A;A24-Keanehan bermakna
Besok senin :( biar gak galau mikirin besok, up dulu gais
Vote jangan lupa dipencet muehehhe
▪
JAM pelajaran kelas Avisha sekarang adalah olahraga. Di lapangan outdoor teman-temannya tengah bergiliran mencetak poin tertinggi agar mendapatkan nilai sempurna dari materi pelajaran basket. Berbeda dengan mereka yang berlomba-lomba, Avisha malahan cuma bisa duduk di bangku pinggir lapangan.
Menyaksikan teman-teman cowoknya sengaja meledek para cewek jika gagal memasukkan bola ke dalam ring. Bahkan, sering menggoda dengan kalimat-kalimat yang memancing gelak tawa.
Avisha ingin bergabung di tengah lapangan. Ikut bercanda dan melempar guyonan. Tapi apa daya, kakinya menjadi penghalang Avisha melakukan apapun di sekolah dengan mudah.
Guru olahraganya memaklumi Avisha yang tak bisa mengikuti pengambilan nilai. Sebagai gantinya dia menyuruh Avisha mengerjakan materi bukan praktek. Tentunya nilai itu akan berbeda hasilnya. Dan tugas itu sudah Avisha selesaikan beberapa menit lalu.
Olahraga bukan pelajaran yang Avisha suka. Namun, kebebasan saat bisa bermain-main bersama teman tentunya bisa dijadikan pengaruh hebat untuk Avisha suka pelajaran itu. Apalagi, ada hasrat untuknya mencoba memasukkan bola ke dalam ring, untung-untung dia bisa mencetak poin sekaligus mendapatkan nilai.
Ketika kepalanya tertunduk lesu, sepasang sepatu berhenti di depannya, Avisha sontak mendongak dan menemukan Arven yang membawa beberapa dokumen osis di tangan. Ada Veron bersamanya.
Tanpa kata dia menyerahkan berkasnya pada Veron dan menyuruh cowok itu pergi.
Alis tebal Arven terangkat melihat wajah lesunya. "Kenapa lo sendirian di sini?"
"Visha gak sendirian, ada temen-temen Visha di lapangan," Dia menunjuk lewat matanya. Arven ikut menoleh ke arah lapangan yang ramai. "Itu, pada lagi ngambil nilai basket."
Arven kembali menatapnya. "Lo gak ikut ngambil nilai?"
Ditanya itu, tanpa sadar membuat Avisha memandang kakinya yang tergips. Lama. "Kalo bisa, Visha juga mau ngambil nilai, gak enak ngerjain materi, pusing. Enakkan langsung praktek." Sebenarnya Avisha ingin ceria seperti biasa, apalagi ini di depan Arven, tapi entah kenapa berat untuk hari ini. "Tapi, kan kak Arven tau, Visha pake tongkat sekarang."
Dibanding melihat Arven, Avisha lebih suka memandang lantai yang dia pijaki. Menyembunyikan raut sedihnya.
Kemudian dia sedikit terkejut saat Arven tahu-tahu berjongkok dan memiringkan kepala untuk melihat wajahnya yang menunduk. Sekejap dia mengangkat kepala cepat.
Mata mereka bertemu.
"Emang kenapa kalo lo pake tongkat?"
Avisha jadi bingung karena Arven malah balik bertanya. Tidak perlu dijelaskan bukan? Jika Avisha tidak memakai tongkat, kakinya tidak bisa berdiri seimbang lalu dia jadi tidak bisa melempar bola ke dalam ring—karena melempar bola basket tentunya memakai dua tangan. Sementara sebelah tangan Avisha untuk mengapit tongkat.
"Kalo mau, lo tetep bisa ngambil nilai."
Avisha makin bingung. "Caranya?"
Bukan jawaban yang Avisha dapatkan melainkan Arven yang berdiri dan berjalan ke tengah lapangan. Yang langsung mendapatkan seluruh perhatian teman-temannya. Lelaki itu melangkah mendekati guru olahraganya dan tampak membisiki sesuatu.
Setelah mengambil tongkat di sebelahnya, Avisha berdiri dan cepat-cepat melangkah ke tengah lapangan. Yania dan Ilona kompak memandangnya. Seolah meminta penjelasan. Avisha cuma bisa mengedikan bahu.
Seperti yang lain, Avisha juga bingung.
Selesai berbicara pada guru, Arven berjalan ke arahnya, yang membuat teman-temannya memburunya dengan tatapan.
Dan makin heboh ketika Arven mendadak bersimpuh di depannya.
"ANJIR! ANJIR!"
"WOY ITU MAU NGAPAIN?!"
"Wah ada adegan live tembak-tembakkan kayaknya nih!"
"Lo pikir virtual game!"
Avisha yang paling syok di sini. "Kak Arven ngapain? Bangun! Kotor tau!"
"Sekarang lepas tongkat lo dan taruh dua tangan lo di pundak gue!" Sorot Arven yang serius lantas membuat Avisha terdiam.
"Sebenernya kak Arven mau ngapain?"
"Lo tau gue benci ditanya-tanya. Lakuin aja perintah gue, tanpa pertanyaan."
Avisha butuh jawaban atas tindakan Arven sekarang. Walau tak ayal tetap dia turuti perintah itu.
Diikuti tatapan dari sekeliling, dia menjatuhkan tongkatnya dan langsung berpegangan pada kedua bahu Arven karena hilang keseimbangan.
Di detik berikutnya, Avisha tak bisa mencerna apa-apa saat Arven melingkarkan tangan di kakinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
Semua syok.
Termasuk Avisha yang merasa jantungnya hampir loncat keluar dan spontan melingkarkan tangannya di kepala Arven dan menenggelamkan kepala dia puncak rambut lelaki itu.
"AHHH! Kak Arven! Kak Arven! Turunin Visha!" teriaknya ketakutan. "Visha nanti jatoh! Kak Arven jangan bercanda ah! Turunin Visha sekarang!"
"Diam atau lo mau jatoh sekarang?"
Avisha terdiam sepenuhnya. Memundurkan wajah untuk memandang Arven yang mendongak kali ini. "Lo percaya sama gue, Sha?"
Bagai bius, Avisha kehilangan kosa kata. Tatapan serius itu seolah membekukkan. Selain detak jantungnya yang bergerak kencang, tak ada hal lain yang Avisha rasakan.
Namun, tanpa bisa dielak, dia mengangguk sebagai jawaban.
"Visha percaya kak Arven," ucapnya jujur.
"Kalo lo percaya gue, lo pasti tau gue gak mungkin jatohin lo." Avisha seperti tenggelam di tatapan dingin itu. "Lo percaya?"
Sekali lagi Avisha mengangguk. Arven menoleh ke sampingnya, mau tak mau Avisha mengikuti. Melihat Yania ternganga sambil mengulurkan bola basket di tangannya.
"Sekarang, lo lempar bolanya ke ring dan temen lo yang bakal ngambilin bolanya."
"Visha jadi bakal dapet nilai?"
Arven bergumam. Mengiyakan.
"Ini serius?"
Arven makin mengeratkan tangannya di sekeliling kaki Avisha. "Lo tau gue orang yang selalu serius."
Atas tindakan yang tidak pernah terduga, Arven tahu caranya mengembalikan senyum Avisha yang sempat pudar beberapa saat lalu.
•••
Walau peluh tampak menghias di wajah Avisha sebab matahari yang terasa memanggang, senyum cewek itu tetap terukir lebar. Setelah mencetak poin terakhir dan cewek itu berhasil mendapatkan nilai dari praktek langsung. Dia bertepuk tangan heboh di atas puncak kepala Arven.
"Bisa senyum lo sekarang?" Suara Arven meledek.
Avisha menunduk, memandang wajah Arven yang juga terhias peluh. Berjarak dekat dengan wajahnya. "Itu juga karena kak Arven," Dia menyengir, menunjukkan dua gigi kelincinya. "Makasih ya?"
Arven bergumam malas. Tetes keringat yang jatuh mengalir dari dahi ke pelipis mata membuat Arven mengerjap perih. Secara refleks, Avisha mengambil sapu tangan di saku seragamnya dan langsung mengusap keringat di sana.
Arven membeku. Sepenuhnya memandang Avisha yang santai mengelap keringat di wajahnya.
Di sekitar menjadi semakin hening. Seolah lupa keadaan di lapangan, keduanya tak peduli pada orang-orang yang kini ternganga melihat kedekatan di antara mereka.
"Maaf ya, kak Arven jadi kepanasan." Avisha lalu mengerutkan dahi. "Tapi Visha bingung, kenapa kak Arven ngelakuin ini? Visha kan sadar diri aja gak bisa dapet nilai praktek."
"Gue udah bilang, gue gak suka ditanya-tanya!"
Avisha kesal. Sifat Arven kenapa selalu berubah-ubah. Tadi bisa bersikap manis lalu kini sudah menjelma kembali ke sifat asalnya yang ketus.
"Kalo Visha mau tau, Visha harus nanya dong. Dan kak Arven wajib jawab."
"Gimana kalo gue tuker jawaban gue dengan jatohin lo dulu?" Arven menaikkan alis tenang.
Cewek itu memelotot dan sontak memeluk kepalanya. Menggeleng kencang. "Gak mau!"
Kedekatan ini tak pelak membuat Arven bisa menghirup aroma vanilla yang ada pada Avisha. Yang tidak Arven sadari, mengundang keinginan asing untuk menghirup lebih banyak.
"Kak Arven mau sampai kapan kita kayak gini?"
Alis Arven terangkat bingung.
"Ih masa kak Arven gak ngerti. Ini kapan kak Arven turunin Visha?" Lalu dia berbisik. "Malu diliatin!"
"Lo punya malu?" Nada angkuh di sana yang membuat Avisha memelotot. Gregetan ingin memukul muka sok-nya itu. "Gimana kalo gue gak mau turunin lo?"
"Kenapa gak mau?" Avisha bingung. Sebelum wajahnya berubah penuh ledekkan. "Oh Visha tau ... kak Arven suka gendong Visha kan? Iya kan?" Dia tersenyum lebar penuh kemenangan.
Sayangnya, Arven tidak suka dikalahkan. "Iya gue suka gendong lo."
Senyum Avisha sekejap hilang dan sontak ternganga.
"Kalo gue gendong lo, bukannya gue bisa jatohin lo kapan pun," lanjutnya. Avisha makin ternganga. Butuh usaha keras bagi Arven untuk tidak mengangkat ujung bibir melihat ekspresi Avisha sekarang.
Saat Arven menurunkan Avisha, kedua temannya langsung menghampiri. Cewek yang Arven kenal bernama Yania itu menyerahkan tongkat. Yang Avisha terima dengan wajah linglung.
"Gue balik."
"Kak Arven!"
Belum sempat Arven berbalik, Avisha sudah memanggilnya. Dia menunggu, menatapnya bertanya.
"Kak Arven gak mau kenalan sama temen-temen Visha?"
Arven memandang sekeliling dengan enggan. "Gak perlu," jawabnya datar. "Gue cukup kenal lo aja."
Seharusnya sekarang Arven melangkahkan kaki balik ke kelas, tak memedulikan raut wajah teman Avisha yang tercengang atas sikapnya, tapi niatnya terkurung karena Avisha memanggilnya lagi.
"Apa lagi?"
Avisha tersenyum. "Istirahat pertama, Visha mau makan bareng Yaya sama Lona."
Oh, Arven sekarang tahu teman Avisha satunya lagi, cewek tinggi itu menatap Arven dan tersenyum ramah. Sayangnya, Arven malas peduli.
"Bagus, seenggaknya gue punya waktu bebas dari lo," ketusnya sengaja.
Avisha tetap tersenyum. "Visha juga mau makan bareng Nata."
"Apa?" Iris Arven hampir loncat keluar.
"Visha mau makan bareng Lona, Yaya, sama Nata. Kita berempat," jelasnya lebih rinci.
Arven terdiam lama. Mengangguk saja.
Sebelum dia berbalik dan meninggalkan Avisha bersama kedua temannya, ada yang dia katakan, "Jam istirahat kedua lo gue jemput," ada jeda di sana. "Ke kantin."
•••
Avisha mengunci lokernya saat Yania tiba-tiba mengulurkan ponselnya.
"Nata gak mau ikut kita ke kantin, Sha?"
Di roomchat Yania dan Nata, ada pesan yang tertulis di bagian bawah. Penolakan Nata yang lagi-lagi terjadi.
"Kenapa?" Avisha bingung. Untuk seminggu ini, ada yang aneh dengan Nata. Tiap kali diajak berkumpul di rumah Avisha, Ilona atau Yania, selalu saja ada alasan yang cowok itu berikan untuk tidak hadir. Bahkan, terkadang seperti sekarang, saat mengajaknya ke kantin untuk makan bersama, dia menolak dan katanya sibuk bermain game.
Ilona memasukkan seragam olahraganya yang terlipat rapi ke dalam loker, sedikit memberi komentar tanpa menoleh. "Masa lo gak ngerti sih, Sha?"
"Visha emang gak ngerti." Sikap Nata yang seperti menghindari tentunya tak bisa Avisha artikan.
"Gue juga gak ngerti," Yania menoleh santai usai menutup loker sekaligus menguncinya. "Alasan dia ngehindar kayak gini tuh apa, marah sama kita? Kesel sama gue?" Dia mendengkus. "Gak gentle banget dong ngambeknya diam-diaman kayak anak TK."
Ilona menghela napas. Menoleh kali ini. "Jadi temen tuh harus peka, Ya. Seharusnya lo tau alasan Nata ngehindar tuh apa. Dia lagi ngehindarin siapa."
Yania dan Ilona seolah bertukar kode lewat tatapan. Jika kemudian, Yania memutar mata malas, Ilona cuma bisa diam. Avisha jadi dibuat makin pusing seolah dibawa berputar.
"Sebenarnya Nata tuh kenapa?"
Ilona menatapnya. "Kalo lo mau tau, cari tau sendiri aja, Sha. Ke kelasnya sana."
"Tapi, Nata udah bilang lagi sibuk main game, kan kalian tau, Nata gak suka diganggu kalo lagi gitu."
Yania menyandarkan kepala di lokernya. Memandang Avisha serius. "Lo orang terakhir yang bakal Nata omelin kalo dia lagi sibuk main game. Dia gak bakal marah kalo lo yang ganggu, kecuali gue," lanjutnya kesal.
Setelah mempertimbangkan usulan Ilona, Avisha mengangguk. Mungkin ada benarnya jika dia mencari tahu. Dengan tongkatnya di bergegas ke kelas Nata yang berjarak dua kelas dari kelasnya.
Ketika Avisha melongokkan kepala dari pintu yang terbuka, memandang situasi kelas Nata yang sepi dan keberadaan cowok itu yang duduk di kursi belakang sibuk dengan ponsel, dia langsung melangkah masuk ke dalam.
Ketukan tongkat sekaligus suara Avisha yang membalas sapaan teman kelas Nata, membuat si cowok sipit itu mendongak. Saat mata mereka bertemu, senyum Avisha terukir, mengangkat sebelah tangannya yang bebas.
"Nata de coco."
Nata menatapnya lama sebelum kembali sibuk dengan kegiatannya.
"Ngapain ke sini, Sha?" Tanpa menoleh, Nata seolah tahu Avisha sudah duduk di kursi sebelahnya. "Gue kan udah bilang, gue lagi males ke kantin."
"Nata emang gak laper?" Avisha memiringkan tubuhnya. Menatap Nata yang tengah menyandar pada tembok belakang punggung dan lebih fokus pada game yang dia mainkan.
"Gue udah nitip makanan sama temen gue," jawabnya cuek.
"Nata marah ya?" tanyanya karena sungguh melihat Nata yang cuek, itu jadi terasa asing. "Nata marah sama Visha?"
Nata menurunkan ponselnya dari wajah. Membiarkan tatapannya jatuh pada raut Avisha yang kebingungan. Meminta penjelasan atas segala sikap anehnya seminggu ini.
"Kenapa gue harus marah sama lo?" Dia balik bertanya.
"Kalo Nata gak marah, kenapa Nata ngehindarin Visha, Lona, sama Yaya?"
"Gue males ketemu Yaya, entar berantem lagi. Lo yang jadi makin pusing kan?" Nata bercanda dengan raut datar.
"Nata bohong!" Pertemanan tiga tahun ini membuat Avisha mengetahui beberapa sikap Nata. Salah satunya saat cowok itu berbohong, dia menghindari kontak mata. "Nata lagi ngehindarin Visha kan? Kenapa? Nata marah karena Visha gak jadi buatin cupcake?"
Nata terdiam, seolah ada yang tengah dia pikirkan.
"Bukannya justru lo yang ngejauh dari gue, Sha?" Suara cowok itu lirih.
"Ngejauh?" Avisha jadi makin tak mengerti. "Visha gak ngejauhin Nata."
Beruntung kelasnya sepi, jadi tidak ada seorang temannya yang bisa meledek Nata karena raut wajahnya sekarang.
"Lo yang sibuk sama ketos dingin itu, bukannya udah bisa dibilang menjauh?" Nata menyorotnya serius. Lo selalu ngabisin waktu lo sama dia, ini baru seminggu, Sha. Tapi, seolah lo lupa sama temen-temen lo. Lo lupa sama gue ..." Diakhir penjelasan, suara Nata memelan.
"Tapi, Visha bareng sama kak Arven cuma di istirahat pertama. Sedangkan di istirahat kedua, Visha makan bareng Yaya dan Lona. Nata juga diajak, tapi Nata yang selalu nolak."
Nata menyimpan ponselnya di kolong meja. Menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang tampak menyedihkan.
"Kenapa lo gak nyuruh dia berhenti aja sih, Sha?" Avisha ingin bertanya apa maksudnya, tapi Nata sudah lebih dulu melanjutkan. "Suruh dia berhenti, biar gue yang gantiin posisinya." Dia mendongak. "Gue yang bakal jagain lo, bakal selalu nemenin lo dimana pun, kapan pun saat lo minta. Gak perlu ada dia."
"Nata minta Visha buat nyuruh kak Arven berhenti jagain Visha?"
Cowok sipit itu mengangguk bersama tatapan yang sulit Avisha mengerti maknanya.
"Tapi ... Visha seneng dijagain kak Arven."
Senyum Avisha selalu berdampak besar bagi banyak orang untuk bahagia. Sayang, senyum kali ini justru membuat tangan Nata mengepal kuat.
"Lo suka sama dia?"
Butuh beberapa detik Avisha mengolah pertanyaan itu di pikiran. Yang ujungnya dia mengedikan bahu. "Gak tau." Dia memang tidak tahu, yang dia tahu hanya satu. "Yang Visha tau, Visha seneng di samping kak Arven."
Tahukah Avisha cukup satu kalimat itu Nata merasa kalah sebelum berperang.
"Gue mau nyusul temen gue, Sha. Sori," ucapnya sambil bangkit berdiri, melewati celah meja dan kursi yang Avisha duduki untuk melangkah keluar pintu.
Saat ini Avisha cuma bisa memandang punggung Nata yang menjauh. Merasa bersalah tanpa alasan yang pasti.
•••
Arven kamu kenapa nak? wkwkw
Lah Nata juga kenapa ini?
Dan Avisha kebingungan jadinya dong
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro