A;A25-Yang Menjebak
Seharusnya Up kemarin, tapi bentrok gitu jadwalnya. Jadi sekarang aja deh ya wkwk
Vote-komen pliss sayangkuhh ;))
▪
ANDAI saja bisa, Avisha rasanya ingin membongkar isi kepala Nata. Agar dia tahu apa yang terjadi dengan cowok itu. Setelah tahu tentunya Avisha bisa jadi lebih tenang. Kalau penjelasan itu masih menggantung seperti sekarang, Avisha tidak akan berhenti kepikiran.
Apalagi Ilona dan yania tak membantu sama sekali. Justru seperti sengaja bermain teka-teki.
Menyebalkan!
Rasa dingin di pipi, lantas membuat Avisha mengerjap sadar. Dia mendongak untuk dihadiahi wajah Arven yang tak berekspresi tengah menempelkan bungkus es krim cone di pipinya.
Saking fokusnya memikirkan Nata, Avisha sampai lupa ini sudah jam istirahat kedua.
Arven menjauhkan bungkus es krim dari pipinya. "Mikirin apaan lo?"
"Gak ada, Visha cuma lagi mikirin kenapa di lagu balonku warna hijau yang meletus, padahal kan jelas-jelas gak ada balon hijau."
"Penting banget," sindir Arven. Avisha cuma cemberut sebelum melirik bungkus es krim di tangannya.
"Itu buat Visha es krimnya?" Wajah cemberutnya hilang begitu saja. Arven memberikannya, yang dia terima dengan senang hati.
"Makasih kak Arven," Avisha senyum lebar menatapnya sambil membuka bungkus es krim.
Arven duduk di sebelahnya. Memerhatikan Avisha yang terlihat ceria dibanding sebelumnya. "Lo mikirin apa lagi sampe muka lo jadi dilipet gitu tadi?"
Sesuai yang Arven katakan, jam istirahat kedua dia mengajak Avisha ke kantin. Dan cewek itu justru mengirim pesan jika dia sedang malas. Yang membuat Arven langsung menghampiri ke kelasnya. Ternyata Avisha cuma duduk di bangku luar dengan wajah menunduk sedih.
"Kak Arven kepo!" Baru juga Avisha mau memakan choco chips hiasan es krimnya, Arven sudah lebih dulu mengambilnya. "Kok diambil?" Avisha memelotot.
"Jawab pertanyaan gue dulu, baru gue balikkin."
"Kalo gitu namanya borok sikut, kak Arven kan udah ngasih, jadi gak boleh diambil lagi." Avisha mengomel.
"Siapa yang peduli?" Arven memandangnya datar. "Gue yang beli, jadi ya gue bisa makan sendiri."
Avisha menekuk bibirnya. "Kak Arven tuh jangan buat Visha kesel. Ini Visha lagi sedih juga. Hibur gitu."
"Gue bukan badut yang bisa ngehibur lo!" ketus yang cowok.
"Emang harus jadi badut dulu buat ngehibur!" Avisha makin kesal. "Visha lagi sedih ini, Nata kenapa sih sama Visha. Emang Visha salah apa ..."
"Nata?" Arven sontak memotong. "Wajah jelek lo gini karena Nata?"
"Kenapa kak Arven jadi yang sewot?" Avisha mendelik tak suka. Mengulurkan tangan hendak mengambil es krimnya. Yang Arven langsung sembunyikan di belakang punggung. "Katanya es krimnya buat Visha?!"
"Enggak, mending buat gue sendiri." Arven mendengkus. "Lanjutin aja mikirin cowok si mata sesenti."
Dia sontak memukul paha Arven karena hinaannya. "Kak Arven bibirnya minta digigit ya?!"
Alis Arven terangkat ke atas. Merasa tertarik. "Lo emang berani gigit bibir gue?"
Avisha yang polos. Dia justru mendekat. "Kenapa enggak? Visha berani!" ucapnya yakin.
Sudut bibir Arven sedikit terangkat. Membentuk seringai. Ikut mendekatkan wajah hingga tersisa sedikit ruang antara wajah mereka. "Coba?"
Karena merasa itu sebuah tantangan, Avisha tak berpikir apapun lagi untuk memotong jarak mereka. Seperkian detik Avisha mengerjap kaget saat Arven langsung menghalanginya dengan es krim di tangan. Hingga bibir Avisha dan Arven bertemu pada dingin dan manisnya es krim.
Avisha tak bisa berpikir apapun. Apalagi saat Arven menyelipkan cone es krim itu di sela jemarinya. Yang kemudian bangkit berdiri sambil menunjuk kantong plastik, yang bahkan Avisha tidak ketahui keberadaannya sejak tadi.
"Itu ada roti sama susu cokelat. Kata temen lo, lo gak makan dari istirahat pertama. Jadi itu roti harus dimakan. Paham lo?"
Avisha tak bisa berkata apa-apa. Membiarkan Arven melangkah pergi. Satu hal yang pasti, Avisha membersihkan sisa es krim yang tertinggal di bibirnya dengan jantung yang terus meronta tak bisa diam.
•••
Hari ini mama dan papanya ada acara di luar kota. Di rumah sepi. Yang menyebalkan karena Darlan malah keluar bermain bersama teman sekolahnya. Meninggalkan Avisha seorang diri.
Beruntung, Yania dan Ilona datang. Setidaknya, rumahnya tidak sepi lagi karena suara mereka yang ribut menentukan mau makan mie atau memesan pizza.
Ilona yang mau pizza dan Yania yang mau dibuatkan mie. Perdebatan mereka membuat dapurnya tampak bising. Para pembantunya yang kebetulan lewat cuma bisa menghela napas, sudah biasa.
"Yaelah, Na. Buang-buang duit beli pizza. Mending yang gratis aja." Yania masih mempertahankan pendapatnya.
Ilona mendengkus karena kali ini lagi-lagi dia harus mengalah. Ditambah Avisha yang juga memilih mie saat ditanya. Tentunya Ilona kalah suara.
"Mau mie apaan lo?" Ilona bertanya kesal.
Ditanya begitu, Yania tersenyum penuh kemenangan. "Ayam bawang satu pliss."
"Mau bawang merah apa bawang putih?" Ilona asal. Avisha yang duduk di sebelah Yania di meja bar cuma bisa menahan tawa melihat kekesalan Ilona.
"Bawang merah aja deh, karena gue gak mau jadi bawang putih yang ditindas." Yania ikutan tidak jelas.
"Oke, nanti gue tambahin bawang bombay di atasnya."
Yania memutar mata malas. "Serah lo, Na."
"Lona pake kompor listrik aja."
"Udah tau gue, Sha." Ilona sudah terlalu sering mendengar perintah itu dari Avisha saat dia berperang di depan kompor jika berkunjung di rumahnya. "Lagian lo kenapa sih? Aneh aja gitu takut sama api."
Untuk pertanyaan itu Avisha selalu bisa mengelaknya dengan candaan. "Api kan bisa ngebakar. Kalo Visha kebakar gosong dong kayak sate."
"Wah mendadak gue jadi pengin sate kelinci." Yania sengaja membelokkan obrolan.
Avisha memelotot. Melupakan begitu saja topik berat pembicaraan tadi. "Ih Yaya! Jahat banget kelinci imut gitu dibikin sate!"
"Rasanya enak, Sha. Lo harus cobain." Yania seolah menghayal bisa memakan itu lagi. Avisha menggeleng ngeri. "Eh, Sha. Billy kan udah gede tuh dibuat sate aja," usul Yania menggerakan alis naik-turun.
"NO WAY!" Avisha menolak mentah-mentah. Enak saja hewan peliharaannya dibikin sate. Kalau mau, nanti Yania yang bisa Avisha bikin sate.
"Sha," Ilona memutar tubuh menghadap meja bar setelah memasukkan mie-nya ke dalam air mendidih. "Lo udah ngomong sama Nata?"
Cuma membawa nama Nata ke topik obrolan, Avisha sudah langsung teringat lagi tingkah ganjil cowok itu.
Setelah balik dari kelas Nata, Avisha memang tidak menceritakan apapun pada Yania dan Ilona. Termasuk tentang Nata yang berubah cuek dan seperti sengaja membentangkan jarak. Apalagi yang tak bisa Avisha mengerti saat Nata justru membawa Arven ke dalam permasalahan yang terjadi.
Itu yang sejak tadi jadi pertanyaan. Ada apa dengan Nata, kenapa dia harus kesal jika Avisha sering menghabiskan waktu dengan Arven. Jika dia takut Avisha melupakannya sebagai teman, Avisha tentunya bukan sembarang orang yang mudah lupa pada temannya sendiri.
"Visha gak ngerti," Dia memainkan jarinya di atas meja bar. "Visha udah nanya Nata kenapa. Tapi, dia malah jawab yang ngebuat Visha makin pusing."
"Dia ngomong sesuatu yang mungkin ..." Ilona menggantungkan kalimatnya. Avisha mengerutkan dahi bingung.
"Yang mungkin?" Avisha menunggu.
"Yang mungkin ... lo bakal tau alasan dia kenapa." Yania yang menjawabnya.
Kepala Avisha rasanya ingin pecah. "Kenapa muter-muter sih ngomongnya?! Visha jadi makin bingung."
Ilona menghela napas. "Oke, dia ngomong apa sama lo?"
"Dia cuma ngomong, kalo dia mau gantiin posisi kak Arven buat jagain Visha."
Ilona memutar balik tubuhnya saat melihat mienya sudah matang. Menuangkan milik Yania dan Avisha ke piring, sebelum kembali menatap Avisha serius.
"Dan lo ngerti maksud dia?"
Avisha terdiam beberapa saat dan mengangguk. "Ngerti."
Yania dan Ilona terbelalak, seperti tidak menduga jika Avisha akan paham juga akhirnya.
"Nata gak mau Visha kenapa-napa. Makanya dia mau jagain Visha." Lalu dia melanjutkan yang membuat Yania dan Ilona kompak terdiam. "Sebagai temen emang kayak gitu kan, harus saling ngejaga."
Yania menghela napas lelah dan Ilona tak memperpanjang obrolan itu lagi. Memberikan piring mie mereka.
"Yah, Na. Kok telornya mateng sih?" Yania protes. "Gue kan maunya setengah mateng."
"Lo tau tadi kita lagi ngobrol serius," desis Ilona kesal. "Jadinya gue lupa angkat itu telurnya. Udah sih makan aja."
Yania mendengkus sebal walau ujungnya tetap memakan tanpa protesan. "Oh ya, Sha. Gue gak bisa lama-lama nemenin lo. Kebetulan Mama gue ngajak ke salon sore ini."
"Gue juga, Sha." Ilona telah selesai dengan mie-nya. Ikut bergabung di meja bar. "Gue ada acara entar malem di rumah tante gue. Sori ya."
Kedua temannya tampak tak enak hati meninggalkannya sendiri. Avisha tersenyum seolah tak bisa menahan mereka untuk menemaninya. "Nggak pa-pa, Visha juga gak sendiri kok, ada Pak Aki, Bi Desi sama mbak Tia. Jadi Yaya sama Lona gak usah khawatir."
"Minta temenin sama kak Arven aja, Sha." Di sebelahnya Yania menggoda. Seolah tidak puas seharian ini menggodanya karena kejadian di lapangan.
Avisha menggeleng. "Enggak ah, Visha gak mau ngerepotin kak Arven."
Yania tampak menerawang sambil senyam-senyum sendiri. "Kalo gue jadi lo, gue udah tepar kali, Sha digendong gitu. Apalagi pas banyak orang. OH GOD! Dibayangin aja gue udah merinding kesenangan anjir!"
Ilona mendengkus. "Lebay lo, Ya."
"Dih!" Yania kesal. "Ini bukan lebay, Na. Tapi salah satu cara supaya lo bisa menikmati hidup. Ngehayal kan gak salah. Bener gak, Sha?"
"Ikut vote aja Visha." Avisha malas berdebat. Saat dia menghirup kuah mie di mangkuk, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Dengan mulut penuh, Avisha membuka ponsel dan langsung tersedak kemudian.
"Kenapa lo, Sha?" Yania terkejut.
Ilona langsung menuangkan air putih ke gelas. Menyodorkan pada Avisha, yang langsung diambilnya untuk diteguk banyak-banyak.
"Lo kenapa?"
"Itu ..." Avisha melirik layar ponselnya yang berisi roomchat. Yania dan Ilona yang kebingungan sontak melihat ponsel Avisha, yang untuk dibuat terkejut kemudian.
+62813898**
Ini gue Askar, jangan lupa disave nomor gue
Yania dan Ilona langsung memandang Avisha yang mendadak merasa habis dibawa berlari. Tulang kakinya melemas.
"Gila, Sha!" Yania heboh. "Urusan misi lo sama Arven belom selesai, urusan sama Nata juga, terus ini!" Yania memelotot melihat pesan di sana. "Kak Askar mau ikut-ikutan!"
Ilona juga ikut terdiam di kursi.
"Maruk banget lo sampe dua cowok sekaligus, Sha." Yania takjub.
•••
Bawel: Kak Arven, Visha udah nemu nama yang bagus dong buat kelinci Visha
Bawel: Pohon mangganya udah berbuah kak Arven, mau gak? Eh, jangan deh itu kan punya tetangga wkwk
Bawel: Di sini masa gelap kak Arven, terus Visha baru sadar kalo Visha nutup mata hehe
Bawel: Kak Arven Visha bosen :((
Bawel: Sttt jangan berisik kak Arven, di sini ada yang mau tidur. Selamat night kak Arven."
Bawel: Sampai sekarang Visha heran kak Arven kenapa adudu warnanya hijau?
Arven. G: Emng lo mau wrna apa? Pink?
Itu hanya sebagian chat-nya dengan Avisha. Masih banyak lagi chat tidak jelas dari cewek itu. Arven jarang membalas, cuma membalas satu huruf, satu kalimat, atau yang lebih sering cuma diread saja.
Tapi, chat tidak jelas itu sedikit menghibur jika Arven tengah membuang-buang waktu seperti sekarang. Sambil duduk menyandar di kepala ranjang, dia membaca pesan itu satu persatu.
Bawel: Kak Arven kenapa satu kali satu harus satu. Terus dua kali dua jadi empat. Kalo sungai kali sungai, jadinya lautan dong ya?
Arven. G: Rawa-rawa, ntar gue cemburin lo ke sana
Chat itu sudah lama. Sementara beberapa menit lalu cewek itu juga baru saja memberinya pesan.
Bawel: kak Arven kepala Visha kayak dipukul panci ini, sakit banget ngerjain soal mtk
Bawel: Heran deh si mtk-mtk ini, kenapa harus nyusahin orang sih, emang gak bisa jawab sendiri
Tanpa sadar, Arven mengangkat kedua bibirnya samar.
"Liatin apaan sih lo serius amat?!" Zion berdiri dari duduknya, setelah menghabiskan waktu memainkan game PSP milik Arven. Kalau cuma untuk bermain game, tentunya apartemen Arven adalah pilihan yang tepat untuk Zion.
"Pulang sono, Yon. Ganggu banget lo!" Arven menghela napas kesal saat cowok itu naik ke ranjangnya dan berguling-guling seperti cacing kepanasan.
"Cih! Gitu ya lo sama gue, ngambek nih?!"
Arven memutar mata malas. Enggan meladeni.
"Hibur gue kek, Ven. Lo tau gue lagi berantem sama Linzy."
"Ya terus gue peduli?" Wajah datar Arven memang minta ditabok.
Zion makin kesal dengan menendang-nendang ranjangnya. "Cewek kenapa susah banget dingertiinnya sih, tinggal bilang salah gue apa, tapi malah dibikin ribet. Milih diam-diaman."
Arven berdecak. "Bucin!"
"Lo ngomong apa?" Zion menoleh garang.
Meladeni Zion memang butuh kesabaran ekstra. "Coba lo inget-inget kesalahan apa yang lo lakuin sampe cewek lo ngambek?"
Zion tampak berpikir. "Apa ya?" gumamnya. "Mungkin salah gue tuh karena gue terlalu ganteng."
Kalima pede itu Arven hadiahi dengan lemparan bantal.
"Bentar-bentar," Zion menggali lagi ingatan dua hari lalu. "Kemaren pas jalan sama Linzy gue tuh ketemu mantan smp gue di mall. Dia negor gue, ya gue bales dong. Kita ngobrol sebentar, terus tau-tau Linzy minta pulang ..."
Arven menaikkan alis saat kiranya melihat Zion langsung membungkam mulutnya. Seperti baru sadar. Dia mengumpat kasar sebelum tergelak gila.
"Jadi tuh cewek gue cemburu?" Dia menyimpulkan sambil tertawa ngakak. "Anjir! Anjir! Imut banget sih cemburunya, kan gue jadi makin sayang."
Arven mendengkus malas. Tak acuh. Dan kembali menatap layar ponsel. Detik berikutnya, ponselnya bergetar, melihat 'Bawel is calling', dahinya berkerut. Awalnya dia mau me-reject, tapi justru tangannya bergerak lain dengan mengeser layar untuk menerima.
"Siapa?" Dibanding peduli dengan pertanyaan Zion, Arven justru mengernyit mendengar tangisan cewek itu di seberang. Sesekali terdengar sesegukkan.
Refleks Arven berdiri. Zion terkejut bukan main. "Lo kenapa, Sha?"
"Kak Arven ..." Cewek itu makin sesegukkan. "Visha ... Visha—"
"Gue ke rumah lo sekarang!" Arven langsung memotong dan mematikan panggilan sepihak. Dia bergerak mengambil hoodie-nya buru-buru.
Zion yang menyaksikan cuma bisa berbaring miring sambil menopang kepala. Heran.
Sebelum pergi, Arven berpesan. "Gue pergi sebentar. Jangan berantakkin kamar gue, kalo lo gak mau gue jadiin samsak."
Setelah masuk lift dan berhasil keluar, Arven bergegas ke basement. Duduk di belakang setir dan mulai melajukan mobilnya menuju rumah Avisha.
Kecepatan penuh yang Arven gunakan membuat mobilnya cepat sampai di tujuan. Gerbang beruntungnya terbuka, yang langsung Arven lewati setelah menunjukkan wajahnya pada satpam rumah Avisha.
"Avisha dimana?"
Pembantu yang Arven ketahui bernama Bi Desi itu kebetulan lewat lalu menjawab jika Avisha ada di taman belakang. Di kandang kelincinya.
Arven sedikit heran. Kandang kelinci. Tentunya dia tahu Avisha memelihara binatang itu. Tapi, kata 'kandang kelinci' seolah-olah menggambarkan Avisha berada di dalamnya. Memang muat?
Malas berpikir lama, Arven cepat-cepat ke taman belakang. Matanya menyipit saat melihat rumah kaca yang sering digunakan untuk menyimpan pot-pot tanaman hias.
Yang berbeda, karena atapnya yang sebagian dari kaca lalu sebagiannya lagi dari bambu. Tampak artistik. Sementara sekeliling dinding dari kaca yang membuat Arven bisa melihat Avisha yang terduduk di dalam walau agak samar.
Dia membuka pintunya dan langsung disambut rerumputan yang membentang bersama beberapa ekor kelinci yang berlarian ke sana ke mari. Ada botol minum khusus hewan yang ditempelkan di kaca, lalu beberapa sayuran.
"Sha," Arven berjongkok, memutar tubuh cewek itu untuk menghadapnya lalu terkejut karena mata Avisha yang sembab. "Lo kenapa nangis?"
"Lo jatoh?"
Avisha menggeleng.
"Kaki lo sakit?"
Menggeleng lagi. Arven jadi kesal. "Ya terus kenapa?"
"Ini ..." Tangan Avisha mengangkat seekor kelinci putih kecil. "Kelinci Visha ..." Dia sesegukkan. "Dia ... dia mati."
Arven speechlees. Tidak menyangka jika kertegesaannya ini hanya untuk mendengar hal ini?
"Jadi lo nangis karena kelinci lo mati?" Rasanya dia ingin menendang sesuatu hingga benda itu melayang ke benua lain.
Yang cewek mengangguk sambil mengusap matanya yang basah.
"Sha," panggilnya pelan walau lidahnya gatal ingin berkata kasar. "Lo tau gak, gue hampir nabrak orang karena saking buru-burunya ke sini tadi. Gue pikir lo kenapa-napa!"
"Kak Arven ngekhawatirin Visha?"
"Kalo lo kenapa-napa bukannya gue yang bakal jadi sasaran bokap lo?!" Arven kembali menjadi singa.
Avisha cemberut sambil mengusap kelinci kecilnya yang mati. "Kak Arven gak bisa salahin Visha dong, kan Visha belom selesai ngomong. Eh udah dimatiin duluan."
Arven mengatur emosinya dengan menarik napas panjang. Lalu dia bangkit berdiri, yang Avisha tahan dengan memegang ujung celana jeans-nya.
"Kak Arven mau kemana?"
"Pulanglah!"
"Ih ini terus kelinci Visha gimana?"
"Kubur terus doain pake surat al-fatihah." Arven asal saja.
Ujung jeansnya kembali dipegang. "Kak Arven ih! Bantu Visha dong. Ini kelinci Visha lagi pada sakit juga, si putih udah mati terus gimana kalo yang lain ikutan." Dia kembali menangis dan sesegukkan.
"Visha gak mau! Visha sayang kelinci-kelinci Visha. Kak Arven bantuin dong, di rumah gak ada Mama sama Papa. Bang Darlan juga gak ada, terus yang bantu Visha siapa."
Wajah sedih Avisha sedikit menganggunya. "Berhenti nangis, makin jelek lo!"
Tak ayal, meski kesal Avisha berhenti menangis dan membersihkan sisa air mata di pipi.
"Suruh tukang kebun lo kubur itu kelinci yang mati. Bilang bungkus pake kain."
Avisha mengangguk mengerti. Meletakan kembali si putih di rumput. Dia mengambil tongkatnya dan berdiri dengan mudah. "Terus kelinci-kelinci yang lagi sakit gimana?"
"Biasanya kalo lagi sakit lo apain?"
"Bawa ke dokter hewan."
"Emang ada berapa yang sakit?"
"Dua."
Arven bergumam. "Masukkin ke kandang kecil biar gampang dibawa."
Yang selanjutnya, di luar perkiraan Arven saat cewek berponi itu memeluknya dan melepaskan tongkatnya begitu saja.
Arven syok.
"Kak Arven baik deh," gumam Avisha tenggelam di dadanya. "Makasih ya?" Dia mendongak dan kali ini bisa mengukir senyum. Menunjukkan dua gigi depannya yang menonjol.
Gumaman saja yang Arven berikan. Buru-buru melepaskan lilitan tangan Avisha dari tubuhnya sekaligus memeganginya agar cewek itu tetap berdiri seimbang. Dia membungkuk mengambil tongkat dan dikembalikan pada Avisha yang masih saja tersenyum.
Seharusnya Arven sekarang tahu berada di dekat Avisha juga bisa berbahaya.
•••
Askar aduh nambah-nambah pusing Avisha aja :(
Apanya yang bahaya, Ven? Wkwkwk
Dipilih-pilih, Sha?😆😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro