannya melewati bahu Avisha dari belakang dan menutup mata cewek itu.
"Kalo takut gak usah diliat."
Avisha menurunkan tangan Arven dari matanya. Memegangnya dengan senyum. "Visha gak takut kok. Kan ada kak Arven."
Seharusnya tak perlu ada yang dibesar-besarkan dari ucapan terakhir itu. Namun, Arven tak mengerti kenapa dia jadi membuang-buang waktu dengan menatap mata bulat milik Avisha.
Saat semua urusan selesai. Avisha berpamitan pada sang dokter.
"Makasih ya, Om." Dia tersenyum lebar.
Si dokter membalas hal yang serupa sambil mengusap kepalanya. "Sering-sering main ke rumah, biar Nata gak keseringan main sama game."
Mendengar nama yang terselip di sana. Tentunya kepala Arven langsung menemukan jawaban. Mata sipit itu seharusnya Arven tak perlu jauh mengartikan rasa familiarnya.
Mereka melangkah keluar.
"Dia bokapnya Nata?"
"Iya!" Avisha mengangguk ceria. Yang kemudian, mulai bercerita jika Nata yang mengantarkannya ke sini pertama kali saat kelincinya menggigil kesakitan. Ternyata klinik hewan milik ayahnya. Lalu seterusnya Avisha jadi sering berkunjung ke sini jika ada masalah dengan hewan peliharaannya.
Arven cuma bergumam tak peduli. Dari raut Avisha yang antusias bercerita, apalagi saat mengucapkan nama Nata, entah kenapa itu sedikit menganggu.
Ketika mendorong pintu keluar, langkah keduanya kompak berhenti.
Itu berkat Nata yang berhenti di depan mereka. Tampak ikut terkejut.
"Nata!" Avisha menyapa ceria.
Sesaat Nata menatap Avisha, sebelum sorot tidak sukanya jatuh pada Arven. Membuatnya menaikkan alis heran.
"Lo ke sini bareng dia?"
Avisha melirik Arven sebelum mengangguk.
"Ngapain?" Nata bertanya lagi. "Kenapa gak telepon gue aja?"
"Hmm itu kan karena ..."
"Kenapa kalo bareng gue?" Arven memotong ucapan Avisha. Sedikit menatap lelaki sipit itu dengan dingin. "Itu jadi masalah?"
"Gue bukan lagi mau ngomong sama lo!" Iris Nata tak kalah tajam.
Berdiri di antara keduanya, Avisha jadi kebingungan sendiri. Cukup jelas mencium atmosfer perang di sekeliling.
"Tapi, lo tau kalo Avisha itu tanggung jawab gue sekarang?" Dengan gaya tangan dimasukkan di saku celana, Arven jadi tampak arogan. "Jadi, seharusnya lo udah paham kenapa gue yang nganter dia."
Tangan Nata mengepal. Menahan emosi.
"Kak Arven udah dong," Avisha menarik ujung jaketnya. Dia tidak ingin ada perkelahian tidak jelas di sini. Lagipula apa yang perlu dipeributkan. "Mending kalian kenalan dulu." Serentak kedua cowok itu menatapnya dengan pandangan aneh. "Kalian belum pernah kenalan langsung kan?"
"Tanpa kenalan pun, gue udah bisa nebak sikap buruknya dia. Ketos yang suka maksain kehendak."
Jika emosi Nata sudah berlipat ganda. Arven justru tampak malas dan tak tertarik. Namun, aura kelamnya terasa begitu menusuk saat mengatakan ini, "Sedikit kurang tepat ucapan lo, malah kalo lo udah kenal gue. Lo bakal tau gue lebih buruk dari tebakkan lo itu."
"Lo denger itu, Sha. Dia bahkan ..."
"Nata udah!" Avisha menatap sahabatnya itu. "Nata bukannya marah sama Visha?"
Nata menatapnya. Yang membuat kepalan tangannya mengendur. "Gue mana pernah bisa marah sama lo sih, Sha."
Arven berdecih mendengarnya, yang langsung mendapat pelototan Avisha.
"Terus kenapa Nata ngehindarin Visha?"
"Sha, gue gak ngehindarin lo. Gue cuma mau lo berhenti minta perlindungan dari dia. Ada gue, Sha. Ada gue yang bisa jagain lo!"
Avisha baru ingin membalas saat justru tersentak merasa tubuhnya ditarik ke belakang dan Arven maju berdiri di depannya.
"Lo nyuruh gue berhenti?" tanyanya begitu dingin. "Tapi, sori, sekalipun itu Devin yang nyuruh gue berhenti. Gue gak akan berhenti. Lo mau tau kenapa?" Avisha bisa melihat kelamnya mata Arven bertambah sekarang. "Karena gue udah janji dan gue gak pernah ngingkarin janji gue sendiri."
Setelahnya, Arven menarik tangan Avisha. Tanpa peduli oleh Nata yang sepenuhnya hilang kata.
•••
"Seharusnya kak Arven jangan ngomong gitu ke Nata." Avisha menatap Arven yang sibuk menyetir.
"Seenggaknya dia harus tau lagi berhadapan sama siapa."
"Tapi, kan kak Arven gak perlu ngomong kata-kata kayak gitu." Avisha sangat tahu jika Arven adalah lelaki yang tidak suka dirusak harga dirinya. Nata itu hanya seorang adik kelas, tapi berani-beraninya menantang Arven, jelas cowok itu tidak terima.
"Kenapa? Lo gak percaya sama omongan gue?" Arven menoleh ketika lampu merah.
"Visha bukannya gak percaya tapi ..." Avisha sulit menjelaskan isi kepalanya.
Sebelah sudut Arven terangkat. Penuh ironi. Jelas Avisha melihatnya. "Tenang, lo bukan salah satu orang yang gak percaya sama gue, walaupun gue ngomong sesuai kenyataan."
Arven kembali menarik perseneling saat lampu berubah hijau.
"Lagian, ini cuma sampe tiga bulan. Setelah itu lo bakal bebas dari gue dan gue terbebas dari tanggung jawab konyol ini."
Dalam keheningan panjang yang dibiarkan, Avisha sesekali melirik Arven yang fokus pada jalan. Sepertinya dia salah bicara. Raut dingin yang bertambah pada wajah Arven, membuatnya merasa bersalah.
"Kak Arven marah?" Mobil Arven telah berhenti di halaman depan rumahnya.
"Gak," Arven tak membalas tatapannya. "Sekarang lo mending turun!"
"Kak Arven ..."
"Sekarang, Sha!" Yang cowok menoleh tajam kali ini.
Avisha terdiam. Belum ingin beranjak dari tempatnya.
"Misalkan, kak Arven minta Visha buat percaya. Visha bisa." Mereka saling menatap. Seperti tengah menebak pikiran masing-masing. "Kayak waktu di lapangan, Visha percaya kalo kak Arven gak bakal jatohin Visha. Kalo kak Arven minta sekali lagi, mungkin Visha bisa percaya sama kata-kata kak Arven tadi."
"Gak perlu, gue juga susah percaya sama orang."
Itu perkataan pengakhir. Avisha tak tahu harus berkata apa lagi. Segala hal yang ada pada Arven sulit diterka dan penuh rahasia.
"Ya udah Visha turun." Avisha mengambil kandang kelincinya di bangku belakang. Dengan begitu susahnya dia membuka pintu mobil. Bayangkan tangannya cuma dua. Yang satu untuk memegang tongkat sementara yang kiri untuk memegang kandang. Di tengah usahanya untuk membuka pintu mobil, Arven turun dan tahu-tahu membuka pintunya.
"Kak Arven ..."
"Cepetan!" ketusnya.
Avisha mencibir pelan. Antara ingin memaki dan berterima kasih. Setelah turun, kandang kelincinya langsung ditarik oleh Arven. "Gue udah ribet ngeliat lo sama tongkat."
Sikap Arven yang seperti itu membuat Avisha tak bisa marah berlama-lama.
Arven masuk ke dalam rumahnya hanya untuk membawa kandang kelincinya sampai kaki mereka serentak berhenti di ruang tamu.
"Bang Darlan kok di rumah?"
Darlan dengan sweater hitam, jeans putih robek di bagian lutut, dan sepatu sneaker itu berdiri di depan mereka. Ada tatapan khawatir bercampur kesal tampak di sana. "Gue pulang karena Bi Desi bilang lo nangis."
Avisha sangat ingat jika Darlan ada acara dengan temannya. Jadi mungkin hal itu yang membuat Darlan panik dan buru-buru ke rumah. "Kelinci Visha mati, makanya Visha sedih. Terus juga banyak yang sakit. Untungnya kak Arven mau nganterin Visha ke klinik hewan."
"Ya gue udah tau," Darlan tampaknya kesal. Perjuangan pulangnya buru-buru hanya untuk mendapatkan alasan tangisan Avisha itu cuma karena kelincinya mati. Sama halnya seperti Arven.
"Oh ya ..." Darlan menoleh pada Arven yang bungkam sejak tadi. "Lo Arven? Ini pertemuan pertama kita bukan?" Dari gayanya Arven sangat tahu jika Darlan adalah tipe orang santai seperti Askar. "Gue Darlan abangnya Visha."
"Seharusnya lo udah tau gue."
"Gue udah kenal lo," Darlan mengangguk sambil bersedekap. Memandanganya naik-turun. Membuat Arven menaikkan alis. "Lo lebih tua setahun dari gue, tapi walau gitu, lo yang udah buat adek gue pake tongkat kayak sekarang. Jadi, gue gak boleh tinggal diam bukan?"
"Bang Darlan!" Avisha mengetuk tongkatnya ke kaki Darlan keras. Membuat sang kakak menoleh kesal. "Bang Darlan gak boleh gitu dong, bang Darlan kan tau bukan kak Arven yang buat Visha kayak gini."
"Wah lo udah kasih apa ke adek gue, sampe dia belain lo?"
Abangnya ini keterlaluan! Avisha baru ingin bersuara saat Arven menyambarnya lebih dulu.
"Lo seharusnya berterima kasih ke gue. Karena saat adek lo nangis kebingungan sama kelinci-kelincinya tadi, ada gue yang nemenin."
"Thanks bro," Darlan tertawa. "Jadi boleh dong kalo malam ini lo juga jagain adek gue?"
"Gue bukan baby sitternya." Arven jelas menolak.
Darlan lagi-lagi tertawa. "Tapi, itu emang tugas dari Papa gue bukan? Buat lo jagain adek gue?"
"Lo tau lo lagi ngomong sama siapa?" Arven memandangnya sedingin es.
"Oh gue tau banget," Darlan mengangguk berlebihan. "Keluarga Gazkel. Haruskah gue sekarang sungkem ke lo?"
Sangat jelas itu sindirian. Arven paling sensitif jika sudah membawa marga keluarganya. Sementara Avisha kebingungan sendiri. Di antara pilihan menyuruh Arven pulang saja, Avisha lebih berkeinginan menendang abangnya ke ujung Afrika.
"Bang Darlan! Apa sih! Emang Bang Darlan mau kemana lagi?"
"Acara temen gue belom selesai, Sha. Tadi gue pulang tanpa pamit ke temen gue gara-gara lo! Sekarang, seenggaknya gue harus balik dulu ke sana." Darlan lalu menangkup pipinya. "Gak pa-pa ya, kan ada dia. Lo seneng kan?"
Pipi Avisha terasa panas. Sebagai pengalihan dia memelotot saja.
"Gue titip dia ya." Darlan mengedipkan sebelah matanya pada Avisha. Sebelum langkahnya terayun, Darlan terpaksa menghentikan langkah karena suara Arven.
"Lo gak takut titip adek lo ke gue. Di rumah yang sepi dan cuma ada para pembantu?"
Darlan memutar tubuhnya. Dan terasa aneh karena lelaki itu justru tersenyum. "Lo gak usah anggap serius omongan gue diawal. Lo emang keluarga Gazkel. Tapi, gue tau lo gak sebusuk mereka."
"Lo yakin? Gue tetep bagian dari mereka?"
"Kalo lo kayak mereka, seharusnya lo sejak awal nolak permintaan Papa bukan? Padahal lo gak salah." Darlan tampak lebih santai dan friendly sekarang. "Dari situ aja udah ketebak, kalo lo emang beda."
Kemudian setelah menarik kencang pipi Avisha. Yang dibalas omelan. Darlan melangkah keluar.
•••
Untuk mencairkan suasana. Avisha menarik Arven menuju ruang keluarga. Memilih menghabiskan waktu untuk menonton film, yang sebelumnya Arven tolak mentah-mentah. Setelah segala rayuan dan bujukkan, barulah cowok itu luluh. Itu juga sebenarnya Avisha mengancam mengempeskan ban mobil Arven.
"Kita mau nonton apa ya kak Arven?"
Tak ada jawaban. Avisha mendongak dan melihat Arven tampak tengah berpikir sambil menyandar pada kaki sofa. Sekarang mereka memang memilih duduk di atas karpet berbulu.
"Kak Arven mikirin apa?"
"Gue cuma bingung kenapa Bokap dan abang lo agak ..."
"Keliatan gak suka keluarga kak Arven?"
"Ya." Karena memang itulah yang Arven pikirkan.
"Visha gak tau pasti sih, tapi kayaknya soal bisnis," Avisha mengedikan bahu. "Itu juga dampaknya jadi sama persahabatan Mama dan Tante Diana, tantenya kak Arven. Mama udah jarang ketemu, apalagi ngobrol. Makanya waktu itu kaget, pas kak Arven bawa kue dari tante Diana."
Avisha menatap susunan kaset koleksi milik abangnya. Sebenarnya ada yang ingin sekali dia tanyakan. Tapi, topiknya itu agak tidak menyenangkan. "Kak Arven tinggal di apart. Kenapa gak milih tinggal sama keluarganya. Maksudnya Visha ..."
"Gue tau maksud lo," Arven memotong. "Walaupun orang tua gue udah meninggal, gue masih punya kakek, Om dan Tante."
"Terus kenapa gak tinggal sama mereka?"
"Ribet." Arven menjawab seadanya. Kemudian ikut membantu Avisha mencari DVD film di rak bawah televisi yang menempel di dinding. Seperti usaha untuk pengalihan. Baiklah, mungkin Avisha tak perlu memperpanjang.
Arven mengambil salah satu kaset horror. "Takut?"
Avisha menggeleng. "Gak!"
Berbohong tidak masalah bukan?
Avisha tidak mau diledeki Arven sebagai cewek penakut. Jujur saja, sebenarnya hal yang Avisha takuti selain laba-laba adalah film horror, karena kadang dia sering kebawa sampai mimpi.
"Kita matiin lampunya?"
Samar Avisha melihat cowok itu tersenyum meledek. "Serius, gak takut?"
"Enggak," jawabnya meyakinkan. Arven mengangguk saja.
Lampu dimatikan. Suasana menjadi remang. Perkenalan produksi film tampak di layar sekarang. Sebelumnya Mbak Tia sudah mengantarkan minuman sekaligus camilan.
Film belum dimulai. Tapi, Avisha sudah meringkuk sambil memegang bantal.
"Kak Arven," panggil Avisha sambil menutup telinga. Arven cuma bergumam sebagai balasan. "Kak Arven tau gak, Visha sebenernya takut sama gelap."
"Takut gelap, apa takut film-nya?"
Avisha menyengir. "Dua-duanya."
"Udah gue ketebak."
"Kak Arven tau kenapa Visha takut gelap?"
"Karena lo emang penakut." Arven menjawab tak acuh.
"Bukan," Avisha menggeleng. "Karena, pas gelap kita gak bisa ngeliat apapun, apalagi bedain mana orang jahat mana orang baik."
Arven menoleh buat yang ini.
"Visha pernah ngerasain," Ini terjadi di luar prediksi, Avisha tidak bisa menghentikan mulutnya yang bercerita. "Waktu selesai tampil di panggung. Tiba-tiba lampunya mati. Semuanya jadi gelap, Visha gak bisa ngeliat apa-apa. Terus ..."
Ini bukannya inginnya Avisha, tapi entah kenapa ada dorongan di hatinya untuk memberitahu Arven mengenai masa lalunya. Yang sampai sekarang menjadi 'teman' Avisha setiap hari. Di dunia nyata maupun mimpi.
"Terus?" Arven menunggu. Belum juga itu semua diceritakan. Sound efek dari film terdengar mengagetkan. Avisha sampai berteriak sambil memeluk Arven kencang. Arven entah harus terkejut pada suara atau pada Avisha yang memeluknya sekarang.
"Eh," Avisha baru sadar. Buru-buru menjauhkan tangannya dari lengan Arven. "Hehe, maaf ya kak Arven berasa copot jantung Visha tuh. Makanya jadi meluk kak Arven."
"Cerita lo?"
"Hah?" Avisha bingung sebelum mengerti maksudnya. "Oh itu ... terus ada kejutan. Ta-da." Dia menyengir. Merutuki diri dalam hati, yang bisa-bisanya menceritakan bagian 'penderitaan'-nya pada orang lain. Apalagi orangnya ini Arven, makhluk dingin dan tak pedulian.
Arven mengedikan bahu kemudian. Kembali menatap layar seolah lupa dengan ucapan Avisha. Tentunya Avisha bisa bernapas lega.
"Itu kenapa hantunya mulutnya lebar banget sih?" Avisha mengalihkan topik.
"Kebanyakan ngomong." Arven asal saja. Avisha menaboknya.
"Mana bisa begitu!"
"Bisa aja, orang bawel kayak lo, mungkin pas jadi hantu kayak gitu."
Avisha memelotot. "Kak Arven ih ngomongnya! Jangan buat Visha takut!"
Di remangnya ruangan, sayang, Avisha tidak bisa melihat senyum Arven yang sedikit terangkat. Senang menjailinya.
"Tapi beneran bakal gitu?" Avisha jadi takut beneran. "Ya udah deh mulai sekarang Visha jadi anak kalem aja."
Arven hampir refleks tertawa. Entah cewek itu terlalu polos atau otaknya memang tidak pernah bisa digunakan. Arven menarik poni cewek itu. Hal yang sering dilakukannya akhir-akhir ini tanpa sadar.
Si cewek tentunya memelotot. Memukul-mukul bahunya kesal.
Pukul sepuluh tepat. Rumahnya masih sepi. Sudah tiga film horror mereka putar. Para pembantunya mulai beranjak ke kamar, meninggalkan kesenyapan yang terasa mengerikan.
Mata Arven masih terpancang pada layar. Walau sudut matanya bisa melihat Avisha yang menahan kantuk. Kepalanya sesekali oleng dengan mata yang mulai terasa berat. Hingga kepalanya hampir jatuh ke depan, yang sigap Arven tadahkan dengan tangan.
Cewek itu memejam sepenuhnya sambil menggerakan kepala miring dan membiarkan pipinya tertangkup di telapak tangan Arven.
Arven menatap cewek itu lama. Ada senyum dalam tidur Avisha.
Berpikir mungkin kepala Avisha akan sakit saat bangun nanti jika posisi ini dipertahankan. Arven menarik kepala cewek itu untuk bersandar di bahunya. Sedikit membenarkan posisi kepalanya, agar Avisha merasa nyaman.
•••
Orang-orang bertopeng itu berdiri di sekelilingnya. Tangan Avisha terikat di tiang belakang punggung. Mereka tertawa. Tawanya menggema. Keras dan terdengar mengerikan.
Avisha menggeleng. Menangis tanpa suara. Ditambah kain yang menutup mulutnya, menghalau teriakan yang dia tengah upayakan. Sampai ...
Semuanya lenyap.
Dia terbangun dengan napas tersengal. Keringatnya bercucuran. Dia menarik napas panjang, menetralkan detak jantungnya yang berdetak keras. Lupakan Avisha. Lupakan!
Dia memandang sekeliling dan kesadarannya sepenuhnya kembali.
Ada keganjalan yang terjadi.
Dia di kamar?
Kok bisa?
Benar ini kamarnya, yang dipenuhi warna biru laut dan putih. Tunggu. Seingat Avisha, tadi malam dia ada di ruang keluarga bersama Arven.
Astaga! Jangan-jangan dia ketiduran.
Pintu kamarnya tahu-tahu terbuka. Avisha mendongak melihat Bi Desi masuk ke dalam sambil membawa baju seragamnya.
"Mandi, Non. Nanti kan sekolah."
"Bi," Avisha tidak fokus pada ucapan pembantunya yang sudah lama bekerja di sini. "Yang pindahin Visha ke kamar siapa?"
"Siapa lagi kalo bukan Den Arven." Bi Desi menggantungkan seragamnya di lemari. Tanpa peduli Avisha yang syok kini.
"Kak Arven?"
Bi Desi mengangguk. Kembali menyuruhnya untuk bersiap sebelum keluar kamar.
Tidak ingin berlama-lama memikirkan, dia mengambil tongkatnya yang bersandar di nakas dan langsung terdiam.
Kertas yang tergeletak di sana, menarik perhatian. Dia mengambil dan membacanya.
Kalo lo gak siap cerita sekarang gue gak maksa, gue bakal nunggu saat lo siap -A
Refleks Avisha memekik. Antara kaget, syok, tak percaya dan senang. Begitu saja lupa dengan mimpi yang sempat menenggelamkannya barusan.
Dia tertawa tanpa alasan sambil menendang-nendang udara.
"Kalo gini terus, Visha bakal suka kak Arven beneran." Dia merengkut kesal, walau tak ayal senyumnya melebar.
•••
Untuk pagi ini, Arven tidak bisa menjemput. Lewat pesan yang masuk, Avisha tahu Arven ada urusan osis, hingga harus datang lebih pagi ke sekolah. Kesempatan ini tentunya membuat Avisha menelpon Yania untuk berangkat bersama.
"Pangeran lo mana emang?" Seperti Avisha yang sudah rapi dengan seragam, Yania juga. Ikut bergabung duduk di bangku belakang bersamanya.
"Ada urusan osis." Kemudian Avisha menyuruh sopirnya untuk menancap gas.
"Kok lo gak cerita kalo Coo mati? Gue tau dari Mama gue. Pagi-pagi pembantu lo ngasih tau."
Coo itu kelinci Avisha yang mati kemarin. Dipanggil Coo bukan 'koo'.
"Visha lagi berkabung kemarin, makanya gak cerita."
"Tapi aneh aja lo gak cerita-cerita."
Benar juga.
Avisha biasanya langsung menelpon Yania kalau ada masalah yang terjadi padanya. Tapi, ini di luar perkiraan, dia malah menelpon Arven. Yang terpikirkan olehnya cuma satu. Dia ingin mendengar suara Arven saat dia sangat sedih kemarin.
Pagi ini Avisha sudah merasa hal yang ganjal. Ditambah setibanya di kelas, dia melihat sebagian teman kelasnya yang sudah datang berkerumun di mejanya dan Yania. Lalu serempak semua menolah saat dia dan Yania berjalan masuk.
"Lo semua kenapa sih?"
Jika diperhatikan lebih jelas, tentu tatapan itu jatuh pada Avisha.
"Kalian natap Visha kayak gitu berasa jadi tuan putri masuk istana Visha tuh."
Suasana beku di sana tidak cair oleh candaannya. Avisha jadi penasaran.
"Lo berdua harus liat ini!" Ilona menunjuk meja mereka.
Yania sudah melangkah lebih dulu. Menyuruh mereka menyingkir. Avisha menyusul di belakang.
Detik berikutnya, seperti ada tali yang mengikat kakinya di pijakan. Avisha terbelalak syok.
Mejanya ...
Mejanya kotor oleh tip-ex.
Jauh-jauh dari Arven lo bitch!
Itu tertulis di sana. Kasar dan ditulis dengan huruf besar-besar sekaligus acak-acakkan. Jelas-jelas dituju padanya. Avisha seharusnya marah. Tapi, rasa marahnya sudah lebih dulu kalah oleh rasa penasaran dengan pertanyaan 'siapa dan kenapa?'
Siapa yang melakukan? Dan kenapa orang itu melakukan ini?
"Tenang, Sha, kita bakal bantuin bersihin meja lo." Rafi teman kelasnya menghibur. Yang disambut anggukan teman-temannya yang lain.
"Buat bersihin itu gampang," Yania berbicara setelah menghilangkan kagetnya. "Tapi, sebelum itu gue harus foto dulu terus kirim ke kak Arven."
"Jangan!" Avisha menolak keras ide itu.
"Kenapa jangan, Sha?" Yania tampak emosi sekarang. "Lo dikatain dan kak Arven harus tau. Seenggaknya orang itu harus dapet pelajaran dari kak Arven."
"Visha gak mau buat kak Arven kepikiran. Dia udah sibuk sama urusannya. Visha gak mau nambah bebannya lagi." Itu keputusan yang tepat. Lagipula Avisha sudah sangat beruntung punya teman kelas yang solidaritasnya tinggi.
Setidaknya, itu sudah cukup untuk Avisha tidak ingin memperpanjang masalah.
Arven tolong ya nak, galaknya kurangin. Eh, apa manisnya? Wkwwkwk
Nahloh. Bentar-bentar itu kenapa?
Main tebak-tebakkannya dimulai nih kayaknya hm :)))
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro