A;A23-Debaran tak biasa
Ayo kita kumpulin votenya hmm ;)))
▪
UNTUK merayakan kemenangan Regha yang masuk babak final, hari ini usai pertandingan, cowok itu mentraktir makanan di kafe miliknya. Orang-orang yang ikut tidak jauh-jauh dari dua sahabatnya, pacar, sepupu, lalu seorang cewek mungil yang sekarang ini sering berada di dekat Arven.
"Ini seriusan kak Regha mau traktir?"
"Kalo emang lo mau bayar gak pa-pa sih, jadi gak rugi gue." Regha bercanda. Avisha tertawa. Pun Retta dan Linzy. "Seriuslah makanya tadi gue nyuruh lo mesen makanan yang banyak."
"Wah!" Avisha menangkup kedua pipinya. Membayangkan ekspresi Yania jika mendengar ini, dia jadi kesenangan sendiri. "Makasih lho kak Regha, Visha jadi enak, hehe."
"Bisa senyum ya lo sekarang," Zion berkomentar. "Tadi kayaknya pas nonton pertandingan, muka lo pucet banget."
"Itu karena Visha gak bisa liat adegan tonjok-tonjokkan." Avisha menanggapi. Lalu mengangkat jempol. "Kak Regha keren tadi, emang pas ditonjok kak Regha gak sakit?"
"Ya menurut lo aja setelah ngeliat muka babak belur gue." Benar juga. Tak perlu ditanya. Pasti itu sakit. Avisha memerhatikan ngeri beberapa lebam yang tertinggal di wajah Regha.
"Lo kalo takut gimana nontonnya tadi?"
Ditanya begitu, Avisha jadi tersenyum lebar, memandang Arven di depannya yang sejak tadi diam menunggu pesanan mereka diantarkan. "Itu karena kak Arven. Kak Arven yang dari tadi jadi tameng Visha biar gak liat."
Dia terkekeh, menggali ulang ingatan beberapa jam lalu saat Avisha menyembunyikan kepala di belakang punggung Arven, cowok itu seolah peka dengan sengaja menggeser tubuhnya makin rapat.
"Itu juga karena gue gak mau baju gue sobek lo tarik-tarik." Arven merespon dingin.
Zion tersenyum meledek. "Ah masa, tapi tadi gue liat lo betah-betah aja nempel sama Visha. Kayak perangko." Tentunya Zion langsung mendapat delikan dari orang sampingnya, yang membuatnya jadi tertawa, berhasil menggoda Arven.
Pesanan mereka diantarkan tak lama kemudian. Baru minuman yang dibawakan, diletakan di atas meja.
"Siapa yang mesen jus stoberi?" Arven menaikkan alis melihat jus bewarna merah tak kentara.
"Emang gak ada yang mesen?" Regha menoleh.
"Gak ada," itu seingat Arven. "Seharusnya jus mangga buat Avisha."
"Inget banget, bang!" Zion menyindir. "Punya ingatan super lo?"
Regha memandang minuman yang sudah diserahkan masing-masing ke pemilik. Retta dan Linzy; Vanilla latte. Regha; jus apel, pun Zion. Jus jeruk untuk Arven dan tersisa jus stroberi. "Tapi gak ada jus mangga."
"Berarti pelayan lo salah nulis, Gha." Arven mendengkus.
Regha memanggil pelayan yang tadi sempat menuliskan pesanan mereka. "Gue liat catetan buat meja ini?" Mungkin sebagai anak pemilik kafe, Regha mengulurkan tangan santai. Yang dibalas si pelayan dengan memberikan apa yang lelaki itu minta.
Regha membaca keseluruhan, kemudian mendengkus. "Lo salah. Gak ada yang nyebutin jus stoberi tadi."
Pelayan itu terganggap. "Masa sih, kayaknya tadi saya denger ..."
"Telinga lo kayaknya butuh cutton bud," Jika tengah kesal, mulut Regha memang suka tak bisa dikondisikan. Dia mengambil gelas bewarna merah pucat itu dan diserahkan ke si pelayan. "Ganti!"
"Tapi, tadi ..."
"Lo ngebantah?" Regha menaikkan alis. Retta di depannya sudah menegur.
Avisha merasa tidak tega melihatnya. "Gak pa-pa kak Regha, bisa Visha minum kok. Jangan diomelin pelayannya."
"Lo alergi."
Avisha menatap Arven. Membenarkan ucapan itu. "Tapi, kalo diganti sayang, buang-buang jadinya. Terus pelayannya kasian kalo diomelin."
Arven menatap Avisha lama sebelum menghela napas. "Gak usah, Gha. Gue yang minum jus itu."
Serempak semua menoleh padanya. Termasuk Avisha yang menatapnya bingung. "Lo minum jus gue." Dia mendorong jus jeruk miliknya ke cewek itu.
"Serius, Ven?" Regha memastikan. Aneh rasanya melihat Arven menyerahkan jus jeruk miliknya begitu mudah.
Arven menganggukkan kepala dan Regha akhirnya cuma bisa mengusir pelayan itu pergi.
"Jus kak Arven buat Visha?" Avisha tak percaya. Arven membalas cuma dengan gumaman. "Emang gak pa-pa?"
"Banyak nanya lo, udah sih minum aja!" ketusnya.
Zion yang menyaksikan senyum penuh arti. "Babang Arven manis terus nih dari tadi pagi, meleleh dedek bang!" ledeknya, yang dihadiahi Arven dengan tendangan di kursinya. Zion tergelak.
"Jangan mulai ya, Yon!" Linzy di depannya tampak lelah. Melihat wajah Zion tentu dia mengerti maksudnya.
"Baper gak lo, Sha?"
"Mm?" Avisha mendongak bingung.
"Lo digituin Arven baper gak?"
Avisha memandang Arven yang tampak masa bodoh lalu pada Zion yang melemparkan pertanyaan. "Kalo ngomong bisa typo juga ya kak? Visha laper bukan baper."
Zion nyaris mengumpat. "Emak lo ngidam apaan sih?"
"Ngidam cacing alaska di film spongebob." Asal saja Avisha menjawab.
"Oh gue pikir emak lo kecanduan permen yupi." Zion ikutan absurd.
"Visha juga mikir kalo mamanya kak Zion pas hamil kecanduan ale-ale."
"Gak sih, emak gue kecanduan okky jelly drink." Dia menjulurkan lidah meledek.
Yang lain cuma bisa memandang perdebatan mereka dengan wajah bingung.
"Gini nih kalo lobang kunci dikasih nyawa." Linzy lebih keliatan frustasi.
"Sha, lo pas pengambilan tinggi badan dateng telat ya?" Ketidakjelasan ini masih Zion lanjut.
"Mm gak, Visha justru dateng awal, cuma karena Visha anak baik, makanya Visha nyuruh orang-orang duluan, Visha terakhir." Pede cewek itu.
"Gue suka gaya lo. Kita friends?" Zion menyodorkan tangan hendak berhigfive, yang sekali dapat tolakkan.
"Gak mau," Avisha menggeleng. "Kak Zion mandi dulu sana."
"Hah?" Zion terbelalak. "Gue udah mandi kali."
"Masa, tapi rambutnya acak-acakkan gitu kayak orang habis bangun tidur."
Untuk kali ini, Zion benar-benar mengumpat. Sementara yang lain pecah oleh tawa.
"Kalah bacot sekarang lo, Yon." Regha tergelak keras.
"Ini penistaan buat cowok lo, Zi. Malah ketawa."
"Ye bodo, yang penting gue seneng." Linzy tak peduli pada nada Zion yang merajuk.
Arven tidak tertawa dan cuma menyaksikan bagaimana Avisha yang tersenyum lebar penuh kemenangan.
•••
"Kak Arven temennya baik-baik ya?" Avisha merasa senang. Tak menyangka jika kakak kelasnya sangat ramah. Terutama Retta, dia sangat baik dan penuh perhatian. Bicaranya lembut membuat Avisha jadi menginginkan kakak perempuan. Tentunya di antara kakak kelasnya Zion yang paling menyebalkan.
Ada saja ucapan cowok itu yang terkadang tidak jelas. Untung Avisha punya jawaban atas keabsurdan kakak kelasnya itu. Bagaimana tidak punya jawaban, mereka punya kesamaan; sama-sama aneh bin receh.
Arven tengah melajukan mobil dan menoleh. Menatap wajah Avisha yang berbinar bahagia. "Lo seneng?"
Avisha mengangguk, membalas tatapan Arven. "Visha seneng," secara refleks memeluk lengan Arven. Dia tersentak dan hampir mengerem mendadak. "Makasih ya kak Arven udah mau ajak Visha nonton pertandingan tadi," Avisha tersenyum lebar membuat Arven tidak fokus pada jalan. "Visha seneng banget."
Arven segera mendorong Avisha menjauh dan cuma membalas dengan gumaman malas.
"Pas awal nih, Visha takut kalo temen-temen kak Arven gak suka sama Visha kayak di film-film."
Arven menatap depan, pada jalanan yang lancar. "Kebanyakan nonton film lo."
"Tapi, kebanyakan emang gitu kan? Contohnya kak Jessy, dia gak suka sama Visha."
"Kan, lo sendiri yang ngomong. Kata Mama lo, setiap orang beda."
"Kak Arven inget omongan Visha?" Avisha tak percaya.
Arven berdecak. "Kalo omongan bener ya pasti gue inget."
"Cieeee~," Avisha tersenyum meledek. "Kayaknya setiap omongan Visha selalu kak Arven inget," Kali ini Arven benar-benar menoleh, setelah menghentikan mobilnya sebab lampu merah. "Kak Arven udah mulai suka Visha ya? Hayo ngaku?"
Avisha memekik karena Arven yang menarik poninya. "Imajinasi lo ketinggian," Kemudian tanpa aba-aba Arven mendekatkan wajah. Avisha tersentak dan membeku di kursi.
"Bukan justru lo yang suka sama gue?"
Avisha terdiam cukup lama. Memandang Arven di jarak dekat. Tatapan dingin si cowok seolah mendominasi, memanggil desiran yang tak dapat Avisha mengerti. Meski begitu, Avisha membalasnya dengan senyuman lebar.
"Visha suka kak Arven." Pengakuan yang tentunya membalik keadaan. Arven yang justru membeku sekarang. "Kak Arven baik, Visha jadi suka." Mata bulatnya berbinar. Kemudian melanjutkan yang menampar kesadaran.
"Visha juga suka kak Linzy, kak Retta, sama kak Regha, mereka baik. Kak Zion juga, walaupun nyebelin." Dia menyengir diakhir.
Arven mendengkus. Menatap lampu berubah hijau dan langsung menancap gas. Tak memedulikan lagi ucapan Avisha barusan.
•••
Hari ini adalah jadwal Avisha kontrol ke rumah sakit. Karena Devin yang tak bisa meluangkan waktu, terlalu sibuk di luar kota, pun Velin yang sebenarnya ingin mengantarkan tapi, terdesak ramainya pesanan di butiknya, alhasil jadi Arven yang mendapatkan tugas itu.
Sehabis sepulang sekolah mereka pergi ke sana.
Di dalam ruangan serba putih itu, sahabat Devin—papanya Avisha— yang notabene adalah seorang dokter melakukan pengecekan pada kaki Avisha yang digips. Arven tak terlalu fokus pada hal yang dilakukan pria seusia Devin itu, yang Arven kenal bernama Rafael.
Justru lebih fokus pada Avisha yang tampak santai. Tidak ada ketakutan sama sekali di wajah mungil itu.
Dalam hati, Arven tak tahan untuk tidak berdecak. Heran saja melihat bagaimana Avisha yang selalu full baterai. Semangatnya menggebu-gebu. Dan wajah, tak pernah tertinggal keceriaan dan senyuman di sana.
Arven bertanya-tanya, anak itu setiap hari makan apa?
Pada kenyataan Avisha yang selalu ceria, Arven jadi ditampar fakta. Avisha juga manusia biasa.
Ingat kejadian speaker yang terjatuh, dia jadi sadar jika Avisha pernah ketakutan luar biasa, cewek itu memeluk Arven kencang saat olengnya benda itu hampir mengenai kepalanya, apalagi saat suara bedebum speaker terdengar, Arven sepenuhnya merasakan betapa ketakutannya Avisha lewat tubuhnya yang gemetaran.
Saat selesai melakukan pengecekan dan mendapatkan hasil kontrol, mereka keluar ruangan. Berjalan menuju apotek rumah sakit. Mengambil resep vitamin yang Rafael berikan.
Arven menyuruh Avisha menunggu di kursi tunggu, sementara Arven mengantri di depan. Sejenak, dia mengecek Avisha di kursi dan melihatnya tengah mengobrol bersama seorang nenek di kursi roda sebelahnya.
Si Nenek tentunya membalas setiap perkataan Avisha. Melihat Avisha yang begitu bersemangat, membuat si nenek ikut-ikutan. Dia bercerita banyak hal, yang Avisha dengarkan. Cewek itu terkadang melempar guyonan, yang berhasil memancing si nenek tertawa. Tangan keriputnya membelai pipi Avisha yang dia balas dengan kekehan khasnya.
Senyum cewek itu begitu lebar seolah tanpa beban, yang untuk beberapa alasan berhasil mengantarkan sesuatu yang Arven tak mengerti.
Tak lama, si nenek pergi bersama anaknya yang membantu mendorong kursi rodanya. Avisha sendirian ketika Arven menoleh, dia melambaikan tangan pada cowok itu.
Tiba-tiba terdengar suara sirine ambulan.
Begitu keras menghunjam telinganya.
Secara refleks, Avisha mengangkat kedua tangan menutup telinga. Berusaha menghindari suara itu yang mendengung sekaligus berusaha menepis ingatan yang rasa-rasanya mendobrak habis kesadarannya.
Avisha menggeleng. Saat arus masa lalu seolah menyeretnya kembali.
Api yang merayap dimana-mana. Asap yang memburamkan penglihatan. Teriakkan orang-orang. Suara sirine mobil pemadam kebakaran. Sirine ambulan. Mobil polisi.
Untuk kesekian kali, Avisha terjebak pada ketakutannya sendiri.
Pada Arven setelah mendapatkan resep obatnya sekaligus membayar, dia memutar tubuh dan mengernyit bingung melihat Avisha yang menunduk sambil menutup telinga. Hal itu tentunya menarik tatapan beberapa orang.
Arven spontan mendekat dan berjongkok di depan cewek itu.
"Sha!" Jangan kan dihiraukan, panggilannya tak berarti apapun. Avisha justru makin terlihat ketakutan sambil menggelengkan kepala.
"Jangan dibakar," gumamnya lirih. "Visha takut."
"Sha!" Kali ini Arven menepuk-nepuk pipinya. Merasa sedikit panik. "Sha ... lo kenapa?!"
"Sirine-nya, itu sirine-nya ..." Setetes air mata mengalir dari mata cewek itu dan jatuh mengenai tangan Arven yang memegang pipinya.
Suara itu masih mendengung di luar. Arven pun mendengarnya. Seketika saja sebuah kesimpulan Arven temukan.
"Avisha!"
Ternyata panggilan lengkap itu cukup berhasil. Seperti tali yang diulurkan, Avisha tertarik walau tidak sepenuhnya.
Dia membawa kepala Avisha untuk menatap matanya. "Sha!"
Dari ruang tipis antara wajah mereka, Arven bisa sangat jelas melihat ketakutan Avisha. Bibirnya yang gemetar. Matanya yang bergerak ke segala arah penuh kebingungan.
"Suara sirine-nya, Visha takut."
"Kalo gitu gak usah didengerin," Arven menggerakan tangannya di atas tangan Avisha yang gemetar menutup telinga. "Tatap mata gue dan bayangin kalo suara itu udah gak ada. Suara itu udah ilang."
Tuntunan itu seperti hipnotis yang membuat Avisha kali ini sepenuhnya menatap mata Arven. Menatap lekat mata cowok itu yang biasanya sedingin es, kini menatapnya tenang penuh ketegasan.
"Masih denger?"
Avisha menggeleng pelan. Karena untuk saat ini bukan lagi suara sirine yang Avisha dengar. Melainkan suara asing yang berasal dari jantungnya sendiri. Berdetak sangat kencang tanpa alasan.
•••
Uhuk .... aduh keselek dong ini
Arven memang sangat bertanggung jawab wkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro