A;A18-Memulai Hari
Haha sori nih agak lama update-nya, kmren lagi sibuk :(
Tinggalin vote maupun komen, biar semangat gitchuu :)
▪
LAYAKNYA terpenjara, Arven merasa hidupnya tak ada lagi kebebasan. Setelah menerima segala penuntutan sang kakek, sikap otoriternya, dan perintahnya yang memuakkan. Lalu kini penderitaan Arven seolah bertambah karena kejutan-kejutan yang Tuhan berikan.
Sekarang, kapanpun, dimanapun, Arven harus ada di samping Avisha. Kalau boleh, Arven ingin sekali meneriaki takdirnya yang begitu sial.
Sayangnya, dia tidak lakukan.
Seperti yang telah dia ucapkan, usai mendapatkan telepon dari Devin untuk menjemput Avisha di rumah sakit, Arven langsung bergegas sepulang sekolah.
Avisha dirawat sehari semalam dan kini karena kondisinya yang sudah membaik, dia diizinkan pulang. Ternyata, Avisha bersama Devin dan Velin sudah menunggu di lobi.
Tanpa benar-benar mendengarkan pesan dari Devin, Arven mengangguk saja dan segera membawa mobilnya meninggalkan rumah sakit.
Sebenarnya, ini sedikit menyusahkan, Arven heran kenapa Devin tidak sekalian membawa Avisha di mobilnya. Alih-alih meminta Arven menjemput.
Keheningan di mobil membuat Avisha beberapa kali menoleh pada Arven yang bungkam sejak tadi. Kondisi ini tentunya terasa mengerikan buat Avisha. Dia tidak suka kesepian suram seperti sekarang.
"Kak Arven," panggilnya yang cuma dijawab gumaman. "Kak Arven kesal ya? Kak Arven kesal sama Papa Visha?"
"Kalo gue gak inget bokap lo itu orang tua, mungkin kata-kata kasar gue udah keluar!"
Avisha meringis. "Jangan marah sama Papa, dia kayak gitu karena khawatir Visha kenapa-napa," dia menunduk menatap kakinya yang digips. "Misalkan kak Arven gak mau, kak Arven masih bisa nolak kok. Kak Arven gak harus selalu nemenin Visha. Visha bisa sendiri."
Mobil berhenti karena lampu merah. Arven menoleh, melihat Avisha yang kini mengukir senyum.
"Lagian cuma kaki kiri, kaki kanan Visha masih baik-baik aja. Terus pake tongkatnya cuma paling lama tiga bulan kata dokter, jadi Visha yakin kak Arven gak harus tanggung jawab soal ini."
"Gue emang kesel sama bokap lo," Arven memandang lama kaki Avisha yang tergips. "Tapi lebih kesel lagi, kalo diri gue gak bisa nepatin janji. Gue udah ngomong berarti gak bisa ditarik lagi."
"Jadi ..." Mata bulat Avisha berbinar senang. "Kak Arven bakal nemenin Visha kemanapun, kapanpun, dan dimanapun?"
"Mm."
"Berarti kak Arven bakal jemput Visha setiap hari?"
"Mm."
"Nganterin Visha pulang?"
Sekali lagi Arven cuma menggumam, mengemudikan kembali mobilnya sebab lampu hijau.
"Nganter Visha ke tempat les?"
"Kayaknya ..." Arven kali ini mengangkat suara. "Tugas gue emang terpaksa jadi supir lo ya kan?"
Sindiran itu justru Avisha balas kekehan. "Kak Arven bukan supir Visha. Lagian mana ada supir ganteng kayak kak Arven," pujinya tanpa malu.
Mobilnya tak lama berhenti di depan gerbang kayu yang tak lagi asing. Gerbangnya terbuka dan dia bisa melihat mobil orang tua Avisha sudah terparkir lebih dulu di halaman rumah. Diparkirkan mobilnya di depan beranda, untuk memudahkan Avisha turun.
Belum sempat Avisha membuka pintu mobilnya, Arven sudah turun dan berjalan membukakan pintu, membantunya keluar susah payah bersama tongkat yang terapit di sisi kiri lengannya.
Devin mengambil alih tugasnya. Membantu Avisha dengan memegang bahunya agar tubuhnya tetap seimbang.
"Arven mau mampir dulu?" Dibanding Devin yang masih mengikrarkan bendera perang, Velin menawarkan dengan ramah.
Arven menggeleng. "Gak perlu, Tan. Kebetulan saya harus cepet-cepet pulang ganti baju."
Velin mengangguk mengerti. Memandang seragam Arven yang masih melekat di tubuhnya, tanda jika dia langsung mengendarai mobil menuju rumah sakit tanpa berganti seragam sekolah. "Maaf, kamu jadi ikutan repot."
"Gak pa-pa, Tante. Itu tugas saya," ucapnya yang langsung mendapat perhatian dari Devin. "Kalo kayak gitu saya pamit dulu, Tante, Om."
Sepeninggalan Arven bersama mobilnya, Devin menuntun Avisha sampai ruang tamu, mendudukannya di sofa. Meninggalkannya sejenak. Sementara Velin mengambilkannya sesuatu di dapur.
Rumah sedikit sepi karena Darlan mengikuti turnamen bersama tim futsalnya. Jahat! Tahu adiknya sakit tapi malah mementingkan lomba!
Ponselnya yang berada di tas selempang tahu-tahu bergetar, Avisha mengambilnya. Mungkin itu abangnya yang ingin meminta maaf karena tidak bisa ikut mengantarnya pulang.
Namun, ternyata tebakannya salah.
Manusia batu: Jam 6 udah harus rapi. Gue gak mau nunggu
•••
Dari pesan kemarin, Avisha jadi tahu jika Arven adalah orang yang perfeksionis. Ah tidak juga sebenarnya, sekali lihat saja, Avisha tahu jika Arven adalah orang yang tidak suka membuang-buang waktu.
Apapun harus sesuai timing yang telah ditentukan. Jadwalnya teratur, tanpa ada nama keterlambatan yang ikut di belakang.
Jam enam tepat seperti yang telah dikatakan, mobil Arven sudah anteng terpakir di luar rumahnya. Avisha segera pamit pada orang tuanya dan buru-buru menyiapkan roti panggang untuk bekalnya hari ini.
Saat setelah cukup berat dia berjalan memakai tongkat, dia bisa duduk manis juga di samping Arven.
"Kak Arven mau?" Avisha menyodorkan kotak makannya, yang Arven langsung dorong menjauh dengan pelan.
"Lo aja yang makan."
"Visha udah sarapan."
Alis Arven terangkat. "Lo sengaja bikin bekel itu buat gue?"
"Gak juga sih," Arven memelotot, yang Avisha balas dengan cengiran. "Visha niatnya mau simpen buat makan istirahat nanti."
"Ya udah simpen," Arven tak ingin ambil pusing. Mulai terbiasa dengan sikap Avisha yang tak pernah diduga. "Terus kenapa lo mau kasih ke gue?"
Bersama pertanyaan itu, dia mengemudikan mobilnya menuju jalanan luar komplek.
"Itu awalnya, tapi pas dipikir-pikir lagi, Visha mau makan ke kantin aja bareng kak Arven."
Hampir saja Arven refleks menginjak rem. Beruntung kendali keterkejutannya bisa dia atur. "Apa? Makan bareng gue?"
Sebagai jawaban, Avisha mengangguk antusias. "Iya boleh kan?"
"Enggak!" ucapnya penuh penekanan.
"Enggak?" Avisha memelotot. "Kan kak Arven udah janji nemenin Visha kemana aja."
"Gak ada di perjanjian kalo gue harus nurutin permintaan lo!" Masih saja kalimat tajamnya begitu menusuk. "Gue cuma harus mastiin lo gak kenapa-napa. Jadi biar aman mending lo di kelas aja, makan bekel lo itu."
Setelahnya sengaja Arven menepuk poni Avisha. Yang membuat si empunya memukul tangannya kencang.
Lengangnya jalan pagi ini membuat mobil Arven cepat tiba di sekolah. Sebab kekesalan Avisha masih ada, dia menghentikan gerakan cowok itu yang hendak membantunya turun.
"Visha bisa sendiri!" ucapnya mencoba ketus. Meski ujungnya jadi terdengar aneh. Arven mengangguk, membiarkannya lebih dulu turun. Tanpa Avisha sadari setiap gerakannya mendapat pengawasan dari lelaki itu.
Avisha senang Arven menjemputnya. Tapi, juga ada rasa sedikit menyesal. Lihat saja, baru juga dia bersama Arven masuk dari pintu lobi, lorong utama yang akan membawanya menuju lorong kelas sepuluh sudah penuh oleh murid-murid yang menyorot menjadikan pusat perhatian.
Berbagai tatapan silih berganti mengikuti, membuat Avisha kesal sendiri. Sementara Arven santai saja, justru terlihat makin sok dengan tangan tenggelam di saku celana.
Berjalan di sebelah Arven saja sudah menjadi bahan pergunjingan. Ditambah sekarang Avisha terpaksa memakai tongkat. Jadi wajar Avisha merasa tidak nyaman sekarang.
Avisha berhenti melangkah. Pun Arven jadi ikut serta.
"Kenapa?" tanyanya. "Lo capek?"
Avisha menoleh, sedikit membenarkan posisi poninya. "Emang kalo Visha capek kak Arven mau gendong?"
Manusia es itu mendengkus. "Justru lo bakal gue tinggal di sini. Jalan lo lama banget kayak keong."
Perkataan Arven selalu saja membuat orang kesal! "Kalo Visha gak pake tongkat kayak sekarang, Visha juga jalannya cepet!" Kemudian dia kembali melangkah bersama tongkatnya, tanpa peduli Arven yang terdiam.
"Apa sih pada ngeliatin gitu, berasa selebriti Visha tuh sekarang." Dia mencibir kesal. Arven menangkup kepala Avisha dari belakang untuk tetap lurus ke depan.
"Kalo emang gak suka, gak usah diliatin."
"Gimana gak diliatin, kan Visha punya mata. Mereka tuh yang kurang kerjaan, kayak gak ada hal penting yang pantes diliatin aja."
"Bawel lo!" Arven masih memegang kepala Avisha untuk memandang lurus saja. "Gak usah peduliin mereka, bayangin aja lagi jalan di red carpet."
Mendengar kalimat terakhir Arven, Avisha refleks tertawa. "Kak Arven bisa ngelucu juga ya?"
Yang cowok memandang Avisha seolah gila. "Siapa yang lagi ngelucu?!" ucapnya tajam.
Avisha cuma terkekeh. Kemudian menepuk tangan Arven di belakang kepalanya, untuk melepaskan tangannya dari sana.
Begitu tiba di kelas, bagai ada spotlight yang mengelilingi Avisha, semua tatapan menyorotnya. Bahkan Yania dan Ilona tampak terbengong di kursi, padahal keduanya sudah tahu jika kejadian ini akan terjadi. Dimana Arven akan menjemput dan mengantarnya sampai kelas.
"Sha," Belum sempat Avisha melangkah masuk kelas, panggilan Arven menghentikannya.
"Ya kak?"
"Istirahat tunggu di kelas, nanti gue jemput pas mau ke kantin." Setelahnya Arven melangkah meninggalkan kelasnya. Tanpa peduli, Avisha yang terbengong bego di depan pintu.
Sadar jika telinganya tidak salah mendengar, senyum Avisha mengukir lebar kemudian.
•••
Pelajaran kedua di kelasnya kosong. Gurunya ada tugas dinas, jadi sebatas memberikan tugas. Bising sana-sini. Perkumpulan cowok tampak sibuk mabar game di pojok kelas. Belum lagi di depan meja guru, sebagian cowok tengah bernyanyi-nyanyi dengan suaranya yang sumbang.
"Sha ... kak Arven ternyata bisa sweet gitu ya?"
Ini topik pasti tidak jauh-jauh kejadian pagi tadi. Yania tentunya yang paling heboh setelah melihat langsung Avisha yang diantar hingga kelas. Yang sebelumnya dijemput untuk berangkat bersama.
Siapa sangka jika Arven akan menjalankan tanggung jawab sampai segitunya. Padahal bukan salah cowok itu, tapi dia yang menanggung semua akibatnya.
"Ah itu kan karena Papa. Kak Arven ngelakuin itu pasti karena terpaksa." Avisha menopang dagu. Memandang papan tulisnya yang cuma terdapat coretan teman kelasnya yang kurang kerjaan.
"Gue tau sih itu karena ucapan tajem Papa lo kemaren. Tapi, bisa aja sih Kak Arven nolak. Iya gak?" Avisha diam, mengolah maksud Yania. "Tapi nyatanya kak Arven gak nolak dan nerima tanggung jawab itu. Itu udah kebukti kan kalo kak Arven naksir lo, Sha?"
Avisha hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar itu. "Ih Yaya ngaco!" Walau sedikit ada kesenangan jika itu benar, tapi Avisha tentunya tidak mau berharap tinggi.
Lagipula, kesimpulan Yania tidak ada kejelasan, Arven itu selalu ketus padanya, dan Avisha ingat jelas Arven menerima tanggung jawab itu setelah papanya menyamakan cowok itu dengan pamannya sendiri.
Sepertinya ada yang salah dengan keluarga Arven.
"Lo emang gak seneng kalo kak Arven naksir lo?"
"Gak seneng," ucap Avisha mencoba yakin. "Kak Arven tuh ketus, mulutnya pedes, gak suka dibantah, pemaksa. Pokoknya sifatnya jelek semua!"
"Tapi kan ganteng, Sha ..." Yania tampak menerawang. "Gila andai gue ada di posisi lo, ya ampun! Iya gak, Na?"
Ilona yang duduk di depan mereka tersentak kaget. "Apa?"
"Yaelah, Na kagetnya sampe segitunya," Yania tertawa. "Lagian ngapain sih lo?"
"Lagi ngerjain tugas."
Yania memutar matanya malas. "Capek deh! Belom tentu dikumpulin, Na tugasnya. Rajin banget sih lo, tumben."
"Yee!" Ilona berbalik sepenuhnya. Mendorong kening Yania. "Temen rajin gini bukannya lo dukung malah dijatohin."
"Itu tugasnya yang diajarin kemarin ya?" tanya Avisha. "Visha kan gak masuk, gak ngerti Visha ajarin dong."
"Itu mah gampang, kan ada gue." Yania menepuk dadanya bangga.
"Gak mau! Entar salah semua lagi!"
"Lo ngeremehin kepintaran gue, Sha?"
"Malahan Visha lagi memuji kebodohan Yaya," ucap Avisha menyindir, yang membuat Ilona tersedak tawa.
Di ambang pintu terdengar seseorang yang mengucapkan salam. Seluruh anak di kelas sontak menoleh bersamaan. Bahkan anak cowok yang berada di meja guru langsung ngacir ke tempat duduk masing-masing.
Mereka menebak itu guru. Tapi nyatanya bukan, dan melihat seseorang yang kini melangkah memasuki kelasnya bersama beberapa orang yang ikut di belakang, membuat kepala Avisha terpukul godam begitu besar.
Tubuhnya kaku di kursi.
Saat cowok itu memberi salam pembuka, yang dibalas serentak seisi kelas, Avisha tersadar.
"Kak Askar?" Ini Yania yang juga sempat kaget melihatnya.
Askar, cowok itu memandang sekeliling, sebelum irisnya jatuh tepat di kursinya dan Avisha sangat jelas melihat senyum samar yang cowok itu tunjukkan.
"Maaf gue sama teman gue ganggu waktu kalian," Di sana Askar berdiri dengan satu cowok dan dua cewek. "Gue sebagai wakil ketua osis sekaligus anggota band sekolah dapat tugas dari guru musik sekolah kita, untuk merekrut anak-anak kelas sepuluh yang bisa main alat musik."
"Sha, lo termasuk dong?" Yania berbisik.
"Jadi gue minta tolong banget sama kalian untuk angkat tangan, jawab yang jujur siapa aja yang bisa main alat musik, supaya gue sama temen-temen gue gampang catet nama-nama kalian."
Tanpa di perintah lagi, beberapa anak cowok mengangkat, anak cewek kelasnya pun. Avisha saja yang masih terdiam walau dia sadar diri jika seharusnya dia mengangkat tangan.
"Alat musik apapun ya." Askar memberitahu lagi. Sementara teman cowok satunya lagi bergerak mencatat nama-nama di buku yang dibawanya.
"Kak kalo biola termasuk?" Ilona tiba-tiba menanyakan itu. Membuat perasaan Avisha tak karuan.
"Boleh-lah, lo bisa main biola?"
"Bukan saya kak, tapi temen saya." Ilona menjatuhkan bomnya.
"Siapa?" Untuk detik ini, Avisha rasanya tidak bisa mengangkat kepala.
"Avisha." Ilona mendadak jadi teman yang begitu kejam. Avisha merengut kesal dalam hati. Kemudian, dia bisa mendengar langkah kaki yang mendekat, Avisha rasanya ingin mengubur diri.
Ada sepasang sepatu yang berdiri di sampingnya. "Lo bisa main biola?"
Kontan Avisha mendongak, yang detik kemudian mengangguk terpaksa sebagai jawaban.
Askar memandangnya. Mengulurkan tangan ke belakang. "Val bukunya?" Teman cowoknya itu langsung memberikan yang Askar minta, meletakan di atas telapak tangannya yang terbuka. Kemudian dia menyodorkan bukunya di depan Avisha.
"Catet nama lo."
"Emang harus banget ikut ya kak?"
"Harus." Askar tersenyum. "Kenapa? Lo gak mau ikut?"
"Bukannya gak mau, Visha cuma udah ikut les juga. Takutnya jadwalnya bentrok."
"Kapan jadwal les lo?" tanya Askar ramah.
"Sistemnya diacak gitu, tapi Visha lebih sering kedapetan jadwal senin-rabu."
"Kalo gitu gak bentrok," Buat yang ini senyum Askar lebih lebar. "Karena kita kumpulnya setiap hari sabtu." Dia kembali mendorong bukunya ke arah Avisha. "Jadi lo bisa catet nama lo dan juga ... nomor hp lo."
Secepat itu Avisha mendongak, hanya untuk melihat sorot ramah Askar. Sebab tak punya pilihan, Avisha mencatat namanya sekaligus nomor handphone-nya.
"Kayaknya ..." tiba-tiba Askar bersuara pelan. Secepat itu dia mendongak lagi dan terbelalak karena jarak wajah Askar yang berjakak tipis dengan telinganya. "Kita gak perlu cari waktu buat ngobrol lama, kalo ternyata kita bakal sering ketemu."
•••
Berasa jadi supir Arven tuh wkwkwk
Askar mulai ya main2😌
Gimana, gimana lnjut tidak?😚
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro