Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A19-Awal yang Dipaksa

Kira-kira seberapa ramai part ini

Vote dan komen jngan lupa😚

JAM istirahat adalah waktu yang paling Avisha tunggu. Dia membereskan buku-buku sekaligus alat-alat tulisnya yang berceceran. Mejanya harus rapi sebelum Arven datang menjemputnya. Cowok itu sudah sering mengatakan jika dia malas menunggu.

Jadi sebisa mungkin Avisha harus sudah merapihkan mejanya sebelum Arven datang.

"Sha," Yania juga tengah memasukkan bukunya di laci meja. "Tadi kak Askar bisikin lo apaan?"

Gerakan Avisha terhenti. Dia menoleh dan kalau boleh dia ingin mengubur Yania saja. Butuh usaha keras untuk melupakan perkataan Askar barusan. Bukan apa-apa, Avisha jadi terngiang lagi perkataan cowok itu yang tak bisa Avisha artikan.

Ilona juga ikut menoleh. Tampak penasaran.

"Gak tau," Avisha akhirnya berkata malas. "Ngomongnya kumur-kumur, kayaknya sih lagi ngehafalin surat yasin."

"Dih! Serius gue!" Yania kesal. Lalu terdiam karena ada yang terpikirkan. "Tapi, Sha udah dua kali loh kak Askar deketin lo. Pas upacara sama tadi."

"Ya terus?" Avisha menoleh, tidak mengerti. Sepertinya dari dua kejadian itu tidak ada yang istimewa.

"Nih ya gue perjelas, dari tadi yang catet nama anak-anak itu kak Valdi, bukan kak Askar. Tapi, kenapa pas lo kak Askar yang justru repot-repot ke meja lo dan nyuruh lo catet nama dan nomor hp lo. Aneh gak?"

Dahi Avisha berkerut dalam. "Visha masih gak ngerti," ucapnya yang hampir membuat Yania mengusap wajah frustasi.

"Astaga gue punya temen gini amat ya. Otak lo service dulu sana, Sha. Biar gak lemot kebangetan."

"Emang bisa?" Dia malah balik bertanya.

"Bisa, lo service di bengkel motor. Ganti otak lo sama knalpot motor."

Ilona sudah tertawa di tempatnya. Avisha cemberut karena sudah paham ledekkan Yania itu. "Maksud Yaya tuh gini, Sha," Ilona menghentikan tawanya, memberi penjelasan. "Ada kemungkinan dari tingkahnya kak Askar itu, dia suka sama lo."

Penjelasan singkat itu membuat Avisha terbengong bodoh.

"Masih gak ngerti juga?" Yania tampak ingin meledak.

"Kok Yaya bisa nyimpulin gitu, ya gaklah. Mana mungkin!" Avisha mengibaskan tangan tak percaya.

"Tapi lucu ya," Ilona tampak menerawang. "Lo ngejar ketos, tapi justru waketos yang ngejar lo." Setelahnya Ilona tertawa.

"Ih Lona mah!" Avisha makin cemberut.

"Lucu juga karena dua cowok itu gak pernah akur." Yania mengucapkan itu santai, tanpa peduli Avisha yang bingung mendengarnya.

"Gak akur?" Avisha butuh penjelasan sekarang. "Mereka sering berantem?"

"Bukan berantem yang gimana-mana, tapi pokoknya mereka selalu perang dingin gitu," Yania memberitahu. "Itu yang gue denger dari beberapa kakak kelas."

Ilona mengangguk. "Gue juga sering denger. Keliatan banget ada masalah di antara mereka. Kak Arven kan emang cuek dan dingin banget sama semua orang. Tapi kak Askar gak gitu, dia ramah banget sama siapa aja, dan orangnya friendly. Tapi, kalo udah berurusan sama kak Arven sosok ramahnya kak Askar tuh hilang, keliatan kayak benci gitu."

Avisha mencerna setiap kalimat kedua temannya di otak. Baru kali ini, Avisha yang lebih suka memikirkan resep makanan, jadi ditukar untuk memikirkan permasalahan mereka yang belum diketahui alasannya.

"Katanya sih itu karena waktu pemilihan osis. Kak Askar kalah suara dari kak Arven. Dan sejak itu mereka jadi kayak musuhan," itu kesimpulan yang Yania dapatkan dari kuping sana kuping sini saat mendengar kakak kelasnya merumpi.

"Tapi, gue gak yakin cuma karena itu ..."" Ilona tampak berpikir.

"Udah sih kenapa jadi ngerumpi!" Jika dilanjutkan, rasanya Avisha tidak akan sanggup lagi. Dia tidak ingin mendadak jadi penasaran pada mereka berdua. Ingat, dia harus ingat pada misinya sendiri. "Jangan dilanjutin lagi, Visha mau ke kantin."

Dia mengambil tongkatnya yang di letakan di kolong meja.

"Lo mau makan di kantin?" Yania heran.

"Bukannya lo bawa bekel?" Ilona pun heran.

Avisha nyengir. "Kan bengkelnya Visha kasih Nata. Lagian Visha mau makan bareng kak Arven. Sebenernya sih Visha disuruh tunggu di kelas, entar dijemput buat makan bareng di kantin." Lalu wajahnya mendengkus sebal. "Tapi dari tadi, chat Visha gak dibales. Jadi buat menghemat waktu, Visha samperin aja ke kelasnya."

"Kak Arven yang ngomong gitu?" tanya Ilona, yang Avisha jawab anggukan. Ilona terdiam beberapa saat. "Sha, hmm ... lo suka kak Arven gak sih?"

Avisha terdiam. Mengetuk bibirnya berpikir. Arven itu menyebalkan. Semena-mena. Suka memaksa. Tidak pernah tersenyum sekaligus lidahnya sangat tajam. Dari deskripsi itu tidak ada yang pantas untuk Avisha jadikan alasan untuk suka Arven.

"Gak," jawabnya kemudian, tapi mengingat Arven yang terkadang membuatnya tersenyum cuma karena sikap tak terduganya. "Tapi ... gak tau nanti," cengirnya.

"Yee dasar!" Yania mendorong keningnya sambil tertawa. "Udah sih gak pa-pa lo suka dia, gue dukung. Kan kalo lo beneran jadian sama kak Arven kali aja gue bakal kecipratan jadian sama cogan juga."

Ilona terdiam untuk beberapa saat. "Tapi, Sha ... mending jangan deh. Mulut kak Arven tajem banget, emang lo tahan? Gue mah kalo jadi lo udah sakit hati duluan."

"Eh iya juga sih ..." Yania mengangguk.

"Kenapa jadi bahas suka-sukaan? Inget, Visha deketin kak Arven karena cuma pengin tahu kak Arven itu siapa dan kak Arven mau deket Visha juga karena janjinya sama Papa. Jadi gak ada suka-sukaan." Dengan tongkatnya, Avisha berdiri dengan mudahnya. "Visha mau nyamperin kak Arven dulu ya. Dah!"

"Eh, Sha!" Yania berteriak. "Gue anterin aja. Entar lo jatoh lagi."

Avisha menoleh dan tersenyum. "Gak bakal jatoh, Visha kan pinter ngatur keseimbangan."

Yania mencibir. "Cih! Naik sepeda roda dua aja lo jatoh mulu!"

•••

"Ada beberapa berkas proposal yang lo belom cek, Ven."

Mendengarkan yang Veron katakan, Arven mengangguk saja, matanya lebih fokus pada map di tangannya. "Berkas yang udah gue cek, udah dapet tanda tangan kepala sekolah?"

"Kepala sekolah maunya lo yang dateng ngajuin."

Arven mendengkus malas.

"Santai, Ven tinggal tiga bulan doang jadi anggota osis." Lalu melanjutkan dengan meledek. "Ciee yang bakal turun jabatan!"

Tatapan Arven menghunus, yang cuma Veron balas tawa kencang. Namun, matanya langsung teralihkan pada suatu hal. Refleksnya bekerja lebih cepat, dari perkiraaan. Tahu-tahu kakinya melesat cepat untuk menaiki dua anak tangga sekaligus.

Beruntung tepat waktu, Arven menahan Avisha yang hampir terpeleset di anak tangga teratas.

"BEGO!" umpat Arven refleks. Avisha mendongak kaget memandang Arven sebelum senyum menggantikannya.

"Kak Arven."

Arven memutar tubuh Avisha untuk menatapnya. "Lo suka banget bahayain diri lo sendiri sih!" Dadanya masih tak beraturan karena serangan dadakan. "Untung gak jatoh tadi!"

"Kak Arven takut Visha jatoh?" Polosnya cewek itu bertanya. Arven mengatur napasnya agar tidak meledak sekarang.

"Kalo lo jatoh yang bakal dapet sasaran dari bokap lo siapa? Pasti gue!"

"Maaf," ucap Avisha lirih. Banyak orang yang melewati tangga, dan jelas posisi mereka justru bikin padat jalan. Dengan pelan, Arven membawa Avisha ke pojok tangga agar jalan orang tidak terhalang.

"Ngapain ke atas?" tanya Arven. "Gue kan udah nyuruh lo nunggu di kelas."

"Lagian kak Arven lama, Visha udah laper ini."

"Kan lo bawa bekel?"

Avisha menyengir. "Visha kasih Nata bekelnya."

"Lo kasih ke siapa?" Untuk pertanyaan ini Arven hampir kehilangan kontrol suaranya.

"Visha kasih Nata, soalnya Nata suka banget sama ..."

"Gak usah dilanjutin!" potong Arven lalu menoleh pada Veron yang sudah berada di sampingnya dan cuma diam memandang mereka. "Nih, Ron lo taroh di meja gue."

Veron mengambilnya, tersenyum meledek. "Kayaknya tugas gue emang jadi babu kalo lo udah sama nih cewek."

Arven menatapnya tajam, yang membuatnya menghela napas dan menyerah. "Oke, oke, gue laksanain tugasnya Pak ketos. Nikmatin waktu berduaannya oke?" Lalu Veron meninggalkan mereka, menaiki undakan tangga menuju lorong kelas dua belas.

Mereka memilih kantin bawah. Selama cewek itu kembali menjejakan kakinya di anak tangga untuk turun, Arven memerhatikan setiap langkahnya tanpa sadar. Sampai akhirnya mereka tiba dan duduk di salah satu meja.

Mereka telah selesai memesan dan menunggu pesanannya datang.

"Kak Arven kenapa lama banget jemput Visha?" Avisha buka suara karena bisa menebak kalau tidak dia duluan pasti akan ada keheningan panjang di meja.

"Gue ke ruang osis dulu," jawabnya yang membuat Avisha beroh panjang. Dia memandang Avisha yang tengah menjelajahi pandangannya seisi kantin. "Kalo gue nyuruh lo di kelas. Ya di kelas aja. Ngerti?"

Avisha kembali menatapnya dan kemudian mengangguk dengan senyumnya. "Kak Arven gak makan bareng temen-temennya?"

"Gue gak makan bareng temen gue karena lo."

"Kan bisa ajak sekalian."

"Gak! ribet," ucapnya singkat. Avisha tidak tahan untuk mendengkus sebal. Padahal dia tengah berusaha membangun percakapan di tengah suasana kaku ini, tapi Arven selalu saja mengacaukan dengan perkataan singkat itu.

Tak lama pesanan mereka datang bersamaan dengan seorang cewek berambut cokelat sepanjang punggung menghampiri meja mereka.

"Tumben di kantin bawah, Ven?"

"Terpaksa karena nemenin anak kurcaci."

Avisha memelotot, refleks memukul punggung tangan Arven pelan.

Cewek itu tertawa. Wajahnya ramah saat dia menoleh dan tersenyum. "Dia cewek itu?" tanyanya dengan nada menggoda.

"Cewek itu apa?" Arven pura-pura bodoh.

"Regha udah cerita."

"Ah shit!" Lantas Arven mengumpati Regha. "Ember banget mulut cowok lo."

Avisha memandang keduanya bingung. Karena tidak ingin bodoh terjebak di obrolan asing mereka Avisha sontak bertanya. "Kakak siapa?"

Kakak kelasnya itu tersenyum, mengulurkan tangan ramah. "Retta."

Jabatan itu Avisha sambut, dia ikut tersenyum. "Avisha."

Oh jadi ini yang bernama Retta. Kalau bukan karena Yania yang mendeklarasikan diri menjadi penggemar Regha, tentunya Avisha jadi tidak asing mendengar nama Retta.

"Ta, gue udah mesen batagornya." Tiba-tiba seorang cewek berambut pirang ikut mendekati meja mereka. Untuk sesaat, Avisha dibuat tertegun oleh kecantikan cewek itu. Dia tinggi semampai, memiliki wajah yang bisa terpasang di sampul majalah model. Yang lebih menarik lagi, matanya yang bewarna kelabu.

Satu kata untuknya; sempurna.

"Hei Ven, dia siapa?" Pikiran Avisha tentunya buyar. Dia mendongak dan kini melihat Retta tengah membisiki sesuatu ke cewek itu, yang membuatnya beroh sangat panjang.

Dia ikut mengulurkan tangan perkenalan. "Linzy."

"Avisha." Dia menyambutnya seperti yang dia lakukan saat berkenalan dengan Retta.

Arven tampak tak nyaman di kursinya. "Lo berdua pergi aja," usirnya.

"Kenapa kita harus pergi?" Retta menimpali. "Kan kita-kita mau ngobrol sama Avisha, ya kan?" Linzy meresponnya dengan anggukan.

Baru saja Avisha ingin buka suara, Arven sudah mendahuluinya. "Gak usah!" ucapnya ketus. "Udah sana."

Retta tampak kesal. "Iya-iya kita pergi, maunya berduaan aja," ledeknya yang membuat Arven memelotot dan mereka terkekeh bersama lalu melangkah pergi meninggalkannya.

"Makan itu nasi goreng lo!" Mendengar Arven memerintahnya sangat dingin membuatnya jadi kesal lagi. Walau begitu, ada sesuatu yang menganggu ingin dia tanyakan.

"Kak Arven," panggilnya yang cuma direspon gumaman. "Kak Linzy cantik ya?"

Alis Arven terangkat memandangnya. Tampak heran. "Gak, biasa aja," jawabnya yang hampir membuat Avisha tersedak.

"Biasa aja?" Arven ini buta atau bagaimana, cewek secantik itu saja dibilang biasa. Sepertinya Avisha tidak perlu jauh-jauh, Jessy, ratu sekolah saja ditolak Arven mentah-mentah, jadi tak seharusnya dia kaget mendengar jawaban itu.

"Emangnya kenapa lo nanya gitu?" Arven menelisik wajahnya lama.

"Hm ... gak pa-pa," jawabnya yang membuatnya tanpa sadar memandang tubuhnya naik-turun. Bentar! Ini kenapa Avisha mendadak merasa rendah diri.

"Cantik itu relatif," jelas Arven entah untuk apa. "Dan ... gak semua cowok mandang cewek dari fisiknya."

"Termasuk kak Arven?" Yang ini Avisha mendadak antusias.

"Kalo gue liat ceweknya dulu, misalkan bawel kayak lo. Kemungkinan enggak," ucap Arven yang menjatuhkan Avisha hingga dasar.

Avisha menekuk bibirnya. Sekali lagi memukul Arven kesal, tanpa tahu ada sinar senang di mata cowok itu.

•••

Gema bel pulang disambut riuh sekitar. Lorong sekolah sudah padat dan ramai. Arven menyuruh Avisha menunggu di lobi sekolah sementara dirinya mengambil mobil di parkiran.

"Den Arven," seseorang tahu-tahu memanggil, menghentikan langkahnya saat itu juga. Arven menoleh melihat Pak Didin, satpam sekolah yang ternyata menyapa.

"Kenapa pak?"

"Itu eneng yang kemarin saya denger udah masuk sekolah?"

Arven mengangguk. "Iya, Pak dia udah sekolah lagi. Ya walaupun terpaksa pake tongkat karena kecelakaan kemarin."

"Pake tongkat?" Pak Didin terkesiap. "Wah bener-bener jahat yang bawa motor kemarin, kayak sengaja banget."

Mendengar kata 'sengaja' di sana, Arven langsung tertarik. "Maksud Pak Didin?"

"Gak tau ya Den, saya ngerasa kemarin itu orang kayak sengaja ngendarain motornya ke arah si eneng," jelas satpam sekolahnya, yang membuat banyak praduga mulai berkeliaran di kepala. "Orang si eneng belum jauh sih nyebrangnya masih depan gerbang sekolah, tapi kenapa bisa ketabrak."

Arven terdiam, sampai Pak Didin pamit dan menitipkan salam untuk Avisha. Tangannya tanpa sadar mengepal seiring penjelasan Pak Didin terngiang-ngiang. "Sengaja?"

•••

Sengaja? Nahloh🙈

Jangan-jangan bosen2 nunggu eaaa❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro