A;A2-Pertemuan
❝Seuntai tali yang disatukan, belum tentu sebuah kebetulan. Mungkin saja itu takdir yang disengajakan.❞
•°•°•
DIGANGGU itu hal yang paling Arven benci. Lebih menerima gangguan para cewek yang sungguh memuakkan dan tak tahu malu.
Wajah dingin Arven cukup untuk membuat para perempuan melangkah mundur. Jika tidak siap oleh penolakan kejam yang akan diberikan. Apalagi kalimat pedas yang sering terlontar, tidak ada seorang cewek yang ingin sakit hati diakhir.
Cuma cewek berotak dangkal yang berani mendekati Arven. Contohnya ...
"Arven Baby!" Jessy, lebih lengkapnya Jeslyn cewek keturunan Kanada-Rusia. Wajah bule dan kecantikannya yang hampir di atas rata-rata membuatnya begitu populer di sekolah, terutama di kalangan cowok.
Sayang, urat malunya seperti sudah putus menerima setiap penolakan Arven, yang diabaikan begitu saja.
"Lepas, Jess!" Arven menjauhkan tangan Jessy yang merangkul bahunya. Anggota osis yang tengah berkumpul untuk rapat sebelum pembukaan mos nanti, cuma diam melihat interaksi mereka. "Lo bisa keluar ruang osis, kita lagi rapat sekarang?"
Jessy cemberut. "Bentar aja sih, aku bawain kamu sesuatu!"
Perkataan tajam Arven tak mempan, Jessy justru makin berani membelai pundaknya. Langsung saja, dia mencekal tangan Jessy dan ... dijauhkan. "Dengerin gue Jess ..."
"No!" Jessy mengangkat jari telunjuknya untuk menghentikan ucapan Arven. "Aku gak akan dengerin penolakan kamu!"
Terdengar tepuk tangan di ujung meja lain, Arven mendongak dengan eskpresi datar, melihat Askar—seseorang yang kalah suara saat pemilihan ketua osis, hingga akhirnya dia harus menerima kekalahan telak dan sebatas menjabat sebagai bawahan Arven; wakil ketua osis.
"Seharusnya sebagai ketua osis yang bijak, lo bisa bedain mana tempat buat ngomongin permasalahan sekolah sama permasalahan suami istri?" Senyum Askar yang meledek, jelas menambah daftar alasan emosi Arven meningkat sekarang. "Gue bener kan, Arvendino yang terhormat?"
Beruntung selain pintar akademik, Arven pintar mengatur emosi. Dia mengabaikan ucapan Askar—yang jelas sebuah pancingan mengajak perang—lebih memilih untuk menyelesaikan urusannya.
"Kita mau rapat Jess lo bisa keluar ruangan dulu bukan?"
Andai Jessy tidak berpengaruh besar sebagai donatur sekolah, mungkin semua anggota osis yang sudah menunggu memulainya rapat tidak segan-segan mengusirnya keluar.
"Ini aku bawain donat srikaya sekaligus americano coffe kesukaan kamu." Jessy masa bodoh, meletakkan bawaannya di meja rapat ruang osis, mengabaikan tatapan malas dari setiap anggota.
Termasuk peringatan Arven yang menghunus lewat mata. "Jess!"
"Ini minum!" Jessy menyodorkan gelas kertas berisi kopi. "Biar kamu gak ngantuk, ngurusin para anak baru itu pasti bikin capek. Jadi kamu harus minum ini!"
"Jess!"
"Ayo minum!"
"Jess gue bilang ..." ucapan Arven berhenti berganti kaget saat mendorong gelas kopi itu dan berujung tumpah mengenai jas osis sekaligus seragam putihnya.
"Woah!" Jelas itu suara Askar yang tampak senang.
Jessy membelalakan mata. "Yah ... Arven baju kamu jadi kotor, ya terus gimana dong? Itu panas lagi! Kamu ... kamu gak kepanasan kan? Mau aku ganti bajunya atau bantu buka ..."
"Berhenti!" Arven memotong ucapan Jessy yang panjang lebar. "Sekarang mending lo keluar!"
"Tapi ..."
Aura sekitar mendadak mencekam saat Arven berdiri dengan sorot tak dapat diartikan. "Sekarang Jess ... atau lo bakal nyesel sama hal yang gue lakuin nanti!"
•••
"Weh, abis bersihan selokan dimana lo, cokelat-cokelat gitu?"
Sungguh kalimat sambutan Zion saat Arven masuk ke kelas sangatlah penting. Beberapa teman kelas barunya menatap Arven bingung, lebih tepatnya pada jas sekaligus seragamnya yang penuh noda.
"Lo ada seragam cadangan?"
Kelas telah diacak. Yang malas Arven akui jika dia sekelas dengan Zion sekarang. Dibanding Zion yang tertawa senang melihat nama mereka berada di kelas yang sama, Arven justru mendengkus sebal. Ketenangannya pasti akan selalu terganggu oleh sifat berisik Zion.
Bukan masalah jika Zion itu cuma berisik, cowok itu juga cenderung jail dan suka meledeknya yang tidak ingin pacaran. Sialan!
"Ada di loker. Lo mau minjem?"
"Lo tau gue orang yang bakal nyambut peserta didik baru nanti, jadi gak usah ditanya lagi kan?"
Zion tidak tahan untuk tak berdecak melihat wajah Arven yang datar. "Tapi gak ada badge nama sama lokasi sekolahnya."
"Yang penting seragam putih."
Teman jailnya itu mendengkus, "Iya-iya pak ketos!" Lalu bangkit berdiri, berjalan keluar kelas diikuti Arven menuju jajaran loker siswa.
Setelah membuka kunci lokernya, Zion mengambil seragam cadangan yang selalu tersimpan rapi di loker. "Nih!" Dia menyerahkannya pada Arven.
"Thanks!" Cuma perkataan singkat itu lalu Arven berjalan menuju ruang ganti. Zion tanpa sadar mengikuti karena penasaran.
"Lagian kenapa baju lo bisa kotor gitu?"
"Siapa lagi kalo bukan mantan lo penyebabnya!" Tiba di ruang ganti, Arven mendorong pintunya dan Zion masih saja mengintili bagai anak ayam.
"Jadi baju kotor lo karena Jessy?" Jika Arven mendapat kesialan, orang pertama yang pasti tergelak itu Zion. Dia selalu senang jika topik Jessy—cewek cantik yang pernah berpacaran dengannya—justru kini berusaha mengejar sahabatnya. Topik itu selalu membuatnya kehabisan napas karena kebanyakan tertawa.
"Bentar ..." Zion menarik napas panjang untuk menghentikan tawanya. "Emang dia ngasih lo apa?"
"Americano coffe ..."
"Kopi?" Lagi-lagi Zion tergelak. Arven berdecak sambil membuka jas lalu kancing seragam putihnya. "Niat banget tuh cewek!"
Zion sepenuhnya menghentikan tawa. Mengubah rautnya menjadi serius sambil menatap Arven yang kini sebatas memakai kaos dalaman berwarna putih yang juga kotor. "Simpel aja sih buat Jessy berhenti, terima dia!"
Jika Zion berucap sangat santai, beda dengan Arven yang sampai tidak jadi mengancingkan seragam.
"Saran lo sangat membantu, Yon. Thanks!"
Zion malah tersenyum mendengar sindiran sahabat dinginnya. "Gue serius. Lo tau seberapa obsesinya dia sama lo. Dia gak akan berhenti, Ven sebelum dapetin lo! Jadi ya terima aja, paling dia bakal bosen, dan kalian putus. Selesai!"
"Mungkin gampang buat lo, tapi gak buat gue." Topik ini sudah terlalu jauh untuk dilanjutkan. Aura Arven yang kian beku cukup menjadi alasan masuk akal Zion berhenti.
"Sampe kapan?"
Arven telah selesai mengganti seragam putihnya. Menaikkan alis bertanya. Zion jelas tahu, Arven mengerti maksudnya.
"Kalo lo gini terus, Ven. Lo sama aja kayak membenarkan pendapat orang-orang tentang lo. Arven nolak semua cewek itu karena dia gamon sama mantan!"
Arven jadi tampak menyeramkan dua kali lipat dibanding tadi. Tapi, Zion sudah biasa oleh setiap tatapan elang dan aura berbeda Arven jika sudah mengangkat topik berat ini.
"Lo tau bukan itu masalahnya!"
"Ya ... gue tau tapi orang-orang ..."
"Gue gak pernah peduli sama omongan orang. Mereka gak tau dan gak akan pernah tau!"
•••
Lapangan SMA Taruna Jaya sudah dipadati para peserta MOS, yang menarik perhatian tali balon gas yang mereka pegang masih-masing. Warnanya yang cerah dan beragam, seolah menambah suasana ramai sekitar.
"Ya ampun, Visha terharu! Ulang tahun Visha masih lama padahal, tapi banyak banget yang bawa balon buat Visha!"
Cewek berambut sebahu berwarna hitam legam, yang berdiri di sebelahnya cuma bisa memutar bola mata malas. "Najis, Sha! Semuanya bawa balon karena itu perlengkapan mos yang harus dibawa selain name tag. Pede banget sih!"
Avisha terkikik. "Yaya mah gak bisa diajak bercanda. Visha tau kali balonnya buat mos!"
Yania mendengkus. "Awas jangan sampe terbang tuh balon, kena hukum lo entar!"
"Aye-aye captain!" Avisha mengangkat tangannya yang bebas ditaruh di pelipis bergaya tentara. "Tenang aja, Visha pastiin bakal jagain balon ini seperti anak sendiri. Malika namanya!"
Dibanding Avisha yang tertawa mendengar lawakannya, Yania ternganga. "Korban iklan, udah ayo ke lapangan!"
"Visha, Yaya, Gopal di sini!"
Ini lagi satu!
Yania memutar mata malas lagi. Sementara Avisha langsung menoleh mendengar teriakan yang tak asing di telinga.
"Nata de coco!" Avisha tersenyum lebar, lebih girang lagi saat tahu di sebelah cowok yang dipanggil merek makanan itu ada seorang cewek. "Ilona!"
Cowok berkulit putih dengan mata sipitnya berjalan mendekat bersama cewek berkucir kuda, wajahnya tampak ramah dengan tahi lalat di ujung mata.
"Ilona Visha kangen!" Avisha merentangkan tangan, Nata cowok yang sering Avisha ganti-ganti namanya ikut merentangkan tangan seolah dia yang hendak dipeluk.
Mengenaskan. Karena Avisha dan Ilona yang berpelukan dan Nata cuma bisa cemberut melihatnya.
"Gue juga kangen sahabat bawel gue!" Avisha tertawa di dada Ilona yang lebih tinggi. Sungguh tubuh Ilona itu menjadi idaman banyak orang. Tinggi dan semampai.
"Ih jahat, Sha! Gue gak dipeluk?" Nata merengek sama sekali tidak cocok dengan tubuhnya yang tinggi dan sedikit berotot.
"Apa banget sih lo. Jijik!" Yania mengerut geli.
Cowok keturunan China itu menoleh sebal. "Cih! Marah-marah mulu lo kayak emak gue!"
"Plis deh kalian jangan mulai!" Ilona melepaskan pelukan. Avisha ikut mengangguk setuju pada ucapan Ilona. Bukan Yania dan Nata kalau tidak bertengkar saat bertemu. Padahal mereka berempat sudah bersahabat sejak SMP kelas satu. Oh tentu kecuali Yania dan Avisha yang sejak lahir karena orang tua mereka berteman.
"Yaya gak mau meluk gue?" Ilona merentangkan tangan. Yania mengembuskan napas lelah walau menerima sambutan itu.
"Lo gak usah ikutan manggil gue Yaya sih, Na! Jangan kayak Visha sama nih curut atu!" Tentu saja kata curut itu ditujukan untuk Nata.
"Kan biar romantis, lo Yaya. Gue gopalnya!" Nata senyum lebar sebelum mengaduh karena Yania menendang bokongnya.
"Gimana liburan di Korea?" Yania menyudahi acara peluk-pelukkan itu. "Lo bawa pesenan gue dong?"
Ilona mengangguk sambil senyum. Avisha mengerutkan dahi. "Bawa pesenan apa? Oleh-oleh ya? Lona pilih kasih nih. Masa cuma Yaya yang dikasih, Visha enggak!"
"Calon pacarnya Nata gak usah ngambek," Nata cari kesempatan sambil merangkul Avisha. "Kalo Ilona gak bawain lo oleh-oleh, tenang aja gue bakal bawain lo hadiah dari Negara Tirai Bambu!"
"Emang Nata bawain Visha oleh-oleh?"
Nata mengangguk sambil senyum. Mencubit pipi gembil Avisha. "Pasti dong, apa sih yang enggak buat calon pacar!" Lalu tiba-tiba Nata berteriak sakit sebab telinganya yang ditarik kencang.
"Bisa banget lo modusnya cumi!" Tentu saja pelakunya Yania.
"Sakit, Ya! Kejem banget lo sama gue!" Nata mengusap-ngusap telinganya yang memerah. Yania masa bodoh. Sementara Ilona cuma geleng-geleng kepala.
"Avisha ke toilet dulu ya!" Sedikit lagi acara penyambutan akan dimulai, Avisha mendadak gugup luar biasa dan kalau seperti ini dia harus ke toilet.
"Ayo gue temenin!" Yania menawarkan diri.
"Gak usah, Visha sendiri aja. Kalo tiba-tiba disuruh berbaris di lapangan, Yaya ikut dihukum."
"Yaelah, Sha santai aja sih. Masih lama! Gue bisa nemenin lo, lagian kalo lo ilang entar, siapa yang kena omel. Pasti gue!"
"Gak bakal Papa Devin ngomelin kamu!" Avisha lalu berjalan meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan.
"Avisha yang keras kepala, udah biasa!" Ilona menggelengkan kepala.
•••
Selesai menyelesaikan 'urusan' di toilet, Avisha berjalan di lorong yang berbeda saat dia datang. Dia cuma ingin berjalan-jalan, melihat sekolah barunya.
Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke taman belakang sekolah. Dia berdecak kagum memandang keadaan sekitar. Rerumputan hijau yang membentang, beberapa pepohonan yang menjulang, apalagi udara yang terasa segar yang membuatnya merasa tenang.
Sebab takut telat berbaris ke lapangan, Avisha memutar tubuh hendak berbalik pergi, disaat kakinya justru tetap di pijakan berkat sebuah suara yang terdengar.
Avisha melangkah, mencari asal suara dan ternyata ...
Itu suara kucing yang berada di atas pohon, tampak ketakutan turun.
"Pus ngapain disitu? Ayo turun!" Bodohnya Avisha mengajak kucing berbicara, tentu si kucing cuma bisa mengeong-ngeong.
Ranting yang kucing itu pijaki sebenarnya tidak terlalu tinggi, tapi Avisha terlalu ribet dengan balonnya hingga bingung mau membantu. "Gimana caranya ya?" Dia berpikir, lalu tak lama sebuah lampu mendarat di kepala.
Dia mengikat balonnya di salah satu kursi taman, lalu kembali lagi pada pohon, tempat kucing itu terjebak. Beruntung ada bangku taman di bawah pohonnya, yang memudahkan Avisha untuk mengambil kucing itu dari atas pohon.
Setelah naik dan berhasil membawa kucing itu ke tanah. Avisha mengusap-ngusap tubuh si kucing dan membiarkannya pergi. "Bye-bye pus! Jangan manjat-manjat pohon lagi ya!" Lalu dia berjalan ke tempat balonnya diikat.
Dan ...
Balonnya tidak ada.
Avisha memelotot. Kepalanya seperti ditimpa mangga besar dan dia terasa ingin pingsan.
Balon itu benda wajib yang harus dibawa peserta didik baru untuk penyambutan hari pertama mos. Kenapa Avisha bilang wajib, karena memang itu yang tercantum di papan tulis saat dia dan mamanya selesai mendaftar dan dirinya keterima di SMA Taruna Jaya.
Wajib berarti keharusan kan? Jika tidak membawa Avisha pasti bakal dihukum oleh para anggota.
Sial! Sial!
Padahal Yania selalu memperingatinya untuk tidak menghilangkan balon satu-satunya itu.
"Gimana nih?" Avisha bingung sekaligus takut. "Masa hari pertama udah dihukum aja sih!" Dia menghentakkan kaki. "ARKHHH! Visha gak mau dihukum!"
Dia memutar pandangan, mencari keberadaan balonnya. "Balon jangan ngumpet ah, Visha gak suka main petak umpet!"
Bibirnya mencebik beberapa senti, ingin menangis membayangkan hukuman mengerikan yang akan datang di depan mata.
Matanya sudah berair sebelum mendadak senyumnya melebar saat melihat balonnya tersangkut di salah satu ranting pohon. "Ternyata nyakut di pohon kamu balon!" Avisha tertawa.
"Ih! Kok gini banget sih, Visha baru nolongin kucing yang nyangkut di pohon padahal, tapi sekarang balon Visha yang nyangkut!" Dia mendongak menatap balon birunya di sana. "Tinggi banget lagi itu nyangkutnya. Gimana cara ngambilnya?"
"Ngapain lo di sini?"
Jantung Avisha merasa hampir merosot saking kagetnya. Refleks dia menoleh dan menemukan seorang pangeran.
Oh bukan!
Pangeran?
Bukan!
Cowok itu ... dengan alis tebal, hidung mancung, bibir tebal membentuk garis lurus, dan yang membuat Avisha tersihir karena mata biru kehijauannya yang tajam bagai mata elang dan membekukan tubuhnya di pijakan.
Avisha menatapnya lama, kalau tidak salah lihat, cowok itu seperti terkejut beberapa saat melihat dirinya sebelum raut datarnya terpasang begitu cepat.
"Ngapain lo di sini?"
Suara dinginnya terdengar lagi. Avisha mengerjapkan mata beberapa kali. Saat kesadarannya sepenuhnya kembali, dia merutuki dirinya yang bisa-bisanya terpesona di situasi genting ini.
"Kamu juga ngapain di sini, bukannya baris ke lapangan?"
Cowok itu tampak mengerutkan dahi. Seperti tidak mengerti ucapan Avisha. Ganteng-ganteng bodoh, bagaimana bisa dia tidak mengerti maksud Avisha.
Dia pasti murid baru seperti dirinya, lihatlah dia memakai celana putih dan seragam tanpa badge nama.
"Terus kenapa kamu gak pake name tag?" Avisha juga baru sadar si cowok tidak memakai papan nama di leher seperti dirinya. "Nanti kamu dihukum loh sama anggota osisnya."
"Sebelum lo ngasih pertanyaan, bukan ada bagusnya lo jawab pertanyaan gue dulu?"
Keangkuhan yang cowok itu tunjukkan melunturkan kegantengan yang sempat membuat Avisha terpana. Dia mendengkus sebal, menunjuk balonnya yang berada di atas.
"Karena kamu tinggi, kamu bisa dong ngambilin balon Visha di atas pohon itu?"
"Visha?" Cowok itu menggumamkan namanya bingung.
"Iya ..." Avisha menunjukkan papan namanya. "Avisha."
"Oh ..." Si cowok dingin menganggukan kepala. Avisha heran, apa bibirnya itu tidak lelah membentuk garis lurus saja. Senyum sedikit, biar tidak terlalu seram.
"Kamu bisa ngambilin balonnya gak?"
"Buat apa lo bawa balon?" Sambil berusaha mengambil balon birunya di pohon, si cowok bertanya.
"Kok kamu pake nanya!" Avisha sejak tadi selalu dibuat heran oleh cowok ini. Anak baru tapi tidak tahu perlengkapan apa yang harus dibawa. "Itu perlengkapan yang harus dibawa buat hari pertama mos. Oh ya ... makasih siniin balon Visha!"
Si cowok tidak menyerahkan balonnya dan justru tampak berpikir. "Gue gak nyuruh."
"Hah?" Avisha ikutan bingung. "Kamu ngomong apa sih? Jelas-jelas perlengkapan yang dibawa itu ditulis di papan tulis pas rapat orang tua peserta didik baru kemarin! Kamu kan anak baru masa gak tau?"
Cukup dari matanya yang tampak lebih kelam dan tangan mengepal, Avisha bisa menyimpulkan jika cowok ini tengah menahan amarah.
"Kamu kenapa? Lupa bawa balon ya?"
Yang cowok menatapnya. Tangannya yang mengepal, tidak sadar menguat hingga memecahkan balon di genggamannya.
Avisha memelotot luar biasa. Kaget oleh dua hal. Suara balon pecah sekaligus tak menyangka lelaki itu akan memecahkan balonnya.
"Kok kamu pecahin?!" Refleks tangannya menampar pipi cowok, tidak ada alasan lebih untuk Avisha tidak makin memelotot menatap tangannya. "Ya ampun tangan lancang banget kamu tuh!"
Si cowok dingin, kaku, sekaligus seram itu terkejut dan menatapnya tepat di mata. Tatapannya itu yang membuat Avisha meringis ngeri. Tapi dia memberanikan diri. "Kalo kamu gak pecahin balon Visha, Visha gak akan nampar kamu! Visha bakal dihukum pasti!"
"Lo gak akan dihukum." Yakin cowok itu.
"Kenapa kamu seyakin itu! Kamu emang siapa?" Avisha menatapnya kesal.
Si cowok melangkah mendekat. Aura seram dan sorotnya yang tak dapat diartikan. Dua hal yang menjadi penyebab Avisha melangkah mundur, menjaga jarak.
Sayang, pohon di belakangnya membuat Avisha tak punya ruang untuk mundur lagi. Apalagi saat sebelah tangan cowok itu menyandar di samping kepala Avisha, membuatnya meneguk ludah susah payah.
Tidak ada ruang buatnya kabur sekarang.
"Kalo lo dihukum," bersama kepala yang memangkas jarak wajah mereka, mata biru kehijauannya menatap Avisha lurus. "Gue siap tanggung hukuman lo itu!"
Si cowok menjauhkan kepala. Setelahnya melangkah pergi meninggalkan Avisha. Pun meninggalkan aroma citrus yang mendamaikan.
•••
Kelar hidupmu, Sha wkwkwk
Ketebak dong ya yang nolong Avisha siapa? Hahaha
Itu kucing jangan dikekep, Sha. Gak bisa napas entar :')
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro